POSISI ILMU DAN FILSAFAT DALAM MENCAPAI KEBENARAN
Judul :
Tahu dan Pengetahuan: Pengantar ke Ilmu dan Filsafat
Penulis : Prof. I. R. Poedjawijatna
Penerbit :
Penerbit Rineka Cipta
Cetakan :
Kesembilan
Halaman :
120 hlm
Tahun : 2004
Bicara tentang filsafat dan ilmu selalu berujung
pada diskursus tentang cara mencapai kebenaran. Sekilas yang terbayang saat
memikirkan cara mencapai kebenaran itu sederhana. Bahwa sesuatu yang benar selalu
dapat diketahui. Dalam praktiknya, ternyata tidak semudah yang dibayangkan.
Banyak filsuf dan pemikir berselisih paham bahkan mulai dari definisi tentang
kebenaran. Dan bagaimana cara mencapainya, justru semakin membuka arena
konstestasi ide semakin lebar dan ramai. Seperti mencari tahu mana yang lebih
dulu: telur atau ayam?
Kebenaran adalah perkara yang tiada habis-habisnya diperbicangkan.
Polemik disekitarnya melahirkan banyak debat dan buku. Hal ini sudah terjadi
sepanjang peradaban umat manusia. Kebenaran selalu punya penganut itu benar,
tapi tidak pernah mendapat kesepakatan universal itu juga tidak salah.
Saat kebenaran disepakati oleh komunitas orang, toh
ada saja tafsir alternatif yang muncul di tengah-tengah lantas mengajukan
pendapat berbeda. Dalam masa tertentu ada kalanya satu kebenaran disepakati bulat,
namun di masa yang berbeda, kebenaran itu justru dipertanyakan. Penafsiran
ulang, penyesuaian dan penggabungan, bahkan revisi, tak terhindarkan. Tapi
terkadang pula kebenaran terdahulu direpetisi kembali lantaran kebenaran yang
menggantikannya dianggap usang.
Ikhtiar mencari kebenaran seperti jalan tak ada
ujung. Di satu pihak, hal itu dikeluhkan, tapi di lain pihak justru dianggap suatu
kewajaran. Para filsuf postmodern hari ini menganggap kebenaran harus relatif
demi kebenaran itu sendiri. Tetapi kaum
agamawan bersikukuh bahwa kebenaran itu tidak relatif, ia nyata dalam wahyu
yang diyakini komunitas beriman. Lalu, apakah kebenaran itu?
Buku Tahu dan
Pengetahuan ditulis untuk membantu kita memahami posisi dan fungsi ilmu dan
filsafat dalam usaha mencapai kebenaran. Bagi mereka yang pernah berinteraksi
dengan karya-karya seputar filsafat ilmu, sesungguhnya kontennya tidak jauh
berbeda dengan buku ini.
Tahu
Setiap manusia mempunyai tabiat untuk mengetahui
sesuatu. Sejak awal penciptaan manusia, hasrat ingin tahu itu sudah ada. Hal
ini bisa kita lihat pada tabiat anak kecil yang suka bertanya kepada orang
tuanya. Mengapa Nabi Adam dan Siti Hawa diturunkan Allah swt dari surga, selain
karena tipu daya Iblis, juga terusik hasrat ingin tahu tentang buah kuldi yang haram
didekati itu.
Hasrat ingin tahu membuat manusia banyak memperoleh
informasi baru yang belum pernah diketahuinya. Informasi itu bisa diperoleh
dari mana saja tapi umumnya ditempuh melalui bertanya (hlm. 10).
Pertanyaan bisa diajukan kepada orang lain atau pada
diri sendiri. Selama ada sesuatu masih mengganjal pikiran, manusia akan terus
bertanya. Rasa ingin tahu memang tabiat manusia yang paling mendasar. Tapi,
tidak selamanya manusia akan bertanya. Ada pertanyaan yang tidak bisa dijawab
atau kalau pun bisa, tidak memuaskan. Akhirnya manusia melakukan penyelidikan.
Diambil dari https://www.aceshowbiz.com/images/still/agora13.jpg
Namun, menurut Poedjawijatna, pertanyaan dan
penyelidikan tidak akan terjadi apabila manusia tidak mengagumi dulu hal-hal
disekelilingnya (hlm 11). Refleksi tentang lingkungan sekitar, laku dan tabiat manusia
serta fenomena alam di sekitarnya, merangsang timbulnya keinginan untuk tahu. Pertanyaan
dan penyelidikan yang dilakukan manusia menunjukkan bahwa ada keinginan untuk
mengetahui sesuatu apa adanya. Yang benar itulah yang dicari demi memuaskan
keingintahuan manusia. Maka, tahu yang memuaskan adalah tahu yang benar. Tahu
yang tidak benar disebut keliru.
Manusia mencari tahu dari fenomena di sekitar
dirinya. Segala sesuatu yang tertangkap oleh indera maupun tidak adalah objek
tahu. Menurut Poedjawijatna, keadaan ini membuat objek tahu terbagi dua: apa
saja yang ada dan apa saja yang mungkin ada. Yang pertama kita bisa menyebutnya
manusia dan seisi alam sedangkan yang terakhir adalah apa saja yang tidak
tertangkap indera, namun diyakini ada. Hal ini bisa saja kejadia di masa depan.
Bisa juga menunjuk segala sesuatu yang bersifat metafisik tapi diyakini ada
seperti; Tuhan, malaikat, iblis, dll.
Pengetahuan dan Ilmu
Proses tahu tadi menghasilkan pengetahuan. Tapi
untuk menjadi sebuah pengetahuan tahu membutuhkan ‘putusan.’ Misalnya, atas
dasar pengetahuan dikatakan Bung Karno lahir di kota Surabaya. Jadi kita
mengasosiasikan Surabaya dan Bung Karno. Kita mengakui sesuatu terhadap
sesuatu. Nah, pengakuan seperti ini disebut ‘putusan.’
Menurut Poedjawijatna, tanpa ada keputusan, tidak
pernah ada pengetahuan. Jadi pengetahuan mengandaikan putusan. Tanpa ada
keputusan bahwa Bung Karno lahir di Surabaya maka orang bakal percaya isu yang
mengatakan bahwa Bung Karno lahir di Blitar itu benar. Dengan asumsi bahwa ia
dimakamkan di sana dan Presiden Joko Widodo pernah mengatakan hal serupa. Maka kebenaran
itu menjadi tersembunyi. Ketidakmampuan membuat keputusan disebut keraguan.
Lalu, bagaimana caranya kita mengetahui bahwa
pengetahuan yang kita peroleh itu benar? Menurut Poedjawijatna, pengetahuan
dianggap benar apabila pengetahuan itu sesuai dengan objeknya (hlm. 16). Seperti
kasus Bung Karno lahir di Surabaya di atas. Setelah dilakukan penyelidikan, diperoleh
fakta ternyata benar bahwa Bung Karno
lahir di Surabaya. Tersingkaplah, bahwa isu kelahiran di Blitar tidak valid.
Karena pengetahuan yang benar adalah yang sesuai
dengan objeknya maka kita mengenal pengetahuan objektif. Konsep objektivitas
muncul sebagai legitimasi atas kebenaran suatu pengetahuan.
Selain itu, landasan kebenaran pengetahuan ditentukan
oleh pengalaman. Thomas Malthus boleh saja berteori bahwa penambahan jumlah
manusia yang lebih cepat dari produksi makanan akan mengurangi jumlah makanan
dan menciptakan krisis. Tapi selama pendapat itu tidak terbukti dalam
pengalaman hidup manusia, ia selamanya ditolak. Jadi pengetahuan yang benar
adalah yang teruji oleh pengalaman.
Menurut Pudjawijatna, menurut tingkatannya,
pengetahuan terbagi dua. Pertama,
pengetahuan yang dipergunakan orang terutama untuk hidupnya sehari-hari tanpa
mengetahui seluk-beluk yang sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya –tidak
mengetahui sebabnya demikian dan apa sebabnya harus demikian. Pengetahuan
seperti ini disebut pengetahuan biasa.
Kedua,
pengetahuan yang dikaji secara mendalam, tidak memperhatikan fungsinya saja,
bahkan apabila tidak memiliki fungsi sekalipun, tetap diselidiki. Pengetahuan
seperti itu disebut: ilmu (hlm. 24). Jadi, ilmu adalah pengetahuan yang dikaji
secara mendalam dan sudah melalui proses ilmiah sedemikian rupa.
Tujuan ilmu untuk mencapai kebenaran ditempuh dengan
pendekatan tertentu. Hal ini disebut metodos
atau metode (hlm. 25). Metode akan membawa pada penyelidikan dan penelitian.
Hal-hal terkecil atau khusus yang diperoleh selama proses metodos nantinya dikumpulkan dan digeneralisasikan menjadi teori. Maka
ilmu itu harus bersifat umum atau universal. Susunan dari hal-hal yang
berhubungan dan merupakan satu kesuluruhan itu dinamakan sistem.
Menurut Poedjawijatna, gabungan unsur-unsur di atas
–objektif, metodos, universal dan sistematis- mendorong pengetahuan memenuhi
kriteria untuk menjadi ilmu. Jadi, tanpa
keempat unsur itu, pengetahuan mustahil menjadi ilmu.
Filsafat
Tadi, telah diuraikan bahwa ciri ilmu diantaranya
harus sesuai pengalaman dan objeknya mencakup apa yang ada dan mungkin ada.
Dalam praktiknya, ilmu ternyata memiliki batasan cakupan karena mengandaikan
pengalaman tadi. Jadi pengetahuan yang berada di luar pengalaman, artinya belum
pernah dialami, tidak terjangkau.
Kajian ilmu berpusat pada mengetahui objek yang ada atau mungkin
ada. Tapi untuk mengetahuinya ilmu
bergantung pada jangkauan indera (hlm. 45). Jika bergantung pada relasi itu,
ilmu sulit menjadi umum karena indera menghasilkan proposisi yang bersifat khusus.
Padahal, sebagaimana diuraikan tadi, syarat mencapai kebenaran adalah
keberlakuannya secara umum. Ilmu yang mampu menyelidiki yang ada berarti menyelidiki sebab yang
sedalam-dalamnya. Jadi, ilmu yang mencoba mencari sebab yang sedalam-dalamnya
bagi segala sesuatu yang ada maupun tidak ada disebut filsafat (hlm. 46).
Filsuf positivisme asal Prancis, Auguste Comte
pernah membuat tesis bahwa umat manusia kelak akan berkembang dari makhluk yang
religius menjadi manusia rasional dan sekuler atau positivistik. Itu betul
sebagian terjadi di Barat. Tapi di Timur, khususnya negeri-negeri muslim,
gejala yang terjadi justru sebaliknya: menguatnya islamisasi. Imigran muslim
yang bermigrasi ke Barat justru membawa tren tersebut lewat saluran-saluran
budaya, sosial dan akademis sehingga Huntington berspekulasi rentan terjadi
‘benturan peradaban.’
Tesis Comte itu jika dinalar menggunakan perangkat
ilmu tidak akan sampai, karena belum pernah terjadi sebelumnya. Tapi filsafat
mampu menjelaskannya. Misalnya, Comte berkaca pada perkembangan ilmu
pengetahuan yang bersamaan datang dengan era renaissance (kebangkitan kembali). Timbul hipotesis yang
beranggapan makin terdidik seseorang maka makin rasional dan sekulerlah ia.
Kemampuan filsafat yang melampai jangkauan ilmu mendudukkannya
pada posisi istimewa. Kedudukan itu menempatkan filsafat mendahului ilmu. Maka
filsafat disebut-sebut yang melahirkan
ilmu.
Meski kedudukannya yang berbeda itu, dalam rangka
mencapai kebenaran, filsafat dan ilmu bisa dipergunakan secara bersamaan. Yaitu
dalam objek materia dan forma. Objek materia adalah segala sesuatu yang diselidiki
apakah ada atau mungkin ada. Objek forma adalah perspektif dan sudut pandang
yang diambil peneliti untuk menyelidiki objek materia itu. Misalnya, kasus
Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai objek materia. Ilmu sejarah sebagai objek
forma menguraikan kronologisnya dengan lengkap sehingga pengetahuan orang
seputar posisi kelompok pemuda radikal, Bung Karno dan Hatta, dan Laksamana
Maeda di sekitar Proklamasi, menjadi terang. Tapi, pertanyaan soal apa itu
kemerdekaan? Mengapa kemerdekaan harus segera diproklamasikan? Dan mengapa pula
harus diproklamasikan? Adalah ruang lingkup filsafat. Materianya sama tentang
sejarah 17 Agustus tapi objek formanya berbeda (hlm. 62). Ilmu sejarah
menguraikan kronologi peristiwa, tetapi filsafat
menyusun refleksi kritis di baliknya.
Penutup
Poedjawijatna menyadari
menjelaskan posisi ilmu dan filsafat menggunakan analisa tahu dan pengetahuan
bukan hal yang lazim. Tetapi untuk mencapai kebenaran yang objektif, sedangkan
pendekatan ini memadai untuk mempertemukan pengetahuan dengan objeknya, maka
sangat dimungkinkan untuk dilakukan. Toh, kebenaran itu sendiri, sejauh ia
mampu dicapai apapun dan bagaimanapun metodenya, kendati harus menyusuri
samudera dialektika yang luas, maka harus ditempuh. Yang terpenting bukan hasil
berupa kebenaran itu sendiri, tetapi sebagaimana dikatakan Poedjawijatna dalam
kalimat penutupnya: “Bagi kami haruslah
manusia selalu berusaha mencapai kebenaran, itu tujuan tahu entah tahu ini
berupa pengetahuan biasa, entah disebut ilmu entah disebut filsafat.”
BalasHapusizin share ya admin :)
buruan gabung bersama kami,aman dan terpercaya
ayuk... daftar, main dan menangkan
Line : agen365
WA : +855 87781483 :)
Silakan di add ya contaknya dan Bergabung juga ya :)
Ditunggu ya Bosku :)