Abangan di Bulan Ramadhan
Kesibukan bekerja
menjadi sebuah kesibukan tersendiri bagi masyarakat modern dewasa ini.
Rutinitas yang berjalan memenuhi separuh waktu dalam sehari itu kini semakin
marak dengan kehadiran bulan suci Ramadhan. Ramadhan yang tidak saja sebagai
bulan untuk berpuasa tetapi juga bulan pendidikan (Syahrut Tarbiyah) merupakan momentum tepat untuk melengkapi
rutinitas masyarakat. Terutama rutinitas spiritual yang barangkali belum
terakomodasi dengan baik pada bulan-bulan yang lain.
Meskipun Ramadhan disambut
dengan gegap gempita oleh seluruh kaum muslimin di perjuru jagad raya ini. Momentum
ini disemarakkan dengan selusin agenda-agenda penyambutan yang meriah. Faktanya
tidak serta merta menjadikan Ramadhan sebagai bulan yang dinanti. Terutama
kebaikan-kebaikan di dalamnya yang tidak kaum muslimin temukan pada bulan-bulan
yang lain. Terutama sekali oleh masyarakat Indonesia yang faktanya dewasa ini
belum menunjukkan kedewasaan spiritual yang teraktualisasi dalam realitas
kehidupan. Yang belum meninggalkan agenda-agenda sepele seperti bergunjing,
berbohong, sentimen, yang sudah seharusnya diakhiri. Ath-Thabrani meriwayatkan
dari Rasulullah saw, “Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan
pahala dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus belaka.”
Ramadhan sebagai
momentum perbaikan dan kontemplasi keimanan menjadi barang pajangan hari ini.
Sebagai bulan penuh rahmat dan sarat ampunan tidak menjadikan Ramadhan sebagai
pemicu trasformasi keimanan masyarakat. Sebut saja fenomena “shaf Tarawih penuh awal ramadhan dan sepi di
pertengahan sampai akhir ramadhan”, menjadi aksioma setiap tahun. Rupanya
kesibukan bekerja memenuhi kebutuhan hidup lebih penting. Meskipun tidak
dinafikan keseimbangan asupan perut dan spiritual juga harus diperhatikan.
Masjid-masjid di komplek
perumahan dan perkampungan yang dimaksudkan untuk menggiatkan aktivitas
keislaman dan khazanah keilmuan Islam, faktanya hanya menjadi tempat sholat,
tidak lebih. Tidak banyak masyarakat yang tertarik dengan agenda-agenda religi meskipun
bulan Ramadhan. Tidak heran, kajian buka puasa (ifthor) bersama di sore hari dan tilawah Qur’an ba’da sholat
Tarawih di masjid sepi peminat. Padahal semua pahala amalan Ramadhan
dilipatgandakan tujuh puluh kali lipat oleh Allah, apalagi memberikan makan
ifthor mendapatkan pahala puasa orang yang diberikan makan itu .
Ini membuktikan kurang
respeknya masyarakat terhadap amalan-amalan Ramadhan. Puasa Ramadhan oleh masyarakat
dianggap tidak lebih dari ritus ibadah menahan lapar dan dahaga (nafsu perut) sejak
imsak sampai maghrib. Aktivitas rutin, khususnya ibadah maghdah (wajib) tidak
banyak berubah. Di siang hari disibukkan dengan berpuasa, di malam hari
menjalankan sholat Tarawih meskipun kerajinan mereka disayangkan hanya muncul
pada awal bulan dan mulai malas pada pertengahan dan akhir Ramadhan. Bahkan,
tidak sedikit yang hanya berada di rumah menyibukkan diri dengan aktivitas
pribadi masing-masing. Untuk menyindir perilaku ini, muncul anekdot, “orang sekarang rajin sholat Tarawih di awal
bulan, pertengahan bulan disibukkan shopping baju lebaran dan di akhir bulan
sibuk mudik ke kampung halaman.”
Dengan momentum
Ramadhan tahun ini seyogyanya tidak kaum muslim sia-siakan. Bulan dimana pintu
neraka ditutup bersama syaitan dan pintu syurga dibuka selebar-lebarnya
seharusnya menjadi pemicu untuk menggelorakan semangat beribadah dan beramal.
Maka untuk menyongsong
momentum ini perlu diupayakan pembenahan keimanan pribadi dan social sehingga
menjadi lebih memadai. Menurut penulis, ada tiga solusi untuk membanahi itu; Pertama,
hendaknya umat muslim yang menunaikan puasa terlebih dahulu meluruskan niat. Memaknai
tujuan menunaikan ibadah puasa. Apakah hanya sekedar untuk mengugurkan
kewajiban sebagai seorang muslim? Atau dengan harapan mendapatkan ridho Allah
swt.
Umar ra menyampaikan
hadis dari Rasulullah saw; “sesungguhnya
semua perbuatan itu tergantung dari niatnya dan setiap orang akan mendapatkan
apa yang diniatkannya itu.” Maksudnya, semua ibadah yang kita lakukan akan
bernilai positif atau negatif sesuai dengan niat awal kita. Jika niat itu untuk
memperoleh pahala, maka akan didapatkan. Jika hanya ingin menggurkan kewajiban
tanpa mengharapkan ridho Allah, maka akan terpenuhi tetapi tidak bernilai
pahala.
Kedua,
hendaknya umat muslim mengetahui dan memahami urgensi dari puasa Ramadhan. Hal
ini sudah panjang lebar dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 183, “wahai orang-orang yang beriman telah
diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa.”
Ayat tersebut
mewacanakan agar di dalam menunaikan ibadah puasa Ramadhan, selalu disertai dengan
niat semata-mata karena ingin mencapai derajat ketakwaan. Sebagaimana ibadah
puasa itu telah diwajibkan kepada kaum sebelumnya. Yaitu kaum para rasul
sebelum nabi Muhammad. Sehingga selanjutnya umat muslimin dengan sadar
menjalankan perintah-perintah Allah swt dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Ketiga,
dan barangkali urgensi dari tulisan ini adalah supaya kaum muslimin tidak
merasa cukup dengan ibadah maghdah
(ibadah wajib) dan ghairu maghdah
(ibadah tidak wajib) yang telah dilakukan. Amal kebaikan yang dilakukan
seyogyanya tidak membuat kaum muslimin cepat merasa puas. Apalagi dengan
amal-amal tersebut membuat kaum muslimin percaya telah ada jaminan untuk masuk
ke surga Allah karena telah menunaikan seluruh kewajiban kepada-Nya (hablum minallah). Padahal ada seorang muslim
yang seumur hidupnya sibuk beribadah, tetapi di akhir hidupnya melakukan kemaksiatan
dan mati dalam keadaan tersebut. Sehingga dimasukkan oleh Allah ke dalam
neraka. Sebaliknya, ada kisah seorang pelacur yang hampir setiap waktu
melakukan kemaksiatan. Pada akhir hidupnya ia memberikan minum kepada seekor
anjing yang kehausan dengan air yang diambil dengan sepatunya dari sumur,
sehingga setelah itu ia meninggal dan dimasukkan oleh Allah ke dalam surga.
Allah swt berfirman di
dalam surah An-Nahl ayat 32, … “Masuklah
kamu ke surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.” Maksudnya,
Allah memasukkan manusia ke dalam surga bukan karena amal mereka, tetapi karena
ridho Allah. Di dalam hadis dari Abu Hurairah ra yang diriwayatkan oleh Muslim,
beliau berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Berbuatlah sesuai dengan syariat dan benar. Ketahuilah tiada seorang
pun di antara kamu yang selamat (dari siksa neraka) karena amalnya.” Para
sahabat lalu bertanya, “Begitu juga
engkau, ya Rasulullah?” rasulullah menjawab, “Begitu juga aku, kecuali jika Allah memberikan rahmat dan
karuniaya-Nya kepadaku.”
Maka, tidak ada garansi
dengan beribadah sepanjang hidup, seorang muslim akan dimasukkan ke dalam surga.
Karena proses yang dijalani itu sangat menentukan dan dinilai oleh Allah.
Tentunya dengan didasari oleh niat ikhlas
karena Allah. Konsekuensi amal perbuatan kita tidak dapat dihitung dengan akal,
tidak dapat diperkirakan akan memetik hasil yang memuaskan atau tidak. Tetapi
ditentukan oleh syariat (aturan). Yaitu apakah amal perbuatan kita sesuai
dengan syariat Allah swt dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya atau belum.
Sehingga, kaum muslimin senantiasa istiqomah (konsisten) menyertai amalan-amalannya
dengan doa berniat untuk mendapat rahmat dan keridhoan-Nya. Klimaksnya, seorang
muslim yang senantiasa berbuat kebaikan termasuk dalam kelompok yang dijanjikan
Allah masuk ke surga-Nya. Tetapi, perlu diingat hanya karena rahmat dan
ridho-Nya lah kita dapat masuk ke surga-Nya.
Komentar
Posting Komentar