Meningkatkan Kualitas dengan Kebijakan Subjektif
Musim Ujian Akhir
Semester (UAS) di tahun yang baru ini memberi kesan yang berbeda dengan
ujian-ujian yang sebelumnya. Meskipun terdapat kebijakan baru dari birokrasi
yang sebenarnya dikontekskan untuk kebaikan kampus serta upaya untuk
mendongkrak prestasi mahasiswa.
Kalau dilihat semakin
lama kualitas Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sebagai kampus swasta unggulan
di kota pelajar semakin baik dan terus menanjak, terutama dilihat dari prestasi
para mahasiswanya dalam berbagai kompetisi ilmiah yang digelar beberapa tahun
terakhir. Dan merupakan sebuah kebanggan tersendiri bagi UMY yang belum lama ini
mendapatkan penghargaan oleh 4 International
Colleges & Universities (4ICU), sebagai universitas peringkat satu Perguruan Tinggi Swasta (PTS)
se-Yogyakarta dan menempati peringkat dua PTS se-Indonesia serta 20
besar universitas terbaik di Indonesia versi Webometrics –lembaga yang
melakukan survey website universitas di
seluruh dunia-.
Tahun 2011 kemarin,
Wakil Rektor III (WR III) UMY, yakni bapak Sri Atmaja, phD memberikan sambutan
dalam sebuah agenda rapat pergantian kepengurusan salah satu Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM) UMY. Dalam sambutannya tersebut, beliau menyampaikan perlunya
kebersamaan dalam semua kegiatan organisasi mahasiswa (UKM, BEM, DPM, HMJ, IMM)
mulai dari pergantian kepengurusan –diselenggarakan bersama pada pertengahan
tahun bulan mei- disamakan, sampai yang cukup menarik perhatian penulis yakni
agenda bersama memajukan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah payung institusi
kampus. Kata beliau khususnya terhadap semua UKM yang berobsesi untuk
mewujudkan kampus yang Islami hendaknya dalam aktivitas keorganisasiannya berorientasi
kepada dakwah Muhammadiyah, yakni ber amar
makruf -nahi munkar. Padahal setahu penulis tidak ada aturan yang
menjelaskan tentang itu dan yang perlu diingat baik-baik adalah lebih dari 60%
mahasiswa UMY bukan anggota/aktivis organisasi persyarikatan Muhammadiyah
–anggota formal ataupun informal- atau merupakan anak dari aktivis-aktivisnya.
Satu poin terakhir yang
pak Sri Atmaja sampaikan pada acara tersebut adalah konsep potret ideal mahasiswa
UMY, yang baru saja di create oleh
birokrasi sebagai parameter mencetak mahasiswa yang sukses. Beliau menjelaskan
konsep tersebut yang diberi nama 3 Pilar Mahasiswa
UMY Ideal yang meliputi tiga aspek ideal, yakni (1) cerdas spiritual, (2) intelektual
dan (3) berkepedulian sosial. Dengan
senang hati mahasiswa yang hadir pada saat itu senang mendengar konsep tersebut
dan sedikitnya mulai menggiatkannya. Suatu model yang sangat ideal dan
menjanjikan untuk menjadi kepribadian mahasiswa UMY yang pada realitas sekarang
masih jauh dari ketiga konsep tersebut, khususnya pilar pertama dan ketiga yang
belum banyak terlihat.
Menurut penulis, 3
pilar tersebut untuk sekarang masih sulit untuk diwujudkan melihat aktivisme
mahasiswa sekarang yang cenderung memprioritaskan study oriented (fokus penuh belajar) dibandingkan agenda yang lain.
Meminjam istilah William James, Pragmatism.
Menurut ide ini sesuatu kebaikan itu baik kalau dan hanya kalau berguna. Yang
menjadi pertanyaan dari ide ini apakah kebaikan itu dapat menghantarkan manusia
kepada tujuan-tujuannya. Kalau tidak berguna untuk apa dilakukan? Barangkali
penyakit ini yang sekarang menggerogoti cara berpikir mahasiswa kebanyakan dan
sebagai alasan yang mendorong mereka untuk tidak berorganisasi apalagi berpikir
tentang kepedulian sosial dan perbaikan diri (baca: cerdas spiritual).
Sayangnya masalah tidak
hanya terjadi pada salah satu aspek saja yakni mahasiswa, tetapi juga
menggerogoti birokrasi kampus. Kampus sebagai tempat belajar dan mengembangkan
potensi moralitas untuk sekarang belum mampu menyelesaikan masalah ini walaupun
berbagai instrument sudah dilaksanakan sejak bertahun-tahun yang lalu, seperti
Masa Taaruf (MATAF), Orientasi Studi Dasar Islam (OSDI), dan Pendampingan Agama
Islam (PAI) yang merupakan sarana untuk menciptakan kecerdasan spiritual.
Sedangkan untuk menciptakan semangat kepedulian social secara mandiri dikelola
oleh lembaga kemahasiswaan (BEM, UKM, HMJ, IMM) dan prodi dalam agenda klasik
rutinnya Kuliah Kerja Nyata (KKN)
sebagai wujud Tri Dharma Perguruan Tinggi –meskipun ada beberapa prodi yang
belum melaksanakannya, misalnya; prodi Pendidikan Dokter, Dokter Gigi, Ilmu
Keperawatan dan Farmasi, dll-
Puncak masalah yang
ditimbulkan kampus bahkan melumpuhkan kreativitas dan semangat perbaikan
mahasiswa dalam menerjemahkan tiga pilar mahasiswa UMY berdasar Tri Dharma Perguruan Tinggi tersebut. Kampus melalui WR III dengan keputusan sepihak
membubarkan salah satu UKM yang berada di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan (FKIK) yang dinilai merupakan kepanjangan tangan dari salah satu UKM
universitas yang mendapat dana sendiri tetapi mendapat dana tambahan dari
dekanat dimana UKM tersebut berada. Sehingga bermaksud untuk dipangkas supaya
tidak mengeluarkan dana yang banyak untuk UKM, karena dibutuhkan oleh juga oleh
aktivitas lembaga-lembaga mahasiswa yang lain. Padahal UKM tersebut sangat
dinamis di FKIK dan memiliki banyak kegiatan yang strategis berperan dalam
meningkatkan kecerdasan spiritual mahasiswa dibanding organisasi yang lain.
Bahkan menurut sumber penulis yang dapat dipercaya menyebutkan bahwa UKM
tersebut tidak lagi diakui oleh universitas dan disarankan untuk dileburkan
kepada organisasi otonom di fakultas yang sama atau dibubarkan. Padahal
ideologi keduanya berbeda dan memiliki orientasi pergerakan yang berbeda.
Tampaknya teori ideology comprehensive
nya John Rawls kini sedang diterapkan dan mungkin akan berlangsung semakin
massif merembes ke organisasi mahasiswa yang lain.
Kontradiksi-kontradiksi
yang muncul tersebut tidak tahu kapan mulai bergeliat muncul dalam eksistensi
birokrasi kampus. Melahirkan kebijakan-kebijakan yang sebenarnya dikontekskan untuk
perbaikan kondisi kampus khususnya mahasiswa, tetapi alih-alih sebaliknya
menjadi instrumen –menuju pemahaman teks yang sempit- untuk membawa semua
aktivitas mahasiswa menuju kepada satu perspektif subjektif di dalam kondisi
faktual yang objektif, meminjam istilah Kuntowijoyo. Artinya, seruan yang
ditegaskan untuk diikuti –mengikuti kebijakan kampus secara total- demi kebaikan bersama yang pada prosesnya
justru men-tumbal-kan mahasiswa
sebagai objek pelaksanaannya.
Pada akhirnya,
barangkali kampus akan mengklarifikasi kebijakan-kebijakan yang telah dibuat, sehingga memperlambat bahkan
menurunkan proses perbaikan kampus yang sedang berjalan. Dengan mendiskusikan
masalah tersebut bersama mahasiswa dan juga seluruh elemen masyarakat kampus,
penulis kira bisa menjadi solusi yang tepat untuk mewujudkan UMY sebagai kampus
yang Islami dengan 3 pilar ideal mahasiswanya itu. Wallahu alam bis shawab. Fastabiqul khairat.
Komentar
Posting Komentar