Ongen bingung sudah dua bulan ia menganggur. Setelah
proyek pembangunan kantor lurah di kota usai, mandor dalam proyek itu, tidak
juga menghubunginya. Padahal, menjelang rampungnya pembangunan kantor lurah
dulu, si mandor pernah berjanji akan mengajaknya ikut dalam proyek reklamasi
pantai di daerah pinggiran kota.
Tak mau larut dalam kebingungan, Ongen memutuskan untuk
sementara pulang ke desanya. Barangkali ada pekerjaan yang bisa di lakukannya
di sana. Berhubung, kebun peninggalan mendiang ayahnya yang ditumbuhi puluhan
pohon kelapa sudah memasuki masa panen.
Setelah menempuh empat jam perjalanan laut dan
darat, Ongen tiba di desanya menjelang siang. Usai beristirahat, ia berjalan menuju
rumah pamannya untuk hendak meminjam gerobak dan sapi. Untuk dipakai mengangkut
kelapa di kebun pada esok hari.
Saat itu
tarhim sudah berkumandang dari masjid desa. Tidak sengaja ia melintas di
depan kantor desa dimana saat itu beberapa orang perangkat desa baru saja memulai
rapat. Curiga tidak biasanya rapat desa di mulai menjelang maghrib, Ongen
lantas berhenti dan mencoba mendengarkan topik pembicaraan mereka.
Rupanya rapat yang di pimpin sekretaris desa itu
tengah membahas bantuan dana dari pemerintah kabupaten. Dana itu baru saja di cairkan
dan di simpan oleh sekretaris desa. Sekretaris desa mengatakan dana itu akan di
pakai untuk merampungkan pembangunan masjid desa yang sudah lama tidak juga selesai.
Terutama untuk keramik dalam dan luar masjid, atap dan tempat parkir.
Sekretaris desa mengatakan, bahan bangunan hasil
swadaya masyarakat desa yang tersimpan di gudang penyimpanan tidak akan di
pakai. Sebab, kualitasnya jelek dan stoknya tidak mencukupi kebutuhan
pembangunan masjid. Maka, puluhan lembar seng, keramik dan potongan kayu milik
masyarakat yang ada di dalam gudang ia usulkan dibagi-bagi saja di antara
mereka sendiri, para perangkat desa. Sementara, dana desa akan di pakai kembali
membeli bahan bangunan yang sama dengan kualitas dan kuantitas yang memadai
sesuai kebutuhan.
Sekretaris desa juga mewanti-wanti agar berita
cairnya dana desa tidak boleh sampai menyelinap keluar dari ruangan tersebut.
Ia minta, berita itu di rahasiakan dari masyarakat.
Mengetahui niat busuk para perangkat desa, Ongen sangat
marah, kendati ia juga takut. Tetapi, ia tidak terima harta milik masyarakat di
rampok diam-diam. Padahal, di desanya masih banyak warga yang anak-anaknya
putus sekolah karena tidak memiliki biaya. Ia kecewa, sementara warganya hidup
dalam kemiskinan, para perangkat desa malah asyik menikmati bahan bangunan
masjid hasil swadaya masyarakatnya sendiri.
Sesampai di rumah pamannya, Ongen tidak menemukan kakak
ibunya itu. Sepupunya mengatakan, ayahnya sedang melaut. Kebetulan, di pelataran
rumah, para pemuda desa sedang berkumpul. Tanpa basa-basi, Ongen langsung membeberkan
persengkongkolan para perangkat desa yang baru saja ia pergoki. Ia mengajak
para pemuda agar melakukan sesuatu untuk mencegahnya.
Tetapi, rupanya para pemuda tidak berani. Mereka
tidak mau mencelakakan orang-orang yang masih memiliki hubungan keluarga dengan
mereka. Ongen tidak ambil pusing. Ia bertekad dengan cara apa pun akan
menghentikan persengkongkolan jahat itu.
Sementara menunggu hingga malam semakin larut untuk
melakukan aksinya, Ongen menenggak beberapa gelas saguer di rumahnya. Jiwa muda
pembuat onarnya tiba-tiba muncul kembali. Setelah kemabukan, keberaniannya
meninggi, amarahnya naik ke ubun-ubun. Memasuki tengah malam, ia beranjak ke
gudang di mana bahan bangunan milik masyarakat di simpan.
Gembok pintu gudang ia cungkil dengan linggis.
Sebanyak tiga puluh kardus keramik, tiga puluh lembar seng dan dua puluh batang
kayu ukuran 5x5 centi meter dengan panjang lima meter, di pikulnya sendirian
lalu di kumpulkan di pelataran rumahnya. Ia menyelesaikan aksinya dalam empat
jam lalu beranjak tidur.
Pukul sepuluh pagi, rumah Ongen di datangi tiga
anggota polisi dari kecamatan. Mereka membangunkan dan menyeretnya ke pelataran
rumah. Di situ masyarakat desa yang sedang marah menunggu. Ketika keluar dari
pintu rumah, Ongen di teriaki pencuri dan pembuat onar. Beberapa pemuda hendak
akan meghajarnya tetapi di halangi anggota polisi di bantu perangkat desa.
“Bapak Ongen, kenapa bapak mencuri bahan bangunan
milik masyarakat?” tanya seorang polisi berpangkat kapten.
“Saya
menyelamatkan bahan bangunan itu Pak, bukan mencuri,” jawabnya tegas.
“Menyelamatkan? Untuk apa di selamatkan Pak?” Tanya
kapten polisi dengan rona kebingungan. Warga yang kesal juga ikut kebingungan
mendengar jawaban Ongen.
“Saya menyelamatkannya dari persengkongkolan korupsi
para perangkat desa Pak. Mereka mau membagi-bagi bahan bangunan milik
masyarakat di antara mereka sendiri. Berhubung, kemarin lusa, proposal bantuan
dana dari pemda telah cair dan sudah di terima sekretaris desa. Masalahnya, mereka
tertutup tidak mau mengumumkannya kepada masyarakat Pak. Makanya, saya marah
dan mengungsikan seluruh bahan bangunan itu ke sini. Agar masyarakat tahu,
kalau perangkat desanya korupsi Pak!”
Kapten polisi itu mendadak kaget mendengar pengakuan
Ongen. Begitu juga warga yang berkumpul di situ. Mereka saling berpandangan
penuh kebingungan. Lalu mengarahkan pandangannya kepada kepala desa dan
perangkatnya yang berdiri menghadap Ongen.
“Baiklah. Mari masalah ini kita selesaikan secara
kekeluargaan,“ ujar kepala desa sembari melangkah mendekati Ongen yang duduk
menekur bersandar ke jendela rumahnya.
“Mari pak polisi dan saudara Ongen, bersama-sama
kita bicarakan masalah ini di kantor desa saja. Mari kita selesaikan secara baik-baik,” bujuk kepala
desa sembari menepuh bahu Ongen. Sementara itu, puluhan warga desa yang sejak
tadi berkumpul ia perintahkan membubarkan diri.
Setelah kurang lebih satu jam berembuk, Ongen akhirnya
keluar dari pintu kantor desa dengan wajah gembira. Kapten polisi keluar
mengiringinya lantas menjelaskan kepada masyarakat duduk perkaranya. Ia
menyimpulkan kesalahan sepenuhnya di lakukan oleh perangkat desa, bukan Ongen. Saat
itu juga, kepala desa mengumumkan pemecatan sekretaris dan perangkat desa yang
terlibat dalam persengkongkolan tersebut.
Pernah di muat di Malut Post, Sabtu 22 Agustus 2015
Komentar
Posting Komentar