Haruskah AHM Kita Pilih pada Pilgub Mendatang?
Oleh:
Zulfikhar*
Diakses dari https://statik.tempo.co/data/2013/03/19/id_173039/173039_620.jpg
“Leaders is those because his action make you
think more, learn more, do more and become more”
-John
Quincy Adams, Presiden Keenam Amerika Serikat
Tulisan
ini dibuat sebagai tanggapan terhadap tantangan diskusi yang dilontarkan oleh
Muhammad Ali “Boy” Anwar, ketua Kawan AHM dan Iskandar Ahad, pengurus Kawan
AHM, pada debat di akun Facebook milik Muhammad Ali “Boy” Anwar semalam
(4/12/2017). Karena saya dianggap hanya berani jago komentar di media sosial
oleh Iskandar Ahad, maka diskusi siang ini, yang saya atur waktunya sendiri,
adalah jawaban saya terhadap tuduhan itu. Dan untuk itu telah jelas, saya bukan
pihak pengundang, saya adalah pihak penanggap.
***
Masyarakat
Maluku Utara sudah pasti paham dan sekilas punya bayangan saat Anda, misalnya, melontarkan sebuah
pertanyaan: “Apakah ngoni kenal deng AHM?” Dan saya
pastikan, di atas 50 persen mereka akan menjawab: “Kanal.”
Ketika
Anda bertanya lagi, dengan kategori pertanyaan yang lebih spesifik, misalnya:
“Siapa itu AHM”? Di sini, jawaban mereka
tampak mulai berserak dan centang perenang, seperti: “Calon gubernur!” Kata
seorang jojaru. “Mantan Bupati
Kepulauan Sula!” jawab seorang
ibu penjual bawang, rica, dan tomat. “Ah, dia itu kan tersangka kasus masjid
raya Sanana,” kata aktivis Himpunan Pelajar Mahasiswa Sula (HPMS). Dan sederet
jawaban beragam lainnya akan melesat tiada henti-hentinya dari mulut rakyat
Maluku Utara yang
jujur dan polos itu.
AHM
memang terkenal, fakta itu sudah tak dapat dielakkan. Dan
mustahil dicoba. Dalam sejarah
hidupnya, AHM telah menduduki posisi-posisi
penting yang barangkali tidak pernah terpikirkan olehnya sewaktu lulus bangku
SMA. Pernah menjabat sebagai ketua DPRD Kepulauan Sula
(2004-2005), bupati Kepulauan Sula dua periode (2005-2015), ketua DPD I Partai
Golkar Maluku Utara, calon gubernur Maluku Utara dan
sekarang, sebagai Ketua Bidang Koordinator
Bidang Pemenangan
Pemilu (Bappilu) Wilayah II Indonesia Timur DPP Partai Golkar membuat tak ada lagi penghalang bagi
popularitasnya kecuali dua hal: masalah hukum dan usia tua. Tidak heran atas popularitasnya
yang mentereng itu,
oleh orang-orang yang fans
berat dengannya, juga para supporter-nya yang barangkali siap mati untuknya, diklaim secara sepihak dan tergesa-gesa,
bahwa: AHM adalah tokoh nasional.
Ditanya,
apa tepat diklaim semacam itu, para pendukung AHM jamak menjawab: (1) sebab AHM sering muncul di layar TV -kebanyakan mendampingi di
belakang ketua umum Golkar dan tokoh Golkar yang diwawancarai reporter stasiun
TV. Saya pikir, jika kemunculan di TV menjadi indikator seseorang
pantas disebut tokoh nasional, lalu bagaimana dengan mereka
yang pernah diwawancarai secara eksklusif oleh salah satu stasiun TV tapi tak
pernah oleh pendukungnya di sebut tokoh nasional? Haji Bur dan Hein Namotemo
misalnya. So, where is wrong?
Kedua,
terhadap pertanyaan itu, jawaban lain datang dari para pendukung AHM yang berkata:
“AHM pantas disebut tokoh nasional barang
dia adalah orang Maluku Utara yang memperoleh jabatan di DPP Partai Golkar
(Baca: Ketua Bappilu Wilayah II).” Lalu
apa bedanya dia dengan Basri Salama yang menduduki posisi sama di Partai
Hanura? Atau Yamin Tawari, yang memiliki posisi penting di DPP Partai Perindo.
Ah, tak perlu repot-repot menyebut nama Abdul Ghafur, terlalu jauh.
Apa
Track Record AHM?
“Seorang
cagub ideal adalah mereka yang setidaknya memiliki track record baik,” kata para pengamat politik di koran-koran,
radio dan TV. Apa ukurannya? “Punya
integritas, kualitas dan leadership baik,” lanjut mereka. Bagaimana
dengan AHM?
Sebelum
menjawab hal itu, tentu dan sangat perlu dibedah seakuratif mungkin prestasi
kepemimpinan publik AHM di masa lalu.
Baiklah,
apa yang AHM
dilakukan saat memimpin kabupaten Kepulauan Sula selama 10 tahun lamanya
hampir tak ada yang bisa dibanggakan. Fakta
proyek pembangunan Masjid Raya Sula yang mengkrak sampai rezim berganti adalah soal pertama. Mengapa tidak
selesai? Tentu ada yang salah, dan sedihnya, AHM justru dituduh sebagai otak dibaliknya dan sempat
di seret ke meja hijau. Walaupun dengan analisa dan
putusan hukum yang menimbulkan pros and cons,
pengadilan akhirnya memenangkan dirinya. Kendati,
hingga sekarang mereka masih berusaha untuk menyeretnya kembali, isu itu
pelan-pelan pergi dari memori publik tanpa pamit.
Soal
kedua adalah mangkraknya pembangunan kantor bupati yang sampai saya lihat pada
2016 silam, pasca purna kepemimpinan AHM, tidak ada tanda-tanda akan selesai.
Padahal proyek tersebut dijalankan di masa AHM memimpin. Diduga ada permainan
proyek dibaliknya yang berimplikasi pada fakta yang dapat masyarakat Sula lihat
dengan hati nuraninya sendiri.
Soal
ketiga, koran Fajar Malut pada 2016 pernah mengabarkan dalam satu beritanya bahwa pada masa periode kepemimpinannya yang pertama
(2005-2010), AHM lebih banyak menghabiskan waktunya di ibu kota. Mengapa
begitu? Hanya AHM yang tahu. Masih menurut Fajar Malut, waktu yang dihabiskan
AHM bahkan separuh dari 5 tahun masa kepemimpinannya itu. Wow, sangat memalukan untuk seorang pejabat publik. Kabarnya, dan ini masih harus
dibuktikan, AHM punya bisnis pacuan kuda di sana yang mesti dikontrol lebih disiplin.
Bisnis-bisnisnya yang tersebar di tempat lain tentu mustahil lepas dari
kontrolnya. Dan sayangnya, kebiasaan AHM
itu masih dilanjutkan sampai periode kedua kepemimpinannya (Fajar Malut, 2012).
AHM yang tetap konsisten dengan pendiriannya itu
menimbulkan pertanyaan: “Apakah urat malunya sudah putus?”
Soal
keempat, saya kira masyarakat Maluku Utara telah tahu bagaimana AHM menjalankan
strategi politiknya pada Pilgub 2013 lalu. Politik uang adalah fakta yang tak
dapat dibantah terhadap bagaimana dia memainkan nurani dan opini publik
sekehendak hatinya. Fakta ini sekarang dapat kita akses dengan sangat mudah,
misalnya di Youtube dan berita-berita daring.
Soal
kelima, Istana Daerah (ISDA) Sula oleh supporter AHM disebut-sebut
prestasi yang tidak dapat dilakukan bupati/wali kota lain di Maluku Utara.
Tapi, sudikah mereka menyebut itu sebagai prestasi, sementara penggunaan ISDA sulit
dibuktikan dipersembahkan sebesar-besarnya untuk kemashlahatan masyarakat Sula,
alih-alih kepentingan AHM pribadi. ISDA adalah satu tragedi yang menyesakkan
dada.
Apa
buktinya? Lihatlah dengan mata kepala Anda sendiri. Apakah dapat disebut hebat
seorang bupati yang mendirikan sebuah istana indah di tengah kota, berdiri
kokoh bersanding sebuah benteng tua, diteduhi rimbunan pepohonan
disekelilingnya, sementara kantor bupati sendiri yang berdiri kokoh gagah di
atas salah satu bukit yang menjulang menghadap kota, tidak jelas kapan
rampungnya?
Dalam
sejarah negara-negara poskolonial, namanya istana tak bisa dipisahkan dengan
penjajahan. Istana adalah simbol kekuasaan penjajah, khususnya penjajah feodal,
terhadap pribumi jajahannya. Amat jarang istana dibangun oleh dan untuk
kepentingan pribumi. Beberapa istana di Jakarta salah satunya Istana Merdeka,
Istana Bogor di Bogor dan istana yang pernah jadi kantor kepresidenan di
Yogyakarta, semuanya dibangun Belanda dan beberapa diantaranya didiami para
gubernur jenderal Hindia Belanda di masanya. Jadi apa urgensi pembangunan ISDA
sebenarnya? Hanya AHM dan Tuhan yang tahu.
Sampai
di sini, apakah politisi model AHM harus kita pilih pada pilkada mendatang?
Masyarakat tampak sudah tahu jawabannya. Tapi untuk memperjelasnya, izinkan
saya bantu menjawab: tidak!
Penutup
Soe
Hok Gie pernah menulis: “Lebih baik diasingkan dari pada tunduk pada
kemunafikan.” Iwan Fals berkata: “Aku tak ingin menang, aku hanya
ingin benar.” Masyarakat Maluku Utara sesungguhnya
tidak bingung menentukan pilihannya pada Pilgub 2018 mendatang.
Tapi mereka hanya, seperti ditekankan oleh dua tokoh tadi: mereka belum tegas
bersikap dan memiliki keberanian untuk memperjuangkannya.
Sesungguhnya
masyarakat Maluku Utara tahu, pemimpin ideal adalah pemimpin yang integritasnya
tanpa cela. Tidak usah jauh-jauh seperti adagium John
Quincy Adams di awal tulisan ini, contoh
konkritnya mudah: (1) tidak pernah terlibat kasus hukum, (2)
tidak terlibat money
politic, (3) tidak
bermasalah dengan rakyatnya. Dan saya hampir yakin, masyarakat Maluku
Utara, terutama Sula tahu
betul model
pemimpin seperti apa AHM itu. Tapi, dan
ini yang menjadi tugas para akademisi ilmu politik
dan pemerintahan di Maluku Utara,
juga mahasiswa dan kaum pro demokrasi,
seringkali hati nurani masyarakat dengan sengaja oleh mereka sendiri dibiarkan
silau oleh gemerlapnya uang yang berseliweran saat pilkada berlangsung. Dan AHM,
adalah salah satu, dari sekian calon gubernur yang mengatur itu semua
dan patut bertanggung jawab.
Lantas,
timbul pertanyaan: bagaimana mungkin kepemimpinan Maluku Utara 5 tahun ke depan
kita serahkan kepada orang semacam dia? Silahkan merenung. Tapi saya sarankan exercise lah diri Anda untuk terbiasa
membaca lebih dan mulailah belajar kritis pada kandidat calon gubernur manapun
saja -tidak terbatas pada AHM- yang nanti maju berkompetisi dalam kontestasi
elektoral tahun depan. Dengan begitu, semoga kita bukan bagian dari mereka yang
merencanakan kegagalan yang nanti bakal diderita kemudian oleh generasi
mendatang.
Jati, 5 Desember 2017
* Mahasiswa Ilmu Politik
FISIP UMMU Angkatan 2014. Ditulis untuk diskusi bebas,
namun batal, bersama Kawan AHM pada 5 Desember 2017.
Komentar
Posting Komentar