KAMMI Tetap Oposisi
Kurang dari sepekan ke depan, kita bangsa Indonesia, akan sekali lagi kembali ke TPS. Kalau 9 April kemarin kita memilih para calon wakil rakyat, 9 Juli nanti kita akan memilih calon presiden dan wakil presiden. Memilih dua putera terbaik bangsa untuk memimpin bangsa ini lima tahun ke depan. Untuk mengemban misi melaksanakan empat tujuan bangsa ini sebagaimana tertera dalam preambule UUD 1945, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Karenanya,
hari-hari ini kita dihadapkan pada fenomena politik yang kian memanas.
Masing-masing kubu saling berkompetisi mengkampanyekan capres usungan mereka. Dengan
menggerakkan mesin politik semaksimal mungkin. Mulai dari memasang alat peraga
sampai mencorat-coret sarana prasarana publik. Dengan harapan rakyat dapat
mengenal dan melabuhkan pilihannya sesuai kehendak mereka.
Fenomena
seperti itu sah-sah saja. Dimana-mana dalam setiap kontestasi politik mulai
dari pemilu sampai pemilihan kepala desa, kerja-kerja serupa memang wajib diperlukan.
Merupakan sebuah bentuk kerja politik rakyat atas calon pemimpin yang
dipercayai dan dicintainya. Tetapi yang patut disayangkan ialah apabila kontestasi
itu diwarnai dengan kerja-kerja politik yang dapat memicu perselisihan dan perpecahan.
Dengan memasukkan beragam informasi bermuatan fitnah -atau yang kita kenal kampanye
hitam (black campaign)- pada kubu
lawan. Dengan tujuan menjatuhkan popularitas.
Hal-hal
semacam inilah yang acap kali kita temui saat ini. Akibatnya, di berbagai
daerah timbul perpecahan dan saling curiga antara kedua kubu. Di Yogyakarta,
kota budaya yang katanya sangat menjunjung nilai-nilai humanitas, juga tidak lepas
dari peristiwa-peristiwa memalukan itu. Sejak kampanye pileg sampai pilpres,
sudah terhitung lebih dari sepuluh kali konflik horizontal terjadi. Dengan
memakan korban yang tidak sedikit. Terakhir kali, seperti yang menimpa beberapa
mahasiswa Fakultas Hukum UII di Jalan Tamansiswa beberapa waktu yang lalu.
Pemilu Terburuk
Berbagai
perbuatan pencideraan pemilu kita tahu tidak hanya ditemukan saat kampanye
saja. Menjelang hari pemilihan kejadian-kejadian serupa juga terjadi. Bahkan,
lebih besar dan sistemik. Tidak hanya melibatkan peran tim sukses dan
simpatisan, tapi juga petugas KPPS. Fenomena mengerikan yang acap kali kita
temukan pada rezim otoriter, namun juga terjadi pada negara demokrasi yang
katanya terbaik ketiga di dunia.
Tidak
heran, banyak pengamat politik dan praktisi politik menyebut pileg kemarin
adalah yang terburuk dalam sejarah politik bangsa ini. Sebab dipenuhi dengan berbagai
aksi kampanye hitam, konflik horizontal, dan tentunya yang menjadi budaya
musiman: praktik politik uang (money
politic).
Kita
menyaksikan di layar televisi para caleg dengan tanpa malu-malu membagi-bagikan
uang ketika berkampanye di masyarakat. Seorang caleg menari-nari sembari
membagi-bagikan uang pada orang-orang disekitarnya. Bahkan, ada yang
melemparkan langsung dari atas panggung pada rakyat yang hadir. Seolah-olah hal
tersebut sesuatu yang lumrah. Tentu saja tidak hanya uang yang dibagi-bagi,
berbagai fasilitas juga diberikan cuma-cuma kepada rakyat. Tetapi setelah hasil
pileg diumumkan, banyak dari para caleg yang gagal terpilih kembali menagih. Urat
malu mereka rupanya sudah putus semua.
Agenda Mendesak Bangsa
Beberapa
waktu yang lalu datang duta besar Amerika Serikat ke kantor seorang professor
ekonomi di Yogyakarta. Duta besar itu menanyakan siapa capres yang akan dipilih
professor itu. Sebab, selama ini si professor dikenal sangat kritis pada pemerintahan
yang pro dengan Amerika dan kebijakan-kebijakan neoliberalnya.
Kita
tahu kedua capres saat ini sama-sama mengusung gagasan ekonomi kerakyatan. Itu
yang membuat duta besar bingung. Professor itu lalu menjawab dengan singkat,
bahwa kedua-duanya memang sama-sama mengusung ekonomi kerakyatan. Tapi sama
sekali tidak mengerti tentang apa yang mereka bicarakan.
Kita
menangkap tujuan kedatangan duta besar itu sebenarnya sedang melakukan
pemosisian politik. Memilah mana capres-cawapres yang pro liberalisme ekonomi
dan mana yang menolak. Agar ia tahu siapa yang seharusnya didukung dan siapa yang
dijegal. Sebab, selama ini setiap presiden –pasca Sukarno- yang terpilih tidak
pernah bersebrangan dengan kepentingan Amerika beserta kepentingan modal
multinasional di belakangnya.
Peristiwa
itu menandakan bahwa bangsa ini belum sepenuhnya merdeka 100 persen. Sudah jadi
rahasia umum, hari ini politik kita
dikuasai oleh para oligarki. Sedangkan, ekonomi dikuasai oleh para kapitalis
internasional dan domestik. Lihatlah kedua capres yang muncul sekarang punya
latar belakang sebagai pengusaha. Sama halnya dengan mayoritas politisi kita di
DPR-RI sampai DPRD. Tidak heran lebih dari 40 persen kekayaan bangsa ini dikuasai
oleh segelintir rakyat yang juga berprofesi pengusaha (kapitalis). Apalagi,
saat ini 70-80 aset bangsa ini dikuasai oleh kapitalis asing.
Tidak
bisa ditunda lagi bahwa presiden dan wakil presiden yang terpilih nantinya harus
memprioritaskan kepentingan rakyat. Kekayaan negara harus dikelola oleh putra
putri bangsa. Pembagian royalti kontrak sumber daya alam harus menguntungkan
negara. Tidak boleh lagi hanya memperoleh 1 persen dari Freeport. Sumber daya
alam dan faktor-faktor produksi yang penting bagi negara –sebagaimana diamanatkan
Pasal 33 UUD 1945- harus dikuasai sepenuh-penuhnya. Oleh karena itu renegosiasi
kontrak dan reformasi agraria mutlak
dilakukan.
Sumber
daya manusia Indonesia juga patut menjadi perhatian. Seharusnya, diprioritaskan
melebihi SDA. Menyangkut kesehatan dan pendidikan mereka. Sangat disayangkan
menyaksikan 20 persen anggaran pendidikan tidak berjalan optimal. Banyak
sekolah-sekolah di pelosok negeri belum mendapat perhatian. Kesejahteraan guru
masih timpang. Setiap tahun biaya pendidikan terus naik. Padahal sumber daya
terbesar negeri ini adalah manusianya. Karena itu, tidak bisa dipungkiri wajib
belajar 12 tahun mutlak dilakukan. Bahkan ke depan, sampai ke tingkat perguruan
tinggi. Sebagaimana saat ini sedang KAMMI perjuangkan dengan Jaminan Pendidikan
Nasional (Jamdiknas).
Sikap KAMMI
Sebagai
organisasi mahasiswa yang kritis pada agenda-agenda kebangsaan, KAMMI mendesak
pemerintahan ke depan agar memprioritaskan kepentingan rakyat. Faktor kemiskinan
dan pengangguran harus diakhiri secepat-cepatnya. Gini indeks atau selisih
pendapatan yang semakin parah, yakni 0,41 (BPS, Maret 2014), harus
diselesaikan. Jangan lagi mayoritas kekayaan bangsa ini dikuasai oleh minoritas
rakyat. Tidak perlu muluk-muluk berambisi mendongkrak pertumbuhan ekonomi kalau
impor masih saja masif dilakukan, berhutang –seperti Presiden SBY yang menambah
130,5 miliar dolar (BI, Maret 2014), serta ekspor bahan mentah. Sebab, pertumbuhan
ekonomi yang tidak berkualitas hanya akan mengakibatkan BBM dan TDL terus naik.
Subsidi yang seharusnya menjadi hak rakyat dicabut.
Sebagai
gerakan ekstraparlementer, KAMMI akan terus mengawal pilpres 2014. Dengan
serangkaian program yang diselenggarakan. KAMMI tiada henti-hentinya terus
mendidik rakyat agar tidak golput dan memilih capres-cawapres sesuai kebutuhan
mereka. KAMMI juga tetap kritis kepada rezim ke depan apabila tetap abai pada
kepentingan rakyat. Apalagi komposisi
capres yang ada saat ini tidak ideal untuk memimpin. Jika sudah begitu, maka
sebagai gerakan independen, tiada pilihan selain menarik diri dan oposisi pada
keduanya. Sebab, oposisi adalah jalan yang KAMMI percaya dan ambil untuk
mengawal dan menuntaskan janji-janji reformasi serta cita-cita pendiri bangsa
ini. Wallahu alam bis shawab.
Jadan, 3 Juli 2014
Komentar
Posting Komentar