MERAYAKAN HARI KEMERDEKAAN 

DI PUNCAK GAMALAMA




 

Jauh hari sebelum tanggal 17 Agustus, saya mengontak beberapa kawan yang suka mendaki gunung. Saya hendak mengajak mereka untuk merayakan hari kemerdekaan di gunung Gamalama. sayangnya, satu per satu kawan memberi jawaban negatif. Ada juga yang tidak memberi kabar hingga hari pendakian.

Akhirnya saya mengontak beberapa keponakan yang suka mendaki gunung. Satu orang tidak bisa ikut, tetapi dua orang positif akan ikut. Salah satunya pernah bersama saya mendaki gunung Gamkonora dua tahun lalu, Ong namanya. Satunya lagi Alan, yang baru mulai mendaki gunung.


Ong dan Alan


Kami sepakat akan mendaki pada tanggal 16 Agustus pagi. Mengapa pagi? Agar dapat tempat mendirikan tenda di lokasi kamp. Di momen penting seperti ini pasti banyak orang yang mendaki gunung.

Ternyata Alan harus sekolah pada hari itu sampai jam sepuluh. Jadi kami menunggunya. Hampir jam sepuluh saya sudah tiba di rumah Alan. Setelah ia pulang, kami mengemas seluruh peralatan dan logistik. Jam sebelas sepeda motor kami melaju menuju Moya.

Di Moya, seperti perkiraan saya, parkiran sudah ramai kendaraan roda dua. Parkiran sebelah juga sama saja. Tempat itu yang biasanya sepi kini dipadati pendaki. Di pinggir jalur pendakian para pendaki sudah bersiap dengan barang bawaan masing-masing tidak kecuali tas gunung (carrier) yang sudah menjadi peralatan wajib. Saat ini mungkin sudah puluhan orang bergerak menuju puncak.

Baru kali ini saya melihat ada loket registrasi umum pendakian. Biasanya masing-masing tempat parkir hanya menarik ongkos parkir. Di meja registrasi, warga menyediakan secarik kertas untuk diisi nama pendaki dan alamat domisili. Hal ini menurut saya penting terutama untuk keamanan pendaki. Kalau bisa hal ini dipertahankan saja. Sangat bagus untuk tata kelola ekowisata gunung Gamalama ke depan.

Terik sinar matahari yang makin meninggi mulai membakar kulit. Jam 11.40 pendakian kami mulai. Saya meminta Ong memimpin rombongan di depan, Alan di tengah dan saya sebagai sweeper di belakang.

Tenaga muda seperti Ong dan Alan hanya bisa dimaklumi mulai berjalan lebih cepat. Langkah kaki mereka panjang-panjang. Saya sempat tertinggal cukup jauh. Lama-lama dua remaja itu menghilang dari penglihatan saya. Sudah saya katakan kepada mereka sebelumnya bahwa kita akan beristirahat setiap 30 menit.  

Langkah kaki kedua remaja itu memang cepat. Saya tahu mereka ingin cepat sampai di puncak. Sepuluh menit tak terasa sudah berlalu dan saya melihat mereka sudah duduk melepas lelah di pinggir jalur. Nafas mereka terlihat mulai tersengal-sengal. Keringat mengucur dari dahi.

“Ayo semangat. Lanjut!” Ujar saya menyemangati mereka. Mereka pun kembali berjalan.

Itu sangat wajar, mendaki gunung memang melelahkan. Apalagi dengan menenteng tas beserta isinya yang beratnya bisa 15 sampai 20 kilogram. Buat saya, berjalan mendaki gunung itu sama lelahnya dengan berlari ketika jogging. Kalau tidak mempersiapkan diri dengan baik tentu akan menyiksa diri sendiri dan merepotkan kawan. Tetapi itulah asyiknya perjuangan dalam mendaki gunung. Semua kelelahanmu akan terbayar lunas seketika sampai di puncak.

Tidak sampai 30 menit, kami tiba di depan gerbang pintu masuk kawasan ekowisata Gunung Gamalama. Di situ saya lihat rombongan ibu-ibu beserta anaknya beristirahat di bangku panjang yang berada persis di depan pintu gerbang. Dari barang bawaan mereka, kelihatannya mereka hendak bertamasya ke Taman Love. Salah satu destinasi wisata yang terkenal di sini.

Saya putuskan beristirahat di situ. Kami duduk menepi pada bidang tanah yang miring. Semilir angin bertiup pelan.  Air dari selang water bladder lantas membasahi kerongkongan saya yang mulai kering. Oh nikmatnya melepas lelah di bawah rimbunnya atap hutan pala yang subur. Bau udara hutan yang segar memanjakan paru-paru saya yang setiap hari disergap polusi perkotaan. Apalagi ancaman virus Covid19 yang mematikan itu masih terus berlangsung. 

Kami berdoa sejenak, lalu mulai berjalan lagi. 15 menit kemudian menara wahana Flying Fox di Taman Love sudah berada persis di depan mata. Tempat ini sudah dipadati oleh puluhan muda-mudi yang kamping ceria. Tenda-tenda mereka berjejer rapi. Dari Taman Love, pemandangan seisi kota Ternate, laut, dan pulau-pulau di seberangnya, terlihat sangat indah.

Daripada  berhenti sejenak menikmati pemandangan alam yang eksotik itu, Ong dan Alan memberi isyarat untuk meneruskan perjalanan. Baru saja memelewati beberapa anak tangga menuju Pos 1, saya putuskan untuk istirahat. Perut saya yang sudah protes sejak tadi harus dipenuhi hajatnya.  Mendaki gunung memang sering membuat lupa makan. Jika dihantam hujan atau badai, dalam kondisi tubuh yang basah kuyup, bisa mengundang serangan hipotermia. Jadi, jika sudah tiba waktu makan, perut bagaimana caranya harus diisi.

 

Tangga-Tangga Bambu

Biasanya jalur pendakian di gunung umumnya dibiarkan alami berupa tanah atau direkayasa dengan membuat makadam seperti di jalur pendakian Gunung Gede-Pangrango.  Tetapi di jalur pendakian Gunung Gamalama justru dibuat  tangga-tangga bambu. Tangga-tangga ini berupa susunan batang bambu yang diisi tanah. Jalur ini mulai ditemukan tak lama memasuki gerbang pendakian menuju Taman Love. Kemudian berlanjut hingga Pos 2.

Tadinya saya pikir keberadaan tangga-tangga ini hanya sampai di Taman Love saja. Maksudnya mungkin untuk membantu pergerakan wisatawan. Saya kaget pada awal Agustus saat mendaki sendirian, ternyata tangga itu sudah dibangun terus ke atas. Terus terang rekayasa medan jalur seperti ini sangat  mengganggu aktivitas para pendaki. Tangga-tangga ini mungkin yang membuat kedua paha saya sempat kejang di dekat Pos 3.

Mungkin maksud pembuatnya ini baik, tetapi mereka tidak mengerti niat baik mereka bisa berakibat buruk. Jalur tangga seperti ini mungkin cocok untuk wisatawan yang tidak membawa muatan berat agar cepat sampai ke tujuan. Hal ini tentu saja tidak berlaku buat para pendaki yang memikul tas carrier yang berat dan bermaksud menikmati alam pegunungan. Keberadaan anak-anak tangga bambu yang tinggi dan lebar itu akibatnya memaksa langkah kaki pendaki ikut menyesuaikan. Betis dan paha bisa beresiko cedera. Buat pendaki yang bertubuh pendek, keberadaan tangga-tangga bambu ini sangat mengganggu.



Jalur Tangga

Tak dapat dipungkiri keberadaan jalur tangga ini mungkin membuat waktu tempuh menuju puncak menjadi lebih cepat. Saat mendaki solo kemarin saya menghabiskan empat jam setengah untuk mencapai lokasi kamp. Padahal sebelumnya butuh tujuh jam. Tetapi tujuan mendaki gunung itu bukan cepat sampai ke puncak. Puncak hanyalah bonus. Sesungguhnya tujuan pendaki gunung adalah kembali tiba di rumah masing-masing dengan selamat.

 

Keramaian di Pos 5

Sebelum jam lima sore, kami sudah tiba di Pos 5. Di sini banyak pendaki beristirahat di tepi jalur. Pos 5 yang dipenuhi vegetasi ilalang itu jadilah sangat ramai sejak kami memasukinya. Saya per kirakan mungkin lebih 50 orang pendaki berada di sini.  Saking banyaknya mereka, sampai posisi duduk mereka berhimpitan satu sama lain. Termasuk rombongan saya yang awalnya sempat mencari posisi enak untuk duduk. Hampir tidak ada tempat kosong di situ kecuali  beberapa inci saja di depan Pintu Suba. Alan sempat ditegur salah satu pendaki saat hendak duduk di atas sebongkah batu yang dikeramatkan.

Melihat posisi duduk para pendaki yang berhimpitan itu, saya tiba-tiba teringat adegan film perang Band of Brother. Di mana puluhan tentara Amerika tengah duduk beristirahat usai bertempur dengan pasukan Jerman di Normandia, Prancis. Saya pikir, mungkin para pendaki di sini sudah lupa kalau virus Covid19 belum lenyap. Rasa capai dan lelah memang sering mengundang lupa.

Selain beristirahat, para pendaki di sini sebenarnya sedang menunggu kumandang adzan. Dan hingga rombongan saya tiba belum ada orang yang bersedia. Sudah menjadi peraturan tak tertulis di pos ini bahwa sebelum melewati Pintu Suba dianjurkan setiap rombongan pendaki mengumandangkan adzan.

“Kalau ngoni adzan. Nanti kabut hilang.” Celetuk saja kepada rombongan pendaki remaja yang duduk berhadapan dengan saya. Saat itu memang pemandangan di depan Pintu Suba tertutup kabut sehingga puncak Gamalama tidak bisa terlihat. Padahal kalau tidak ada kabut, dari sini puncak sudah terlihat indah.

Para pendaki itu tak mengeluarkan sepatah katapun. Mereka saling memandang satu sama lain. Di antara mereka terjadi saling tunjuk. Ada seseorang yang sempat berdiri tetapi tak lama duduk lagi. Beberapa menit berlalu dan tak ada yang bersedia. Sementara itu rombongan pendaki yang tiba di Pos 5 makin banyak dan ikut duduk menumpuk di kiri kanan jalur. Pikir saya kalau tidak ada yang adzan, makin banyak waktu terbuang. Saya pun berdiri dan mengumandangkan adzan. Kabut  pun berangsur-angsur menghilang. Meski belum semuanya.



Pintu Suba Pos 5

 

Area Kamp Penuh

Pintu Suba menghadap ke padang ilalang yang menghampar naik ke ketinggian dan berakhir di sebuah bukit pasir. Di kaki bukit itulah area kamp di mana tenda-tenda pendaki nantinya didirikan. Vegetasi di situ sepenuhnya ditumbuhi ilalang yang tumbuh dari sela-sela pasir dan batu yang memenuhi tempat itu.  Sore itu suasana kamp sudah sangat ramai. Riuh aktivitas pendaki terdengar dari segala penjuru. Puluhan tenda sudah mengisi halaman kosong di sela-sela hutan ilalang yang tumbuh hingga dua meter.

Jam 17.15 kami tiba di area kamp. Lantas saya dan Ong bergegas mencari tempat mendirikan tenda. Kami berkeliling cukup lama hingga ke naik ke atas bukit dan turun kembali. Dan kami hanya menemukan satu tempat. Sebenarnya tidak layak didirikan tenda karena cukup sempit dan dipenuhi bebatuan dan ilalang. Tetapi cukup aman dari terpaan angin. Sebenarnya di atas bukit sana masih banyak tempat, tetapi setelah merasakan pergerakan angin sore itu sepertinya suhu nanti malam akan cepat turun dan sangat dingin. Setelah membersihkan tenmpat itu, tenda akhirnya bisa didirikan.  

 

Frame Tenda Patah

Sebelum Maghrib tiba, kami mulai memasak untuk makan malam. Saya membuat nasi dan sayur sup. Beberapa butir telur rebus dan setoples ikan teri kecap yang dibuat mamanya Alan dihidangkan. Meskipun nasi yang saya masak tidak banyak, dan rasa sayur sedikit pahit, malam itu kami makan dengan lahap. Kata para pendaki, makan apapun di gunung selalu saja terasa enak.

Perut terisi, energi pun kembali. Saya menyeduh kopi campur susu untuk menjaga kehangatan tubuh kami. Ternyata Ong sudah tidur duluan. Kelihatannya ia sangat kecapaian hari ini. Jadilah satu nesting berisi kopi itu saya habiskan bersama Alan.

Malam itu gerimis turun beberapa kali. Saya dan Alan beranjak tidur. Tetapi aktivitas para pendaki di sekitar kami masih saja ramai. Mereka ribut sekali. Mereka saling sahut-menyahut seperti lagi demonstrasi. Banyak pendaki hilir mudik berjalan melewati samping tenda kami. Sejak sore berkali-kali mereka menabrak tali tenda (guyline) yang menancap di tanah. Berkali kali sudah diingatkan berkali-kali pula mereka mengulanginya. Satu tali yang sering ditabrak, dilepas Ong. Ternyata mereka menabrak tali yang lain. Sampai menjelang tengah malam, kejadian itu terus terulang. Sudah tahu malam itu gelap, para pendaki itu tetap nekat keluar tanpa membawa alat penerangan.

Jam setengah lima pagi saya bangun. Kami siap-siap summit attack ke puncak. Alan memberitahu  bahwa tenda kami miring. Saya periksa baik-baik dan ternyata salah satu rangka tenda (frame) patah. Salah satu sudut patahannya yang tajam menusuk ke flysheet. Untungnya tidak sampai sobek. Syukurlah, tali frame tidak putus. Beginilah jadinya kalau guyline ditabrak bertubi-tubi oleh mereka yang tak bertanggung jawab.


Ketemu Anjing di Puncak

Menjelang jam lima, kami mulai berjalan. Di bukit sudah berdiri banyak tenda yang saling berhimpitan. Saat menuruni bukit menuju kaldera, sayup-sayup adzan subuh berkumandang  di kejauhan.

Semilir angin yang dingin menemani summit attack subuh itu. Batu-batu kecil yang disusun menumpuk mulai terlihat. Jalur menuju puncak di sampingnya tertangkap oleh cahaya headlamp. Kami menyusuri jalur itu perlahan-lahan. Semakin lama jalur pendakian semakin miring dan banyak dipenuhi bebatuan. Cukup licin berjalan di situ, tetapi langkah kami sigap dan tetap awas. 

Saya melihat sorotan cahaya senter putus-putus dari atas puncak. Rupanya sudah ada orang di sana. Mendaki dengan pelan dan hati-hati, lima belas menit kami pun sampai. Hari tetap masih gelap dan tiupan angin semakin kencang. Ong dan Alan mengeluhkan suhu  dingin.

Kami terus melangkah dan tiba-tiba langkah saya terhenti. Sorotan senter saya menangkap pergerakan seekor hewan beberapa meter di depan. Saya pikir musang, ternyata itu adalah seekor anjing berwarna putih.

“Hah, bagaimana bisa ada anjing di sini?” Tanya saya. Ong dan Alan diam saja.

Dari gerak gerik anjing itu terlihat agak aneh. Dia sedikit pincang. Salah satu kaki depannya  menekuk. Tetapi dia bersikap biasa saja.

Saya menyuruh Ong dan Alan tetap tenang. “Hati-hati di samping kiri sudah jurang.”

Hewan itu tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Saat kami berjalan melewatinya, dia hanya memandang kami dengan dingin. Sosoknya menghilang ditelan kegelapan malam saat kami berjalan meninggalkannya.

Sedang apa hewan itu di puncak? Memikirkannya, saya jadi bingung sendiri.

Kami terus berjalan menuju para pendaki itu. Mereka kurang lebih empat orang. Rombongan itu membawa bendera merah putih dan duduk berhimpitan menghadap timur. Saya tanya tentang anjing itu dan mereka mengaku melihatnya juga.

 

Merdeka di Puncak Gunung Gamalama

Ong dan Alan kembali mengeluhkan suhu puncak yang dingin. Saya anjurkan mereka untuk tetap bergerak. Pakaian yang mereka kenakan mungkin tiga sampai empat lapis, tetapi tetap saja tak mampu membendung terpaan angin yang dingin. Menurut  saya suhu di puncak masih aman. Terbaca 18 derajat di termometer. Saya bilang kepada mereka bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Saya menggelar matras dan mulai duduk menikmati pemandangan subuh itu. Dari dalam tas  saya mengeluarkan biskuit dan sebotol air. “Ong, Alan, ayo sini makan.” Mereka diam saja.

Saya bilang kepada mereka, ini sangat membantu melawan hawa dingin.

“Belum. De pe air dingin sekali seperti es.” Jawab Ong.

Di bawah sana banyak cahaya senter bergerak menuju puncak. Satu per satu rombongan pendaki mulai mendekat. Tak sampai setengah jam, suasana di puncak makin ramai.

Subuh itu langit cukup cerah. Kerlap kerlip lampu kota Ternate yang menyala terang di kejauhan terlihat indah. Lautan yang memisahkan pulau Halmahera tampak teduh. Setengah jam kemudian momentum yang kami tunggu-tunggu pun tiba. Cahaya matahari terbit 17 Agustus 2021 mulai keluar dari balik lautan awan di timur. Tak lama, sang surya sepenuhnya memperlihatkan wujudnya yang menyilaukan itu. Menyaksikan itu, semua kelelahan dan rasa dingin seperti menghilang begitu saja. Ketika pagi tiba, dan panorama alam di segala penjuru mata angin tampak jelas di depan kedua bola mata, semangat tiba-tiba saja muncul. Saya bergerak ke sana ke mari untuk mengabadikan momen penting itu. Maklum, ini pertama kalinya saya merayakan hari kemerdekaan dari atas gunung.

Rombongan pendaki yang naik ke puncak dengan bangga mengibarkan benderanya masing-masing. Jadilah kondisi puncak gunung Gamalama seperti pasar bendera. Momen yang sangat heroik. Melihat fenomena ini, saya sangat optimis dengan masa depan republik ini. Entah mengapa saya merasa sangat bangga menjadi orang Indonesia.

Satu jam lebih mentadabburi mahakarya ciptaan Allah swt, Tuhan yang maka kuasa, kami beranjak turun. Area puncak sekarang dipenuhi dengan puluhan pendaki dan masih terus  bertambah. Para pendaki tak henti-hentinya berfoto. Di jalur pendakian, tak putus-putusnya disesaki pendaki yang berjalan naik.





                                                        Kota Ternate Dari Puncak Gunung Gamalama saat Subuh





Pemandangan Pagi Hari dari Puncak Gunung Gamalama




 Matahari Terbit 17 Agustus 2021




Summit Attack


Sampai di bawah, saya melihat di bukit pasir itu terpancang bendera merah putih setinggi dua meter. Tiang bendera itu terbuat dari sambungan dua pipa paralon putih. Banyak pendaki berkumpul di situ dan mengabadikan puncak gunung Gamalama dari smartphone masing-masing. Sedangkan puluhan lainnya mengaso atau berjalan hilir mudik menikmati waktu yang akan segera pergi.

Kami terus berjalan menuju tenda untuk sarapan. Ong menawarkan diri untuk memasak. Mie instan dalam beberapa menit siap disantap ditemani ikan teri sisa semalam. Sarapan ditutup dengan segelas kopi panas. Usai berkemas, pada jam 10.41, kami mulai berjalan turun . Seperti saat naik, kami berjalan pelan dan santai. Seperti biasa, banyak pendaki berjalan turun terburu-buru dan berlari.

Satu jam berjalan menuruni gunung Gamalama, kami pun tiba di Pos 2. Akhirnya, kami tiba di parkiran motor pada jam 14.07. Entah mengapa, para pendaki yang turun berlarian itu tiba di belakang kami.

 

Weda, 26 Agustus 2021

 

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*