Gender dan Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga Perspektif Ilmu Keperawatan


Kehendak untuk penyetaraan antara laki-laki dan perempuan (baca: gender) realitanya merupakan fenomena yang kerap terjadi di lingkungan masyarakat, khususnya masyarakat urban dan kosmopolitan di era globalisasi sekarang. Gender seringkali di klaim sebagai bentuk  alternatif untuk  menyelesaikan berbagai macam permasalahan ketidakadilan perlakuan antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat dan oleh masyarakat sebagai subjeknya. Gender dewasa ini tidak saja digunakan sebagai metode untuk menghapus sekat ketidaksetaraan lawan jenis.  Namun, ketidaksetaraan sesama jenis kini menjadi  pembahasan yang alot yang mengatasnamakan gender.

            Ann Oakley (1972) mengartikan gender sebagai atribut yang digunakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan. Gender pada dasarnya timbul dari hasil konstruksi sosial yang tumbuh berkembang di masyarakat atas kebudayaan yang berkembang pada kelompok masyarakat tersebut.  Gender tidak lagi mendefinisikan pendikotomian manusia dengan ciri-ciri fisik dan biologis. Sebaliknya, lebih berorientasi kepada perubahan peran, fungsi, dan tanggung jawap laki-laki dan perempuan. Sejatinya gender bersifat tidak kodrati atau diciptakan oleh manusia dan dapat berubah atau ditukar serta dipengaruhi waktu dan budaya masyarakat yang menciptakannya.

            Di dalam ilmu Kedokteran, laki-laki dan wanita dapat dibedakan dengan karakteristik dan sifat tertentu yang secara kodrati telah dikaruniai oleh Tuhan. Dimana laki-laki mempunyai alat kelamin sekunder seperti testis, sperma. Sedangkan perempuan mempunyai ovarium, vagina, dan secara fisiolofgis dapat menstruasi, hamil serta  melahirkan. Sebaliknya, gender membahas permasalahan yang lebih mengarah kepada pola peran dan dan tanggung jawab keduanya, dimana laki-laki diklaim sebagai kelompok yang maskulin dan penopang penghidupan keluarga. Sehingga laki-laki dan perempuan yang belum mendapatkan pendidikan dalam berumah tangga akan berisiko gagap dan tidak paham sama sekali  terhadap peran, hak dan tanggung jawab mereka di dalam miniatur rumah tangga. Sehingga, yang terjadi adalah pembenaran pribadi sendiri (baca: arogan) atas tindakan dan kebijakannya terhadap anggota keluarga yang lain. 

            Gender sejatinya dicetuskan untuk memperbaiki disharmonisasi yang terjadi antara laki-laki dan perempuan. Bentuk yang makro yakni penindasan laki-laki terhadap wanita dalam berbagai bentuk perlakuan, seperti; paksaan, perampasan dan ancaman yang secara langsung merenggut hak dan kebebasan perempuan. Maka akan menyebabkan timbulnya berbagai macam kerugian kepada perempuan sebagai kelompok tertindas, meliputi; kerugian fisikal, seksual dan emosional yang terjadi pada domain publik maupun domestik.



KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

KDRT tangga pada dasarnya bersumber dari paradigma yang merendahkan status kemanusiaan dan pembakuan serta pembenaran peran gender yang dominan tanpa ilmu yang memadai. KDRT tidak hanya menimpa perempuan yang memiliki peran dan tanggung jawab besar di dalam rumah tangga seperti isteri.  Namun, KDRT juga menimpa suami, anak, pembantu rumah tangga dan siapapun yang hidup di dalam satu entitas keluarga.

            Pada umumnya KDRT menimpa isteri sebagai korban. Menurut hasil penelitian mayoritas kekerasan dilakukan pada  isteri dengan klasifikasi 75,8 % kekerasan domestik, 95,0 % telepon kekerasan domestik dan 95% kekerasan domestik di pengadilan.

Peran isteri di dalam keluarga yang tidak memahami akan peran dirinya seringkali mengalami tindakan diskriminatif dari suaminya. Isteri  di dalam keluarga yang secara primordial berperan sebagai  pengurus utama anak-anak dan suami yang notabene merupakan kewajibannya, seyogyanya tidak menjadi permasalahan yang perlu di perdebatkan. Tetapi, semua bisa merubah ketika suami berperan lebih represif dan diktator dalam memperlakukan isterinya serta mengintimidasi isteri bahwa rumah tangga adalah kewajibanya dan pekerjaan sang isteri tidak membatasi atau menguranginya. Hal ini dikenal dengan beban ganda (double burden)

            Beban ganda seringkali menimpa seorang isteri yang tidak mempunyai daya tawar terhadap suaminya dalam mekanisme pembagian peran dan tanggung jawab di dalam rumah tangga. Karena ketidakpahaman keduanya akan peran dan tanggung jawabnya di dalam rumah tangga, sehingga isteri lebih bertendensi inferior terhadap suami sebagai kepala keluarga. Akibatnya, kewajiban isteri tidak berkurang atau setidaknya dapat saling meringankan dengan suami. Isteri tetap melakukan kewajibannya mengurus keperluan anak-anak, memasak, mencuci pakaian, menyediakan makan sedangkan peran suami tidak ada sama sekali. Isteri yang berkarier pun tidak luput dari kewajiban yang hanya dilimpahkan kepada pribadinya, selain berkarier isteri pun harus menyelesaikan semua kebutuhan di dalam rumah tangga.

            Jika kekerasan sudah berdampak pada isteri sebagai luka yang kronis (lama) dan koping isteri maladaptif (ketidakmampuan untuk  bertahan), maka akibatnya terjadi stres, depresi, kecemasan, fobia, gangguan makan, disfungsi sosial, rendah diri. Sehingga dibutuhkan prinsip penanganan (empowerment) yang cepat dan progresif  untuk akibat negatif yang muncul, seperti; membangun hubungan kepercayaan, kerjasama perawat dan klien, berbagi informasi permasalahan klien di dalam keluarga, otonomi memilih alternatif pemecahan masalah, curah pendapat tentang alternatif pemecahan masalah, dan evaluasi hasil solusi pemecahan masalah bersama perawat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*