JALUR TERJAL GUNUNG KIE MATUBU
Akhirnya, saya dan kawan saya, Syahril, berhasil mendapat
izin mendaki gunung Kie Matubu. Gunung tinggi di pulau Tidore ini memang
akhir-akhir ini agak sukar memperoleh izin mendaki. Musababnya, gunung ini
dikotori oleh sampah oknum-oknum pendaki tak bertanggung jawab. Saya pikir hampir
satu tahun lamanya gunung ini ditutup.
Tahun lalu saya pernah mencoba untuk naik, namun gagal. Saya
tidak tahu kalau gunung Kie Matubu waktu itu benar-benar sudah ditutup.
Dalam pendakian kali ini, saya tidak mau hal tersebut
terulang kembali. Saya bilang ke Syahril; “Bro. Kali ini, tong harus naik.” Saya sudah bertekad, saya tidak mau gagal lagi.
Tadinya, kami sudah mencoba meminta izin ke sana ke mari.
Setelah beberapa kali mencoba, kami diloloskan oleh salah satu ketua RT di
kelurahan Ladaake. Dari kelurahan tertinggi di pulau Tidore ini, petualangan
mendaki gunung Kie Matubu pun dimulai.
***
Pendakian kali ini bisa dibilang nekat. Pertama, kami berdua tak pernah
sebelumnya mendaki gunung ini. Kedua,
kami tak ditemani satu pun pendaki yang pernah naik gunung Kie Matubu.
Saya bilang ke Syahril; “Bro, pendakian ini
semi-ekspedisi.”
Sudah dua minggu sebelumnya, saya mencari kawan yang bisa
mengantarkan kami, tetapi nihil. Tak satu pun bersedia. Terakhir, kami menaruh harap
kepada salah satu kawan Syahril yang tadinya menyanggupi mendampingi kami. Tetapi
ia justru tak bisa ditelepon sampai tiba hari H. Ah, betapa malangnya nasib
kami, mendaki gunung indah nan terjal tanpa pemandu jalan. Kami berdua sekarang
tidak hanya fokus mengatur napas dan tenaga untuk menghadapi jalur terjal di
depan sana, kami sekarang harus mencari jalur menuju puncak, sendiri.
Kendati begitu, saya tetap bersemangat. Begitu pun
Syahril. Perasaan takut memang sempat singgah di benak saya, tetapi segera
dibakar oleh semangat jiwa muda yang menyala di dalam dada. Semangat itu
tersulut dari panas otot-otot tubuh yang
dipacu terjalnya jalur pendakian.
Saya ingat pesan Pak RT. Ia mengatakan untuk mencapai puncak pendakian, kami
harus melewati jalur kali mati. Pak RT
bilang untuk warga sekitar, butuh waktu dua setengah jam jalan kaki sebelum mencapai puncak. Ia memperkirakan kami
mungkin akan tiba saat Maghrib.
Di bawah cuaca Ladaake yang sejuk, kami mulai berjalan
dari batas jalan aspal. Saat itu sudah hampir jam tiga sore. Ketika sampai di
kali mati yang dikatakan Pak RT, kami berhenti sejenak. Menurut saya, kali mati
itu tidak kelihatan sama sekali seperti jalur pendakian. Hampir semua batu-batu
di situ ditutupi lumut berwarna hijau. Ini disebabkan kali mati itu tertutup
oleh lebatnya pepohonan tinggi yang menghalau masuknya sinar matahari.
Saya ragu apakah bisa berjalan di situ. Bukankah bebatuan
yang ditumbuhi lumut sangat licin dan berbahaya? Apakah tidak akan tergelincir?
Saya agak khawatir, karena selama mendaki gunung-gunung
di Maluku Utara, hampir tidak pernah melihat bebatuan berlumut seperti itu.
Saya putuskan tidak melewati kali mati itu dan terus mengikuti jalur setapak. Ternyata
saya keliru. Seorang petani yang kami temui di jalan, mengatakan kami salah
jalur. Persis seperti pesan Pak RT, ia mengatakan kami harus melewati kali mati
jika ingin sampai di puncak gunung Kie Matubu. Setelah mengucapkan terima
kasih, kami putar balik. Syahril saya minta berjalan di depan. Ia mengambil
jalan pintas menuju kali mati.
Berjalan di atas bebatuan kali mati adalah suatu
tantangan tersendiri. Ternyata dugaan saya keliru. Batu-batuan berlumut itu
tidak selicin yang saya bayangkan. Padahal beberapa menit lalu baru turun
gerimis.
Berjalan di kali mati itu tidak seperti di medan tanah. Di
sini kami lebih mirip memanjat dari pada mendaki. Langkah kaki saya lebih
lambat dari biasanya karena waspada jangan sampai tergelincir. Saya melangkah
dengan hati-hati. Kuda-kuda terpasang sekokoh mungkin. Saya tidak boleh
menginjak batu yang kedudukannya tidak stabil atau saya bisa tergelincir. Syukurlah,
saya berhasil melewati jalur itu tanpa halangan berarti.
Jalur pendakian gunung Kie Matubu via Ladaake bagi saya
lebih berat dari jalur pendakian yang selama ini saya lewati. Jalur ini cukup
terjal dan berhimpitan dengan jurang yang menjulang dua sampai tiga meter dari
dasar kali. Kemiringan jalur rata-rata mencapai empat puluh lima derajat. Kadang-kadang
bisa mencapai enam puluh lima sehingga kesulitan jika hanya mengandalkan kedua
kaki. Makanya kadang-kadang kedua tangan saya ikut difungsikan untuk membantu.
Tetapi jalur pendakian Ladaake tidak selalu menanjak
seperti di jalur gunung Gamkonora. Kadang-kadang landai, ada juga jalur
menurun.
Semakin memasuki rimba, entah mengapa tiba-tiba turun hujan. Saya langsung mengeluarkan
mantel. Kami beruntung, hujan tidak
terlalu deras dan lama, sehingga tidak sampai membuat langkah kami terhenti.
Jalur pendakian Ladaake tidak memiliki pos pemberhentian.
Jadi, kami tak bisa melakukan manajemen perjalanan seperti biasa. Namun, kami
tetap beristirahat seperti biasa setelah tiga puluh menit berjalan. Jalur
pendakian di sini bisa dibilang sangat rapat. Karena jarang dilewati, jalur itu
agak sulit dikenali. Beberapa kali kami terhenti untuk mencari-cari jalur.
Untungnya, warga setempat banyak mengikat tali rafia di batang pepohonan di
sepanjang jalur. Hal itu sangat membantu kami. Botol-botol bekas minum mereka masukkan ke dalam ranting pohon-pohon
di tepi jalur untuk memperjelas jalur pendakian.
Berjam-jam lamanya kami tidak tahu sama sekali progres
pendakian yang sudah dicapai. Dua setengah jam kemudian, kami masih berjalan di
tengah hutan rimba. Padahal, kalau warga
setempat pasti sudah tiba di puncak. Sampai saat itu, tidak ada tanda-tanda
kami akan mendekati puncak.
Matahari makin tergelincir ke Barat, hari pun mulai
gelap. Waktu Maghrib tiba, tetapi hujan masih belum reda. Kami beristirahat sejenak
di tepi jalur. Makanan ringan dikeluarkan, Headlamp
sudah terpasang di kepala. Syahril mengeluarkan senter waterproof yang biasa dipakainya untuk menyelam menombak ikan.
Perjalanan berlanjut di bawah gelapnya malam. Tak
menunggu lama, satu per satu vegetasi hutan di sekitar kami mulai terlihat tanaman
ilalang. Tandanya puncak sudah tidak jauh lagi.
Dua jam kemudian kami memasuki padang ilalang yang luas.
Tanaman ilalang di sini tumbuh kerdil. Jalur pendakian semakin menanjak. Dari
sini, kami bisa melihat cahaya lampu-lampu di pulau Ternate. Di pesisir pulau
Tidore juga terlihat pemandangan serupa.
Sekitar jam sembilan kami tiba di lokasi kamp. Setelah mendirikan
tenda, Syahril membuat makan malam.
Lokasi kamp di mana tenda kami berada di lereng puncak
Kie Matubu. Sengaja dibuat begitu, karena saya khawatir angin kencang akan sewaktu-waktu
muncul kalau kami kamping di puncak. Apalagi Syahril tidak membawa sleeping bag.
Malam itu suasana amat sepi. Saya tidak mendengar adannya
tanda-tanda rombongan pendaki selain kami. Saya heran, besok hari Sumpah Pemuda,
tetapi di sini begitu sepi.
Tak lama setelah makan malam, Syahril sudah terlelap. Tetapi saya tidak bisa tidur. Kedua mata saya sulit
terpejam. Mungkin pengaruh kopi yang tadi saya minum. Saya merasa ingin
kencing. Setelah jam dua belas malam, suhu di luar tenda menurun drastis. Hawa dingin
terasa masuk dari bawah kaki. Saya menarik sleeping
bag menutupi kaki sampai dada.
***
Karena ingin melihat matahari terbit, saya mengajak
Syahril bangun jam setengah lima pagi. Kami harus masak makanan dulu dan
ternyata memakan waktu lama. Ada gangguan pada kompor sehingga nyala apinya
mengecil. Nyala apinya berbeda sekali dengan semalam. Saya melepas kompor dari
tabung gas Canister lalu memasangnya kembali dengan teliti. Sontak nyala api
langsung membesar dan dengan cepat mematangkan oatmeal yang kami masak.
Jam enam lewat, kami baru mulai mendaki ke puncak. Dari
tempat kami berkemah, puncak Kie Matubu terlihat sepi tetapi cantik. Apalagi cuaca
pagi itu sangat cerah. Dari bawah sini
kami tidak mendengar suara orang sama
sekali. Padahal, awalnya saya yakin pasti banyak orang di puncak mengingat hari
ini adalah Hari Sumpah Pemuda.
Ketika sudah mendekati puncak, saya melihat kepulan asap
dari dalam semak-semak. Ternyata ada orang. Samar-samar dari sela-sela rerimbunan
ilalang, saya melihat mereka sedang berdoa di depan sebuah batu besar. Mereka memakai
pakaian serba putih. Sangat jelas lantunan doa yang mereka rapalkan itu.
Tadinya saya kira mereka datang dalam rombongan besar,
ternyata mereka berdua saja. Setelah ritual selesai dan bersiap-siap mau turun,
Syahril menyerukan salam kepada mereka dan dibalas dengan suka cita. Tak
menunggu lama, mereka pamit turun.
Di depan batu besar tempat mereka berdoa tadi saya
melihat bertaburan banyak bunga dan potongan-potongan daun pandan. Saya juga melihat banyak sesaji seperti
pinang, sirih, dan rokok di beberapa tempat.
Ketika tiba di puncak gunung Kie Matubu, saya takjub
bukan main. Pemandangan dari atas sini luar biasa indahnya. Tapi sayangnya hari
itu di bawah puncak ditutupi kabut sehingga keindahan pemandangan dari puncak
gunung Kie Matubu tidak sepenuhnya bisa kami nikmati. Dari atas sini, saya bisa melihat lautan bebas
yang membiru dan gugusan pulau-pulau besar dan kecil yang mengitarinya. Di Utara,
samar-samar terlihat pulau Ternate dan Maitara. Di atas Ternate, saya melihat
puncak Gamalama mengintip dari balik awan. Di Selatan, saya melihat pulau Mare dan Moti berbaris
dengan rapi.
Pemandangan dari puncak gunung Kie Matubu
Penasaran seperti apa kawah gunung Kie Matubu, saya mencoba mengintip dari atas dan luar biasa indahnya. Di dasar kawah ditumbuhi pepohonan yang menghijau. Di tepinya berdiri menjulang tebing batu yang membentuk dinding alam yang megah. Tampak dari tebing itu bercak warna putih dan hitam. Begitu kokohnya tebing itu berdiri, sampai menyatu dengan puncak yang ditutupi dengan indah oleh padang ilalang.
Dari kejauhan saya melihat sebuah pal berwarna putih berdiri di dataran agak tinggi di tengah puncak. Mungkin itulah titik tertinggi gunung Kie Matubu pikir saya. Ya, itulah titik tertinggi Kie Matubu: 1730 mdpl.
Namun sayang sekali, pal itu tidak seputih sebagaimana
terlihat dari jauh. Di sekelilingnya dipenuhi coretan para pendaki yang tidak
bertanggung jawab. Saya dan Syahril sempat mengambil foto di situ.
Dari pal itu, saya bisa melihat dengan jelas dataran
rendah yang menghampar di kaki gunung Kie Matubu. Pemandangan di situ sangat
mempesona. Di belakangnya, saya menatap barisan bukit-bukit kecil yang berjejer
ke arah Timur. Saya langsung teringat, ketika saya hendak ke Sofifi atau
sebaliknya ke Ternate melalui jalur laut, dengan feri atau speedboat, selalu saya melihat bukit-bukit itu dari bawah. Sekarang,
untuk pertama kalinya saya bisa melihat mereka dari atas. Oh, tak ada kata-kata
yang bisa melukiskan ketakjuban saya itu.
Puas melihat-lihat dan mengambil foto di puncak, satu jam kemudian saya mengajak Syahril turun. Tiba di tenda, kami memasak lagi untuk mengisi kalori yang sudah habis terbakar di puncak. Jam sebelas siang kami berkemas dan turun ke Ladaake.
Namun, kondisi jalur yang terjal memperlambat langkah
kami. Di tengah perjalanan, hujan pun turun. Jalur berubah menjadi licin. Langkah
kami semakin melambat. Beberapa kali Syahril terpeleset. Begitu pun saya. Tetapi
syukurlah, kami tidak apa-apa.
Tadinya, saya pikir tidak butuh waktu lama untuk menuruni
gunung Kie Matubu. Mungkin hanya butuh separuh dari waktu tempuh naik. Nyatanya
dugaan saya keliru. Selisihnya hanya berbeda tiga puluh menit. Benarlah kata
orang bijak: alam memang sulit ditebak. Gunung tak pernah dapat ditaklukan
manusia. Diri kita lah yang mesti ditaklukan. Selebihnya, pasrahkan pada Tuhan.
Alhamdulillah. Lima
setengah jam kemudian kami tiba di Ladaake. Sampai jumpa Kie Matubu.
Saya dan Syahril
terimakasih sudah berbagi ceritanya
BalasHapushttps://bit.ly/3hErDet