Refleksi 17 Tahun KAMMI: Kemana Harus Melangkah?
Ketua Kebijakan
Publik KAMMI Kota Ternate
Minggu
besok (29/03) KAMMI genap berusia 17 tahun. Uniknya, pada hari ulang tahunnya
besok, merupakan hari yang sama dimana KAMMI dulu dilahirkan oleh peserta Forum
Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus Nasional (FSLDKN) ke X di Malang. Namun, saat
itu dan sekarang adalah dua zaman yang berbeda. Berhadapan dengan tantangan
serta rezim yang berbeda. Kendati KAMMI di tahun 1998 lalu dapat dikatakan
berhasil menjalankan perannya sebagai inisiator perubahan (agent of change), lalu bagaimana dengan KAMMI sekarang? Apakah
mampu mengulang momentum yang sama, di tengah gejolak dinamika internal yang
belum menemukan titik akhirnya?
Sejak
Muktamar terakhir yang digelar di Tangerang Selatan pada 2013 lalu, setidaknya
KAMMI telah dua kali menginisiasi gerakan nasional yang menjadi perhatian
publik tanah air. Pertama, ketika
KAMMI menyerukan seluruh pengurusnya di 33 provinsi untuk menggelar aksi
nasional menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM (Republika Online,
17/06/2013). Aksi damai mengepung gedung pemerintahan di seluruh provinsi
tersebut praktis melambungkan nama KAMMI dan membuat Ketua Pengurus Pusat (PP)
KAMMI, Andriana, diundang salah satu stasiun televisi nasional untuk berdebat
bersama politisi Senayan.
Kedua, inisiatif KAMMI Wilayah Aceh
mengajak seluruh warga di wilayahnya mengumpulkan koin untuk Australia
(Kompas.com, 21/02/2015). Aksi ini sebagai wujud protes terhadap upaya negara
tetangga tersebut menggunakan jasanya ketika membantu pemulihan Aceh pasca tsunami
pada 2004 silam, untuk mengintervensi vonis hukuman mati yang kini menjerat dua
warga negaranya dalam kasus narkoba beberapa waktu ke depan.
Dua
gerakan tersebut seketika menyedot perhatian publik. Membangkitkan tanya di benak
publik, siapakah KAMMI itu? Mengapa, begitu terdepan mengawali gerakan-gerakan berskala
nasional akhir-akhir ini?
Reaktif atau
Kreatif?
Kiprah
yang cukup penting tersebut memang patut diapresiasi bagi organisasi mahasiswa termuda seperti KAMMI. Namun, tidak tepat jika hanya
dengan kiprah yang tidak lebih banyak dibanding organisasi mahasiswa yang lebih
tua, membuat KAMMI berbangga dan lengah. Hal ini bukan sekedar asumsi, sebab
tampaknya KAMMI dalam gerakan politiknya hingga saat ini masih reaktif.
Kemunculan
aksi-aksi KAMMI di ruang publik kebanyakan masih merupakan sikap merespon
isu-isu yang mencuat, bukan menciptakannya. Sangat sulit ditemui, KAMMI menginisiasi
isu yang sama sekali baru dari masalah-masalah yang menimpa masyarakat, yang
terisolir dari pengetahuan publik dan sorotan media. Misalnya, kasus perebutan
lahan masyarakat adat oleh perusahaan bijih besi di Kulon Progo, Yogyakarta, atau
kasus penggusuran lahan pertanian oleh PT Semen Indonesia terhadap masyarakat
petani di Rembang, Jawa Tengah (Merdeka.com, 20/01). Kemandekan ini seketika
menimbulkan kesan bahwa KAMMI hanya gerakan yang suka menggarap isu-isu populis.
Bukan isu-isu berbau sosial yang menyangkut hajat hidup masyarakat kecil. Hal ini terasa paradoks, ketika dalam
Paradigma Gerakannya, KAMMI menyebut dirinya sebagai “Gerakan Sosial Independen.“
Sebagai
gerakan yang menjunjung misi “Intelektual Profetik” sebagai paradigmanya, sudah
tidak bisa ditunda-tunda lagi bagi KAMMI untuk bertransformasi menjadi gerakan
kreatif (baca: tidak reaktif). Hal ini penting mengingat pasca 1998 gerakan
mahasiswa diam-diam mulai disetir oleh kepentingan partai politik yang notabene
diduduki para senior-senior mereka. Fakta menunjukkan, saat ini tidak sedikit
gerakan mahasiswa yang menjadi mesin pemukul lawan politik seniornya. Sehingga, berakibat pada menumpulnya nalar
berpikir dan sikap politik gerakan yang seharusnya lebih bebas dan independen. Karena
pada hakikatnya, gerakan mahasiswa adalah gerakan politik moral bukan politik
praktis.
Krisis Tradisi
Intelektual
Kader
KAMMI saat ini hampir semuanya mengetahui Visi, Paradigma dan Prinsip Gerakan.
Tetapi, bagaimana seperangkat metodologi itu dioperasikan, masih banyak kader yang
bingung. Tidak heran, kemampuan untuk
menganalisa dan menafsirkannya dengan tepat masih diemban para pemimpin
organisasi bukan kader. Sehingga, berakibat pada kurang berkembangnya kemampuan
nalar berpikir kader. Fenomena seperti ini membuat KAMMI seolah-olah terkesan
mirip organisasi militer. Sebab tanpa pemahaman yang memadai, kader akhirnya
tidak punya pilihan selain patuh dan taat pada keputusan pemimpinnya.
Untuk
itu KAMMI sedari sekarang seyogianya mulai menumbuhkan tradisi intelektualnya.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menggiatkan tradisi diskusi.
Diskusi adalah sarana meningkatkan kapasitas intelektual kader seiring dengan
menguatnya karakter keislaman yang telah dipupuk sedari kader direkrut. Sehingga,
melatih mereka untuk peka dan kritis pada berbagai macam persoalan yang terjadi
di sekelilingnya.
Kedua,
tradisi menulis. Terutama yang langsung bersentuhan dengan permasalahan
masyarakat dan eksistensi gerakan. Terkhusus buat yang terakhir yang selama ini
masih sedikit mendapat porsi yang cukup. Umumnya, kader lebih banyak tertarik menulis
sesuatu diluar persoalan organisasi. Sebab, kader sering tidak punya pengetahuan
yang cukup dalam menggali dan memahami KAMMI. Tentu saja hal ini kemudian berpengaruh
pada minat menulis, apalagi sudah lama berserak anggapan bahwa ide-ide KAMMI
sudah final, sempurna, sehingga tidak relevan untuk didiskusikan.
Penutup
Ke
depan, dengan dilandasi tradisi intelektual yang kian mumpuni, saya yakin KAMMI
akan lebih mudah membumikan peranannya di tengah-tengah masyarakat. KAMMI dengan
format gerakan kreatifnya akan mampu mendampingi dan memberdayakan masyarakat,
disaat yang sama menjaga dan memperjuangkan hak-hak mereka. Sehingga, tidak
menutup kemungkinan, harapan KAMMI sebagai inisiator perjuangan rakyat kian
terbuka lebar seiring dengan semakin bertambahnya usia. Kepada seluruh kader
KAMMI di seluruh penjuru Nusantara, saya ucapkan selamat berulang tahun.
Ternate, 27
Maret 2015
https://drive.google.com/file/d/1yiHoydNprAnPuJaSfqdLXH-P1KSWbN6X/view?usp=drivesdk
BalasHapus