Nasib RUU Keperawatan Masih Menggantung
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang merupakan instrument pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sudah diprioritaskan, realitanya belum menunjukkan yang professional. Pasalnya para pelaksana PROLEGNAS yang tidak lain adalah para anggota DPR RI dan Badan Legislasi (BALEG) bisa dengan leluasa memasukkan dan mencopot RUU yang diprioritaskan untuk dilegalkan. Ini merupakan salah satu fenomena kontroversial yang terjadi pada konstitusi yang seharusnya dituntut jiwa profesionalitasnya.
Ketidakprofessionalitas Baleg dan DPR RI terjadi akhir tahun 2010 kemarin. RUU Keperawatan yang sudah masuk dalam daftar prioritas Prolegnas ternyata di deponeering pada waktu yang tidak ditentukan dan diganti dengan RUU Tenaga kesehatan (Nakes). Padahal jika dibandingkan dengan RUU Nakes, RUU Keperawatan dinilai lebih diprioritaskan untuk segera dilegalkan. Pasalnya Perawat di Indonesia tidak mempunyai dasar hukum yang kuat untuk mengatur tentang praktik Keperawatan, diantaranya sistem registrasi. lisensi dan sertifikasi Keperawatan. Sehingga berimplikasi untuk mudah terjerat kasus praktik Keperawatan.
Tercatat dari tahun 2005, sebanyak 33 Perawat terjerat kasus praktik di daerah terpencil yang tidak memiliki dokter. Padahal di luar negeri, banyak negara-negara yang sudah memiliki UU Keperawatan sendiri sehingga membantu dalam dinamika keprofesian. Di samping itu, Perawat sangat mudah diperkarakan oleh oknum-oknum mafia Hukum yang sengaja berkeliaran di Institusi-institusi kesehatan khususnya di Rumah Sakit, mencari penyimpangan pelayanan kesehatan yang bisa diperkarakan.
Beberapa waktu yang lalu, Ribka Tjibtaning, dari Fraksi PDI-P dan selaku ketua Komisi IX DPR RI yang menangani masalah tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan serta kesehatan, mengusulkan pembahasan RUU Keperawatan diganti dengan RUU Nakes kepada (Badan legislasi) Baleg DPR. Dan anehnya, Baleg DPR begitu saja menyetujui usulan itu dan secara tidak langsung menggusur RUU Keperawatan terlebih dahulu diprioritaskan.
Salah seorang anggota Komisi IX DPR RI, Ansory Siregar dari fraksi PKS menyayangkan tindakan yang sudah diambil oleh Ketua Komisi IX DPR RI dan Baleg DPR. Beliau mengatakan bahwa ada kejanggalan dibalik deponeering yang telah diputuskan. Kejanggalan yang sebenarnya tidak biasa terjadi dan menimbulkan tanda tanya besar bagi kinerja DPR RI. Pasalnya berdasarkan surat pemimpin Komisi IX ke Baleg dengan nomor surat: 07/KOM.IX/MP.I/VIII/2010 tanggal 30 Agustus 2010, yang isinya, "Berdasar hasil keputusan rapat Komisi IX DPR RI tanggal 25 Agustus 2010, disepakati RUU tentang Tenaga kesehatan dan RUU tentang perubahan atas UU no.39 thn 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri akan dibahas pada tahun sidang 2010 – 2011, dan menjadi RUU prioritas pada 2010." Hemat penulis, yang menjadi pertanyaan bagaimana dengan nasib RUU Keperawatan yang sudah menjadi prioritas prolegnas tahun 2009 & 2010, haruskah diundur dan menimbulkan semakin banyaknya kasus yang terjadi pada praktik Keperawatan.
Kemudian yang menjadi kontroversi selanjutnya adalah surat balasan dari Baleg DPR RI bernomor 108/Baleg/DPR RI/IX/2010, tanggal 23 September 2010 yang menyetujui pembahasan RUU Nakes dan menggusur RUU Keperawatan. Namun, di surat yang sama Baleg meminta RUU Nakes untuk digarap oleh Komisi IX , sedangkan Baleg meminta RUU perubahan atas UU No.39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri menjadi garapan Baleg dan bukan Komisi IX DPR RI. Muncul kontroversi, ada indikasi persaingan antara Baleg DPR dan Komisi IX untuk menggarap RUU Penempatan dan Perlindungan TKI dan indikasi permainan di belakang oleh oknum DPR untuk menggarap RUU tersebut.
Menurut HM. Endrio Susila, SH. MCL, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Proses penggarapan RUU di DPR tidak mudah untuk dilaksanakan. Apalagi tidak adanya kesadaran dari para anggota DPR untuk berlaku adil dan professional. RUU tidak akan tergarap dan dilegalkan apabila dana yang diminta tidak terpenuhi oleh institusi yang menghendaki pelegalan RUU tersebut. Inilah salah satu bentuk dari parktik ketidakprofesionalan oknum-oknum apriori di DPR.
Ekspektasi penulis, Baleg bisa berlaku bijak dalam mengambil berbagai keputusan, terutama penggarapan RUU Keperawatan yang merupakan hak inisiatif DPR dari periode sebelumnya. Sehingga secara tersirat tidak melecehkan hak inisiatif DPR.
Berbagai kasus di institusi kesehatan sangat penting untuk ditangani, khususnya institusi praktik Keperawatan yang banyak menimbulkan permasalahan bagi perawat, butuh untuk diprioritaskan di Prolegnas. Apalagi perawat tidak mempunyai dasar hukum yang jelas untuk pelaksanaan praktik Keperawatan di masyarakat. Sehingga, berimplikasi kepada masyarakat yang terus membutuhkan pelayanan kesehatan, khususnya di daerah terpencil yang tidak ditemui dokter dan membutuhkan praktik Keperawatan sebagai alternatif.
Catatan kaki:
· Ppnikudus.org
· www. Tempointeraktif.com
Zulfikhar
Mahasiswa Ilmu Keperawatan UMY
Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam (KAMMI)
Komentar
Posting Komentar