MENDAKI GUNUNG GAMKONORA LAGI
Senin siang, hari ketiga Idul Fitri 1444 H, saya, isteri saya Sri, Inul dan Kaka Nyinga tiba di pelabuhan Jailolo. Kami hari itu akan mendaki Gunung Gamkonora. Ya gunung tertinggi di kabupaten Halmahera Barat itu sekaligus tempat di mana kampung bapak, desa Gamkonora, berada.
Waktu saya dan Sri yang
terbatas itulah yang membuat pendakian ini langsung dimulai hari itu juga. Perkiraan
saya, jam 3 sore kami sudah mulai mendaki.
Kebetulan sekali di dalam speedboat dari Ternate yang saya
tumpangi, saya ketemu Fadri. Masih saudara dengan saya. Ia teman adik saya
Iping dan sama-sama bertugas di Polres Halmahera Barat. Rencananya ketika
sampai di Jailolo, saya hendak meminjam mobil Iping untuk menuju ke Desa
Talaga, desa dimana kami akan bertolak menuju jalur pendakian. Fadri waktu itu menawarkan
untuk mengambil mobil itu sekaligus mengemudikannya sampai ke tujuan. Saya
mengiyakan saja.
Kami tiba di desa Talaga
sekira jam 3. Dan rencana awal mendaki pada jam 3 buyar sudah. Kami mengemas logistik
di rumah Kaka Mica, kaka sepupu saya. Anaknya Opik, dan keponakannya, Jirhan, akan
ikut pendakian kami. Tujuan Kakak Nyinga hanya silaturahmi ke desa Talaga
jadinya dia tidak ikut. Kaka Jalil, suami Kaka Mica berpesan untuk
berhati-hati. Jadilah tim pendakian kami lima orang.
Menuju jalur pendakian, kami
diantar Kaka Warman suami sepupu saya Kaka Jana. Jam 4.30, kami tiba di depan
jalur pendakian di depan Pos Pengamatan Gunung Gamkonora di desa Gamsungi. Tampak
sudah banyak kendaraaan roda dua terparkir di depannya. Tampaknya sudah ada
rombongan pendakian selain kami.
Titik awal pendakian Gunung
Gamokonora dimulai pada ketinggian kurang lebih 10 meter di atas permukaan air
laut (mdpl). Adapun puncak gunung stratovolcano ini 1571 mdpl. Jadi, kami akan
menanjak vertikal 1500 meter. Dengan waktu tempuh, kira-kira lima jam. Nah,
tapi itu berdasarkan pengalaman saya pada 2019 ya. Dengan kondisi fisik masing-masing
anggota tim sangat fit dan seluruhnya laki-laki.
Jam 4.55 kami pun memulai
pendakian. Sebagai anak kampung sini (akamsi), Opik berjalan di depan sebagai leader. Jirhan dan Sri, jalan di tengah di
depan saya. Sedang Inul jalan di belakang sebagai sweeper.
Tiga puluh menit berjalan,
saya lihat ada yang aneh dengan Inul. Oh iya, ini pertama kalinya, kami berdua
mendaki bersama. Terlihat langkahnya sangat lambat. Dan selalu ketinggalan jauh
di belakang. Aneh. Pahadal Inul sudah pengalaman mendaki gunung-gunung tinggi
di Jawa.
Eh, benar saja. Dia ada
masalah. Tubuhnya kurang fit. Dia mengaku baru tidur jam 4 pagi dan bangun jam
7 sebelum kami ke Jailolo. “Kita pe badan
terasa seperti kena demam.” Namun begitu, Inul tak mau mundur. Tekadnya sudah
bulat untuk tiba di puncak Gamkonora. Dia tetap maju terus.
Waktu itu, jalur awal
pendakian gunung Gamkonora belum terlalu menanjak. Saya masih bisa menikmati
vegetasi alam di sekitar jalur. Kendati berat keril yang saya pikul lebih berat
dari biasanya, saya merasa tidak ada masalah.
Saya lihat Sri tidak
kesulitan berjalan. Dia tidak membawa
beban apapun kecuali tas selempang kesayangannya itu. Sri baru pertama kali
mendaki gunung, jadi belum memikul tas keril dulu. Apalagi berat kerilnya itu
sudah hampir mencapai 10 kilogram. Kasihan dia. Jadi saya minta tolong kepada Jirhan
untuk membawanya.
Satu jam di jalur pendakian,
matahari mulai menggelincir ke ufuk barat. Berjalan di bawah rerimbunan kebun
pohon pala, tanpa terasa jarak pandangan mulai memendek. Selimut kegelapan
pelan-pelan turun dan menutupi jalur pendakian. Dan malam pun tiba.
Tak lama dari situ,
sayup-sayup terdengar suara adzan maghrib. Sempat terlintas di alam pikiran
untuk shalat di situ. Waktu itu kami sedang duduk-duduk melepas lelah. Bidang
tanah di tempat itu cukup miring sehingga tak memungkinkan untuk dipakai
shalat. Kata Opik, tak jauh dari situ ada tempat bagus untuk shalat.
Usai shalat, perjalanan kembali
dilanjutkan. Saya minta Opik memperlambat langkahnya. Saya ingin setiap orang
jalan tidak berjauhan. Suhu di sekitar jalur semakin dingin. Suara jangkrik dan
hewan nokturnal saling bersahutan.
Sorot cahaya headlamp membelah jalur di depan. Bayang-bayang
Sri terbentuk oleh sorotan itu. Sorot headlamp
miliknya tidak stabil. Mati nyala. Maklum,
headlamp lama. Jadi gerak langkahnya tergantung sorot cahaya dari belakang.
Dia berjalan lambat tetapi mantap. Tak ada hambatan berarti kendati itu pertama
kalinya dia mendaki malam.
Suara Pohon yang Ditebang
Sekira jam 10, Inul, Jir dan
Opik yang berjalan di depan menghentikan langkah. Tas keril diturunkan, mereka
memutuskan beristirahat di suatu tempat yang lumayan datar. Wajah mereka tampak
kepayahan. Itu pangkal persoalannya. Sri pun ikut berhenti.
Saat menghampiri mereka, Inul
menengadah kepada saya. Ia mengeluhkan
perutnya yang lapar. Saya sendiri juga sudah merasakannya sejak tadi. Jadi, sudah
diputuskan, kami akan memasak dan makan malam di tempat itu.
Saya mulai mengeluarkan
perlengkapan memasak; nesting, kompor dan gas canister. Sri mengeluarkan
supermie, telur dan kol. Opik dan Jir istirahat di bawah naungan sebuah pohon.
Agak remang-remang di situ karena cahaya lampu tidak mencapai mereka.
Tak butuh waktu lama mie
rebus sudah masak dan siap disantap. Piring berisi mie diedarkan dari tangan ke
tangan. Alhamdulillah, di bawah suhu
pegunungan yang dingin, perut kami terisi dengan hidangan lezat. Iya, tidak
sama dengan di bawah, makan mie di gunung itu memang istimewa.
Malam itu suasana tempat
kami makan malam biasa saja. Sahutan hewan nokturnal tidak mau berhenti
berlomba. Tetapi itu tidak berlaku bagi Opik. Ia mendengarkan sesuatu yang tak
saya dengar sama sekali. Pengakuannya, di saat turun nanti cukup aneh.
Pada malam itu, Opik mengaku
mendengar sesuatu. Ada suara tebangan kayu. Opik kebingungan, karena malam itu
cukup gelap. Tak ada pijar cahaya di sekitar kami selain dari lampu senter
rombongan kami. Tak mungkin ada manusia yang melakukan pekerjaan itu. Berasal
dari manakah suara itu? Dan siapakah orang yang melakukannya di tengah hutan yang
gelap gulita? Opik tidak menjelaskannya lebih lanjut. Dia hanya mendengarkan
tanpa pernah melihat sosok si penebang pohon itu.
Sejak melewati Pos 4, jalur
pendakian mulai makin menanjak. Lama-kelamaan vegetasi hutan mulai berubah.
Kami mulai memasuki hutan ilalang yang panjang.
Sepanjang jalur pendakian yang
membelah hutan ilalang itu dipenuhi lubang yang memanjang sepanjang jalur. Soal
kedalamannya beragam, mulai dari semata kaki sampai sedalam pinggang pria
dewasa. Pria dewasa itu asumsinya seperti saya dengan tinggi 183 cm. Waspada
agar tidak terperosok ke dalamnya, kami diangkat memperlambat langkah. Kami
lebih banyak berhenti dari pada konsisten untuk melangkah. Sekedar untuk
mengatur irama napas. Makin ke atas, jalur itu makin ganas. Syukurlah, Sri diam
saja tidak mengeluh sedikit pun. Ia melangkah dengan sangat hati-hati, dan dia
berhasil.
Kira-kira waktu 40 menit waktu kami habiskan menyusuri
hutan ilalang itu. Sejak memasuki hutan ilalang saya semakin semangat saja. Para
pendaki umumnya tahu benar, bawah hutan ilalang itu menandakan puncak sudah tak
jauh lagi. Dan tentu saja Pos 5 sudah dekat.
Lewat jam 12 malam kami sampai di Pos 5. Tempat itu cukup rata dan
melebar. Tetapi dipenuhi kerikil dan kontur tanahnya yang berbatu. Tak menunggu
waktu lama, dua tenda kami pun sudah siap berdiri. Vegetasi ilalang di sini
cukup tinggi. Cukup untuk melindungi tenda kami dari terpaan angin gunung yang
dingin.
Sembari memasukkan seluruh
barang dan perlengkapan ke dalam tenda, Opik dan Jirhan permisi hendak mencari
air di dekat puncak. Saya mengingatkan mereka untuk berhati-hati. Malam itu, saya
sudah lelah dan mengantuk, begitu pun Sri. Setelah membersihkan diri, kami pun beristirahat.
Di mana Jirhan dan Opik?
Suhu malam hari di Gamkonora
memang dingin. Rasanya lebih dingin dari Gamalama. Sleeping bag yang tadinya cuma jadi alas kepala kembali ke
peruntukannya semula. Saya membungkus Sri dengan sleeping bag. Kaos tangan saya kenakan. Alhamdulillah, bisa kembali tidur dengan nyenyak.
Mega sudah terlihat ketika
saya mulai membuka pintu tenda. Gradasi merah kelabu biru di langit menandakan
matahari sudah terbit sejak tadi. Saya terkejut melihat pintu tenda Inul, Jir
dan Opik masih terbuka. Inul yang tidur terbungkus sleeping bag terlihat masih tenggelam di alam mimpi. Saya langsung
menyimpulkan: Opik dan Jir tidak kembali
sejak semalam. Di mana mereka? Mengapa belum kembali? Apakah mereka baik-baik
saja? Berlusin pertanyaan demi pertanyaan susul-menyusul menyergap pikiran saya.
Tiba-tiba pikiran saya
berkecamuk saja. Rasa khawatir dan takut bercampur tak karuan. Imajinasi saya
melalang buana entah kemana. Saya tidak mau pendakian ini meninggalkan kenangan
buruk. Jadinya, saya berpikir ingin segera bergegas mencari mereka. Tetapi
reaksi itu berhasil saya tunda untuk sementara. Saya berusaha memanggil pikiran
positif. Seketika muncul harapan bahwa dua anak itu pasti baik-baik saja.
Mungkin mereka tertidur di tenda rombongan pendaki di telaga.
Saya dan Sri segera menunaikan
shalat subuh. Lalu mulai memasak. Stok air yang makin menipis tidak
memungkinkan untuk memasak nasi. Jadinya kami masih memasak mie rebus lagi.
Tak lama kemudian, dari
kejauhan saya mendengar gemerisik di tengah-tengah hutan ilalang tak jauh dari tenda
kami. Saya menyongsong suara itu dengan berjalan menyusuri jalur pendakian ke arah
suara itu berasal. Beberapa saat kemudian, dari jauh, terlihat siluet dua sosok
pendaki. Tak lain itu adalah Jir dan Opik. Alhamdulillah,
mereka sudah kembali. Mereka kelihatan baik-baik saja. Sebaik terakhir mereka terlihat
tadi malam.
Sumber air kata Opik sedang
kering. Telaga di puncak tidak menyisakan air sedikitpun. Ditanya mengapa tidak
balik ke tenda, mereka menjawab singgah lama di tenda pendaki yang didirikan di
sekitar telaga. Mereka duduk di situ asyik tenggelam dalam obrolan tiada ujung,
sampai pagi tiba.
Tiba di Puncak
Setelah sarapan, jam 9 pagi,
kami mulai berjalan. Cuma bertiga: saya, Sri dan Inul. Jirhan dan Opik sudah
terlelap di dalam tenda. Kasihan mereka terjaga semalaman.
Vegetasi jalur pendakian
yang dipenuhi ilalang kami lewati tak lama berubah terbuka. Sekarang sepanjang
jalur pendakian cuma batu, pasir dan tanah. Medan jalur sudah tak terlalu
menanjak. Kami berjalan santai dengan mengambil
langkah-langkah pendek. Pemandangan alam dari sini tak bisa dilukiskan dengan
kata-kata. Menakjubkan. Lereng gunung Gamkonora masih seindah dulu. Celah-celah
yang melekuk di sekujurnya membentuk bentang alam yang memukau mata.
Inul, masih sama dengan
kemarin, berjalan lambat dan sering berhenti untuk mengumpulkan tenaga. Keadaannya
belum benar-benar pulih kendati sudah tidur semalam penuh. Saya dan Sri
melambatkan langkah untuk mengimbanginya.
Di sepanjang jalur pendakian
Gunung Gamkonora, keluar Pos 5 sampai ke puncak dipenuhi tanaman beri (vaccinium ovatum). Sejauh pengetahuan
saya, di Maluku Utara, buah ini hanya ada di Gunung Gamkonora. Kali ini,
mungkin sedang musim berbuah jadilah saya bebas mengambil dan memakannya. Buah
ini berwarna merah dan berubah hitam jika sudah matang. Bentuknya bulat,
ukurannya kecil seperti mutiara dan rasanya manis. Beri ini mengandung banyak air,
sehingga membuat kami menghemat air. Botol
air saya masih penuh saat kembali ke Pos 5. Meski beri enak rasanya, jika
terlalu banyak makan, ia membuat gigi dan bibir pemakannya berwarna biru.
Setengah jam kemudian kami
tiba di kawah gunung Gamkonora. Disinilah bagian pemandangan yang paling indah
dan menakjubkan. Area kawah ini cukup lebar. Kira-kira seluas dua lapangan sepak
bola. Kawah ini diapit dua tebing batu yang menjulang ke langit di utara dan
selatan. Di sana, pada tebing sebelah utara, berada puncak Gamkonora.
Kawah ini terbentuk oleh
aktivitas vulkanik gunung Gamkonora selama ribuan tahun dan masih aktif hingga
sekarang. Makanya sebagai langkah antisipasi, para pendaki dilarang mendirikan
tenda di kawasan ini. 1,5 kilometer dari kawah adalah area berbahaya kata salah
seorang petugas pengamat gunung api disana. Kendatipun begitu, tak sedikit
pendaki tidak menggubrisnya. Iya, pemandangan alam di situ memang mempesonakan
mata.
Saat tiba di sana, cuaca
cerah sekali. Terik matahari menaikkan suhu di sekitar. Saya bersyukur, tiupan
angin sejuk dan sesekali arak kabut yang datang susul-menyusul melewati kami, sangat
menyejukkan tubuh. Tenda tempat Opik dan Jirhan bermalam masih berada di situ. Saya
tidak menghampiri para pendaki itu.
Kami mengambil gambar cukup
banyak di bibir kawah. Inul pun akhirnya tiba. Melihat kawah itu ia sangat
bersemangat. Dia merekamnya dengan HP-nya. Inul mengajak kami mendaki ke
puncak. Tadinya saya tidak berencana kesana. Soalnya sudah pernah. Sri juga
tidak. Tetapi untuk menemani mereka, saya loloskan saja permintaannya itu. Saya
yakinkan Sri untuk mendaki lagi dan dia mau.
Butuh waktu 30 menit untuk
sampai ke sana. Jalur yang ditempuh sangat miring dan berbatu. Di tengah
perjalanan, Jirhan yang tadinya terlihat di kejauhan di bawah sana terlihat
seperti semut berhasil menyusul dan sekarang berada di belakang. Dia sangat
antuasias dengan pendakian ini karena inilah pendakian pertamanya di gunung
Gamkonora. Inul dan Jirhan sangat penasaran apa yang ada di puncak sana. Mereka
berjalan cukup cepat, padahal Inul di awal pendakian tadi terlihat sangat payah.
Saya dan Sri bisa menyusul mereka
yang sekarang sedang berdiri di salah satu puncak. Di situ terdapat beberapa
antena. Mungkin difungsikan untuk memantau aktivitas gunung Gamkonora. Kami
kembali mengambil gambar. Dari sini kawah api gunung Gamkonora dapat terlihat
jelas. Tenda pendaki di bawah sana seperti butiran debu, hampir tak kelihatan.
Saya menyuruh Inul dan
Jirhan lanjut berjalan menuju puncak yang masih puluhan meter lagi. Sri yang
kelelahan saya temani di tempat itu.
Jam 2 siang kami sudah turun
kembali di tempat semula di dekat kawah. Hampir jam 3 sore, ketika tiba di Pos
5, Inul Jirhan dan Opik yang sudah sampai duluan sedang memasak. Siang itu kami
makan nasi ditemani ayam goreng. Stok air sudah menipis, jadi saya minum
sedikit saja.
Tidak lama setelah mengemas
tenda dan perlengkapan, hampir jam 4 sore, kami pun mulai siap-siap untuk
turun. Waktu itu di Pos 5 mulai dipadati para pendaki yang melepas lelah. Saya
pamit kepada mereka dan mengikuti langkah kaki Sri yang berjalan turun.
Krisis Air
Dalam perjalanan turun, saya
dan Sri hanya tinggal punya sebotol air. Botol ukuran 300 ml. Parahnya, Inul,
Jir dan Opik tak punya setetes pun. Tidak heran langkah kaki mereka dipercepat.
Dalam setiap kesempatan beristirahat saya selalu menawarkan mereka minum. Dan
selalu saja mereka tolak. Belati yang saya pinjamkan kepada mereka belum banyak
bisa membantu.
Setelah melewati Pos 3 pada
vegetasi di sekitar saya melihat berdiri beberapa pohon bambu. Kesempatan itu
tidak disia-siakan oleh mereka. Ruas-ruas bambu tua yang sudah roboh ternyata
menyimpan cukup banyak air. Saya sempat menyedot satu ruas bambu yang dipenuhi
dengan air. Tak lama berjalan saya melihat beberapa batang bambu penuh sayatan berserakan
di pinggir jalur. Saya pikir mungkin ini ulah Inul dan kawan-kawan. Urusan
dahaga di gunung sangat mendesak dan tak bisa ditawar-tawar.
Tiba-tiba bunyi desau dari
atas di dedaunan serentak mengalihkan perhatian saya. Dan lantas hujan
tiba-tiba saja turun. Cukup deras. Saya sempat kena sebelum berhasil mengenakan ponco. Antara
bersyukur atau kesal, keadaan itu saya manfaatkan untuk menegadahkan gelas
plastik ke arah langit. Air hujan yang tertampung di dalamnya cukup untuk
menunda datangnya rasa haus. Hujan sebagai rezeki dari Allah swt secara
langsung saya rasakan saat itu juga. Alhamdulillah.
Pendakian Selesai
Makin lama berjalan, suasana
hutan makin gelap. Terdengar suara adzan sayup-sayup dari kejauhan. Dengan
keadaan basah perjalanan tetap diteruskan. Kami pun sampai di perkebunan warga.
Perjalanan kini makin dekat, tetapi harus lebih bersabar. Keadaan seperti ini
biasanya menggoda pendaki untuk mempercepat langkah. Saya berjalan seperti
biasa dengan langkah-langkah pendek. Menyesuaikan dengan langkah Sri yang penuh
waspada. Dia takut terpleset. Soalnya dia pernah terpeleset dan mengalami
cedera. Tak mudah untuk menapak di tanah yang masih basah, apalagi dengan medan
menurun seperti itu.
Mendekati desa Gamsungi, HP
saya mulai sering berdering. Kaka Jalil paling banyak melakukan panggilan. Dia ingin
memastikan keberadaan kami untuk mengatur mobil jemputan. Kemarin malam katanya
pecah tawuran antara pemuda desa Gamkonora dengan desa Tobelos. Sedangkan mobil
kami diparkir di rumah Kaka Warman di desa Gamkonora. Tak lama Kaka Jalil
kembali menghubungi saya. Di ujung telepon dia mengatakan mobil yang
dikemudikan Kaka Warman sudah menunggu di depan jalur pendakian. Saya bilang
kami sudah dekat.
Inul dan kawan-kawan yang
sudah jauh di depan, menelepon saya. Saya pikir dia sudah sampai di jalan raya.
Rupanya mereka menunggu kami di suatu tempat. Kami pun bertemu dan kembali berjalan
bersama. Satu kilometer berjalan, pijar lampu pos sudah terlihat. Mobil Iping yang
terparkir di depannya juga.
Weda, 15 Mei 2023
Komentar
Posting Komentar