DI ATAS PUNCAK GAMKONORA
Sudah lama saya berkeinginan mendaki gunung
Gamkonora. Berkali-kali pulang ke kampung papa, desa Gamkonora, saya belum
berkesempatan untuk naik ke sana. Akhirnya, pada 14 Desember 2019, kesempatan itu
tiba.
Seorang diri saya berencana akan mengendarai sepeda motor
dari Jailolo ke desa Gamkonora. Adik saya kebetulan punya sepeda motor yang
jarang dipakai. Tapi saat akan bertolak dari asrama polisi tempat tinggalnya,
di langit mendung turun sepanjang langit Jailolo ke utara di mana saya hendak
menuju.
Maka saya putuskan menggunakan jasa kendaraan roda empat.
Mobil angkutan yang akan saya gunakan rupanya ditumpangi dua orang pendaki dari
Ternate. Mereka mahasiswa Unkhair yang juga hendak mendaki gunung Gamkonora. Mereka
satu rombongan besar. Sebagian rekan mereka menumpang di mobil lain.
Dalam pendakian ini saya sudah membuat janji dengan
sepupu saya, Jain, bahwa dia akan ikut. Di tambah sepupu saya yang lain, Bahri. Tapi kebetulan saja Bahri sedang melaut, jadi dia diganti keponakannya, Ong. Kami memulai pendakian jam 5 pagi setelah adzan Shubuh mengumandang.
Jain dan Ong sudah berulang kali mendaki Gamkonora. Jadi,
saya punya dua pemandu sekaligus. Karena urusan jalur dan kondisi rute sudah
ada yang mengampu, tugas saya sekarang adalah mengatur aktivitas fisik sebaik
mungkin agar tidak terjadi cedera.
Titik awal pendakian dimulai dari desa Gamsungi. Persis di depan kantor pemantau gunung api yang berdiri di luar batas desa.
Seperti pengalaman sebelumnya, pendakian ini kami
tempuh dengan jalan santai. Kami istirahat setiap tiga puluh menit berjalan. Di
sepanjang jalan, kami bertemu dengan pendaki lain. Mereka anak-anak kampung
sekitar sini. Karena berencana tidak bermalam, mereka tidak membawa banyak
muatan. Mereka mendaki dengan perlengkapan seadanya. Sebagian dari mereka hanya menggunakan sandal.
Bahkan di antara mereka ada yang menyimpan sandalnya dengan di selipkan dalam celana atau disembunyikan di semak-semak dan berjalan dengan kaki
telanjang. Sempat saya bertanya mengapa mereka berani menempuh resiko seperti
itu. Jawaban mereka singkat: bikin berat.
Mendekati Pos 5, saya melihat tumpukan koin yang
sangat banyak di tanah. Koin-koin itu menumpuk dikelilingi batu-batu
kecil. Jain bilang itu tanda keramat. Semakin mendekati puncak, situs
seperti itu makin sering saya temui. Menurut Jain, koin-koin itu sengaja
diletakkan oleh orang-orang yang memiliki hajat untuk mencapai
sesuatu. Harapan mereka, penghuni gunung berkenan membantu mengabulkannya.
Semakin tinggi bumi kami pijak, semakin indah
pemandangan dataran rendah di kaki gunung Gamkonora kami nikmati. Sekilas, rasa
capek dan lelah mengurang. Dari atas sini, saya bisa melihat desa Gamkonora dan
sekitarnya dengan jelas. Dari bawah sini, saya dapat menikmati pemandangan
puncak gunung Gamkonora yang memanjakan mata dengan hamparan padang ilalang
yang menyelimutinya.
Mulai dari Pos 5, di sepanjang jalur pendakian
tumbuh sejenis flora yang buahnya terasa manis. Orang kampung di sini
menyebutnya: anggur gunung. Buahnya manis.
Saya tidak bosan-bosannya memakan buah itu. Sepertinya tingkat kematangannya dipengaruhi
oleh ketinggian. Semakin tinggi tumbuh, anggur gunung itu makin terasa manis.
Anggur Gunung
Tidak hanya menawarkan anggur gunung yang manis,
gunung Gamkonora memberi kami pasokan air gratis. Orang kampung menyebutnya air
Abdas. Alhamdulillah, kebutuhan air kami selama pendakian tercukupi.
Setelah menempuh perjalanan lima jam tiga puluh
menit, akhirnya kami tiba di bibir kawah Gamkonora.
Kawah gunung Gamkonora cukup luas. Hampir sebesar lapangan
sepak bola. Bidang tanahnya rata dan berpasir. Mendekati dapur magma, ribuan
batu kerikil menghampar berserakan. Meski aktif, dapur magma gunung Gamkonora
tidak besar. Diameternya sekira sepuluh meter.
Kawah gunung Gamkonora terkadang berubah menjadi
danau apabila terisi air. Mungkin air hujan. Kata orang kampung sini, disebut beruntung bagi siapa
saja yang berhasil menyaksikan kawah itu menjadi danau. Sebab momen seperti itu
sangat jarang terjadi. Sayangnya, ketika kami tiba, kawah itu mengering.
Pemandangan kawah gunung Gamkonora sangat indah. Banyak
pendaki yang mengabadikan potret diri di sini. Kawah ini diapit oleh dua tebing
batu yang berdiri menjulang di sisi Utara dan Selatan. Tebing sebelah Utara adalah yang tertinggi di mana puncak Gamkonora berada.
Di atas kawah itu, kami membangun tenda. Nasi goreng
buatan Jain yang kami bawa dari rumah, kami santap. Saya menjerang kopi. Kecapekan
mendaki, kami leyeh-leyeh di dalam tenda.
Kawah gunung Gamkonora
Siang itu matahari cukup terik. Tapi panasnya kalah
dengan suhu sekitar yang sejuk. Angin sepoi-sepoi bertiup. Jain dan Ong
tertidur pulas.
Satu jam berlalu, saya membangunkan Ong untuk melakukan summit attack. Jain memutuskan menunggu di tenda. Saya merasa beruntung Ong ikut dalam pendakian ini. Meskipun masih duduk di bangku SMP, ia sangat
baik dalam mendaki. Langkahnya cepat dan gesit. Ong tidak terlihat kecapaian meski sudah berjalan berjam-jam. Ia
memandu saya menapaki beberapa puncak sebelum mengakhiri summit di puncak tertinggi Gamkonora di sisi Timur.
Dari atas sini, terlihat jelas dapur magma gunung
Gamkonora. Separuh bentang kawah bisa dilihat dengan jelas. Tenda kami terlihat
sangat kecil di kejauhan.
Di sebelah Utara saya melihat dua bukit yang
ditumbuhi rumput saling bergandengan. Indah sekali. Di belakangnya, menghampar
hutan Halmahera yang tak berujung hingga tertutup awan. Saya duduk cukup lama
di atas rerumputan yang empuk di situ. Saya sangat bersyukur bisa sampai ke atas sini.
Saya berdiri di puncak Gamkonora
Saya duduk di rerumputan di puncak Gamkonora
Seperti umumnya gunung-gunung di Indonesia, di puncak Gamkonora
terdapat beberapa kuburan keramat. Entah kuburan siapa saya tidak tahu. Keberadaan kuburan-kuburan itu menghadirkan sisi lain gunung
Gamkonora: suasana mistik yang ganjil.
Gunung Gamkonora sering tertutup kabut. Ada yang bilang ini gunung kabut. Salah satu keindahan di puncak gunung ini adalah
kabutnya yang tipis. Dituntun oleh tiupan angin, satu per satu kabut itu bergantian melintasi
puncak gunung. Tak berhenti.
Fenomena alam di atas puncak Gamkonora menghilangkan kelelahan yang saya rasakan selama berjam-jam. Tiba-tiba saya mendapat
suntikan semangat yang tak saya sadari. Kelelahan saya terbayar, bahkan masih
ada kembaliannya.
Keindahan alam gunung Gamkonora membius kesadaran
saya untuk terus berlama-lama di sini. Gunung tertinggi di pulau Halmahera ini
(1635 mdpl) memiliki pesona alam yang amat
memukau. Saya bisa menikmati panorama hijau dataran Halmahera yang dan biru laut sekaligus. Tapi pendakian ini harus diakhiri. Karena berencana tidak bermalam, kami
harus segera turun sebelum petang.
Jam 15.00, saya dan Ong tiba di tenda. Ketika sibuk
membongkar tenda, tiba-tiba saja turun hujan. Tenda segera kami kemas dibantu pendaki lain yakni Pak Ismad dan Ato. Pak Ismad adalah pemimpin rombongan mahasiswa Unkhair. Ato adalah warga Gamkonora yang berperan sebagai pemandu mereka. Kami pun turun ke Pos 5. Di sana,
rombongan mahasiswa Unkhair sudah membangun tenda. Di situ juga ada beberapa tenda milik rombongan pendaki pelajar.
Tak lama kemudian hujan berhenti, tapi lalu turun
lagi. Tiba di Pos 5 hujan dan angin kencang memaksa kami berteduh di bawah naungan flysheet milik pendaki Unkhair. Kami pikir hujan akan lama reda, maka untuk menghindari
hal-hal yang tak diinginkan, kami putuskan mendirikan tenda dan bermalam di situ.
Esok paginya Pak
Ismad dan rombongannya summit attack ke puncak, sebaliknya kami turun. Tiga jam kemudian saya sudah berbaring
melepas lelah di atas rerumputan di halaman stasiun pemantau gunung Gamkonora.
Saya, Jain dan Ong makan siang di tenda
BalasHapusizin share ya admin :)
buruan gabung bersama kami,aman dan terpercaya
ayuk... daftar, main dan menangkan
Line : agen365
WA : +855 87781483 :)
Silakan di add ya contaknya dan Bergabung juga ya :)
Ditunggu ya Bosku :)