BP Migas: Apakah Pantas Dibubarkan?
Tepat
pukul sebelas Selasa kemarin. Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengetuk
palu sidang pertanda Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi (BP Migas) resmi bubar. Putusan bernomor 36/PUU-X/2012 itu
resmi mengakhiri keberadaan lembaga tersebut. Uji materiil UU No 22
tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi itu dilakukan berdasarkan
usulan dari 30 tokoh dan 12 ormas.
Lembaga
yang sudah ada sejak tahun 2002 silam ini difungsikan sebagai pembina
dan pengawas Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Yaitu pembina dan
pengawas dalam kegiatan eksplorasi,
eksploitasi dan pemasaran (niaga) migas Indonesia.
Lembaga
tersebut telah
melakukan sebanyak 353 kontrak dan terus berjalan sampai sekarang.
Sehingga dengan keputusan pembubaran Selasa kemarin, menurut Kepala
BP Migas R. Prijono akan merugikan negara 70 miliar dollar (Kompas,
13 November 2012). Tetapi menurut Ketua MK, Mahfudz MD kontrak kerja
sama yang telah ada sebelumnya dialihkan ke Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) yang sementara ini menggantikan fungsi BP
Migas.
Kenapa
Harus Bubar?
Usulan
tersebut keluar disebabkan sikap lembaga tersebut yang dinilai
liberal dalam praktiknya. BP Migas dinilai banyak pengamat lebih
memudahkan akses bisnis korporasi minyak asing di Indonesia. Seperti
pembukaan Lapangan Kepodang di Blok Muria dan Lapangan sapi di blok
East Kalimantan yang dikerjakan operator masing-masing Petronas
Carigali Muriah Ltd. dan Chevron Indonesia Company. Selain itu kasus
korupsi Chevron Pasific Indonesia terkait proyek bioremediasi di Riau
yang merugikan negara sekitar 200 miliar rupiah.
BP
Migas diduga mengesampingkan Pertamina sebagai badan usaha milik
negara yang sebenarnya bisa melakukan kegiatan tersebut. BP Migas
juga bertentangan dengan UU 1945 dan tidak berkekuatan hukum
mengikat. Mahfudz menilai usulan tersebut benar dan merugikan negara
sehingga dikabulkan (Tempo, 13 November 2012).
Menurut
Direktur Reforminer Institute, Pri Agung Rahmanto, BP Migas adalah
lembaga pemerintah dengan status badan hukum milik negara. Secara
prinsip, seharusnya kuasa pertambangan tetap dipegang pemerintah
yaitu kementerian ESDM, dan kewenangan pengendalian dan pengawasan
kontrak kerja sama dijalankan oleh Pertamina.
Berdasarkan
hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), BP Migas sejak berdiri
tahun 2002 diduga telah merugikan negara sebesar 2 milyar dollar
Amerika. Kebocoran cost recovery juga diduga terjadi di lembaga
tersebut dan berpotensi digelapkan, menurut Marwan Batubara.
Menurut
hemat penulis, memang sudah saatnya BP Migas dibubarkan. Lembaga yang
legal berdasarkan UU No 22 tahun 2001 serta PP No 42 tahun 2002
tentang BP Migas ternyata memiliki kewenangan yang tidak jelas karena
bertetangan dengan pasal 33 UUD 1945.
BP
Migas dalam PP No 42 tahun 2002 hanya disebutkan melakukan fungsi
pengawasan (Pasal 10, PP No 42 tahun 2002) pengelolaan migas dan
tidak mengelolanya secara langsung. Sedangkan fungsi pengelolaan
migas diserahkan kepada badan usaha milik negara atau perusahaan lain
melalui kontrak kerja sama. Hakim MK menilai fungsi ini bertentangan
dengan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi, “bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasasi oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Sehingga
perlu dievaluasi kembali dan dibentuk undang-undang yang merevisi dan
sesuai dengan UUD 1945. Maka benar posisi BP Migas menjadi
kontraproduktif dan perlu dibubarkan.
Selanjutnya
lembaga seperti ini tidak boleh lagi liberal –bebas memilih
koporasi siapa saja demi keuntungan- dalam praktiknya. Apalagi di
dalam proses pembagian hasil niaga tidak menguntungkan negara.
Lembaga
semacam ini juga harus peduli dan memprioritaskan korporasi pribumi
sekiranya korporasi-korporasi tersebut mampu. Untuk menciptakan iklim
perekonomian yang massif dan stabil. Yang didasari oleh mekanisme
transparansi dan akuntabilitas untuk mencegah penggelapan, pemborosan
dan korupsi di dalam tubuh lembaga dan korporasi dibawah
pengawasannya.
Komentar
Posting Komentar