MUNGKINKAH MANUSIA “MENJADI” TUHAN


Setelah sukses mengungkap rahasia keunggulan manusia dalam bukunya Sapiens,  Yuval Noah Harari, berargumen bahwa manusia sesungguhnya bisa melakukan lebih dari itu.  Manusia (homo) tidak hanya bisa mengalahkan Homo Neandertal, mempunahkan harimau Jawa, dan menduduki posisi teratas rantai makanan. Mereka bahkan bisa “menjadi” Tuhan: Homo deus.


Argumen Harari mungkin dianggap mengada-ada dan konyol. Tetapi, dengan menggunakan data sejarah dan biologi, ia menunjukkan bahwa teorinya itu mungkin terjadi.

Harari berangkat dari tiga masalah utama yang menghantui manusia sepanjang sejarah yakni; kelaparan, perang, dan wabah. Ketiganya pernah menjadi momok bagi manusia karena menghilangkan banyak nyawa dan mempunahkan banyak bangsa.

Misalnya, pada abad 14, wabah Maut Hitam membunuh 75 juta sampai 200 juta orang di Asia, Eropa, dan Afrika. Bangsa Aztec dan Inka takluk oleh imperialisme Spanyol karena terlebih dahulu terserang wabah yang dibawa orang-orang Eropa. Imperialisme Inggris yang menusuk sampai ke Tasmania membuat orang Aborigin Tasmania punah dari muka bumi.

Akan tetapi, berkat ilmu pengetahuan dan teknologi, meski belum sepenuhnya teratasi,  manusia memiliki kemampuan untuk mengelola ketiga masalah itu makin baik sehingga berhasil mencegah jatuhnya banyak korban dan kemungkinan kepunahan.

Masalah pokok yang dihadapi manusia sekarang justru adalah soal gaya hidup. Apa yang dimakan dan dilakukan manusia ternyata mempengaruhi kualitas hidupnya. Pada 2010, kelaparan digabung dengan gizi buruk membunuh sekitar satu juta orang, sedangkan obesitas membunuh tiga juta orang (hlm. 6). Di tahun yang sama kejahatan terorisme membunuh 7969 orang. Ternyata, McDonald dan Coca-Cola lebih mematikan dari serangan Alqaeda (hlm. 20).

Dari 56 juta kematian manusia yang tercatat pada 2012, 600.000 akibat kekerasan manusia sedangkan 800.000 kematian akibat bunuh diri. Tetapi 1,5 juta orang mati karena diabetes. Ternyata, gula lebih berbahaya dari bubuk mesiu (hlm. 16).


Kemenangan Humanisme

Untuk mengakhiri konflik di antara manusia, perang sejak dulu telah menjadi hukum rimba yang absolut. Namun, lambat laun ternyata perang bisa diselesaikan di atas meja. Diplomasi dan kerja sama internasional menjadi semakin masuk akal. Karena perdamaian niscaya terjadi, maka perang semakin tidak masuk akal (hlm. 17).

Kalau dalam masyarakat agrikultur kuno kekerasan manusia menyebabkan sekitar 15 persen kematian, abad ke-20 kekerasan menyebabkan hanya 5 persen kematian, dan pada awal abad ke-21 berkontribusi hanya 1 persen dari angka kematian global.” (Hlm. 16)

Konsekuensi dari tidak masuk akalnya perang adalah hak untuk hidup menjadi nilai paling fundamental. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia disusun untuk melindungi hak-hak itu. Muncullah di sini jiwa zaman (zeitgeist) baru. Namanya humanisme.

Humanisme meletakkan hak hidup manusia sebagai satu hal yang vital. Makanya pembunuhan amat ditentang dan hukuman mati ingin dihapuskan. Pandangan terhadap kematian ini terus berkembang sampai pada tahap untuk melawannya. Kematian oleh kaum humanis dianggap kejahatan melawan kemanusiaan (hlm. 24). Dan menurut Harari, manusia kini mengincar tujuan untuk mengatasinya.

“… kita kini mengincar tujuan untuk mengatasi usia tua dan bahkan kematian itu sendiri.” (Hlm. 25)


Keniscayaan Algoritma

Bagi Harari, kematian sendiri hanyalah masalah teknis (hlm.24). Pemecahannya dilakukan berdasarkan bukti ilmiah. Salah satunya dengan merekayasa biologi struktur tubuh manusia yang tercatat dalam algoritma. Salah duanya adalah rekayasa cyborg dan benda-benda non-organik (hlm. 49).

Di sini, humanisme berhadapan dengan agama. Namun, Harari menyikapinya dengan penuh optimisme. Menurutnya, senja kala agama hampir tiba. Baginya, agama sudah tidak relevan karena ia merupakan produk revolusi pertanian 12.000 tahun silam. Ia akan digantikan humanisme yang merupakan anak zaman revolusi sains.  

Menurut Harari, adalah tidak masuk akal menghubungkan ketidakbahagian manusia dengan kualitas ibadahnya kepada Tuhan. Kebahagian tidak ada hubungannya dengan teologi. Kebahagiaan adalah reaksi dari pengalaman subjektif yang muncul dari sensasi menyenangkan dalam tubuh (hlm. 41). Sedangkan sensasi adalah algoritma pemrosesan data biokimiawi (hlm. 123).  Jadi, kebahagiaan dapat diperoleh dengan melakukan rekayasa biokimiawi pada tubuh manusia. Coba bayangkan saja, jika industri farmasi bisa memproduksi obat yang dapat menghilangkan sensasi rasa takut pada tentara. Mungkin perang akan lebih mudah dimenangkan.

Ternyata, kemampuan algoritma tidak hanya mampu mengubah sensasi manusia. Algoritma telah menempuh pengembangan sedemikian rupa sehingga dapat menyamai kemampuan manusia. Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence-AI) bisa mengalahkan manusia. Program komputer catur, Deep Blue, yang dirancang perusahaan komputer IBM pernah memaksa master catur Garry Kasparov menyerah pada 1996. Sedangkan program komputer milik Google, AlphaGo, berhasil menaklukkan juara Go Korea Selatan, Lee Sedol, dua puluh tahun kemudian.

Menurut Harari, semua tatanan dunia modern yang berlaku saat ini mampu dibatalkan apabila rekayasa genetika dan kecerdasan artifisial menunjukkan potensi penuhnya. Demokrasi, pasar bebas, dan liberalisme bisa menjadi usang sebagaimana pisau batu, kaset, Islam, dan komunisme di zaman sekarang (hlm. 318).

Kemampuan algoritma yang mampu menyamai kemampuan manusia membuat keberadaannya menjadi penting. Bagi orang-orang yang menguasainya, kekayaan dan kekuasaan menjadi mudah dihisap. Para elite yang berjumlah sedikit itu dengan kepemilikan algoritma secara monopolistik, menciptakan kesenjangan sosial politik yang menganga (hlm. 371-372).

Namun, Harari membuka kemungkinan bahwa algoritma bisa membebaskan diri dari kepemilikan manusia dan mengatur dirinya sendiri. Menurutnya, sebagai realita intersubjektif, posisi algoritma sama saja dengan korporasi dan negara. Toyota dan Argentina tidak punya tubuh dan pikiran, tapi ia diakui banyak orang sungguh ada dan berkuasa. Dewa-dewa bangsa Sumeria, Enki dan Inanna, bisa memiliki tanah dan mempekerjakan orang, mengapa algoritma tidak bisa melakukannya? (hlm. 372).  

Jika korporasi, negara dan Tuhan sebagai realitas imajiner mungkin berkuasa atas manusia, bagi Harari, algoritma sangat mungkin melakukan hal yang sama. Jika algoritma mampu membuat orang bahagia dan menjadi lebih sejahtera, taat pada tertib hukum dan mampu bekerja sama lebih baik, maka manusia tak butuh demokrasi dan negara, juga agama. Cukup percayakan semuanya pada  algoritma, dan semua masalah manusia bisa diatasi.  Saat masa itu tiba, humanisme tinggal sebagai ide usang dan menjadi barang antik dalam museum sejarah.


Dataisme

Di atas reruntuhan itu, Harari mengatakan bahwa akhirnya muncul satu agama baru. Agama ini tidak beranjak dari fenomena metafisik atau keunggulan manusia yang bermuara pada humanisme. Ia timbul dari keunggulan algoritma dan kebebasan arus informasi. Namanya agama data atau dataisme.

Nilai tertinggi dataisme adalah ‘aliran informasi’ (hlm. 438). Dataisme tidak antihumanisme. Kepentingan dataisme hanya satu: kebebasan manusia mengakses informasi.

Menurut Harari, data bukan lagi bahan mentah yang mestinya diolah menjadi informasi, pengetahuan, dan kebijaksanaan. Paradigmanya sekarang berubah, semuanya bekerja untuk data. Sebab, kaum datais ragu dengan pengetahuan dan kebijaksanaan manusia, dan lebih suka menaruh kepercayaan mereka pada ‘Big Data’ dan algoritma-algoritma komputer (hlm. 424).

Dataisme meyakini manusia tidak bisa lagi menangani aliran besar data. Mengapa demikian? Karena manusia sebenarnya tak lebih dari susunan algoritma-algoritma dan kehidupan manusia sebenarnya adalah pemrosesan data. Bahkan jerapah dan tomat adalah metode pemrosesan data.

Hal yang sama berlaku pula pada demokrasi dan komunisme.  Keduanya hanya berbeda pada metode pemrosesan datanya. Demokrasi adalah pemrosesan data yang dilakukan secara distributif, komunisme adalah pemrosesan data yang dilakukan secara sentralistik (hlm. 425). Menurut para datais, kekalahan komunisme pada penghujung abad 20 bukan karena demokrasi sebagai sebuah sistem lebih bagus, dan masuk akal, tetapi semata-mata karena ia mampu memperbaiki sistem pemrosesan data global (hlm. 437).

Dengan berakar dari sains komputer dan biologi, dataisme memandang bahwa organisme adalah algoritma biokimia. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, dataisme menyatakan bahwa hukum matematika yang sama berlaku pada algoritma biokimia maupun algoritma elektronik sehingga memungkinkan keduanya untuk dihubungkan (hlm. 423). Dataisme akhirnya meruntuhkan penghalang antara binatang dan mesin dan memungkinkan keduanya untuk saling membantu.

Dalam relasi ini, menurut Harari, algoritma-algoritma elektronik akan mengurai dan melampaui algoritma-algoritma biokimia. Kaki bionik yang dipasangkan pada orang cacat contohnya. Meskipun hanya sebuah mesin, mesin kaki bionik bisa digerakkan karena  algoritma elektroniknya bisa dihubungkan dengan sistem saraf manusia sehingga bisa digerakkan manusia.

Dataisme tidak mengenal etika humanis bahwa kebenaran ada dalam diri manusia. Tuhan bukanlah hasil imajinasi manusia –sebagaimana pendapat kaum humanis- tetapi imajinasi manusia itu justru produk dari algoritma biokimia. Bagi dataisme, jika kita ingin menciptakan sebuah dunia yang lebih baik, kuncinya adalah bebaskanlah data.

Sebagaimana kaum kapitalis yang percaya pada kekuatan pasar bebas, kaum datais percaya pada kekuatan tak terlihat aliran data (hlm. 444). Seluruh aliran data akan tersusun menjadi satu sistem pemrosesan data global, di mana manusia menjadi satu aliran di dalamnya.  Karena itu, segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem itu adalah sumber segala makna.

Aliran data yang bebas itu dengan sendirinya membuat akses informasi keluar-masuk dengan bebasnya sehingga membantu dalam pembuatan keputusan-keputusan penting bagi kehidupan umat manusia. Namun, aliran data yang bebas itu akan makin menumpuk, makin sukar dikontrol, dan membuat manusia menyerah. Dulu, kekuasaan berarti adalah akses penuh terhadap data, sekarang kekuasaan berarti tahu apa yang mesti diabaikan dan dilepaskan. Pada saat itulah, manusia memutuskan menanggalkan tugas sejarahnya dan menyerahkannya pada algoritma.


Catatan Kritis

Buku Homo Deus mengilustrasikan masa depan manusia yang makin suram. Saat sedang berada di puncak kemajuan dan kejayaan, manusia diprediksi akan tersungkur pada sejarah masa depan yang dikuasai algoritma.

Kemampuan Harari mengintegrasikan fakta sejarah ke dalam gagasannya yang konsisten dan dinarasikan dengan bahasa yang populer dan mengalir, menimbulkan decak kagum.

Akan tetapi gagasan Harari menyimpan sejumlah kelemahan yang patut digugat. Pertama, ia kadung percaya bahwa jalan sejarah dunia akan semulus kisah-kisah sejarah masa lampau. Harari percaya bahwa revolusi teknologi yang akan melahirkan dataisme akan bernasib seperti jejak revolusi sains yang melahirkan humanisme. Jadi, maksud Harari, umat manusia hari ini sudah menganut humanisme dan sedang atau akan meninggalkan produk revolusi pertanian: agama.

Teori Harari ini sebenarnya mirip dengan Francis Bacon, filsuf renaissance Prancis yang mengatakan bahwa manusia menempuh sejarah meninggalkan teologi, masuk ke metafisika dan akhirnya ditutup dengan menganut atheisme. Padahal, setelah lima abad kemudian, orang di Barat tidak semuanya menjadi atheis. Bahkan kekuatan politik kanan semakin ramai bermunculan dan satu per satu naik ke singgasana kekuasaan. Itu belum lagi ditambah dengan fakta migrasi besar-besaran orang muslim dari Asia ke Eropa.

Sepertinya Harari  agak ragu untuk meyakinkan sidang pembaca dengan teorinya saat ia mengatakan  bahwa dataisme belum akan muncul sekarang, mungkin  satu atau dua dekade ke depan. Atau harus menunggu satu dua abad lagi.

Kedua, saya tidak mengerti mengapa Harari pada halaman 318, menyebut Islam sama usangnya dengan pisau batu, kaset, dan komunisme. Padahal, Harari tidak pernah membahas Islam secara panjang lebar dalam buku ini sebagaimana ia menguliti humanisme dan komunisme. Apakah pernyataan itu datang dari dorongan alam bawah sadarnya sebagai warga Israel yang memandang muslim sebelah mata?

Pertanyaan saya, apa yang usang dari Islam? Apakah keusangan Islam itu satu tarikan napas dengan agama-agama lain yang bergantian disebut Harari dalam buku ini?

Satu hal menarik lain adalah Harari memasukkan Alqaeda sebagai aktor terorisme global yang turut berkontribusi pada kematian 7969 orang di tahun 2010 halaman 20. Pertanyaan saya, apakah angka itu termasuk kejahatan teror yang dilakukan tentara Israel terhadap warga sipil Palestina?

Ketiga, bahwa Homo deus adalah sebuah kemungkinan bukan ramalan tentu membedakannya dengan Manifesto Partai Komunis karya Karl Marx yang meramalkan kemenangan komunisme dan The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto karya W.W. Rostow yang meramalkan nasib sebaliknya. Harari mungkin dengan mudah bisa merumuskan formula alternatif terhadap keunggulan humanisme hari ini,tapi apakah ia akan menjamin bahwa transformasi demokrasi liberal menjadi datakrasi akan ditempuh dengan mudah? Homo deus mengingatkan saya pada The End of History-nya Francis Fukuyama. Seolah-olah masa depan politik dunia sudah resmi berakhir setelah runtuhnya Uni Soviet dan demokrasi liberal keluar menjadi pemenang. Padahal dinamika politik global sangat dinamis dan penuh ketidakpastian. Misalnya kemenangan kekuatan kanan di Amerika dan Eropa yang mengancam demokrasi. Bagaimana Fukuyama menjelaskan itu semua?

Barangkali pisau analisa yang dipakai Harari kurang tajam saat ia mengatakan bahwa ilmu sejarah bukan lagi berbicara masa lalu tapi memprediksi masa depan. Bukankah dengan begitu Harari mencoba-coba memposisikan ilmu sejarah sejajar dengan ilmu politik? Apakah konsekuensi yang akan timbul jika ilmu sejarah menjadi seperti ilmu politik? Apakah fakta sejarah menjadi tidak ada bedanya dengan fakta politik? Dan apakah keakuratan ilmu sejarah terbuka peluang untuk meleset sebagaimana halnya ilmu politik? Jika demikian, apakah ilmu sejarah dapat disebut ilmu sejarah?

Keempat, menyamakan kebebasan aliran data seperti pasar bebas dalam kapitalisme adalah satu problem tersendiri. Faktanya sampai sekarang, tidak pernah pasar betul-betul bebas dari intervensi negara. Negara selalu saja mengendalikan pasar dan sebaliknya pasar selalu saja membutuhkan bahkan ingin mengendalikan negara. Tidak heran pengejar rente dan oligarki bermunculan. Lalu, apa yang akan terjadi jika arus data dibebaskan? Apakah negara akan membiarkan data bekerja mengatur dirinya sendiri sementara dari situ satu per satu timbul ancaman terhadap rezim penguasa?

Kelima, Harari sudah pasti tahu bahwa sejarah revolusi dalam politik tidak diilhami oleh kehendak baik manusia untuk menerima perubahan. Harari tak mengulas apakah para humanis akan menyambut Homo deus dengan antusias penuh kesadaran  meninggalkan humanisme, demokrasi liberal, dan kapitalisme? Apakah kaum humanis dengan lapang dada akan membuka semua arus informasi yang dirahasikan negara kepada publik? Apakah kaum humanis rela mengumbar rahasia negara-negara yang berarti mencopot fungsi pokok intelijen yang telah bertahan selama berabad-abad?

Para humanis mungkin akan memuji ide Harari itu tapi bagi mereka yang berkuasa akan menganggapnya seperti menonton film di bioskop atau membaca buku di perpustakaan. Teori Harari mungkin akan menghibur aktor negara bahwa mungkin ada kebaikan besar dibalik menyerahkan struktur negara untuk dikelola algoritma-algoritma komputer. Tapi hal yang sama juga menyadarkan mereka bahwa kuasa dan kapital yang akan lenyap di saat yang sama. Siapkah para humanis hidup tanpa kapitalisme, imperialisme, dan globalisasi? Sampai saat kaum humanis menganggap hanya Homo deus lah solusi global untuk mengatasi krisis dunia, maka Homo deus hanya tinggal sebuah ide yang diapresiasi dan diseminarkan di universitas. Kecuali, Harari memutuskan untuk menanggalkan jubah akademiknya, membangun gerakan Internasional, dan memimpin para datais dan peretas memulai revolusi akbar dataisme.

Judul                : Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia
Penulis             : Yuval Noah Harari
Penerbit           : Pustaka Alvabeta
Cetakan            : III, Oktober 2018
Tebal                 : ix+527 hlm



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*