Menelaah Kembali Pemikiran Putra Sang Fajar
Diambil dari https://rosodaras.wordpress.com/tag/nation-and-character-building/
Oleh
Zulfikhar
Anggota
Biasa KAMMI Kota Ternate
Jika pada 1 Juni kemarin Pancasila dilahirkan, maka hari ini adalah kelahiran penggagasnya: Soekarno. Bapak pendiri bangsa yang dengan berani memproklamirkan kemerdekaan Indonesia ke seluruh penjuru dunia. Kendati hingga hari ini Indonesia baru merdeka secara politik, namun berkat pikiran-pikirannya, persatuan dan kesatuan bangsa dari Sabang sampai Merauke sampai hari ini masih terjaga dengan baik.
Sukarno
lahir dari seorang ayah bernama Raden Soekemi Sosrodiharjo, seorang guru
sekolah dasar dan ibu bernama Nyoman Rai, bangsawan Bali yang beragama Hindu.
Keduanya bertemu di Singaraja, Bali, ketika Sukemi bertugas di sana selepas
menyelesaikan pendidikannya dari Sekolah Guru Pertama di Probolinggo, Jawa
Timur. (Kasenda, 2012). Berselang dua tahun setelah kelahiran anak pertama,
keduanya pindah ke Surabaya dimana di
kota itu Sukarno dilahirkan. Bayi mungil yang lahir pada 6 Juni 1901 itu dipanggil
sang ibu: “Putra Sang Fajar.”
Usai
menamatkan pendidikan menengah pertamanya di ELS (Eropeesche Lagere School) pada 1915, Soekarno melanjutkan
pendidikannya di HBS (Hogere Burger
School) Surabaya. Pendaftarannya dibantu oleh Haji Oemar Said
Tjokroaminoto, sahabat ayahnya. Sehingga,
di rumah tokoh Sarikat Islam itulah ia dititipkan ayahnya, indekos bersama
siswa HBS lainnya.
Di
rumah Tjokroaminoto, Soekarno banyak berkenalan dengan dunia aktivisme. Ia
bergaul dengan beberapa anak muda yang indekos disitu yang kelak tumbuh menjadi
tokoh-tokoh besar bangsa ini seperti; Kartosuwiryo, Darsono, Musso dan Alimin. Ia
juga berinteraksi dengan Haji Agus Salim dan tokoh-tokoh Marxis seperti Henk Sneevliet, Adolf Baars
dan C. Hartough. Sembari dengan lahap membaca buku-buku milik Tjokroaminoto,
Soekarno juga antusias mengikuti aktivitas gurunya itu di Sarekat Islam.
Pendidikan
informal bertahun-tahun di rumah Tjokroaminoto mendorong kegelisahan dalam diri
Soekarno untuk menulis pada surat kabar Oetoesan Hindia, milik Sarekat Islam. Tulisan-tulisannya
kebanyakan berkisar seputar persoalan sosial politik. Pada tahun 1921, Soekarno
meninggalkan Surabaya bersama isterinya, Siti Oetari -putri Tjokroaminoto-
menuju Bandung untuk kuliah di THS (Technische
Hoge School).
Di
Bandung, Soekarno mulai terlibat aktif di dalam dunia keaktivisan. Ia
mendirikan sebuah studi klub yang diberi nama Algemeene Studie Club. Selain
aktif di klub tersebut, ia juga berinteraksi dengan tokoh-tokoh Indische
Partij seperti; E.F.E. Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangukusumo, dan Ki Hajar
Dewantara. Waktu itu paham nasionalis sekuler yang dianut organisasi ini cukup mempengaruhi
pemikirannya. Ditambah interaksi yang cukup lama bersama Tjokroaminoto dan
Sarekat Islam serta pergaulannya dengan para aktivis Marxis di rumah
Tjokroaminoto, akhirnya mendorongnya menulis sebuah pamflet politik berjudul
“Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” pada tahun 1927.
Pamflet
ini diterbitkan untuk menyatukan paham kebangsaan dari penganut ketiga aliran
politik yang berbeda tersebut. Mengingat, waktu itu ketiganya adalah musuh
pemerintah kolonial, tetapi dalam perjuangan mereka belum bersatu. Bahkan, tidak
jarang terjadi pertikaian. Dalam pamflet tersebut Soekarno menulis, “… Sebab
kita yakin, bahwa persatuanlah yang di kemudian hari membawa kita ke arah
terkabulnya impian kita: Indonesia Merdeka…” Melalui pamflet tersebut, ia
mengajak, penganut Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme bahwa sudah saatnya
menanggalkan egoisme masing-masing untuk bersatu menuju Indonesia merdeka.
Konsep
persatuan ini semakin matang ketika pidato pembelaan (pledoi) berjudul
“Indonesia Menggugat” dibacakan Soekarno di depan pengadilan pada 1930. Pidato
tersebut menguraikan tentang watak imperialisme dan kapitalisme kolonial
Belanda sebagai akar dari kesengsaraan dan penderitaan bangsa Indonesia selama
350 tahun. Menurut Soekarno, musuh bersama tersebut dapat diakhiri jika bangsa
Indonesia gotong-royong bersatu memerdekakan diri.
Konsep
persatuan dan identifikasi terhadap musuh bersama inilah yang menyebabkan tidak
ada darah yang tertumpah ketika Indonesia resmi diproklamirkan pada 17 Agustus
1945. Karena, meskipun terdiri atas beragam suku dan adat istiadat, bangsa Indonesia
sejatinya adalah bangsa yang bersatu. Selamat Ulang Tahun Bung!
Pernah dimuat di Posko Malut, 8 Juni 2015
Komentar
Posting Komentar