Front Islamique du Salut (FIS): Kelahiran, Pemilu dan Pembubaran
a. Iftitah
Al-Jazair pada
permulaan abad kedua puluh sudah mulai mendapat sentuhan dakwah Islam yang
mulai intens bergerak pasca jatuhnya Kekhalifahan Turki Usmani pada tahun 1924
M. Mulai tumbuhnya pemikiran ide pembaharuan Islam oleh Syaikh Muhammad abduh,
Rasyid Ridha dan oleh gerakan-gerakan pemurnian islam cukup berpengaruh di
Al-Jazair.
Dakwah Islam semakin tersistem dan
tersebar massif pada tahun 1931, ketika Syeikh Abdul Hamid Ibnu Badis bersama
para ulama lain mendirikan organisasi Jam’iyah Al-Ulama Al-Muslimin
Al-Jazairiyah. Sejalan dengan perkembangan waktu, beragam dakwah dan harakah
berkembang di Aljazair, mulai dari dakwah salafiyyah, yang sedari awal
mendominasi, Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh, bahkan thariqat Shuffiyah.
Gerakan2 Islam tersebut berusaha menyerukan rakyat Al-Jazair untuk kembali kepada
jalan Islam yang hanif.
Kemerdekaan yang diraih Al-Jazair
pada tahun 1962 dari aneksasi Perancis pada mulanya sudah tidak memberikan kesejahteraan kepada rakyat.
Terutama ketika Al-Jazair dipimpin oleh Chadli Bendjedid yang memimpin sebagai
presiden Aljazair sejak tahun 1979 memberikan situasi ekonomi yang terus memburuk, sehingga membuat rakyat
Aljazair tidak puas atas kepemimpinan Bendjedid.
Ketidakpuasan
rakyat terhadap kepemimpinan Bendjedid semakin terasa kuat ketika terjadi
demonstrasi besar-besaran pada tahun 1988 kepada pemerintah dan partai penguasa
NLF (National of Liberation Front) karena ketidakpuasaan yang dirasakan oleh
rakyat. Terutama masalah perekonomian yang mengakibatkannya timbulnya pengangguran dan kemiskinan. Demonstrasi yang
dilakukan oleh rakyat akhirnya menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap
pemerintah dengan munculnya mandate dari Presiden Chadli Bendjedid melakukan
perubahan konstitusi Al-Jazair dengan membuka regulasi system multipartai pada
tanggal 3 november 1988. Akhirnya pada tahun-tahun selanjutnya banyak ditemukan
berdirinya partai-partai politik baru di
Al-Jazair.
b. Kelahiran
FIS
Berhubungan dengan reformasi konstitusi yang dicetuskan oleh
presiden Benjdedid pada tahun 1988 yang memutuskan pembolehan berdirinya
partai-partai baru. Momentum tersebut secara tidak langsung menginisiasikan
gerakan-gerakan Islam untuk ikut terlibat dalam konstelasi politik di
Al-Jazair.
Para alim ulama dan
da’I di Al-Jazair tidak menyia-nyiakan momentum besar tersebut. Mereka
memanfaatkan momentum tersebut unutk menderikan ormas dan partai Islam dengan
visi besar penerapan syariat Islam di Al-Jazair.
Setelah melalui proses yang memakan waktu bertahun-tahun, tepatnya pada
tahun 1989 terbentuklah lembaga dakwah hasil fusi beberapa jama’ah yang diberi
nama Rabithah Dakwah (Liga Dakwah) yang
diketuai oleh Syaikh Akhmad Sahnun.
Tokoh-tokoh utama dalam lembaga ini selain Syaikh Sahnun, diantaranya Mahfuzh
Nahnah, Abbasi Madani, Abdullah Jabullah, Ali Belhadj dan Muhammad Sa’id. Misi
yang diemban oleh badan ini yang paling mecolok adalah meliputi beberapa poin.
Pertama, meluruskan aqidah umat. Kedua, gerakan dakwah untuk menciptakan
masyarakat yang berakhlak Islami. Ketiga, berupaya mempersatukan fikrah (persepsi
pemikiran) dalam perjuangan menegakkan syari’at.
Dalam perjalanannya kemudian, terjadi banyak perdebatan internal
dalam tubuh lembaga ini. Syaikh muda Ali Belhadj mengusulkan dibentuknya Front
Kesatuan Islam (Al-Jabhah al-islamiyyah al-muwahhadah). Lalu Dr. Abbasi Madani
mengusulkan nama Al-Jabhah al-Islamiyyah lil-Inqadz, yang dikenal luas di dunia
internasional sebagai Islamic Salvation Front atau Front Islamique du Salut
(FIS) dalam bahasa Perancis.
FIS didirikan pada tanggal 18 februari 1989 di ibukota Aljir dan
dipimpin oleh Syaikh Abbas Madani dan didampingi oleh seorang pengkhotbah karismatik muda masjid,
Ali Belhadj.
Abbas Madani adalah salah satu
pejuang kemerdekaan Al-Jazair. Di masa mudanya ia bergabung dengan Front Pembebasan
Nasional (FLN) dan berpartisipasi dalam hari pertama Perang Kemerdekaan
Aljazair, 1 November 1954, dengan menanam bom di sebuah fasilitas radio
Aljazair, tapi ditangkap oleh Perancis pada 17 November 1954 , dan tetap di
penjara sampai kemerdekaan pada tahun 1962. [2] Setelah belajar untuk doktor di
bidang psikologi pendidikan di London 1975-1978, [3] ia menjadi profesor ilmu
pendidikan di Universitas Aljazair [2]. Madani tidak
menyukai dan mengkritisi orientasi sosialis FLN, dan pada tahun 1989, setelah
Konstitusi Aljazair diubah untuk memungkinkan demokrasi multipartai, ia
mendirikan demokrasi Islam FIS. Sedangkan Ali Belhadj adalah seorang guru sekolah tinggi yang menarik bagi para pemuda berpendidikan dan kurang berpendidikan, berpidato radikal yang agresif, menarik masyarakat kelas
bawah dan khawatir kepada pemuda yang non-Islamis dan berpaham
feminis. Beliau konon
merupakan kader dari mahzab salafi dan juga
merupakan pengagum para pembaharu Islam di Timur Tengah seperti Hasan al-Banna
dan Sayyid Quthb.
Madani dan Belhadj seringkali berbeda pendapat dalam metode
perjuangan bersama dalam membawa perjuangan dakwah FIS. Terutama dalam uslub (metode)
perjuangan dengan berdakwah masuk ke politik praktis. Madani meyakini bahwa
Islamisasi pemerintahan harus melalui berbagai proses di dalam demokrasi,
secara bertahap. Sedangkan Ali belhadj meyakini bahwa keterlibatan dalam
politik praktis tidak dibenarkan oleh Islam dan syariah Islam adalah harga mati untuk diterapkan ketika partai
Islam atau FIS berhasil memenangkan pemilihan umum. Abbas Madani mempunyai
pemikiran yang moderat sedangkan Ali Belhadj berhaluan puritan.
Pada Mei 1991, FIS
menyerukan pemogokan umum untuk memprotes pemerintah untuk merevisi regulasi tentang distrik pemilihan, yang dilihat sengaja diatur
dan ditentukan oleh pemerintah untuk
mendulang suara bagi partai NLF. Demostrasi tersebut gagal, tetapi demonstrasi yang
diselenggarakan FIS di Aljazair sangat besar, dan berhasil menekan
pemerintah. Kemudian sebagai rangkaian aksi bulan Juni diselenggarakan aksi mogok dengan menuntut pemerintah
menyelenggarakan pemilihan parlemen yang jujur dan adil.
Namun, pemogokan yang digelorakan menimbulkan perpecahan terbuka antara pimpinan FIS dan demonstrasi berkepanjangan dikhawatirkan oleh militer. Tak lama kemudian pemerintah menahan Abbas Madani dan Ali Belhadj pada tanggal 30 Juni 1991, serta menangkap sejumlah anggota FIS berpangkat rendah. Setelah penangkapan Madani dan Belhadj oleh pemerintah, FIS kemudian dipimpin oleh Abdelkader Hachani.
c. Keterlibatan FIS dalam Pemilu
Pada periode tahun 1989-1991 FIS gencar
melakukan ekspansi dakwah ke seluruh penjuru Al-Jazair. Para kader FIS menyebar
ke seluruh pelosok Al-Jazair untuk menyadarkan masyarakat bawah akan kesempurnaan Islam dan
kejayaan Islam di masa lampau yang berhasil menumpas ketidakadilan, kemiskinan,
perbudakan dan menggantinya dengan kesejateraan dan kejayaan umat. Penyeruan
terhadap dakwah Islam banyak disampaikan melalui khutbah-khutbah jum’at dan
ceramah-ceramah di masjid-masjid. Kebobrokan dan ketidakberhasilan pemerintah
untuk mensejahterakan kehidupan rakyat Al-Jazair juga banyak diwacanakan
disertai dengan solusi syariat Islam yang paling sempurna dibandingkan
demokrasi ciptaan barat yang kapitalistik dan mendatangkan kesengsaraan rakyat
serta tidak sesuai dengan syariat Islam.
Pada tahun 1991, FIS semakin intens melakukan
kampanye-kampanye kepada masyarakat bawah untuk meyampaikan aspirasi akan nilai-nilai
Islam dan seruan untuk kembali kepada syariat Islam sebagai solusi terbaik.
Demokrasi dianggap sebagai penyakit umat Islam yang menyebabkan banyak terjadi penindasan
dan ketidakadilan terhadap umat Islam. Syariat Islam diserukan dimana-mana
sebagai obatnya dan FIS sebagai dokternya.
Seruan, kampanye dan ceramah-ceramah yang
disampaikan oleh FIS itu ternyata terbukti ampuh. Terbukti hingga tahun 1990,
menjelang pemilu tingkat local, anggota resmi FIS yang terdaftar mencapai 3,5
juta orang. Sebagian besar dari mereka adalah intelektual muda yang menetap di
kota-kota besar.
Sebelum pelaksanaan pemilu putaran I tanggal 26
desember 1991, Presiden Chadli Bendjedid berjanji akan menghormati apapun hasil
pemilu itu. Dalam pemilu itu, partai politik yang terlibat tidak hanya FIS dan
NLF, namun lebih dari itu yang ikut meramaikan pemilihan itu antara lain,
Partai Gerakan Demokrasi Aljazair, Partai Front kekuatan Nasionalis, Gerakan
Budaya dan Demokrasi, dan Sembilan parpol-parpol Islam lain selain FIS.
Kamis, 26 desember 1991, pemilu Aljazair
dilaksanakan. Pemerintah melaksanakan pemilu untuk memperebutkan suara di
parlemen secara demokratis. Sebelum pemilu itu dilaksanakan, melihat kondisi
Aljazair yang kini berubah, para pengamat politik sendiri memperkirakan NLF
akan tersingkir dan kelompok Islam akan mengambil alih pemerintahan.
Pemilu yang memperebutkan 430 kursi parlemen
Aljazair itu, diikuti total oleh 49 partai dan 5712 kandidat, 1029 diantaranya
dari partai independen. Perhitungan sementara sehari setelah pemilu, FIS
mengungguli NLF di delapan kota.
Sebelum perhitungan pemilu putaran I selesai,
melihat antusias masyarakat, FIS sangat yakin dapat suara mayoritas dalam
pemilu ini. Pemimpin baru FIS, Abdulqadir Hachani (mengganti Madani dan Belhadj
yang ditahan), dalam konferensi persnya mengatakan, “Kami yakin akan
memenangkan 70% suara dan itu adalah presentase minimum kalau pemilihan
dilakukan secara jujur dan adil”.
Hasil pemilu putaran I, yang memperebutkan 206 kursi itu, akhirnya diumumkan oleh
Menteri Dalam Negeri Aljazair, Larbi Belkheir. Hasilnya, FIS memperoleh 167 kursi atau 81% suara.
NLF hanya berada di tempat ketiga dengan 16
kursi. Sedangkan tempat kedua, diduduki oleh Barisan Kekuatan Sosialis (FFS)
dengan 20 kursi. Selain itu tiga
calon independen juga terpilih.
d. FIS
Dijegal, Pemilu dibatalkan
Menghadapi pemilu putaran II tampaknya
pemerintah Aljazair secara rahasia melakukan pertemuan dan rekayasa dengan
pihak militer. Hari senin, 13 januari 1992 tiga hari menjelang dilaksanakannya
pemilu II, PM Said Ahmad Ghozali dan para pemimpin militer menyatakan
pembatalan pemilu II. Mereka juga mengumumkan pengangkatan mereka sebagai
penguasa baru di Aljazair.
Keputusan yang sangat mendadak tersebut, tentu
mengagetkan masyarakat Aljir. FIS yang hampir memegang tampuk kekuasaan,
tiba-tiba dijegal tiga hari mem]njelang pemilu II. Pembatalan pemilu II itu
terjadi ketika Ketua Dewan Konstitusi Aljazair, Abdulmalek Benghabiles –Kepala
Badan Yudikatif Tertinggi—menerima pengunduran diri presiden Chaled Bendjedid
hari sabtu (11 januari). Seperti sudah direncanakan , Abdulmalek kemudian
langsung mengambil alih kekuasaan sebagai Kepala Negara. Tetapi sesuai
konstitusi Aljazair, Abdulmalek dalam waktu 24 jam harus melepaskan jabatan
Kepala Negara dan menyerahkannya kepada Dewan Keamanan Tertinggi.
PM
Ghozali mengakui bahwa mundurnya presiden Bendjedid karena para pemimpin militer
telah memaksa presiden untuk mengundurkan diri. Alasannya, tambah Ghozali
karena pihak militer telah mengendus adanya persetujuan rahasia antara
Bendjedid dengan FIS untuk memecat sejumlah pemimpin militer.
Kamis, 16 januari 1992, Mohammad Boudiaf
dipanggil oleh Dewan Keamanan Militer dari pengasingannya di Maroko untuk
kemudian ditetapkan sebagai Ketua Dewan Keamanan Tertinggi, yang terdiri atas
;lima anggota, yaitu Mohammad Boudiaf, Khaled Nasser Menteri Pertahanan, Ali
Haroun Menteri Hak Asasi Manusia, Tidjani Haddm Rektor dari masjid Paris, dan
Ali Kafi Ketua Organisasi Nasional Mujahidin.
Berhubungan dengan tindakan pemerintah yang
secara sepihak membatalkan pemilu. Membuat FIS mengeluarkan pernyataan
bahwasanya keadaan Negara sedang dalam keadaan bahaya dan rakyat Aljazair harus
siap bertindak untuk menyelamatkannya.
Abdulqadir Hachani yang menandatangani
penyataan itu, menyatakan bahwa Dewan Keamanan Tertinggi adalah suatu “Raksasa
Ilegal” yang telah mencaplok pilihan rakyat untuk memuaskan kehausan akan
kekuasaan dan orde baru dunia. Dewa yang dikuasai oleh para militer itu telah
mengkhianati Negara dan rakyat.
Situasi Aljazair samkin panas, karena
pertetangan anatara pemerintah jungta militer dan FIS. Hari rabu (15/1/1992),
Hachani menyatakan bahwa pemerintah baru itu telah mengkudeta Negara Islam da rakyat
Aljazair. Bersamaan dengan itu, anggota parlemen FIS yang terpilih dalam pemilu
putaran I (167 orang) menegaskan bahwa para anggota parlemen memiliki hak
kekuasaan rakyat sejak pengunduran diri Presidden Bendjedid. Dalam pernyataan
hari minggu (19/1), anggota-anggota parlemen FIS menuntut pemulihan legalitas
konstitusional dan agar pemilu II segera dilaksanakan. Namun, pemerintah junta
militer Aljazair tetap represif dan keras kepala.
e. Dukungan
AS dan Sekutunya Terhadap Pemerintah Militer Aljazair
Dapat
diduga seperti banyak peristiwa yang terjadi, negara-negara Barat mendukung
langkah licik pemerintah Aljazair itu. Menyambut langkah Dewan Keamanan
tertinggi Aljazair yang membatalkan pemilu II, Amerika Serikat dan Perancis
langsung mendukungnya. Pemerintah AS menyatakan bahwa tindakah yang dilakukan
oleh Dewan keamanan itu tertera dalam konstitusi. Anehnya, Tunisia yang
bersebelahan dengan Aljazair juga ikut mendukung tindakan Dewan Keamanan yang
direstui AS dan Perancis.
Masyarakat
dunia tentunya bingung dengan kebijakan Barat yang menjegal kemenangan FIS
lewat proses yang demokratis itu. Di satu sisi membela pemilu demokratis,
tetapi bila partai Islam yang menang, maka “halal” bagi mereka untuk
memberangus atau menjegalnya. Syafiq Basri, seorang kolumnis, menulis, “Seoran
pembaca mingguan The Guardian Weekly belum lama beselang menulis bahwa berita
Guardian tentang Aljazair sangat tidak adil, menbungungkan, dan tidak bermoral.
Menurut pembaca itu (Al-Kharraz dari Arab Saudi), tidak seorang pun sebenarnya yang
dapat mendikte rakyat Aljazair tentang siapa yang mesti mereka pilih dalam
Pemilu.
Tudingan-tudingan
Barat dan pemerintah militer Aljir yang
tidak berdasar kepada FIS itu dikecam banyak pengamat dan tokoh Islam. Riza
Shihbudi termasuk pengamat politik yan gmengecam gaya Barat yang melakukan pembredelan dengan
seenaknya. Riza menulis, “Jika memang demikian halnya, mengapa FIS tidak
dibiarkan saja untuk memerintah dan FIS pun akan jatuh denga sendirinya jika
terbukti tida berakar. Jangan lalu muncul prasangka bahwa FIS akan memanfaatkan
demokrasi untuk membunuh demokrasi.”
f. Kebrutalan Penguasa Militer
Setelah
berhasil menguasai dan mengendalikan pemerintahan, pemerintah militer aljir
kemudian bertindak brutal untuk memberangus anggota-anggota partai Islam, FIS.
Menyusul pembubaran pemilu putaran II, pemerintah kemudian menahan para anggota
FIS.
Jumlah
tahanan FIS oleh pemerintah militer kemudian meningkat cepat. Menurut Hachani,
jumlah anggota FIS yang ditahan sampai mencapai 500 orang. Langkah penahanan
besar-besaran oleh pemerintah itu, dinilai para pengamat politik, untuk
memprovokasi FIS agar melakukan balasan serangan.
Setelah
membatalkan Pemilu putaran II dan menahan tokoh-tokoh dan anggota FIS, PM
Ghozali Ahmad dan pemerintah Aljir mulai melakukan rekayasa-rekayasa untuk
melarang dan membubarkan FIS. Selain itu, pemerintah juga berencana memulai
lagi pemilu baru menggantikan system pemilu multipartai yang baru saja
diterapkan. Setelah sebelumnya Madani dan Belhadj ditangkap, kini giliran ketua
FIS yang baru, Abdulqadir Hachani yang dipenjarakan pemerintah militer. Hachani
ditangkap ketika sedang berkendara di sebuah desa selatan Aljazair yang
merupakan markas FIS pada hari rabu 22 januari 1992.
Setelah
Ali Belhadj, Abbas Madani, dan Hachani ditangkap pemerintah Aljir, kini tinggal
empat orang tokoh FIS yang berpengaruh dan
menghirup udara bebas, yaitu Mohammad Said (Imam Masjid Al-Arqam), Rabah
Kebir (Penanggungjawan Hubungan Luar Negeri FIS), Abdulqadir Mughni (Imam
Masjid As Sunnah di Bab el Oued), dan Osman Aissani (anggota eksekutif FIS).
Pada
awalnya Presiden Boudiaf yang mengambil alih kekuasaan dari Bendjedid
menegaskan bahwa dirinya akan menghormati demokrasi dan tidak akan melarang
keberadaan FIS. Meski yang terjadi demikian, namun Dewan membatasi gerak FIS
dengan menghimbau bahwasanya FIS dilarang menggunakan masjid-masjid dan agama
untuk kepentingan politik.
g. FIS Dilarang
Akhirnya, Presiden
Boudiaf terbukti tidak bisa memegang
janjinya. Meski pada awalnya dia menyatakan bahwa FIS tidak akan dibubarkan,
tetapi pada tanggal 9 Januari 1992 pemerintah Aljir menyatakan membubarkan FIS
dan menutup markas pusat FIS. Pemerintah beralasan bahwasanya
bentrokan-bentrokan dengan FIS sudah merebak di berbagai kota dan mengakibatkannya
jatuhnya banyak korban. Dalam bentrokan selama dua hari itu saja, dikabarkan
sekitar 40 orang terbunuh, 200 orang terluka, dan ratusan anggota FIS
ditangkap.
Ketika terjadi aksi
penutupan markas FIS, polisi-polisi Aljir menyerbu mendadak ke markas FIS dan
menahan lima orang disana, termasuk dua anggota Komite Kebijakan Partai FIS.
Dan sekelompok polisi lainnya menutup Masjid Oumma yang berada tepat di
seberang kantor FIS. Masjid Oumma setiap harinya digunakan anggota dan
simpatisan FIS untuk shalat berjamaah.
Penutupan markas besar
dan kantor-kantor FIS yang dilakukan oleh pemerintah tersebut, menimbulkan
kemarahan mahasiswa-mahasiswa di berbagai Universitas Aljazair. Para mahasiswa
dariempat universitas di Aljazair merespon tindakan brutal pemerintah dengan
menggelar demostrasi besar-besaran. Radio Aljazair memberitakan bahwa para
mahasiswa di Constantine yang terletak di sebelah timur Aljir, melancarkan aksi
mogok setelah sebelumnya mengadakan rapat mendukung FIS dan terbentuknya negara
Islam Aljazair. Jumlah mahasiswa yang melakukan demonstrasi itu berkisar 19
ribu orang.
Melihat situasu yang
terus bergejolak di masyrakat, militer makin represif dengan mematikan aliran
listrik di kota-kota. Tidakan militer dengan seenaknya menangkap dan menembak
orang menyebabkan FIS kehilangan kesabaran dan memutuskan untuk melawan mereka
dengan senjata. Beberapa aktivis FIS kemudian membentuk GIA untuk mengcounter
kebrutalan militer Aljir.
Setelah markas FIS
dimana-mana ditutup dan secara tidak langsung dibubarkan, maka FIS akhirnya
resmi dibubarkan oleh penguasa Militer Aljazair pada tanggal 4 maret 1992. Alasan
yang dibuat oleh pemerintah Aljir adalah untuk stabilitas nasional ALjazair.
Pembubaran itu dilakukan setelah keluar rekomendasi Departemen Dalam Negeri
yang melakukan tuduhan resmi bahwa FIS telah menimbulkan kekacauan di dalam
negeri.
Tuduhan
resmi pemerintah Aljazair tersebut tentu adalah sebuah fitnak yang besar.
Karena bahwasanya kekacauan dan kerusuhan yang itu terjadi karena pemerintah membubarkan
Pemilu putaran II dana menangkapi tokoh-tokoh dan aktifis FIS.
Keadaan
Aljazair saat itu sangat mencekam. Masjid-masjid di seluruh negeri dikawa dan
diawasi ketat oleh tank-tank dan pasukan bersenjata lengkap. Para imam dan
jamaah jum’at juga diaawasi. Selain itu, kantor-kantor FIS dan kampus-kampus
tempat mahasiswa-mahasiswa aktivis FIS juga tidak luput dari intaian ketat.
Sampai maret 1992, jumlah pendukung FIS yang ditangkap sekitar 30 ribu orang.
Sekitar 3000 orang tahanan ditempatkan di kamp-kamp gurun sahara yang panas.
h. FIS Mengambil Jalan Keras
Setelah
beberapa waktu lamanya Fis ditekan dan para anggotanya ditahan dan dibantai
oleh penguasa Aljir, maka FIS akhrinya mengambil jalan keras. FIS menyerukan
kepada rakyat Aljazair untuk meruntuhkan resim militer itu, baik lewat jalan
damai atau keras (baca: perang). Seruan untuk disebarkan berupa
selebaran-selebaran gelap yang didapatkan dan disiarkan oleh kantor berita AFP.
FIS
dalam buletinnya Mimbar Al-Jumuah
(Berita Jum’at) mendesak rakyat Aljazair untuk bergerak mulai dari perkataan
sampai mengangkat senjata, setelah usaha melalui jalur diplomasi gagal. Junta
(kelompok pemerintah) telah menyetujui, mengesahkan, dan membenarkan kekejaman
yang dilakukan oleh kelompoknya. Yakni, kematian sebanyak 200 orang Aljazair,
lebih dari 700 lainnya luka-luka akibat peluru, lebih dari 60 ribu orang
diinterogasi, lebih dari 30 ribu ditangkap, dan lebih dari 10 ribu orang
dikirim ke kamp-kamp konsentrasi.
Referensi
-
Husaini, Adian dan Nuim Hidayat. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi,
Penyimpangan dan Jawabannya. Cetakan I. Gema Insani Press. Jakarta. 2002.
-
Id. Wikipedia.org
-
http://www2.irib.ir
-
http://menitijalancahayaku.blogspot.com
-
oaseimani.com dari majalah An-Najah
-
mutiara2010.wordpress.com
Komentar
Posting Komentar