CINTA MEMANG HARUS MEMILIKI: Kritik Fenomena Cinta Jiwa Manusia Modern
Bagaimana jika anda
sebagai seorang pemuda berusia 30 tahun belum memiliki pasangan hidup (kekasih)
atau lebih ekstrimnya seumur hidup anda belum pernah berpacaran dengan seorang
wanita? Apa yang anda lakukan dengan melihat fenomena pacaran sebagai tren
kehidupan remaja dan pemuda modern? Apa yang anda rasakan ketika anda melihat
sepasang muda-mudi berjalan bersama, bergandengan tangan, sambil bercanda dan
tertawa lirih kegirangan? Ataukah apa respon anda ketika suatu saat anda
menonton Titanic, Romeo and Juliet, Endless Love, Winter Sonata? Atau
barangkali anda membaca kisah Qais dan Laila dalam Laila Majnun, Zaenuddin dan
Hayati dalam Tenggelamnya Kapal Vanderwijk? Atau mungkin anda pernah membaca
Sayap-Sayap Patah Gibran?
Lalu, masih mantapkah
anda untuk tetap sendiri? Lajang? Sebatang kara? Dan kemudian mati? Tentu tidak
kalau anda adalah seorang manusia yg memahami hakikat kemanusiaannya?
Kemudian dengan melihat
fenomena besar tersebut apakah anda akan segera mencari seorang wanita untuk
dijadikan kekasih? Mengikuti arus budaya masa kini. Atau mungkin anda
memutuskan menuju pelaminan mengucapkan hijab qabul sebagai deklarasi
legalisasi percintaan anda?
Itu adalah hak dan
keputusan anda untuk memilih. Tetapi mari sejenak kira renungkan kembali sudah
bijakkah kita bertindak mencintai?
Hakikat
Cinta
“You can give
without loving but you cannot love without giving”
(Amy Carmichael)
Cinta adalah sebuah
aksi atau kegiatan aktif yang dilakukan manusia
terhadap objek lain, berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan
kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan
apapun yang diinginkan objek tersebut.[1]
Menurut
Erich Fromm (1956), cinta adalah seni[2].
Sehingga dalam mencintai seorang pelaku cinta harus mengerti hakikat dan tujuan
dari cinta. Serta yang menjadi pembahasan sengit sehingga menjadi perdebatan panjang
adalah cara mencintai.
Menurut
Anis Matta (2008), cinta adalah kata yang mewakili seperangkat kepribadian yang
utuh: gagasan, emosi dan tindakan. Gagasannya adalah tentang bagaimana membuat
orang yang kita cintai tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik dan berbahagia
karenanya. Ia juga emosi yang penuh kehangatan dan gelora karena seluruh isinya
adalah semata-mata keinginan baik. Tapi ia harus mengejewantah dalam tindakan
nyata. Sebab gagasan dan emosi tidak merubah apapun dalam kehidupan kita
kecuali setelah ia menjelma jadi aksi.[3]
Sedangkan
cinta
jiwa merupakan cinta yang lahir dari kesamaan atau kegenapan watak jiwa. Jiwa
yang sama atau berbeda tapi saling menggenapi biasanya akan saling mencintai.
Cinta ini yang lazim ada dalam hubungan persahabatan dan perkawinan atau
keluarga. Cinta ini mengharuskan adanya respon yang sama: cinta tidak boleh
bertepuk sebelah tangan disini.
Sehingga
pada kesimpulannya cinta pada hakikatnya adalah lahir dari naluri manusia untuk
bersedia memberi, bukan menerima. Memberi dengan disertai cinta tanpa mengharap
balasan akan membuat sang pemberi puas. Tidak peduli cinta yang ia berikan
diterima atau ditolak, yang menjadi sumber kepuasannya adalah keberhasilan
dalam memberi. Persoalan balasan adalah masalah si penerima dan hasil dari
aktivitas memberi.
Praktik Mencintai Era Moderen
Anda
mungkin banyak melihat selebriti di Indonesia bahkan di dunia tidak berhasil
dalam perjalanan cinta mereka. Usia pernikahan mereka tidak sampai dua atau
tiga tahun. Bahkan, kasus terbaru menimpa Kim Kardashian, penyanyi superstar
Amerika bertahan dengan usia pernikahan yang hanya tujuh bulan.
Lalu
apa sebenarnya cinta itu sehingga tidak sedikit orang mengalami kegagalan dalam
menjalaninya. Apakah cinta itu suatu benda yang tidak semua orang bisa
memahaminya? Ataukah menikmati cinta itu adalah seperti menikmati kue Bolu yang
semakin cepat membuat kita bosan memakannya? Tidak semudah itu memang melakukan
aktivitas mencintai.
Dalam
ilmu filsafat ada salah satu aliran yang terkenal yakni rasionalisme yang
dianut oleh salah satu filosof terkenal dunia, Rene Descartes. Descartes
percaya bahwa sumber pengetahuan yang hakiki adalah lahir dari akal budi
manusia. Sehingga dengan metode keraguan-raguan yang pertama timbul dari
kefilsafatannya untuk menyerap pengetahuan, sampai pada akhirnya dia sendiri
menemukan pengetahuan itu. Kesimpulan Descartes sampai pada kebenaran yang tak
terbantahkan, yakni: saya berpikir, maka saya ada (Cogito ergo sum)[4].
Demikian
juga cinta di zaman modern yang kebanyakan hadir dari cara berpikir dengan akal.
Atau mungkin dengan cara yang cukup popular, pengalaman (empirisme).
Akal
dan pengalaman merupakan cara mencintai yang paling banyak diminati sebagian
besar umat manusia. Cukup dengan obrolan singkat dengan para pecinta atau mantan pecinta –yang mencintai bukan
dari hasil belajar tetapi dari cerita dan gossip
tabu sesama mereka- telah selesai mengatakan bahwa kita siap dalam aktivitas
mencintai. Kemudian kita akan mencari pasangan hidup, berpacaran dan berakhir
putus atau menikah dan selesai dengan perceraian.
Dari
peristiwa dan pengalaman tersebut diatas, tidakkah kita kembali berpikir bahwa
cara mencintai yang kita pakai sekarang tidak cukup banyak mendatangkan
kebahagiaan bagi para pecinta. Dan yang patut untuk disesali adalah kegagalan
berulang seseorang dalam mencintai dengan menggunakan cara yang sama
(menggunakan akal dan pengalaman).
Belajar Kritis Mencintai
Jika anda bersantai dalam bekerja, maka anda akan menyesal
ketika pembagian upah
(Abdullah
Azzam)
Sekarang
kita mungkin belum percaya terhadap cara baru yang barangkali mungkin
setidaknya bisa mengurangi ketidakberhasilan dalam mencintai atau bahkan bisa memberikan
keberhasilan dalam mencinta. Mungkin kita bisa berkenalan dengan cara baru itu,
yakni: belajar kritis tentang cinta (teori dan praktik).
Obrolan
dan diskusi sebenarnya juga merupakan salah satu cara belajar. Tetapi, apakah
akan berhasil belajar dengan orang yang tidak dan belum memahami hakikat
mencintai? Apalagi orang tersebut justeru tidak tahu tujuan melakukan aktivitas
mencintai. Dan kebanyakan karakter orang yang gagal dalam mencintai semata-mata
diawali dari kekaguman terhadap bentuk fisik lawan jenis (baca: cantik/tampan)
bukan dari sifat, perilaku (akhlaq) dan agama (nilai). Sehingga dorongan awal seseorang
mencintai adalah semata-mata mengikuti hawa nafsu. Sehingga apabila wanita yang
dicintainya sudah tidak lagi menarik, akan menimbulkan menurunnya emosi kecintaan
dan keberpalingan terhadap wanita lain, seperti kasus mega-skandal cinta
segitiga Ariel Peterpan.
Pada
saat seseorang mulai menjalin cinta dan kemudian berpacaran. Maka pada saat itu
sebenarnya ia telah mulai melumpuhkan naluri kecintaannya. Berpacaran tidak afdhol jika tidak menyendiri berdua dan
saling bersentuhan.
Pertemuan
pertama menjalin cinta akan sangat menegangkan dan menimbulkan ketakutan
bercampur rasa senang. Tetapi setelah pertemuan itu rutin berlangsung, berjalan
terus-menerus pada akhirnya akan menimbulkan rasa yang tidak seindah pertama
bertemu. Apabila hati sudah jenuh dan emosi tidak lagi bersemangat ditambah
nafsu yang menjadi fondasi bangunan cinta tersebut sudah tidak lagi bergelora
dan tidak ada tujuan mencintai yang jelas, maka fase kejatuhan sudah bermula.
Mencintai
pada penerapaannya sesungguhnya bukan dengan pacaran. Perhatikan! pacaran
sebenarnya hanya menguras tenaga dan pikiran untuk menjalin cinta serta
menuntut sesuatu hal yang lebih daripada sekedar keakraban dan berduaan
(khalwah). Sehingga menimbulkan
ketidakpuasan dari para pencinta. Padahal semua masalah akan selesai dan tidak
menimbulkan efek jangka panjang dengan bersatu dalam sebuah ikatan legal (baca:
pernikahan). Tetapi tidak semua pecinta mampu menunaikan momentum yang
diperintahkan agama tersebut sehingga hubungan kasih hanya terjadi dalam
interaksi antar kedua pecinta sebagaimana adanya. Padahal mencintai dengan
kata-kata saja tidak cukup untuk menunjukkan arti penting cinta yang
menginginkan pemberian yang lebih. Akhirnya muncul ketidakpuasan yang berefek
negative jika tidak terkelola dengan baik akan mengakhiri proses mencintai.
Akhirnya
lahirlah istilah “cinta memang tidak harus memiliki”, padahal cinta idealnya
adalah memiliki satu sama lain tanpa ada peraturan untuk membatasi segala
aktivitasnya. Cinta tanpa interaksi fisik bukanlah cinta yang sejati. Cinta itu
adalah hidup bersama, memiliki tujuan bersama dan untuk kebaikan bersama. Cinta
sejati adalah cinta suami kepada
isterinya bukan pemuda kepada kekasihnya.
Cinta Memang Harus Memiliki
Cinta
muncul diawali melalui proses interaksi antara seorang pria dan wanita. Cinta
itu akan lahir ketika dalam proses interaksi memunculkan rasa kepedulian, dihormati dan kenyamanan oleh
pria atau wanita. Sehingga cinta lahir pada salah satu pihak dan akan berdampak
kepada pihak lain pada saat cinta itu mulai ditunjukkan oleh sikap atau gesture
(baca: gerak-gerik) tubuh. Atau cinta lahir dari kedua belah pihak secara
bersamaan.
Cinta
yang lahir pada seorang pria akan memunculkan kekaguman yang berbeda terhadap
wanita yang menjadi objek cintanya. Perilaku dan cara berpikir seorang pria
akan mulai tertuju kepada orang yang dicintainya dan secara perlahan akan
memulai proses pencarian dan pengidentifikasian wanita tersebut. Proses akan
menjadi semakin baik pada saat pencarian informasi terhadap wanita itu
memberikan kepuasan bagi seorang pria.
Betapa
indah mencintai orang lain yang sesuai dengan kriteria seorang pria. Tetapi
akan menjadi tidak logis pada saat sang pria tahu bahwa wanita tersebut sudah
dimiliki seseorang dan lebih berat lagi jika sang wanita sudah dilamar atau
sudah menikah.
Ini
merupakan fenomena yang sering terjadi yang cukup banyak menimbulkan
ketidakpuasan pria. Sehingga kekecewaan perlahan akan mengalir mengganti rasa
kekaguman.
Seorang
pria yang dihadapkan pada masalah seperti ini memiliki respon yang sangat
beragam sebaliknya wanita tidak berbeda jauh. Mereka biasanya akan meresponnya
dengan termangu, marah, sedih dan dongkol. Bahkan dalam beberapa kasus pria
akan begitu tertekan, frustasi dan stress berkepanjangan. Akibatnya dengan koping
(baca: daya tahan) yang tidak baik tersebut menimbulkan gangguan mental dan
rasa frustasi.
Berhadapan
dengan fenomena seperti diatas kebanyakan orang menanggapinya dengan dua cara;
menerima dan kecewa. Rasa kecewa sudah jelas digambarkan diatas. Kemudian
bagaimana dengan “menerima”? Apakah mereka ikhlas dengan cinta yang berhenti di
tengah jalan?
Orang
yang menerima akan ketidakberhasilan cintanya kebanyakan mempercayai suatu diktum
yaitu; cinta memang tidak harus memiliki. Cinta bagi pemahaman mereka merupakan
sebuah perilaku yang tidak menuntut sesuatu hal yang lebih. Cukup dengan saling
menyukai dan mengetahui perasaan (feel)
satu sama lain sudah memberikan kepuasan. Padahal yang dinamakan cinta adalah
kata yang mewakili seperangkat kepribadian yang utuh: gagasan, emosi dan
tindakan. Sedangkan pada kasus diatas cinta hanya baru melalui dua perjalanan
yakni; gagasan dan emosi serta barangkali mungkin tindakan (action). Tetapi perlu digarisbawahi apa
sebenarnya yang dimaksud tindakan? Kemudian apakah tindakan sudah cukup dengan mengatakan,
“aku cinta kepadamu”?
Cinta
pada hakikatnya adalah memberi. Pemberian cinta tidak hanya cukup dengan
mengeluarkan sepatah kata. Lebih dari itu cinta semestinya diwujudkan dalam
tindakan nyata secara psikis dan fisik. Artinya ketika kedua tindakan tersebut
dilakukan, maka pria dan wanita pada saat itu sudah memiliki status legal sebagai
suami-isteri bukan kekasih. Sehingga tindakan cinta yang mereka berikan sebanyak-banyaknya
tidak dibatasi sedikit pun selama masih berada pada trayek yang dibenarkan.
Maka, cinta mereka sebenarnya bukan lagi semata-mata terjadi karena alasan
kecantikan/kebaikan semata, tetapi karena akhlaq dan ketaatan kepada nilai,
moralitas dan Tuhan.
Komentar
Posting Komentar