BERTEMU MUSANG DI GUNUNG GAMALAMA

 



Tanggal 11 Februari saya mengirim pesan WhatsApp ke Opik mengajak mendaki Gunung Gamalama. Pendakian ini untuk  memenuhi keinginan Opik  yang pernah ia sampaikan dulu. Opik cepat merespon pesan saya dan meminta waktu untuk mencari sepatu gunung. Tak menunggu lama, Saya dan Opik sepakat mendaki Gunung Gamalama siang itu.

Semua perlengkapan dan logistik pendakian telah siap sebelum Dzuhur. Setelah makan siang, dengan sepeda motor kami berangkat menuju Kelurahan Moya.

Kondisi jalur pendakian Gunung Gamalama dari Kelurahan Moya sudah jauh berbeda dibandingkan terakhir saya kunjungi 2019 lalu. Sekarang, jalur pendakian sebagian sudah diaspal. Biasanya dulu kami memarkir motor di halaman rumah warga, sekarang sudah tersedia lahan parkir. Lokasinya agak naik ke atas dan cukup luas untuk memarkir sepeda motor. Terima kasih kepada pelbagai pihak yang sudah mendukung aktivitas luar ruangan ini.

Sebelum  memulai pendakian kami berdoa terlebih dulu. Saya lalu melakukan gerakan pemanasan sederhana. Sekitar jam dua siang, kami mulai berjalan.

Opik bukan pendaki pemula, jadi saya tidak terlalu khawatir. Ia sudah beberapa kali mendaki gunung di kampung halamannya yaitu Gunung Gamkonora. Medan jalur pendakian Gunung Gamkonora lebih berat dari Gunung Gamalama, saya pikir Opik tidak akan kesulitan dalam pendakian gunung keduanya ini.

Tiga puluh menit pertama belum tiba, tetapi Opik sudah tampak kecapaian. Ia bernapas tersengal-sengal. Dugaan saya meleset. Sejak awal saya sudah memperkirakannya. Opik melangkah terlalu panjang dan cepat.  

“Opik, ngana pe langkah bajalang terlalu panjang. Pendek-pendek saja,” tegur saya pada Opik.

Saya Om,” Jawabnya sembari mengangguk-angguk.

Saya pun mengambil alih memimpin di depan. Kami kembali berjalan. Saya memperhatikan caranya berjalan untuk sekedar memastikan ia mengerti nasihat saya atau tidak. Rupanya Opik berangsur-angsur mengerti. Terbukti, tiga puluh menit kemudian langkah kedua kakinya masih mantap. Saya putuskan untuk beristirahat. Kami berdua duduk di bawah rimbunan pohon-pohon cengkih.

Tiga puluh menit berjalan, kami tiba di tanjakan menuju Taman Love, salah satu spot wisata baru di kaki Gunung Gamalama. Keadaan di situ sudah jauh berbeda dari sebelumnya. Di situ kini berdiri sebuah gapura kecil bertuliskan sambutan selamat datang kepada para pengunjung. Di samping kirinya berdiri sebuah poster berisi sederet aturan di dalam area Gunung Gamalama. Yang masih saya ingat jelas adalah larangan membuat api unggun.

Terdapat sebuah bangku panjang dari bambu berdiri di samping kanan gapura. Buat pendaki, bangku ini sangat berguna terutama saat berjalan turun gunung.

Setelah memasuki gerbang itu, medan jalur mulai menurun dan melintasi jembatan bambu yang menyambungkan dua tepi kali mati. Saat berjalan keluar dari lereng kali, kami bertemu tanjakan yang menuju Taman Love. Tanjakan itu kini sudah direkayasa dengan ditanami ratusan balok bambu yang terbaring dihimpit tanah yang berfungsi sebagai anak tangga. Di sepanjang tanjakan hingga mendekati Taman Love, ratusan anak tangga itu terjejer rapi. Tangga buatan itu sangat membantu para pendaki terutama nanti ketika perjalanan turun. Kondisi tanah di situ cukup licin sehingga adanya tangga dapat mengurangi resiko terpleset atau jatuh. Yang tak kalah penting, tangga itu membantu para pendaki mengurangi beban  di kedua kaki yang kecapaian ketika berjalan turun.

Saat melewati Taman Love, hampir tak ada perubahan sejak dua tahun lalu. Kecuali beberapa infrastruktur fisik yang dahulunya belum selesai dibangun sekarang sudah bisa dinikmati. Oh ya, sekarang tersedia wahana flying fox. Pasti seru mencoba wahana tersebut. Kapan-kapan saya ingin mencobanya.

Satu hal yang penting dari Taman Love adalah spot pemandangan Kota Ternate yang menakjubkan. Dari tempat ini, kita bisa melihat seisi kota tanpa penghalang apapun.

Mulai dari Pos 1, kondisi jalur pendakian Gunung Gamalama hampir tidak ada perubahan. Sampah yang berserakan masih sering ditemui. Vegetasi sekitar jalur masih tetap terjaga asri. Kondisi pos-pos pendakian tetap seperti dulu. Kecuali Pos 3 yang saya pikir terlihat lebih bersih. Tumpukan sampah yang menggunung sudah tak kelihatan lagi. Pemandangan sampah yang berserakan di sekitar pos juga sudah tak terlihat. Semoga kondisi ini dipertahankan terus dan ke depan Pos 3 semakin bersih lagi.

Waktu Maghrib tiba ketika saya dan Opik beristirahat di Pos 3. Perjalanan akan dilanjutkan setelah Maghrib berlalu. Kami menunaikan shalat Maghrib di tempat itu.

Headlamp dinyalakan. Kami mulai berjalan meninggalkan Pos 3. Ah, tiba-tiba saya tidak melihat jalur. Saya dan Opik sempat berkeliling mencarinya beberapa saat dan ketemu. Tadinya saya kira jalur itu berada di kanan, ternyata di kiri.

Beberapa jam berlalu dan kami tiba pun di Pos 4. Sekilas saya melihat seekor hewan melintas. Mungkin kucing pikir saya. Tidak, itu bukan kucing. Sempat saya perhatikan baik-baik, postur tubuh hewan itu ternyata lebih besar dari kucing. Hewan apakah itu? Entahlah. Opik tak berkomentar sama sekali. Mungkin ia tak melihatnya.

Cuaca malam itu cukup bersahabat. Namun, berangsur-angsur berubah semakin dingin. Perut saya mulai memprotes. Saya minta Opik mengeluarkan kerupuk belut yang saya simpan di ranselnya. Rasa kerupuk itu cukup enak dinikmati ketika lapar. Protes perut saya berhasil diredakan. Opik menolak ketika saya tawarkan kerupuk itu. Mungkin ia belum terbiasa. Lagi pula ia belum pernah makan belut sebelumnya.

Dari Pos 4 kami berjalan tak terlalu jauh dan sudah bertemu Pos 5. Vegetasi di tempat itu dipenuhi ilalang. Di ujung pos terdapat Pintu Suba. Di tempat ini, para pendaki biasa mengumandang adzan. Saya meminta Opik melakukannya. Kami istirahat di situ.

Tiba-tiba saya melihat api di lereng puncak Gamalama. Tidak hanya api, tetapi ada juga senter. Siapa yang berani naik ke puncak malam-malam begini pikir saya. Bukankah dilarang membuat api unggun di Gamalama? Siapa mereka? Pendaki atau peziarah?



Opik di depan Pintu Suba

 

Bertemu Musang

Sekitar jam sembilan kami tiba di lokasi kamp. Dari sini api itu makin jelas terllihat. Kobarannya terlihat jelas. Sayup-sayup saya mendengar suara orang. Mungkin suara pendaki yang mendirikan tenda di situ. Tetapi mengapa di ketinggian? Bukankah sangat rentan diterpa angin gunung yang dingin?

Kami mencari tempat kamp yang rata dikelilingi ilalang untuk mencegah terjangan angin. Saya mengobservasi beberapa tempat. Ada tempat yang cukup rata meskipun agak berbatu. Saya putuskan mendirikan tenda di situ.

Kami bersyukur, pendakian malam yang kami lakukan tak ada hambatan. Sebenarnya pendakian seperti ini tidak dianjurkan untuk dilakukan. Malam adalah waktunya manusia beristirahat sebaliknya waktunya hewan-hewan untuk keluar mencari makan.

Matras digelar di depan tenda. Kami memasak mie di situ. Malam itu saya makan dengan lahap.

Tak lama selepas makan saya memasang tali tenda di belakang. Saat hendak ke belakang tiba-tiba saya dikejutkan seekor hewan yang mendekati saya. Sekilas hewan itu saya pikir seekor kucing tetapi tubunya lebih besar. Kepala hewan itu seperti anjing tetapi bertubuh lebih kecil. Saya menduga sepertinya itu adalah seekor musang.

Rambut tubuh hewan itu berwarna cokelat. Ada corak belang-belang hitam di sepanjang lehernya. Bercak hitam memenuhi sekujur tubuhnya. Rambut dari bokong sampai ekor dipenuhi  corak belang.

Bergegas saya memberitahukan Opik yang berada di dalam tenda. “Opik ada hewan aneh, coba lihat!”

“Hewan? Mana Om?”

“Itu. Coba lihat.” Opik mendongakkan kepala ke luar mengikuti isyarat tangan saya.Saat melihat hewan itu Opik terdiam.

“Ayo ke luar sini. Coba lihat.”

“Saya takut Om.”

Rasanya  ada yang aneh dengan hewan itu. Ia sama sekali tidak takut kepada saya. Tingkah lakunya tidak selayaknya umumnya hewan-hewan liar.  Kadang-kadang ia berjalan mendekat lalu berhenti mematung. Sempat saya coba menggertaknya, jangankan lari terkejut pun tidak.

Saya memberi hewan itu potongan kol. Ia sempat mengendusnya, tetapi tidak dimakan. Saya memberinya biskuit, tetapi tidak disentuh. Makan apa hewan ini? Mungkin kah daging? Tetapi kami tidak punya daging.

Hewan itu saya pikir agak malu-malu. Ia tidak mengeluarkan suara sama sekali. “Tenang sobat, kami tidak akan mengganggumu. Kita teman,” kata saya mencoba menenangkannya.

Pikir saya, hewan itu memang musang. Ia cukup aktif bergerak. Tadinya ia muncul dari samping tenda lalu menghilang. Kemudian tiba-tiba muncul dari belakang saat saya memasang tali tenda. Tak lama kemudian musang itu menghilang dan tak terlihat lagi.

Aneh sekali. Mengapa ada musang berani mendekati manusia. Bukankah biasanya mereka menjauh?  Saya tidak pernah mendengar  cerita tentang musang yang hidup di Gamalama. Yang membuat saya bertanya-tanya: mengapa ia memperlihatkan dirinya kepada kami? Saya langsung ingat. Jangan-jangan musang itulah yang kami lihat di Pos 4.

Setelah menyelidiki baik-baik. Hewan itu betul seperti perkiraan saya adalah seekor musang. Musang rase tepatnya. Musang jenis ini adalah pemakan daging. Pantas saja makanan yang saya sodorkan tidak disentuhnya.







Penampakan musang rase 


Diganggu Sesuatu

Saya dan Opik berencana melihat matahari terbit, maka kami tidur lebih awal. Ternyata kami bangun terlambat. Tepatnya jam setengah enam pagi. Tetapi saya bersikeras untuk sarapan dulu sebelum melakukan summit attack. Saya dan Opik sarapan oatmeal pagi itu

Saat mencapai bukit area kamp, saya melihat telah berdiri dua buah tenda. Saya melihat ada bekas api unggun di sana. Mereka inilah rupanya yang menyalakan api semalam.

Langkah kami sudah dipercepat, namun pemandangan matahari terbit tetap tak terkejar dari puncak. Saat berjalan melewati lereng, matahari tiba-tiba sudah muncul di ufuk timur. Semburat merah menjadi latar fenomena alam itu. Pemandangan matahari terbit sangat indah. Matahari muncul dari sela-sela tumpukan awan yang disinari lembayung. 


Pemandangan matahari terbit 


Kami terus mendaki. Bau belerang mulai tercium. Dari selatan, asap belerang bergerak ke utara. Ketika berpapasan dengan asap itu seperti biasa mata tiba-tiba terasa perih, dan batuk-batuk. Kondisi puncak pagi itu cerah. Pemandangan alam di sekelilingnya sangat indah.

Setengah jam berlalu dan sudah sampai waktunya untuk kembali ke kamp. Kami mulai menuruni puncak.  Berjalan melintasi jalur asap belerang. Kadang-kadang jika asap terlalu tebal kami hentikan langkah dan memperbaiki letak buff di wajah.

Ketika hendak menuruni lereng, kami berpapasan dengan dua pendaki yang hendak naik.  Dua muda mudi itu terlihat seperti sepasang kekasih. Mereka mengaku sebagai penghuni pada salah satu tenda tadi. Saya menyapa  mereka dan menyinggung soal api semalam. Pendaki laki-laki mengakui membuat api itu dengan alasan untuk mencegah hawa dingin.

Pendaki perempuan tiba-tiba menyeletuk. Ia mengatakan tadi malam tenda mereka mendapat gangguan dari luar. Karena tak tahan mereka pun keluar dan menggeser posisi tenda menjauh dari jalur. Setelah itu katanya tak ada gangguan lagi.

Saya mengerti maksud cerita itu. Saya tidak mau memperpanjangnya dengan tidak mengajukan pertanyaan. Saya tak mau rasa takut mereka pindah menguasai saya dan Opik. Sepertinya perempuan itu belum mengerti aturan dan etika pendaki gunung. Bahwasanya pengalamanan mistis tidak boleh diceritakan ke sesama pendaki selagi masih di gunung. Harusnya cerita itu di simpan rapat-rapat dahulu dan cukup tanggung sendiri saja dulu. Baru saat tiba di basecamp bisa di diceritakan kepada yang lain.

Setelah menghabiskan sisa oatmeal, seluruh peralatan pendakian dikemas kembali. Doa dipanjatkan sebelum memulai perjalanan turun.

 

Ternate, 2 April 2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*