GAGAL MENCAPAI PUNCAK GUNUNG DUKONO



Gunung Dukono yang terletak di desa Mamuya, kabupaten Halmahera Utara, sejak dulu menarik perhatian saya. Keindahan pemandangan alamnya sudah menjadi perbincangan banyak orang. Padang pasir yang terletak di sekitar puncaknya mempunyai daya tarik tersendiri bagi kaum pecinta alam.

Yang juga menarik dari gunung Dukono adalah asap belerang yang dimilikinya selalu keluar hampir sepanjang tahun. Asap belerang ini menjadi objek wisata alam yang unik dan memberi kesan bahwa Dukono benar-benar hidup. Meski begitu, fenomena tersebut mengingatkan para pendaki bahwa Dukono adalah gunung api aktif dan sewaktu-waktu ia bisa menjadi sangat berbahaya. Para pendaki diajari untuk senantiasa waspada agar hal-hal yang tidak diinginkan bisa dihindari.

Momentum 17 Agustus 2020 memberi kesempatan pada saya untuk mendatangi gunung ini. Saya ditemani oleh empat kawan dari Tobelo: Ahmad, Kina, Amelia dan Marni. Kami berangkat Minggu pagi menumpang sebuah mobil pick up dari pusat kota Tobelo. Waktu tempuh untuk sampai di jalur pendakian di desa Mamuya sekira lima belas menit.

Dugaan Ahmad betul, hari itu di jalur masuk pendakian sudah banyak rombongan pendaki berkumpul. Sebab kabarnya besok pagi akan diselenggarakan upacara bendera di area kamp. Sebelum mulai berjalan, kami diharuskan mencatatkan nama di rumah ketua RT yang berhadapan dengan jalur pendakian. Sebelumnya tidak pernah ada pencatatatan seperti ini. Mungkin kasus pendaki tersesat beberapa bulan lalu mendorong perangkat desa makin lebih waspada.


Gunung Dukono terlihat dari kota Tobelo

Informasi yang saya dengar, sudah ratusan orang pendaki yang menuju puncak. Tadinya saya sedikit khawatir jangan-jangan nanti kesulitan menemukan tempat mendirikan tenda seperti di Gamalama tahun lalu. Tetapi kata Ahmad, lokasi kamp di gunung Dukono cukup besar untuk menampung banyak orang.

Tepat pukul 11.23 WIT kami mulai berjalan kaki menuju pintu rimba. Sebenarnya, untuk menuju pintu rimba masih butuh waktu lebih dari satu jam. Karena itu biasanya para pendaki menggunakan kendaraan roda dua dan empat untuk sampai di sana baru mulai berjalan. Karena tidak dapat kendaraan, kami butuh waktu dua jam untuk tiba di pintu rimba.

Di sini, jalur pendakian terbagi menjadi dua: jalur lama dan baru. Jalur baru terlihat lebih nyaman karena sudah dibeton sejauh lima kilometer. Tetapi banyak pendaki lebih memilih melewati jalur lama. Di sini topografinya lebih alami dan menantang tapi sejuk.

Sepanjang jalur lama yang kami lewati tidak terlihat plang yang menandai pos pendakian. Tetapi beberapa areal terbuka yang dipenuhi para pendaki menunjukkan lokasi pos-pos pendakian itu berada. Kata Ahmad, dulu plang pos terpasang di setiap pos. Tapi sekarang katanya diganti dengan sistem halte. Ya seperti halte bus, tapi hanya berdiri di sepanjang jalur baru.

Siang itu hujan turun meski tidak terlalu deras. Mantel yang tergantung di carrier saya keluarkan. Ahmad, Kina, Amelia dan Marni basah kuyup. Mereka lupa tidak membawa mantel.

Vegetasi hutan di sepanjang jalur Dukono amat menarik. Memang tidak serapat dan selebat Gamalama maupun Gamkonora, tapi kehadiran berbagai fauna di sini sangat terasa. Siul burung-burung bersahutan bergantian. Kalau diperhatikan seperti iringan musik ansambel dalam pertunjukan orkestra. Dari suara burung-burung yang terdengar, saya sering mendengar suara nuri. Burung ini cukup familiar karena banyak dijual di pasar. Sayangnya populasi nuri di hutan Halmahera Utara sekarang tinggal sedikit. Kata Ahmad, pasca konflik horizontal 1999, burung ini banyak diburu untuk dijual.

Suasana di jalur pendakian gunung Dukono hari itu sangat ramai. Rombongan pendaki terus susul-menyusul dari belakang rombongan kami. Saya sering melihat rombongan anak-anak remaja. Bahkan beberapa rombongan anak SD. Sayangnya, peralatan pendakian mereka, seperti umumnya pendaki remaja di Maluku Utara, sangat sederhana. Jauh dari standar keamanan pendaki. Mereka hanya membawa terpal untuk selter. Dan tidak satu pun anak-anak itu saya lihat mengenakan mantel.  

Umumnya hampir semua pendaki yang saya temui di jalur memang tidak memakai mantel. Ketika hujan turun kebanyakan mereka berteduh di rumah kebun milik warga desa. Mereka mungkin sudah tahu bahwa suhu di puncak Dukono tidak sedingin gunung-gunung pada umumnya. Belakangan saya diberi tahu oleh Ahmad bahwa tidak perlu membawa sleeping bag ke Dukono. Tetapi tingginya curah hujan beberapa bulan terakhir, tentu berpengaruh pada suhu udara di puncak. Dan hal itu saya rasakan sendiri ketika nanti tiba di kamp.  

Jalur pendakian gunung Dukono lebih banyak datar ketimbang menanjak. Seharusnya lebih mudah dilalui, tapi anehnya keitka mendaki gunung ini saya merasa lebih cepat capai daripada biasanya. Tas carrier saya terasa lebih berat daripada biasanya. Kawan-kawan saya yang berjalan lebih cepat membuat saya makin tertinggal di belakang. Saya pikir ada yang salah dengan seting carrier saya. Benar saja, ternyata batang frame dan inner tenda yang saya gantung di belakang tas adalah sumber masalahnya. Saya lupa teori mengemas carrier. Lantas, saya masukkan semuanya ke dalam carrier dan rasa capai itu pun lenyap. Kawan-kawan  saya yang sudah jauh di depan dengan cepat bisa saya susul dan tidak pernah tertinggal lagi.  

Pukul 17.00 lewat kami tiba di Pos 4. Di tempat ini jalur lama dan jalur baru kembali bertemu. Aliran sungai di situ sangat deras. Suaranya seperti hujan lebat di kejauhan. Kami beristirahat cukup lama di tempat itu. Mulai dari Pos 4, cahaya matahari semakin redup, sebentar lagi malam akan tiba. Dari situ juga, jalan menanjak mulai sering ditemui dan makin curam.

Kecuali saya, tidak satu pun kawan-kawan saya membawa senter. Saat tiba di Pos 5 hari sudah gelap gulita. Untungnya, rombongan pendaki di depan kami membawa senter, jadi kami bisa mengikuti dari belakang. Sebagai sweeper, saya berusaha membantu agar cahaya headlamp yang saya pakai mencapai kawan-kawan di depan. Alhamdulillah, sampai tiba di kamp tidak satu pun rombongan kami mengalami masalah di jalur.

Hampir pukul 20.00 kami tiba di kamp. Di tempat itu di mana-mana hanya ada pasir. Bentuk pasir di sini sangat halus seperti pasir pantai. Areal kamp di gunung Dukono cukup luas. Saya melihat berlusin-lusin tenda berdiri tak berjauhan. Dari kejauhan, cahaya lampu tenda-tenda itu terlihat seperti kumpulan kunang-kunang.

Malam itu banyak pendaki berkeliaran di areal kamp. Cahaya sorot lampu senter yang mereka bawa bergerak acak ke segala arah. Dari cara mereka berkomunikasi  hampir semuanya adalah warga desa Mamuya.

Dari segala penjuru suara orang bersahut-sahutan terdengar berulang-ulang kali. Suasana di situ sangat ramai. Gerombolan pemuda desa berkerumun dekat tempat rombongan kami beristirahat. Terlihat terjadi ketegangan di antara mereka. Karena mengabaikan perintah pria yang lebih tua, pria yang lebih muda hendak dipukul. Tetapi adu jotos itu batal terjadi karena dihalangi kawan-kawan mereka sendiri. Tak lama kemudian kerumunan itu pun bubar. 

Kami mendapat tempat yang cukup rata. Saya dan Ahmad langsung mendirikan tenda. Kami mendirikan dua unit. Satu untuk saya dan Ahmad, satu lagi untuk para wanita. Flysheet dibentangkan di atas tenda Ahmad yang rentan dirembesi air. Kompor dan nesting saya keluarkan dari carrier untuk membuat makan malam.

Setelah makam malam selesai, Ahmad membuat api di luar tenda. Ia membuat galian di pasir dan mengisinya dengan ranting-ranting kering yang segera menyala dengan cepat setelah dipantik dengan korek gas. Para wanita segera berkumpul di sekitar api. Kawan Ahmad, Dilan, juga ikut bergabung.

Malam itu hujan tak lagi turun. Tidak ada awan di langit sehingga bintang-bintang yang bertaburan di sana terlihat sangat jelas. Sudah lama saya tidak menyaksikan pemandangan langit malam seindah itu.

Saya kembali menghidupkan kompor dan membuat kopi. Sebungkus biskuit kelapa dari saku carrier saya keluarkan. Saya memakan biskuit itu dengan lahap meski sudah tidak lagi utuh. Angin sepoi-sepoi yang sejuk sesekali masuk ke dalam tenda.

Ahmad mengeluarkan sleeping bag  dari carrier-nya. Sleeping bag itu ternyata basah gara-gara hujan sore tadi. Dia berusaha mengeringkannya. Sambil mengeringkan sleeping bag itu, Ahmad berbaring di halaman tenda. Kain flysheet menutupi tubuhnya dari atas.

Rasa kantuk akhirnya datang. Pintu tenda saya tutup sebagian. Matras angin saya kencangkan, sleeping bag saya bentangkan lalu tubuh saya disorong ke dalamnya.

Beberapa jam kemudian saya terbangun. Samar-samar terdengar suara seseorang di luar bertanya tentang minuman keras. Dia bertanya apakah kami mengonsumsi barang haram itu di tenda. Saya pun kembali tidur.

Sekitar pukul 03.00, suara berisik di luar tenda membangunkan saya. Beberapa orang yang masih terjaga mengobrol dengan suara cukup keras.

Sekira pukul 04.30, saya terbangun setelah mendengar keributan di luar tenda. Saya mendengar seseorang memukul pintu tenda. Saya lihat cahaya senter dari jauh menembus dinding tenda. Ahmad memanggil saya dengan cukup kuat.

“Bang! Gunung meletus! Lari Bang!”

Saya terkesiap dan bangun dengan cepat. Saya membuka pintu tenda dan menoleh ke luar. Tapi Ahmad sudah tidak ada. Saya yakin dia sudah lari.

Saya sempat melihat ke arah kawah gunung tapi tidak terlihat pijar lava. Tiba-tiba saya tersentak kaget ketika Dukono mengeluarkan suara gemuruh. Suara itu nyaring sekali di telinga saya. Dalam waktu sepersekian detik, dari isi otak saya muncul satu kata: kematian. Seketika, rasa takut yang hebat memeluk tubuh saya dengan erat.

Panik oleh keadaan itu, saya langsung loncat dari tenda dan mulai berlari. Tiba-tiba  tubuh saya oleng karena kaki saya tersandung  tali tenda yang saya tambatkan dengan kencang di pasir. Saya mulai berlari lagi tapi kemudian berhenti. Saya teringat HP saya masih tertinggal di dalam tenda. Saya pun kembali ke dalam tenda. HP itu berada di dalam tas selempang. Tas itu langsung saya pakai. Tapi saya segera ingat bahwa saya hanya mengenakan kaus kaki. Sepatu pun saya ambil, tak ketinggalan trekking pole.

Beberapa meter berlari saya berhenti lagi. Sepatu itu langsung saya kenakan. Tapi tiba-tiba saya teringat headlamp. Bagaimana bisa turun jika tanpa headlamp? Tanya saya dalam hati. Saya putuskan kembali lagi ke tenda. Saya periksa seisi tenda, tapi tidak ketemu. Lampu tenda yang tergantung di langit-langit langsung saya tarik. Akibatnya lampu itu patah, tapi masih bisa menyala sehingga tetap berguna. Saya kembali berlari.

Sembari berlari, trekking pole saya buka pelan-pelan. Malam itu keadaan kamp gelap gulita. Ratusan senter yang menyala di kejauhan bergerak ke arah yang sama: jalur turun.  Di bukit di mana kawah gunung Dukono berada terlihat beberapa pendaki berjalan turun. Di segala penjuru saya berkali-kali mendengar perintah untuk turun.

Suara gemuruh Dukono masih terus keluar. Di dekat jalur turun saya berhasil menemukan seluruh kawan-kawan saya. Kami sempat bicara satu sama lain tapi tidak ada keputusan untuk kembali ke tenda. Saya sudah mengihklaskan kalau tenda dan seluruh peralatan mendaki saya tidak kembali. Yang saya pikirkan saat ini adalah dapat selamat turun sampai di desa Mamuya.

Tanpa pikir panjang kami pun berjalan turun. Saking banyaknya orang-orang yang berdesakan turun, sempat terjadi antrean di jalur. Di depan dan belakang kami penuh dengan manusia yang tidak kami kenal. Ternyata headlamp yang saya cari-cari tersimpan di dalam tas selempang.  Tambahan cahaya mendorong ritme jalan kami semakin cepat.

Hampir satu kilometer berjalan, abu vulkanik mulai turun seperti salju. Buff dan jaket saya segera penuh dengan abu. Daun-daun dari vegetasi di sepanjang jalur mulai memutih. Masker kain yang tersimpan di dalam tas segera saya kenakan.

Akan tetapi jangkauan abu vulkanik itu ternyata tidak jauh. Sekira dua kilometer berikutnya hujan abu berhenti dan menghilang sama sekali. Sepertinya abu erupsi gunung Dukono dibawa angin ke utara. Akhirnya, kami pun bisa beristirahat sejenak. Tetapi saya tidak melihat keberadaan Ahmad dan Kina di situ. Amelia menimpali dengan mengatakan bahwa mereka sudah jauh berjalan di depan.

Suara gemuruh Dukono yang seperti pecahan ombak di pantai itu masih terdengar jelas. Namun entah mengapa rasa takut berangsur-angsur hilang. Saya sekarang bisa berjalan dengan tenang. Dalam benak saya, saya masih tidak menyangkan bisa kabur dari kamp secepat itu.

Tiba di Pos 4 kami memilih turun menggunakan jalur baru. Ahmad bilang jalur ini lebih cepat dan mudah dilalui. Benar saja, semua orang menggunakan jalur ini untuk turun. Pukul 08.30 akhirnya kami tiba di ujung jalur. Ahmad dan Kina sudah menunggu kami di sana.

Setelah cukup istirahat dan minum air, kami meneruskan perjalanan turun. Suara gemuruh Dukono  hampir  tak terdengar lagi. Di tengah perjalanan, Ahmad bilang nanti sore dia akan kembali naik ke atas membawa turun seluruh peralatan pendakian kami. Dilan juga begitu. Saya sendiri sudah tidak peduli dengan hal itu. Saya akan langsung pulang ke Ternate.

Tak lama kemudian sebuah sepeda motor yang melewati kami tiba-tiba berhenti. Seorang pria yang mengendarainya  bertanya apakah tas dan tenda kami masih di atas. Kami mengiyakan. Pria itu bilang seorang warga desa sepertinya sudah membawanya turun. Dia bilang kami jangan pulang dulu. Tunggu di jalan masuk pendakian.

Tak lama kemudian seorang pria dari atas truk yang lewat juga mengingatkan kami bahwa barang-barang kami sudah di bawa turun. Dia meminta kami menunggu.

Tidak sampai di situ, saat beristirahat di dekat jalan masuk pendakian, seorang wanita paruh baya yang baru tiba dengan sepeda motor juga mengatakan hal yang sama. Dia bilang barang-barang kami sudah di bawa turun.

Setengah jam kemudian orang yang dimaksud pun muncul. Sembari mengendarai sepeda motor, ia menggendong tas carrier cokelat milik Ahmad di belakang dan tas biru milik Amelia di depan. Melihat itu, Ahmad gembira bukan main. Dengan seksama dia  memeriksa isi dalam tas carrier-nya. Orang itu bilang tas carrier saya sedang di bawa turun oleh kawannya yang lain. 


Tim kami dari kiri ke kanan: Ahmad, Marni, Kina, Amelia, dan saya


Setengah jam kemudian, kawan orang itu tiba. Saat melihat tas carrier berwarna merah  melekat di punggungnya, saya pun sontak berdiri. Saya senang bukan main. Saya mengucapkan terima kasih kepada dua warga desa itu. Saya mengapresiasi dedikasi mereka yang tinggi sebagai tuan rumah yang baik. Kalau tidak ada mereka, entah bagaimana nasib tenda dan peralatan pendakian kami di sana.

Setelah memeriksa seisi carrier juga carrier milik Ahmad, saya kehilangan beberapa peralatan seperti; kompor, kaleng gas, mantel, topi dan pisau. Saya pikir ini adalah konsekuensi yang harus ditanggung akibat meninggalkan barang-barang itu. Sekarang yang terpenting, carrier dan tenda saya sudah kembali dan masih berfungsi dengan baik. Dengan begitu pendakian berikutnya bisa segera kembali saya agendakan.  

 

Weda, 24 Agustus 2020

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*