Inkonsistensi Penerapan Otonomi Khusus dan Konflik Papua



Permasalahan di Papua semakin memanas beberapa tahun terakhir yang banyak menyisakan kekecewaan di kedua belah pihak; masyarakat dan aparat. Pasalnya mereka merupakan kelompok masyarakat yang menjadi aktor sekaligus korban solusi pemerintah yang tidak memberikan efek perubahan signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di papua.
Sejak pemberlakuan otonomi khusus (otsus) tahun 2001 sampai sekarang pemerintah belum memberikan perubahan yang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat papua. Alih-alih ingin mensejahterakan masyarakat papua, sebaliknya pemerintah malah tersejahterakan dengan adanya kebijakan itu, terutama pemerintah di daerah. Dengan maraknya praktek korupsi oleh segelintir kepala daerah pada hampir setiap daerah di Papua sehingga menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, yang pada mulanya berharap kepada pemerintah  akan perubahan pada nasib kehidupan mereka.
Sudah terbukti penerapan otsus pada saat ini belum berpengaruh pada kesejahteraan kehidupan masyarakat papua. Dengan terbendungnya alokasi dana masyarakat pada setiap kepala daerah sehingga terjadi penggemukan kekayaan di elit birokrasi. Padahal dana otsus yang dialokasikan 3 triliun setiap tahun cukup besar untuk membangun masyarakat di Papua. Terutama pada tiga aspek yang dianggap penting untuk dirampungkan; infrastuktur, kesejahteraan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Namun, kenyataan yang terjadi di akar rumput justru berbalik arah dengan tidak ditemukannya perubahan serta kekecewaan masyarakat yang semakin kronis.
Timotius Murib selaku ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) yang mewakili kepentingan masyarakat papua menyesalkan ketidakefektifan anggaran yang digunakan untuk masyarakat. beliau mengatakan sudah 11 Tahun Papua mendapatkan kucuran dana Otsus, namun kenyataanya realisasi fisik lapangan yang terkait dengan pembangunan fisik dan layanan publik dianggap jauh dari harapan karena tidak menyentuh kehidupan masyarakat asli Papua hingga pelosok Papua. Beliau menambahkan bagaimana mungkin bisa terjadi ketidakadilan yang sistemik di papua padahal anggaran otsus begitu besar ditambah Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) papua setiap tahunnya mencapai 35 – 40 Triliun. Maka jelaslah pokok permasalahan bukan pada jumlah anggaran yang digelontorkan namun pada tataran pelaksanaannya.
Tidak cukup inkonsistensi penerapan Otsus menjadi sumber masalah bagi rakyat Papua, kekayaan Papua pun ikut menjadi korban dengan penjualan kawasan Tembaga Pura oleh pemerintah kepada korporasi-korporasi asing yang tertarik dengan kekayaan alam Papua. Sebut saja PT Freeport Indonesia yang merupakan mesin penghasil uang bagi Amerika sejak tahun 1967 sampai sekarang masih diizinkan pemerintah untuk melakukan kegiatan pertambangan disana. Bahkan, perusahaan yang berpenghasilan 2,3 miliar dollar ini akan terus melakukan aktivitasnya sampai tahun 2021 berdasarkan kontrak karya tahun 1991.
Tidak mengherankan jika banyak orang papua yang mau merdeka dan melancarkan aksi serangan kepada pekerja Freeport dan aparat keamanan beberapa tahun terakhir. Karena perasaan mereka yang merasa dianaktirikan oleh bangsanya sendiri.
Menurut penulis,  konflik di Papua yang dominan bersumber dari penyalahgunaan dana Otsus sebenarnya dapat diselesaikan dengan segera asalkan setiap pihak mau dan konsisten untuk mejalankannya. Setidaknya ada tiga solusi yang dimaksudkan dapat menyelesaikan masalah tersebut.
Pertama, memperbaiki integritas dan kemampuan pemerintah sebagai pelaksana Otsus. Sudah menjadi masalah yang menjadi topik utama konflik di Papua bahwasanya pemerintah merupakan aktor sumber masalah di Papua. Baik pemerintah pusat maupun daerah tidak memperhatikan dan jeli membaca efek penerapan Otsus di papua, terutama alokasi dana yang digelontorkan. Ditambah lagi dorongan kepentingan pribadi atau kelompok dari elit pemerintah daerah untuk ikut menikmati dana tersebut. Sehingga tidak sedikit anggaran Otsus hanya berhenti di kantong kepala daerah di Papua. Bahkan, menurut pengakuan masyarakat yang berdemonstrasi menuntut pertanggung jawaban kepala daerah, mereka diancam dan diteror oleh preman-preman pesanan kepala daerah untuk membubarkan aksi mereka tersebut. Maka, sudah menjadi keharusan mengevaluasi dan memperbaiki kualitas pemerintah yang inkonsisten melaksanakan Otsus. Sehingga dimaksudkan menciptakan pemerintah yang memiliki integritas dan kemampuan sebagai pelaksana Otsus.
Kedua, membentuk tim ad hoc independen yang mengawasi proses penyaluran alokasi dana Otsus. Sudah banyak bermunculan masalah terkait dana Otsus yang hilang ketika sampai ke tangan kepala daerah. Karena tidak ketatnya pengawasan dana tersebut dan pihak terkait yang tidak konsisten memastikan dana tersebut tersalur sampai di masyarakat. Sehingga perlu adanya tim khusus independen yang berfungsi mengawal dan memastikan dana tersebut tersalur dengan tepat. Apalagi alokasi dana Otsus untuk tahun 2012 meningkat dari 3 triliun menjadi 8 triliun rupiah.
Ketiga, pendidikan politik advokasi anggaran untuk insan akademis dan masyarakat Papua secara umum terutama kaum terdidik sebagai ujung tombak kekritisan dan perubahan masyarakat. Masyarakat perlu mengetahui tentang strategi kebijakan anggaran Otsus. Dimulai darimana dana itu didapatkan, bagaimana prosesnya sampai di masyarakat, berapa jumlah dana yang dialokasikan dan untuk pembiayaan apa saja. Serta siapa yang bertugas untuk menyalurkan dana itu sampai ke masyarakat. Artinya, masyarakat secara umum harus memahami proses penganggaran dana Otsus sampai proses penyalurannya. Sehingga dimaksudkan masyarakat bersikap kritis terhadap berbagai kebijakan pengalokasian dana Otsus oleh pemerintah di Papua.
Keempat, pemberhentian kegiatan pertambangan di Papua oleh PT Freeport yang cenderung merugikan negara. PT Freeport yang sudah berpuluh-puluh tahun melakukan kegiatan pertambangan di Papua harus segera dihentikan karena merusak kondisi alam dengan jutaan ton limbah yang dibuang ke kawasan pegunungan dan sungai Papua. Tidak hanya itu, menurut catatan seo­rang ahli antro­pologi Australia, Chris Ballard, yang pernah be­kerja untuk Freeport, dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari Amerika Serikat, antara tahun 1975-1997 memperkirakan sebanyak 160 nyawa penduduk Indonesia yang dibunuh  oleh militer sewaan Freeport.
 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*