PETUALANGAN MENDAKI GUNUNG GAMALAMA
Setelah gagal mendaki mendaki gunung Kie Matubu,
saya, Syahril, Jirhan, dan Rahmat sepakat mendaki gunung Gamalama. Setelah
menunaikan shalat Dzuhur, tepat jam 01.15 WIT, petualangan kami dimulai.
Siang hari tanggal 31 Desember 2019 itu, saya
melihat beberapa pendaki berkumpul di sekitar titik pemberangkatan. Oh ya di gunung Gamalama tidak ada basecamp. Jadi, setelah urusan packing dan parkir selesai, semua pendaki langsung memasuki pintu rimba.
Di jalur pendakian saya melihat seorang perempuan bercadar menenteng keril duduk di bawah pondok pinggir jalan. Puluhan sepeda motor berjejer rapi di halaman beberapa rumah di sepanjang jalan. Saat memasuki titik pemberangkatan, seorang warga melempar senyum kepada kami.
Di jalur pendakian saya melihat seorang perempuan bercadar menenteng keril duduk di bawah pondok pinggir jalan. Puluhan sepeda motor berjejer rapi di halaman beberapa rumah di sepanjang jalan. Saat memasuki titik pemberangkatan, seorang warga melempar senyum kepada kami.
Pendakian gunung Gamalama kali ini adalah kali kedua buat saya. Terakhir kali saya mendaki gunung ini tiga tahun lalu berdua dengan adik saya Firdaus. Jalur pendakian yang dulu sekarang sudah digusur sehingga menjadi lebih lebar dan kelihatannya lebih dekat ke Pos 1.
Setelah berjalan puluhan meter, saya lihat di tengah
jalan yang berkerikil itu berdiri sebuah kotak amal pembangunan sebuah masjid. Di pinggirnya berdiri beberapa orang warga. Seorang ibu yang berdiri dekat situ berterima kasih atas
partisipasi kami dan hendak memberikan kami tongkat kayu yang sengaja sudah disiapkan
di pinggir jalan. Lantas saya teringat trekking
pole yang saya selipkan di keril saya seraya menolak dengan ramah pemberiannya itu.
Seperti di Gamkonora, pendakian gunung Gamalama kami
tempuh dengan santai dan terukur. Saya akan memutuskan istirahat setelah tiga
puluh menit berjalan. Komitmen dengan waktu menyebabkan perjalanan kami menjadi
lebih cepat meskipun kami berjalan dengan lambat. Kami bisa menyusul rombongan yang sudah
berjalan satu bahkan dua jam lebih dulu. Anggota rombongan kami tetap solid
dalam barisan, tidak terpisah seperti yang lain.
Sepanjang perjalanan saya lihat sampah-sampah berserakan di sekitar jalur. Botol air minum adalah yang terbanyak,
lalu bungkusan snack, hingga peralatan
outdoor rusak. Hampir setiap pos yang
kami lewati selalu ada sampah. Pos 2 dan Pos 3 adalah yang terparah. Bahkan di Pos 3 terdapat
tempat sampah. Tapi itu sebenarnya bukan
tempat sampah karena di situ juga berdiri papan pengumuman larangan
membuang sampah. Akan tetapi tetap saja hampir setiap rombongan pendaki yang beristirahat di situ selalu menghasilkan sampah.
Seharusnya dari dulu pemerintah kota mendirikan basecamp di sini. Setiap logistik yang dibawa seluruh pendaki tercatat di situ sehingga
ketika turun sampah yang mereka bawa akan diperiksa kembali sesuai dengan logistik
yang mereka bawa sebelumnya. Keberadaan basecamp ini juga bisa menjadi sumber
pemasukan pemerintah untuk memelihara sarana pendakian juga ekosistem gunung.
Saat Maghrib tiba kami sudah mendekati Pos 4. Kurang beberapa menit jam
19.00 kami tiba di Pintu Suba atau Pos 5. Di tempat ini pendaki diharuskan mengumandangkan
adzan meski bukan waktu shalat. Ini sudah menjadi kebiasaan di gunung Gamalama.
Setelah menunaikan shalat Maghrib, perjalanan kami dilanjutkan menuju lokasi kamping. Vegetasi di sini dipenuhi ilalang yang menghampar di sepanjang jalur. Semakin dalam, hutan ilalang makin meninggi sehingga jalur pendakian membentuk lorong alam. Tak lama kemudian kami tiba di lokasi kamping.
Setelah menunaikan shalat Maghrib, perjalanan kami dilanjutkan menuju lokasi kamping. Vegetasi di sini dipenuhi ilalang yang menghampar di sepanjang jalur. Semakin dalam, hutan ilalang makin meninggi sehingga jalur pendakian membentuk lorong alam. Tak lama kemudian kami tiba di lokasi kamping.
Tidak seperti di gunung Gamkonora, di Gamalama kami
tidak berhasil menemukan sumber air. Mau tidak mau kami mesti berhemat. Saya
sendiri hanya membawa sebotol air mineral 600 mililiter dan satu botol ukuran satu
setengah liter. Ketika tiba di lokasi kamping, air mineral 600 mililiter saya tandas. Untungnya, Syahril dan Rahmat membawa cukup banyak air. Kami memasak
nasi dan memanaskan sosis untuk menu makan malam.
Lokasi kamping malam itu sudah ramai saat kami tiba. Semua pendaki tampak ceria. Mereka masih semangat meski energi mereka sudah terkuras selama berjam-jam. Terdengar sahut-sahut gurauan di antara mereka menggema di udara.
Terasa seperti kehebohan ala anak SMA alay.
Ketika sedang memasak untuk makan malam, seorang
perempuan mampir ke tenda kami. Dia bertanya apakah kami punya tenda lebih. Meski kami punya, saya bilang tidak ada.
Belakangan baru saya tahu, perempuan itu dan
kawan-kawannya tidak membawa tenda. Jumlah mereka lebih dari lima orang. Saya
tanya mengapa, mereka bilang tidak kebagian tenda. Kelihatannya mereka adalah sebagian
kecil dari rombongan besar pendaki yang tidak mendapatkan tenda. Saya pikir, sedang terjadi miskomunikasi di antara mereka sendiri.
Sejak awal kami membawa dua tenda. Tenda punya saya
ukuran empat orang tapi jika membawa banyak barang hanya mampu menampung maksimal tiga
orang. Karena tiba-tiba Jirhan minta ikut, saya sewa satu tenda lagi. Tadinya untuk dipakai Rahmat dan Jirhan. Tapi, karena mereka belum menemukan
tempat kamping yang pas, sementara malam makin larut dan dingin, kami putuskan meminjamkan tenda dan matras kepada rombongan itu.
Kami berempat bersesakan tidur di dalam tenda. Tapi berhasil
tidur juga, kecuali saya. Seperti di Gamkonora, lagi-lagi saya kesulitan tidur. Tentu saja ini bukan insomnia. Sampai malam pergantian tahun 2019 ke 2020 tiba, saya belum juga bisa memejamkan
mata. Sayup-sayup terdengar ledakan kembang api dua kali dari kejauhan. Sleeping bag saya buka dari keril dan membungkusnya pada tubuh saya. Setelah memakainya baru saya bisa
tidur pulas.
Dalam pendakian ini, saya bertemu
beberapa kawan baru bahkan sejak dari beberapa pos-pos pertama. Andi, mahasiswa Unkhair yang kemarin ketemu
di Gamkonora, tiba-tiba tak sengaja ada di sini. Di pos persinggahan antara
Pos 1 dan Pos 2, seorang laki-laki berkaos biru menarik perhatian saya. Itu
adalah adik kawan saya di KAMMI Ternate dulu. Saya menegurnya dan ia tersenyum. Ia menyahut "Fiki" setelah saya bertanya siapa namanya. Saya sebutkan nama saya
dan dibalas dengan anggukan sebagai tanda mengerti. Saat summit attack, saya ketemu adik angkatan di Fisip dulu. Saya ketawa, dia
memanggil saya ‘komandan.’ Mungkin karena dia melihat saya pakai topi bintang merah. Harusnya saya dipanggil commandante bukan?
Kawah gunung Gamalama
Pagi hari tanggal 1 Januari 2020, saya menjerang air
panas. Syahril mengeluarkan bubuk jahenya lalu diseduh bersama susu
bubuk yang saya bawa. Seluruh snack
yang kami bawa dikeluarkan dan dimakan bersama-sama.
Setelah sarapan selesai, tiba saatnya summit attack. Sudah banyak pendaki di bukit dekat puncak ketika
kami sampai. Namun, kabut tebal menutupi seluruh areal bukit hingga puncak
sehingga membuat jarak pandang tak sampai dua puluh meter. Banyak pendaki
yang tak sabar menunggu kembali turun ke lokasi kamping. Akan tetapi lebih banyak lagi yang
memilih bertahan. Saya lihat ada yang mendirikan tenda. Ada yang mengobrol satu
sama lain. Tak sedikit yang mengabadikan momen tersebut menggunakan gadget masing-masing.
Dari kejauhan saya lihat bendera berlogo kera
ditambatkan di dekat batu besar. Setelah saya tanyakan kepada sekelompok
pendaki berbaju hitam yang berdiri di dekat situ, rupanya bendera itu adalah
lambang perguruan silat mereka: Kera Sakti. Mereka tinggal di Sidangoli.
Saya lihat Andi duduk di atas batu bersama kawan-kawannya.
Salah satunya adalah yang juga ikut pendakian di Gamkonora. Andi bilang tadi subuh
tidak ada kabut. Menurutnya, kabut turun karena di antara pendaki ada yang
punya hati tidak baik. Saya tidak mengerti maksud perkataannya itu. Saya tidak tertarik
dengan mistik.
Kursi lipat yang ditenteng oleh Rahmat lalu dibuka. Menunggu
kabut menghilang, Syahril, Rahmat dan Jirhan mengambil foto. Saya juga ikut mengabadikan
momen itu. Meski menunggu lama sampai kabut kemudian menghilang, saya cukup
menikmatinya. Ada keindahan tersendiri dari kabut yang turun itu.
Setelah mendaki untuk kedua kalinya, saya baru sadar, puncak
Gamalama ternyata sangat indah. Pada pendakian pertama saya dulu tidak sempat menikmati
pemandangan summit seperti itu. Waktu
itu seluruh puncak gunung tertutup kabut tebal sehingga tak ada yang bisa
dinikmati.
Letak pulau Ternate yang dikelilingi banyak pulau menciptakan
banyak pemandangan indah dari delapan penjuru mata angin. Saya bisa menikmati
pemandangan laut lepas di Barat, gunung Kie Matubu di pulau Tidore, pulau Mare,
gunung Kie Besi Makian di Selatan, pulau Halmahera di Timur dan barisan daratan
Halmahera Barat di Timur Laut. Gugusan pulau-pulau kecil di lepas pantai
Sidangoli sangat indah. Subhanallah,
betapa indahnya Allah swt meletakkan gunung ini pada posisinya sekarang.
Gugusan pulau-pulau kecil di depan Sidangoli
Pemandangan kawah Gamalama yang masih aktif menarik
perhatian seluruh pendaki. Tak terhitung berapa kali saya memotret objek
vulkanologi itu. Keindahan itu bertambah dengan adanya celah besar di dinding
puncak sebelah Barat. Tampak beberapa pendaki berdiri menikmati pemandangan di
atas bibir celah yang sempit itu. Rasa
ngeri berdiri di situ sepertinya kalah dengan rasa penasaran mereka yang terlampau tinggi
terhadap keindahan gunung Gamalama.
Dari atas sini, saya bisa melihat barisan bukit
kecil yang mengelilingi puncak gunung Gamalama. Di sebelah Timur dipenuhi puluhan
pendaki, sedang di sebelah Selatannya ditumbuhi hutan ilalang. Dari atas bukit ilalang
itu saya bisa melihat puncak pulau Maitara yang mengintip dari kejauhan dan gunung
Kie Matubu yang berdiri kokoh di belakangnya dengan warnanya yang biru. Saya
tidak menyangka siang kemarin masih berdiri tak jauh dari puncak gunung air itu
dan sekarang sudah duduk di puncak Gamalama menatapnya dan dari jauh.
Puncak Maitara dan gunung Kie Matubu
Banyaknya pendaki di atas puncak Gamalama tidak
terjadi setiap hari. Saya beruntung bisa berada di tengah-tengah mereka. Momen berkumpulnya orang sebanyak ini jarang sekali. Namun,
banyaknya pendaki ini juga menimbulkan kekawatiran tersendiri. Saya tak bisa
membayangkan berapa kilo sampah yang akan mereka tinggalkan di atas sini. Saya
tak ingin gunung ini dikotori seperti yang saya lihat saat di jalur pendakian. Sampah
itu ringan sekali, apa susahnya membawanya turun? Apresiasi tinggi saya ucapkan
kepada pendaki KPA Gamalama yang sudah mensosialisasikan tentang sampah kepada
para pendaki hari itu.
Ketika kembali ke tenda, saya lihat tenda yang
dipinjam semalam sudah tidak ada. Rahmat bilang sudah dikembalikan. Pasaknya hilang
satu batang, tapi tak jadi masalah. Yang saya permasalahkan adalah rombongan
itu tidak membawa sampah mereka turun. Agak kesal saya membungkus sampah mereka
dan menggabungnya dengan sampah kami. Jirhan menawarkan diri membawanya turun.
Lewat jam satu siang kami turun. Butuh waktu empat
jam perjalanan, sampai tiba kembali ke titik pemberangkatan.
Dari kiri ke kanan: Rahmat, Jirhan, Syahril dan saya
BalasHapusizin share ya admin :)
buruan gabung bersama kami,aman dan terpercaya
ayuk... daftar, main dan menangkan
Line : agen365
WA : +855 87781483 :)
Silakan di add ya contaknya dan Bergabung juga ya :)
Ditunggu ya Bosku :)