Masukan Untuk Ternate: Melestarikan Kearifan Lokal
Masuk ke kota Ternate
kembali menimbulkan ingatan kepada kebanyakan masyarakat Indonesia, bahwa di
wilayah ini pernah berdiri sebuah kerajaan (kesultanan) Islam. Setidaknya
itulah yang diajarkan oleh guru-guru ilmu Sejarah di SMP dan SMA tentang
kesultanan Ternate dan Tidore. Keeratan wilayah ini –setidaknya pada belahan
wilayah Maluku Utara yang lain- dengan Islam sebagai sebuah nilai sudah menjadi
buah bibir sekaligus kebanggaan bagi umat muslim Indonesia. Bahwa di kawasan
ini (Ternate) masih dan terus bernafaskan tradisi Islam di tengah masyarakat
Indonesia bagian timur yang mayoritas Kristen.
Ketika masuk ke kota,
segera potret masyarakat Ternate berhamburan terlihat. Anak-anak sekolah
berhamburan di jalanan dengan seragam melekat rapi. Uniknya terlihat hampir
semua siswi sekolah menggunakan jilbab. Padahal kota ini tidak lagi dihuni
pemukim muslim –seperti satu dekade lalu
pasca krisis SARA yang terjadi di wilayah ini. Tetapi, segera bergerak menuju
masyarakat pluralistik dengan ditandai kembali masuknya pemukim non-muslim
seperti sebelum krisis di akhir periode 90’an.
Rumah-rumah ibadah
tidak lagi didominasi oleh masjid, tetapi juga gereja yang tampaknya kini
menunjukkan keberadaanya. Dengan ditandai ramainya tempat suci umat Kristiani
itu ketika misa sabtu malam dan berlanjut sampai esok hari (minggu). Fenomena
ini menunjukkan bahwa sesungguhnya masyarakat Ternate telah menerima dan dewasa
menyikapi perbedaan, khususnya perbedaan kepercayaan. Dan memandang bahwa
toleransi dan kekondusifan kehidupan umat beragama menjadi prioritas utama.
Bahasa
Indonesia Pasaran dan Bahasa Daerah
Bahasa yang digunakan
masyarakat Ternate sehari-hari adalah bahasa Indonesia pasaran –yang merupakan
campuran dari bahasa Indonesia dengan bahasa lokal. Bahasa yang digunakan oleh penghuni
pulau cengkeh ini mirip dengan bahasa yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat
Sulawesi Utara –seperti Manado, Bitung,
Gorontalo dan sekitarnya dengan sedikit perbedaan pada penggunaan kosa kata dan
dialek. Bahasa ini biasanya kerap digunakan oleh masyarakat Ternate yang
berbeda suku dan bahasa sebagai bahasa pemersatu. Sedangkan selain itu
menggunakan bahasa daerah –yang digunakan antar pemukim yang berasal dari suku
yang memiliki kesamaan bahasa. Bahasa daerah ini sangat berbeda dengan bahasa
Indonesia pasaran.
Tetapi tampaknya bahasa
Indonesia pasaran yang digunakan oleh masyarakat Ternate belum sepenuhnya
konsisten digunakan. Karena pada tempat-tempat tertentu bahasa tersebut tidak
digunakan. Anehnya, bahasa itu digantikan dengan bahasa yang sama sekali tidak
ada hubungannya dengan Ternate atau Maluku Utara secara umum. Bahasa itu adalah
bahasa Indonesia pasaran versi Jakarta dan sedikit versi Jawa. Bahasa ini biasa
digunakan oleh radio-radio lokal non-formal –seperti stasiun pemerintah, RRI- yang
bernuansa moderen –seperti Istana fm dan Diahi fm- serta majalah atau
kolom-kolom remaja Ternate di media massa –seperti Xpresi di Malut Post.
Artinya fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat kota Ternate belum sepenuhnya
menggunakan bahasa komunikasi daerah pada forum atau ruang-ruang informal. Yang
sebenarnya sudah dipahami oleh masyarakat lokal maupun pendatang.
Fenomena tersebut
barangkali jarang terjadi di negeri ini. Karena hampir di semua daerah yang
penulis singgahi tidak menunjukkan fenomena yang sama. Di Jawa misalnya seperti
Yogyakarta, Semarang, Surabaya, masing-masing menunjukkan kekhasan bahasa yang
mereka gunakan pada media elektronik (radio) dan massa seperti bahasa
komunikasi mereka sehari-hari. Begitupun yang terjadi di Makassar, Bau-Bau
(Sultra), Papua dan tempat lain di negeri ini. Masing-masing daerah tersebut
tampaknya begitu peduli, khususnya dengan bahasa mereka sendiri serta kearifan lokal
mereka secara umum. Sehingga penggunaan bahasa Indonesia pasaran pada daerah
tersebut begitu kental sampai melebar ke ruang publik –seperti pasar, kantor,
mall, sekolah dan masjid. Bahkan di kota Bau-Bau dan sekitarnya, masyarakat menggunakan
bahasa daerah –bukan bahasa Indonesia pasaran- sebagai alat komunikasi utama di
semua tempat.
Jilbab
dan Sekolah
Jilbab –atau lebih
dikenal pakaian yang menutup aurat- menjadi pakaian wajib siswi muslim sekolah-sekolah
di kota Ternate. Dewasa ini jilbab mulai dimasifkan penggunaannya mulai dari
sekolah dasar hingga Perguruan Tinggi (PT). Negeri atau swasta semuanya seragam
menjadikan jilbab sebagai busana wajib.
Selama ini peraturan
yang menyebutkan jilbab sebagai busana wajib bagi pelajar perempuan khususnya
siswi sekolah sudah ada. Sedangkan bagi PT belum ada. Tetapi jika kita
perhatikan di lapangan, mahasiswi muslim di kota Ternate semuanya menggunakan
jilbab. Menurut penulis, fenomena pemakaian jilbab di sekolah yang dipraktikkan
selama ini telah mempengaruhi peserta didik yang melanjutkan jenjang pendidikan
ke PT. Meskipun jilbab tidak diwajibkan penggunaanya di PT, toh rata-rata
mahasiswi memilih untuk berjilbab di kampus. meskipun tidak sedikit dari mereka
yang kembali menanggalkannya sekembalinya ke lingkungan masyarakat (di luar
kampus). Sehingga jilbab tidak merupakan busana wajib tetapi semakin bergerak
kearah kebiasaan dan budaya masyarakat. Khususnya di lingkungan institusi
pendidikan. Sehingga jilbab secara bertahap mulai bergerak menuju kearifan
lokal kota Ternate.
Bulan Agustus yang
bertepatan dengan bulan suci Ramadhan seperti momentum-momentum sebelumnya
selalu menampilkan nuansa nasionalisme. Tidak terkecuali bagi sekolah-sekolah
di Ternate yang melakukan seleksi anggota Paskibraka. Seleksi Paskibraka di Ternate
biasanya dilaksanakan oleh Tim yang berasal dari alumni anggota Paskibraka dan
militer. Tetapi ada fenomena yang disayangkan oleh penulis. Bahwasanya seleksi
Paskibraka telah memisahkan jilbab dari para siswi SMA. Mereka berlatih tanpa
menggunakan jilbab. Padahal mereka masih menggunakan seragam sekolah. Dan
seringkali berada di sekolah untuk berbagai kesibukan, meskipun pelaksanaan seleksi
tidak dilakukan di sekolah.
Fenomena tersebut
memunculkan selusin pertanyaan bagi pemerintah Ternate, khususnya Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan. Apakah benar terjadi dualisme penerapan sistem
pendidikan? Bagaimana mungkin busana jilbab yang diwajibkan bagi siswi
dibiarkan tanggal hanya karena seleksi Paskibraka? Apa benar nasionalisme
–dalam hal ini seleksi Paskibraka- tidak mengindahkan nilai-nilai transenden
(ketuhanan)? Bahkan memarginalkannya dari ruang publik (public sphere) sehingga bermuatan nilai-nilai sekularistik? Atau
mungkinkah militer itu berseberangan dengan jilbab sebagai reaksi dari
pengkerdilan terhadap Pancasila oleh kalangan Islam radikal?
Komentar
Posting Komentar