MENDAKI GUNUNG GAMKONORA LAGI
Menaiki speedboat dari Ternate pada senin 22 April 2023, bertepatan dengan hari ketiga Idul Fitri 1444 H, saya, isteri saya Dwi, adik saya Zainul dan Kaka Nyinga sampai di Pelabuhan Jailolo. Kecuali Kaka Nyinga, siang itu kami dalam perjalanan untuk mendaki Gunung Gamkonora. Jalur pendakian gunung ini berada di Desa Gamsungi, Kecamatan Ibu Selatan. Gunung tertinggi di Kabupaten Halmahera Barat itu tidak jauh dari kampung Bapak saya yang mengambil nama sama: Desa Gamkonora.
Sebagai pegawai, waktu libur saya dan Dwi amat terbatas. Pendakian ini kami rencanakan akan dimulai di hari yang sama. Tujuan kami adalah Desa Talaga yang tidak jauh dari Desa Gamsungi. Perkiraan
saya, jam 15.00 kami sudah mulai mendaki Gunung Gamkonora.
Sewaktu masih di dalam speedboat dari Ternate, saya bertemu dengan Fadri. Ia masih saudara dengan saya karena bapak kami masih sepupuan. Ia juga adalah sahabat adik saya Iping dan bersama-sama bertugas di Polres Halmahera Barat. Rencananya ketika sampai di Jailolo, Fadri akan langsung menuju ke Gamkonora. Kebetulan kami dipinjami oleh Iping mobilnya. Fadri menawarkan diri untuk menyopirkan. Mobil Avanza merah pun meluncur menuju Desa Talaga.
Memasuki waktu sore, kami sudah sampai di Desa Talaga. Dan rencana awal mendaki pada jam 15.00 hanya tinggal rencana. Kami beristirahat sebentar di rumah Kaka Mica, sepupu saya. Lalu mulai mengemas logistik. Anak Kaka Mica, Opik, dan ponakannya, Jirhan, akan bergabung dalam pendakian ini. Kaka Jalil, suaminya, berpesan kepada kami agar berhati-hati dalam melakukan pendakian. Tidak butuh waktu lama semua tas keril sudah terisi penuh dan kami berlima siap memulai pendakian.
Kami lalu diantar Kaka Warman, kaka ipar saya, menuju jalur pendakian Desa Gamsungi. Jam 16.30, kami tiba di depan
jalur pendakian. Di depannya yang berdiri Pos Pengamatan Gunung Gamkonora sudah banyak terparkir kendaraaan roda dua. Rupanya sudah ada
rombongan pendaki selain kami yang akan mendaki Gunung Gamkonora.
Titik awal pendakian Gunung Gamokonora dimulai dari jalan raya yang kami lewati. Ketinggiannya kurang lebih 10 meter di atas permukaan air laut (mdpl). Adapun puncak gunung stratovolcano ini adalah 1571 mdpl. Jadi, kami akan mendaki menanjak vertikal dengan elevasi sejauh 1500 meter. Perkiraan waktu tempuh adalah lima jam. Tetapi itu berdasarkan pengalaman saya pada tahun 2019 silam. Dengan kondisi fisik setiap anggota dalam keadaan prima dan seluruh anggota tim tidak ada perempuan.
Jam 16.55 kami pun memulai pendakian. Sebagai anak kampung sini (akamsi), Opik berjalan di depan sebagai leader. Jirhan dan Dwi, berjalan di tengah di depan saya. Inul sebagai sweeper berjalan paling belakang. Pendakian Gunung Gamkonora secara resmi dimulai.
Inul Tidak Enak Badan
Tiga puluh menit kami berjalan, semua langkah anggota tim baik-baik saja kecuali Inul. Saya lihat ada yang aneh dengan langkah jalan Inul. Oh iya, ini pertama kalinya, kami berdua
mendaki bersama. Inul melangkah sangat lambat. Ia selalu tertinggal jauh
di belakang dari anggota tim lainnya. Pahadal Inul ini sudah berpengalaman mendaki gunung-gunung tinggi
di Jawa.
Eh, benar saja. Inul ada masalah. Dia tidak enak badan. Inul mengaku baru tidur jam 4 pagi dan bangun jam 7 sebelum kami ke Jailolo. Pantas saja. Namun begitu, Inul tetap teguh untuk melanjutkan perjalanan. Tekadnya sudah bulat untuk berhasil tiba di puncak Gunung Gamkonora.
Pada saat kami berjalan, jalur pendakian gunung Gamkonora belum terlalu menanjak. Saya masih bisa menikmati
vegetasi alam di sekitar jalur. Meski keril yang saya pikul lebih berat
dari biasanya, saya merasa tidak ada masalah.
Saya lihat langkah Dwi ringan menyusuri jalur pendakian ini. Dia tidak membawa
beban apapun kecuali tas selempang kesayangan. Oh Iya, Dwi baru pertama kali
mendaki gunung, jadi saya belum mengizinkan ia memikul tas keril dulu. Apalagi berat kerilnya itu hampir 10 kilogram. Saya minta tolong kepada Jirhan
untuk membawanya.
Satu jam di jalur pendakian,
matahari mulai menggelincir ke ufuk barat. Berjalan di bawah rerimbunan kebun
pohon pala, tanpa terasa jarak pandang mulai memendek. Selimut kegelapan
pelan-pelan turun dan menutupi seluruh vegetasi dan jalur pendakian. Malam pun datang menyambut kami.
Tak lama dari situ, sayup-sayup terdengar suara adzan Maghrib. Terlintas dalam pikiran saya untuk mendirikan shalat saja di situ. Kebetulan waktu itu kami sedang duduk-duduk melepas lelah. Bidang tanah di mana kami beristirahat itu cukup miring. Tidak nyaman untuk dipakai shalat. Kata Opik, tak jauh dari sini, ada tempat bagus untuk shalat. Benar saja, kami pun bisa shalat dengan nyaman di tempat itu.
Usai shalat, perjalanan kembali
dilanjutkan. Saya minta Opik memperlambat langkahnya. Saya ingin setiap orang jalan berdekatan. Suhu udara di sekitar jalur semakin dingin. Suara jangkrik dan
hewan nokturnal saling bersahutan.
Sorot cahaya headlamp kami mulai membelah jalur pendakian. Bayang-bayang Dwi yang berjalan di depan saya terbentuk oleh sorotan itu. Sorot headlamp
miliknya tidak stabil. Sesekali mati dan kembali menyala. Maklum,
headlamp tua. Gerak langkahnya tergantung sorot cahaya headlamp di belakang. Tetapi Dwi terus berjalan meski lambat tetapi mantap. Tak ada hambatan berarti kendati itu adalah pertama
kalinya juga Dwi mendaki di malam hari.
Suara Pohon yang Ditebang
Sekira jam 22.00, Inul, Jirhan dan
Opik yang berjalan di depan menghentikan langkah. Tas keril diturunkan, mereka
memutuskan beristirahat di suatu tempat yang cukup datar. Wajah kedua pemuda itu tampak payah. Di sinilah pangkal persoalannya. Dwi juga ikut berhenti.
Saat menghampiri mereka, Inul
menengadah kepada saya. Ia mengeluhkan
perutnya yang lapar. Saya sendiri juga sudah merasa lapar sejak tadi. Diputuskan, kami akan memasak dan makan malam di tempat itu.
Saya mulai mengeluarkan
perlengkapan memasak: nesting, kompor dan gas canister. Dwi mengeluarkan
supermie, telur dan kol. Opik dan Jirhan duduk di bawah naungan sebuah pohon.
Agak remang-remang di situ karena sorot cahaya lampu tidak mencapai mereka.
Tak butuh waktu lama, mie
rebus sudah masak dan siap disantap. Piring berisi mie diedarkan dari tangan ke
tangan. Alhamdulillah, di bawah suhu
pegunungan yang dingin, perut kami terisi dengan hidangan lezat. Iya, tidak
sama dengan di bawah, makan mie di gunung itu memang istimewa.
Malam itu suasana tempat
kami makan malam biasa saja. Sahutan hewan nokturnal tidak mau berhenti
berlomba. Tetapi itu tidak berlaku bagi Opik. Ia mendengar sebuah bunyi yang tidak
saya sadari sama sekali. Ceritanya di saat turun nanti sangat menarik.
Jadi pada malam itu, Opik mengaku
mendengar sebuah bunyi. Ada bunyi seperti batang pohon sedang ditebang. Opik bingung sendiri, karena malam itu
cukup gelap. Tak ada pijar cahaya di sekitar kami selain dari lampu senter kami. Tak mungkin ada orang yang menebang pohon. Berasal
dari manakah suara itu? Dan siapakah orang yang melakukannya di tengah hutan yang
gelap gulita ini? Opik tidak bisa menjelaskannya lebih lanjut. Dia hanya mendengarkan
tanpa pernah melihat sosok si penebang pohon itu.
Sejak melewati Pos 4, jalur pendakian mulai semakin menanjak. Lama-kelamaan vegetasi hutan mulai berubah. Meninggalkan vegetasi hutan yang rapat, kami mulai memasuki hutan ilalang yang cukup luas.
Sepanjang jalur pendakian yang membelah hutan ilalang itu dipenuhi oleh banyak sekali lubang. Soal kedalamannya beragam, mulai dari semata kaki orang dewasa sampai sedalam pinggang pria dewasa. Pria dewasa itu asumsinya seperti saya dengan tinggi 183 cm. Waspada agar tidak terperosok ke dalamnya, kami memperlambat langkah. Kami lebih banyak berhenti dari pada konsisten untuk melangkah. Sekedar untuk mengatur irama napas untuk kembali berjalan. Makin ke atas, jalur itu ternyata makin ganas. Syukurlah, Dwi tenang-tenang saja tanpa mengeluh sedikit pun. Ia melangkah dengan hati-hati dan tidak ada masalah.
Kira-kira waktu 40 menit waktu kami habiskan menyusuri
hutan ilalang itu. Sejak memasuki hutan ilalang saya semakin semangat saja. Para
pendaki semua tahu bahwa keberadaan hutan ilalang itu menunjukkan puncak sudah tak
jauh lagi. Pos 5 sudah semakin dekat.
Lewat tengah malam kami sampai di Pos 5 di mana kami akan tidur. Tempat itu cukup rata dan lebar. Cukup banyak dipenuhi kerikil dan kontur tanahnya yang berbatu. Tak menunggu
waktu lama, dua buah tenda sudah berhasil kami dirikan. Vegetasi ilalang di sini
cukup tinggi. Cukup untuk melindungi tenda kami dari terpaan angin gunung yang
dingin.
Sembari memasukkan seluruh
barang dan perlengkapan ke dalam tenda, Opik dan Jirhan permisi hendak mencari
air di dekat puncak. Saya mengingatkan mereka untuk berhati-hati. Malam itu, saya
sudah lelah dan mengantuk, begitu pun Dwi. Setelah membersihkan diri, kami pun tidur.
Opik dan Jirhan Tidak Ada di Tenda
Suhu malam hari di Gunung Gamkonora
memang dingin. Rasanya lebih dingin dari Gunung Gamalama. Sleeping bag yang tadinya cuma jadi alas kepala saya kembali ke
peruntukannya semula. Dwi terbangun. Saya lalu memakaikan sleeping bag padanya. Kaos tangan saya kenakan. Alhamdulillah, bisa kembali tidur dengan pulas. Malam ini rasanya terasa cepat berlalu.
Di kejauhan, mega sudah terlihat ketika
saya mulai menarik resleting pintu tenda. Gradasi merah kelabu biru di langit menandakan
matahari sudah terbit sejak tadi. Melihat pintu tenda Inul terbuka saya mengira mereka sudah lebih dulu terbangun. Saya terkejut hanya Inul sendirian di situ. Ia yang tidur berbungkus sleeping bag masih tenggelam di alam mimpi. Lalu kemana Opik dan Jirhan? Apakah mereka sudah kembali tadi malam? Setelah menimang-nimang situasi ini saya sampai kepada kesimpulan: Opik dan Jir tidak kembali
sejak semalam. Lalu pertanyaannya, mengapa mereka belum kembali? Apakah mereka baik-baik
saja? Berlusin pertanyaan demi pertanyaan mulai susul-menyusul menyergap pikiran saya.
Perlahan pikiran saya makin berkecamuk saja. Rasa khawatir dan takut bercampur tak karuan. Imajinasi saya
melalang buana entah kemana. Saya tidak mau pendakian ini meninggalkan kenangan
buruk. Saya mengambil keputusan darurat. Saya ingin mencari mereka sekarang juga. Tetapi
reaksi itu berhasil saya tunda untuk sementara. Saya berusaha memanggil pikiran
positif untuk datang. Seketika muncul harapan bahwa dua anak itu pasti baik-baik saja. Mereka sudah dewasa dan mengetahui seluk beluk gunung ini. Mungkin saja mereka semalam tertidur di tenda rombongan pendaki di atas.
Saya dan Dwi segera menunaikan
shalat subuh. Lalu mulai memasak. Stok air yang makin menipis tidak
memungkinkan untuk memasak nasi. Jadinya kami masih memasak mie rebus lagi.
Tak lama kemudian, dari
kejauhan saya mendengar suara gemerisik dari arah puncak. Suara itu berasal dari tengah-tengah perdu ilalang yang tak jauh dari tenda
kami. Saya menyongsong suara itu dengan berjalan menyusuri jalur pendakian ke arah
suara itu berasal. Beberapa saat kemudian, dari jauh, terlihat siluet dua sosok
pendaki. Sudah saya pastikan mereka adalah Opik dan Jirhan. Alhamdulillah,
mereka akhirnya kembali. Mereka kelihatan baik-baik saja. Sebaik terakhir mereka terlihat
tadi malam.
Sumber air kata Opik sedang
kering. Telaga di puncak tidak menyisakan air sedikitpun. Mereka sudah mencari namun tidak berhasil membawa air. Ditanya mengapa tidak
balik ke tenda, mereka menjawab singgah lama di sebuah tenda pendaki yang didirikan di
sekitar telaga. Mereka duduk di situ asyik tenggelam dalam obrolan tiada ujungnya sampai tak terasa pagi tiba.
Akhirnya Tiba di Puncak
Setelah sarapan, jam 9 pagi,
kami mulai berjalan. Cuma bertiga: saya, Dwi dan Inul. Jirhan dan Opik sudah
terlelap di dalam tenda. Kasihan mereka tak tidur semalaman.
Vegetasi jalur pendakian
yang dipenuhi ilalang kami lewati tidak menunggu lama sudah berubah terbuka. Sekarang sepanjang
jalur pendakian cuma batu, pasir dan tanah. Medan jalur sudah tak terlalu
menanjak. Kami berjalan pelan dengan mengambil
langkah-langkah pendek. Pemandangan alam dari sini tak bisa dilukiskan dengan
kata-kata. Menakjubkan. Lereng gunung Gamkonora terlihat masih seindah dulu. Celah-celahnya yang melekuk di sekujur lerengnya yang miring itu membentuk bentangan alam yang memukau mata.
Selama perjalanan menuju puncak ini, Inul masih sama dengan
kemarin. Masih berjalan lambat dan sering berhenti untuk sekedar mengumpulkan cukup energi. Keadaannya
belum benar-benar pulih kendati sudah tidur semalam penuh. Saya dan Dwi sengaja melambatkan langkah untuk mengimbanginya.
Setelah meninggalkan Pos 5, di sepanjang jalur pendakian Gunung Gamkonora, sampai ke puncak dipenuhi tanaman cantigi gunung (vaccinium varingifolium). Sejauh pengetahuan saya, di Maluku Utara, tanaman ini hanya tumbuh di Gunung Gamkonora. Kali ini, sedang musim berbuah, jadi saya bebas mengambil dan memakannya. Buah ini berwarna merah dan berubah hitam ketika sudah matang. Bentuknya bulat, ukurannya kecil seperti mutiara dan rasanya manis. Cantigi ini mengandung banyak air, sehingga membantu menghilangkan dahaga. Ini membuat kami bisa menghemat air. Buktinya, botol air saya masih penuh saat nanti kembali ke Pos 5. Meski cantigi enak rasanya, jika terlalu banyak dimakan, ia bisa membuat gigi dan bibir yang memakannya berwarna biru. Kelihatan lucu sekali.
Setelah setengah jam berjalan, kami pun tiba di kawah Gunung Gamkonora. Di sinilah pemandangan yang paling indah
dan menakjubkan di Gunung Gamkonora. Area kawah ini cukup lebar. Kira-kira seluas dua lapangan sepak
bola. Di kiri dan kanannya kawah ini diapit dua tebing batu yang menjulang ke langit di utara dan
selatan. Di sana, pada tebing sebelah utara, berada puncak Gunung Gamkonora.
Kawah ini terbentuk oleh
aktivitas vulkanik gunung Gamkonora selama ribuan tahun dan masih aktif hingga
sekarang. Makanya sebagai langkah antisipasi, para pendaki dilarang mendirikan
tenda di kawasan ini. 1,5 kilometer dari kawah adalah area berbahaya kata salah
seorang petugas pengamat gunung api. Kendatipun begitu, tak sedikit
pendaki yang tidak menggubrisnya dengan tetap mendirikan tenda di area kawah. Iya, pemandangan alam di situ memang mempesonakan
mata.
Saat tiba di sana, cuaca sedang cerah-cerahnya. Terik dari matahari menaikkan suhu udara di sekitar. Saya bersyukur, tiupan
angin sejuk dan sesekali arakan kabut yang datang susul-menyusul sangat
menyejukkan tubuh. Tenda di mana Opik dan Jirhan berada semalam masih berada di situ. Saya
tidak menghampiri para pendaki di tenda itu.
Kami mengambil gambar cukup
banyak di bibir kawah. Dan Inul pun akhirnya tiba. Melihat kawah itu ia sangat
bersemangat. Dia merekamnya dengan HP-nya. Inul mengajak kami mendaki ke
puncak. Tadinya saya tidak berencana kesana. Soalnya sudah pernah. Dwi juga
tidak. Tetapi untuk menemaninya, saya loloskan saja permintaannya itu. Saya
yakinkan Dwi untuk mendaki lagi dan ternyata dia mau.
Butuh waktu 30 menit untuk
sampai ke puncak. Jalur yang ditempuh sangat miring dan berbatu. Di tengah
perjalanan, Jirhan yang tadinya sudah bangun mulai menyusul. Dia berjalan makin mendekati kami. Tadinya terlihat di kejauhan di bawah sana seperti semut, Jirhan kini berhasil menyusul kami dan sekarang berada tepat di belakang. Dia sangat
antusias dengan pendakian ini karena ini adalah pendakiannya yang pertama kalinya di Gunung
Gamkonora. Sebagai orang Gamkonora ia merasa bangga bisa sampai sejauh ini. Inul dan Jirhan sangat penasaran apakah yang ada di puncak Gunung Gamkonora. Mereka kini berjalan lebih cepat untuk mencapainya, padahal Inul di awal pendakian hari ini masih terlihat sangat capek.
Saya dan Dwi bisa berhasil menyusul mereka
yang sekarang sedang berdiri di salah satu puncak. Di situ terdapat beberapa tiang antena. Mungkin difungsikan untuk memantau aktivitas Gunung Gamkonora. Di situ kami
kembali mengambil gambar. Dari sini kawah api gunung Gamkonora terlihat cukup jelas. Tenda pendaki di bawah sana seperti butiran debu, hampir tak kelihatan.
Saya menyuruh Inul dan
Jirhan lanjut berjalan menuju puncak yang masih puluhan meter lagi. Dwi yang
kelelahan saya temani di tempat itu.
Jam 2 siang kami sudah turun
kembali ke tempat semula di dekat kawah. Hampir jam 15.00, ketika tiba lagi di Pos
5. Inul, Jirhan dan Opik yang sudah sampai duluan sedang asyik memasak. Siang itu kami
makan nasi ditemani ayam goreng. Stok air saat itu sudah sangat menipis, jadi saya minum air sedikit sekali.
Tidak lama setelah mengemas tenda dan perlengkapan, jam 16.00, kami pun mulai siap-siap untuk menuruni gunung. Waktu itu di Pos 5 mulai dipadati para pendaki yang kemarin sore kami temui di pos pengamatan gunung. Mereka sedang melepas lelah. Saya pamit kepada salah satu pemimpin rombongan mereka dan mengikuti langkah Dwi dari belakang.
Mengalami Kelangkaan Air
Dalam perjalanan turun, saya
dan Dwi hanya tinggal punya sebotol air minum. Botol ukuran 300 ml. Parahnya, Inul,
Jirhan dan Opik tidak punya air setetes pun. Llangkah kaki mereka semakin cepat.
Dalam setiap kesempatan beristirahat saya selalu menawarkan mereka minum. Dan
selalu saja mereka tolak. Belati yang saya pinjamkan kepada mereka belum banyak
bisa membantu.
Setelah melewati Pos 3 pada
vegetasi di sekitar saya melihat berdiri beberapa pohon bambu. Kesempatan itu
tidak disia-siakan oleh ketiganya. Ruas-ruas bambu tua yang sudah roboh menyimpan cukup banyak air. Inul, dan kawan-kawan mulai menyayat batang bambu yang mereka temukan di jalan dan mulai melepas dahaga masing-masing. Saya sempat menyedot satu ruas bambu bekas mereka yang masih dipenuhi air. Tak lama berjalan saya melihat beberapa batang bambu penuh sayatan berserakan
di pinggir jalur. Urusan
dahaga di gunung sangat mendesak dan tak bisa ditawar-tawar.
Tiba-tiba bunyi desau dari
atas di dedaunan serentak mengalihkan perhatian saya. Dan lantas hujan
tiba-tiba saja turun. Cukup deras. Saya sempat kebasahan sebelum berhasil mengenakan ponco. Antara
bersyukur atau kesal, keadaan itu saya manfaatkan untuk menegadahkan gelas
plastik ke arah langit. Air hujan yang tertampung di dalamnya cukup untuk
menunda datangnya rasa haus. Hujan sebagai rezeki dari Allah swt secara
langsung saya rasakan manfaatnya saat itu juga. Masya Allah.
Pendakian Selesai
Makin lama berjalan, suasana
hutan makin gelap. Terdengar suara adzan Maghrib sayup-sayup dari kejauhan. Dengan
keadaan basah perjalanan tetap diteruskan. Kami pun sampai di perkebunan warga.
Perjalanan kami kini makin dekat ujungnya, tetapi kami dituntut harus lebih bersabar. Keadaan yang seperti ini
biasanya menggoda pendaki untuk mempercepat langkah dan beresiko terantuk batu maupun akar. Saya berjalan seperti
biasa dengan langkah-langkah pendek. Menyesuaikan dengan langkah Dwi yang sangat hati-hati. Dia tdak ingin terpeleset. Soalnya ia pernah mengalaminya dan berujung cidera. Tak mudah untuk menapak langkah di atas tanah yang masih basah. Apalagi dengan medan
menurun seperti ini.
Mendekati desa Gamsungi, HP saya mulai sering berdering. Kaka Jalil saya lihat berulang kali melakukan panggilan telepon. Sebenarnya ia hanya ingin memastikan posisi keberadaan kami untuk mengatur waktu tiba mobil jemputan.
Kemarin malam katanya pecah tawuran antara pemuda Desa Gamkonora dengan Desa Tobelos. Sedangkan mobil kami waktu itu diparkir di rumah Kaka Warman di Desa Gamkonora. Syukurlah tidak terjadi apa-apa.
Tak lama kemudian Kaka Jalil
kembali menghubungi saya. Di ujung telepon dia mengatakan mobil yang
dikemudikan Kaka Warman sudah menunggu kami di depan jalur pendakian. Saya bilang padanya bahwa kami sudah semakin dekat.
Inul yang
sudah jauh berjalan di depan menelepon saya. Saya pikir dia sudah sampai di jalan raya.
Rupanya mereka bertiga menunggu kami di suatu tempat. Kami akhirnya bertemu dan kembali berjalan
bersama. Satu kilometer berjalan, pijar lampu pos pengamatan gunung sudah terlihat. Dari sini saya bisa melihat mobil Avanza merah terparkir di depannya.
Weda, 15 Mei 2023
Komentar
Posting Komentar