TIGA HARI MENDAKI GUNUNG SIBELA
Gunung Sibela merupakan gunung tertinggi di Maluku Utara yang berstatus cagar alam. Mungkin hanya gunung ini saja memperoleh status tersebut di Maluku Utara. Terletak di Pulau Bacan Kabupaten Halmahera Selatan, Gunung Sibela menjadi rumah dari beragam flora dan fauna endemik yang dilindungi.
Dari Kota Labuha, ibu kota Kabupaten Halmahera Selatan,
para pendaki yang ingin mendaki gunung dengan tinggi 2118 mdpl ini mesti pergi
ke Desa Gandasuli, kecamatan Bacan Selatan. Waktu tempuh ke desa itu lima belas
menit. Dari sini lah jalur pendakian ke puncak Gunung Sibela berada.
Tanggal 9 Maret dari Ternate saya pergi ke Bacan seorang diri. Menumpang kapal Obi Permai yang berangkat jam 21.30. Saya tiba di Pelabuhan Kupal jam 5.30 pagi. Tiba di Desa Gandasuli saya bertemu dengan Ipul setelah sebelumnya hanya sempat kontak via WhatsApp. Rencananya Ipul akan menemani saya mendaki.
Saya bertemu di Ipul di sekretariat Kompas. Kompas adalah
sebuah komunitas untuk konservasi Gunung Sibela. Tadinya saya mengira Ipul itu
mahasiswa atau pemuda setempat, ternyata ia masih pelajar SMA. Pendakian hari itu
bertabrakan dengan jadwal ujian semesternya di sekolah. Karena itu Ipul tak
bisa mengantar saya.
Ipul digantikan dua orang temannya: Jimi dan Ladu. Jimi
adalah juniornya di sekolah sedangkan Ladu adalah Angkatan Corona yang tamat
tahun lalu.
Kata Ipul, Pendakian normal ke puncak Gunung Sibela biasanya
ditempuh dalam tiga hari. Dua hari penjalanan naik, satu hari perjalanan turun.
Pos 2 selalu menjadi tempat camp ideal karena medannya cukup rata dan terdapat
sumber air bersih. Baru lah di hari kedua pendakian dilanjutkan ke puncak.
Kondisi cuaca pagi itu sangat cerah. Saya bersyukur dalam
beberapa hari cuaca Maluku Utara yang tadinya hujan badai segera berubah dengan
cepat. Padahal, tadinya Ipul hendak mempertimbangkan pembatalan pendakian kami.
Itu belum lagi dengan kondisi Bacan yang satu minggu sebelumnya ditimpa gempa
bumi. Syukurlah bencana itu cepat berlalu.
Usai mengemas perlengkapan dan logistik, pendakian pun dimulai.
Perjalanan ke gunung langsung dimulai dari sekretariat Kompas. Itu artinya
titik start kami tak lebih dari 10 mdpl. Mungkin inilah sebabnya perjalanan ke
puncak memakan waktu dua hari.
Rombongan kami membawa dua tas carrier dan satu tenda kapasitas empat orang. Carrier 80 liter dibawa oleh Ladu yang bertindak sebagai sweeper. Saya membawa tas 60 liter. Jimi
membawa jerigen lima liter untuk nantinya diisi di sumber air. Karena di Gunung
Sibela terdapat banyak sumber air, kami hanya membawa tiga liter air.
Bertindak sebagai leader
rombongan, Jimi memimpin kami menyusuri jalanan desa lalu memasuki kebun kelapa
yang cukup luas. Terik matahari pagi mulai membakar tubuh kami. Panasnya belum seberapa
apalagi bayang-bayang pohon kelapa yang cukup lebat menaungi kami.
Jalur landai yang kami nikmati selama setengah jam perlahan
mulai berubah menjadi tanjakan. Di situ topografi hutan berangsur berubah dan mulai
ditumbuhi banyak pohon cengkih. Tanjakan itu cukup curam dan panjang. Langkah
kaki terasa mulai berat dan napas berubah ngos-ngosan. Saat memanjat tanjakan
itu rasanya dengkul saya ketemu dagu. Panjang tanjakan itu mungkin seratus
meter. Cukup menguras tenaga. Jimi bilang pendaki di sini menamai tanjakan itu:
Tanjakan Cinta Pertama. Memang terdengar romantis bagi para muda-mudi yang
tengah dimabuk asmara. Tetapi bagi pendaki amatiran seperti saya, tanjakan itu
lebih mirip ucapan selamat datang dari Gunung Sibela.
Memanjat tanjakan itu membuat saya kecapaian dan ingin
istirahat lebih cepat. Kebetulan perjalanan kami sudah memasuki menit tiga
puluh. “Jimi tong istirahat dulu,”
kata saya kepada Jimi yang sedang duduk beberapa meter di depan.
Dari tanjakan itu, saya bisa melihat hamparan kebun
kelapa yang tadinya kami lewati sudah berada di bawah kaki. Tinggi juga
tanjakan ini. Atap-atap rumah warga Desa
Gandasuli masih terlihat dari sini.
Topografi di sepanjang jalur pendakian Gunung Sibela
tidak selalu menanjak. Cukup banyak jalur landai dan menurun. Mirip sekali
dengan topografi jalur Gunung Dukono. Hal ini cukup memanjakan kaki dan membuat
saya dapat mengatur napas dengan baik.
Ekosistem Gunung Sibela bagi saya lebih perawan dibandingkan
gunung-gunung yang pernah saya kunjungi. Mungkin mirip dengan Gunung Kie Matubu
jalur Ladaake. Vegetasi di sepanjang jalur pendakian cukup rapat dan lebat.
Dari Pos 1 hingga ke Pos 7, banyak ditumbuhi tanaman berduri. Bagi para pendaki
yang suka menggunakan celana pendek sangat tidak disarankan di sini. Menggunakan
sarung tangan sangat bermanfaat di sini.
Perjalanan pagi itu berlanjut lagi, tetapi kami masih
belum memasuki pintu rimba. Tak lama berjalan, Jimi memutuskan beristirahat di
bawah kolong sebuah rumah kebun. Rumah itu tampak tidak terawat karena hanya
digunakan ketika tiba musim panen cengkih. Tak lama setelah kembali berjalan,
pintu rimba mulai terlihat.
Setelah kurang lebih satu jam berjalan, kami tiba di Pos
1. Sebelum istirahat, kami berfoto-foto dulu. Berfoto sudah menjadi sebuah
kewajiban pendaki di gunung di samping mengisi perut dan tidur. Di zaman yang
serba canggih ini, mengabadikan momen-momen penting di gunung sudah menjadi
kebutuhan pokok. Apalagi sekarang, tidak perlu lagi membawa kamera SLR atau DSLR yang
berat. Kamera Smartphone sudah cukup.
Di Pos 2 terdapat sumber air berupa kali kecil. Air di
situ sangat jernih. Botol yang sudah mulai kosong diisi kembali oleh Ladu. Saya
menciduk air di situ dengan gelas. Tiga gelas air saya tenggak dengan lahap. Rasanya sama saja dengan air mineral yang saya beli di
toko: segar.
Tidak terasa sudah enam jam kami berjalan. Di Pos 2 biasanya digunakan untuk tempat kamping. Tetapi saat itu baru menjelang sore. Saya minta Jimi agar perjalanan diteruskan hingga Pos 5. Sepertinya kami akan sampai di sana sebelum malam.
Di sela-sela istirahat, saya sering mendengar suara
monyet. Hewan ini adalah satwa endemik di Pulau Bacan. Bahkan mungkin satu-satunya
di Maluku Utara. Beberapa kali saya melihat mereka beraksi dari sela-sela dahan
pepohonan. Satu atau dua kali saya lihat terjadi insiden perkelahian di antara
mereka. Pemandangan seperti itu belum pernah saya saksikan sebelumnya kecuali
dari TV atau Youtube. Saya bersyukur, sekarang bisa melihatnya secara langsung.
Melihat aksi monyet-monyet itu seketika rasa capai pergi tanpa permisi.
Suara burung-burung paling sering terdengar di sekitar
jalur pendakian. Terutama burung nuri. Sejak Pos 1 sampai Pos 6, suara burung
paruh bengkok ini sangat mudah didengar di beberapa titik. Beberapa kali saya
melihat beberapa ekor nuri terbang melintasi pepohonan.
Di hutan, saya juga beberapa kali mendengar suara burung
rangkong. Satwa langka ini saya lihat terbang sendiri di antara batang-batang
pepohonan. Suaranya yang nyaring itu mudah kenali. Suara kepak sayapnya yang
menggelegar tak bisa dilupakan. Sebab selain di Sibela, saya hanya pernah mendengarnya
juga di Gunung Gamkonora.
Di Gunung Sibela hidup burung Bidadari. Sayangnya saya
belum beruntung melihatnya. Mungkin saya pernah mendengar suaranya di antara
suara burung-burung di hutan. Saat perjalanan turun saya sekilas melihat burung
Maleo terbang rendah. Dari mendengar dan melihat keberadaan satwa-satwa
tersebut saya pikir sangat tepat kawasan Gunung Sibela ini dijadikan cagar
alam. Keberadaan flora fauna langka yang hidup di sini harus terus dijaga agar kehidupannya
terhindar dari gangguan manusia.
Jam setengah enam sore kami tiba di areal kamp Pos 5.
Tempat ini terpisah dari Pos 5 dengan jarak sekira seratus meter. Topografi tempat
ini rata dan sangat bagus untuk mendirikan tenda. Setidaknya tiga tenda bisa
didirikan di sini. Sumber air yang cukup dekat dari tempat ini sangat membantu keperluan
memasak. Tak terasa delapan jam pendakian kami lewati di hari pertama ini.
***
Saat sedang bersantai di tempat kamping, Jimi mengatakan bahwa
di tempat ini didiami sejenis jangkrik yang berbunyi aneh. Menjelang waktu
Maghrib, jangkrik itu mulai mengeluarkan suara. Ternyata perkataan Jimi itu tidak
mengada-ada. Saya terkejut ketika mendengar suara jangkrik itu. Suaranya unik,
nyaring, dan menggema seperti suara sirine. Suaranya cukup lama mungkin sepuluh
detik. Suaranya itu tidak seperti suara jangkrik pada umumnya yang khas dan
pendek-pendek. Cukup lama serangga itu bersiul. Mungkin hampir lima belas
menit. Semakin lama saya mendengar suara itu, sepertinya saya makin ragu bahwa
itu suara jangkrik. Jangan-jangan itu suara hewan lain? Atau mungkin makhluk
lain? Sontak, bulu kuduk saya berdiri.
Selain sebagai
leader pendakian ini, Jimi cukup pandai memasak. Terutama memasak nasi.
Untuk urusan nasi menurut saya butuh keahlian khusus. Ya, di hutan memang tak
ada rice cooker. Soalnya, kalau salah
memasak, bisa-bisa nasi yang dihasilkan terasa buruk. Dan nesting yang dipakai
memasak bisa jadi kotor kalau-kalau nasi itu gosong.
Setelah menjerang kopi, kami bertiga duduk melingkar main
domino di dalam tenda. Permainan malam itu cukup kompetitif karena tak ada seorang
pun menjadi juara bertahan.
Hari kedua dimulai dengan sarapan oatmeal. “Saya kurang cocok makan barang ini Bang,” kata Jimi. Ya, bisa
dimaklumi. Awalnya saya juga berpendapat seperti itu. Oatmeal yang saya masak pagi itu memang kekurangan susu. Jadinya kurang
manis. Andaikan ditambahkan pisang atau buah naga, mungkin komentar Jimi akan
berubah.
Jam sepuluh pagi pendakian berlanjut. Satu jam kemudian
kami sudah santai-santai di Pos 6. Terdapat areal terbuka di tempat ini. Pemandangan
di bawah gunung sudah bisa terlihat dari sini andaikan siang itu tak turun
kabut. Saya lihat mulai banyak pohon mati di hutan sekitar Pos 6.
Jalur pendakian dari Pos 6 ke Pos 7 seperti biasa masih rapat. Di tempat ini banyak dijumpai pohon-pohon yang dipenuhi lumut. Tak lama medan jalur pendakian berubah sangat menanjak. Kata Jimi, inilah tanjakan paling berat di Gunung Sibela. Mungkin lebih panjang dari Tanjakan Cinta Pertama. Apalagi di pinggir tanjakan langsung dibatasi oleh jurang. Saat memanjat tanjakan itu rasanya lutut seperti ketemu jidat. Cukup melelahkan. Kontur tanah di situ kering dan gembur sehingga cukup licin. Jadi, resiko untuk terpeleset juga cukup tinggi. Mendaki tanjakan ini harus ekstra hati-hati. Untung saja ada beberapa tali webbing yang dipasang melintang di situ. Keberadaannya sangat membantu kami untuk mencapai ujung tanjakan. “Terima kasih kepada mereka yang sudah memasang tali webbing di situ.”
Untuk mencapai Pos 7, beberapa kali kami mesti beristirahat. Jarak kedua pos ternyata cukup jauh. Jalur yang menanjak cukup menguras tenaga kami. Tetapi alhamdulillah, saat mendekati Pos 7 terdapat sumber air. Jerigen yang dibawa Jimi sudah diisi penuh. Juga jerigen lipat yang saya bawa. Kini kami bisa minum air sepuas sampai besok.
Lokasi Pos 7 berada di areal terbuka. Di sekeliling
tempat itu hanya ditumbuhi tanaman paku. Di situ banyak terlihat pohon-pohon
mati yang sudah gosong. Kata Jimi itu bekas kebakaran tahun 2000an. Meski sudah mati, pohon-pohon itu masih kokoh
berdiri. Pohon-pohon itu dapat di jumpai di sepanjang areal puncak. dan menurut
saya menjadi keindahan tersendiri dari puncak
Gunung Sibela.
Plang Pos 7 dipasang menggantung pada akar pohon tumbang.
Di kejauhan saya melihat dinding tebing curam. Di atas tebing itu puncak Gunung
Sibela sudah terlihat. Kota Labuha bisa juga diintip dari tempat ini.
Kurang lebih dua puluh menit berjalan kami berhasil tiba
di puncak Gunung Sibela. Saat menjelang tiba di puncak, sempat turun gerimis dan
kabut. Jimi yang tiba lebih awal tampak berusaha mendirikan flysheet. Saya melihat beberapa pasak
kayu tertancap di tanah. Sepertinya sengaja dipasang untuk mengikat tali tenda.
Kawasan puncak Gunung Sibela tak lama kemudian kembali
cerah. Matahari bersinar terang. Teriknya menghangatkan tubuh kami yang sedari
tadi basah diguyur hujan. Berangsur-angsur dinginnya alam pegunungan mulai
berkurang. Kendati berada di ketinggian 2118 mdpl, panas terik matahari cukup
terasa. Angin sepoi-sepoi yang bertiup dari hutan di kaki puncak mengirimkan
hawa sejuk.
Di tempat itu, perhatian saya tersedot oleh tiang pancang
yang dipenuhi bendera merah putih dan beberapa plang bertuliskan ketinggian
Gunung Sibela. Spot itu sangat menarik apalagi dengan cuaca secerah siang itu.
Kesempatan baik itu tak kami sia-siakan untuk berfoto-foto. Saya sangat bersyukur akhirnya
sampai di puncak Gunung Sibela. Dari sini pemandangan di sekitar puncak Gunung
Sibela sangat indah.
Saya merasa beruntung karena siang itu Sibela tak lagi berkabut.
Kata Jimi kesempatan seperti ini jarang sekali terjadi. Itu memang benar. Dari
banyak foto dan video Gunung Sibela yang saya lihat, hampir semuanya diambil
dalam kondisi berkabut. Saya sangat bersyukur disajikan pemandangan seindah
itu.
Perjalanan menuju puncak yang melelahkan selama kurang
lebih empat jam akhirnya terbayar sudah. Mata kami puas dimanjakan oleh
keindahan pemandangan dataran rendah Pulau Bacan di bawah. Di kejauhan, Kota
Labuha terlihat indah. Ia berdiri tepat di tepi teluk menghadap lautan.
Pemandangan di situ bukan main indahnya karena di depan Labuha berserakan pulau
besar dan kecil. Pulau terbesar adalah Pulau Mandioli. Di kejauhan di selatan,
saya bisa melihat Pulau Bisa yang membiru.
Tak hanya Kota Labuha, dari atas sini juga saya masih
bisa melihat sebagian Kota Babang hingga
ke laut. Seisi kota memang tak terlihat karena terhalang oleh salah satu puncak
di timur. Cuaca di Utara terlihat cerah sehingga puncak Gunung Kie Besi di
Makian dan Pulau Kie Matubu Tidore bisa saya saksikan juga. “Puncak Gunung
Tidore seperti sangkola Bang,” kata Ladu sambil tertawa. Sangkola adalah
makanan tradisional orang Buton pengganti nasi yang terbuat dari parutan singkong
atau sagu. Kelancipan gunung itu memang mirip sangkola. Ladu bercerita mengenang
pendakian mereka sebelumnya di mana
mereka hanya membawa sangkola dan ikan untuk bekal pendakian. Mungkin karena
masalah jarak atau cuaca, Gunung Gamalama tidak terlihat sama sekali.
Di sebelah timur saya melihat Pulau Halmahera yang
panjang. Dari atas sini, daratan itu terlihat lebih jauh jika dilihat dari
Ternate.
Setelah tenda kami dirikan dan acara makan siang ditunaikan,
saya lanjutkan menikmati pemandangan alam. Mendekati Maghrib, Ladu dan Jimi
sibuk menikmati sunset. Saya akui,
pemandangan sunset dari tempat ini indah
sekali. Taburan awan yang berserakan di kaki langit memberikan keunikan tersendiri bagi sunset tersebut. Saya sempat berpikir, mungkin kalau tak ada awan,
keindahan sunset itu akan makin
sempurna.
Pemandangan Sunset dari Puncak Gunung Sibela
Setelah makan malam, saya kembali jalan-jalan di sekitar
puncak. Cuaca malam itu masih secerah sore tadi. Ribuan bintang bertaburan memenuhi
langit malam. Pemandangan Kota Labuha dari atas sini dipenuhi pendaran cahaya
lampu rumah dan jalan. Seperti sekumpulan butiran batu zamrud yang mengerlip di
kegelapan. Oh, saya ternyata lupa mengabadikan momen indah itu dengan kamera smartphone.
***
Puncak Gunung Sibela saat subuh di hari ketiga dipenuhi
kabut. Rencana saya untuk menikmati sunrise
tak kesampaian. Tetapi tak mengapa. Keindahan sunset kemarin sudah lebih dari cukup. Hawa dingin masih
menyelimuti puncak. saya kembali masuk tenda.
Sekitar jam delapan lebih kabut menghilang. Saya terkejut
dengan pemandangan alam yang tersaji di depan mata. Subhanallah. Pemandangan pagi ini melebihi keindahan kemarin sore. Saya
tak bisa menahan diri untuk mengabadikannya.
Saat mencuci peralatan makan di depan tenda, saya melihat
kotoran hewan mirip kambing. Ternyata Itu kotoran rusa. Jimi dan Ladu mengatakan
di puncak inilah habitat mereka.
Usai sarapan, kami pun berkemas. Tepat jam 9.30 kami
meninggalkan areal puncak menuju Gandasuli. Perjalanan menuruni Gunung Sibela
cukup jauh dan melelahkan. Di tengah perjalanan hujan kembali turun. Di Pos 3 kami
makan siang dalam kondisi basah kuyup. Setelah menempuh delapan jam perjalanan,
pada jam setengah enam sore kami akhirnya tiba di sekretariat Kompas.
Weda, 18 Maret 2021
Komentar
Posting Komentar