Mempertanyakan Elan Vital BEM KM UMY
Memasuki akhir april
tahun ini usia kepengurusan KM UMY (Keluarga Mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta) periode 2011-2012 sudah hampir berakhir. Tepatnya tinggal satu
minggu lagi jika dihitung sejak pelaksanaan Pemira (Pemilu Raya Mahasiswa)
bulan mei tahun lalu. Sehingga kepengurusan KM periode 2011-2012 akan segera
dinonaktifkan mengingat periode yang diatur oleh konstitusi hanya satu tahun. Artinya
Pemira UMY akan segera dilaksanakan dan dinamika mahasiswa akan kembali riuh
dan panas, khususnya bagi partai-partai politik yang akan berkompetisi dalam
Pemira.
Usia KM UMY periode
2011-2012 akan menjadi sejarah perpolitikan mahasiswa UMY. Eksistensi KM
periode ini yang tidak banyak didengar publik akan meninggalkan jejak yang
tidak akan terhapus dan terus terekam oleh sejarah. Hal ini kembali kepada
keseriusan segelintir mahasiswa yang diamanatkan oleh seluruh mahasiswa UMY
untuk mengurus lembaga tersebut. Apakah mereka serius untuk mengemban amanat
mahasiswa atau hanya menikmati fasilitas lahan basah tersebut tanpa tahu-menahu
konsekuensi yang akan mereka terima. Dan efek besar akan lahir dari sikap
mereka itu, apakah dukungan kepuasan atau
kritikan ketidakpuasan dari mahasiswa.
Kritikan ketidakpuasan bakal
terjadi apabila sikap KM selama satu tahun kepengurusan menimbulkan sinyalemen
ketidakefisienan pengelolaan kinerja organisasi dengan parameter program kerja
(baca: proker) yang tidak efisien dan deproduktif. Program kerja yang kebanyakan
berurusan dan dominan berhubungan dengan lembaga eksekutif -atau yang kita kenal dengan BEM (Badan
Eksekutif Mahasiswa)- sebagai komando utama keberadaan dinamika aktivitas
mahasiswa di kampus akan dibebankan kewajiban untuk menjelaskan kronologi kinerjanya selama
satu tahun. Maka yang menjadi pertanyaan apakah proker BEM berjalan simetris
sesuai target yang semula disusun? atau asimetris berbelok dari koridor
mainstreamnya (alur utamanya)?
Menurut sumber yang penulis
terima, pelaksanaan program kerja BEM periode ini -yang menjadi amanat raker
(rapat kerja) paska Pemira- hampir tidak dipenuhi. Penulis mencatat, BEM dalam
agenda kabinetnya selama satu tahun baru melaksanakan dua proker, yaitu lomba
mural -melukis dinding/grafiti- yang diselenggarakan oleh Kementerian Budaya dan Kreatifitas Mahasiswa
(Kemenkrema) BEM UMY dan lomba karya dan seminar nasional (Eduforia)
oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) BEM UMY. Kedua agenda
tersebut bersama dilaksanakan pada paruh kedua kabinet yaitu antara bulan maret
sampai april 2012, sedangkan program sebelum itu secara umum belum terasa.
Menjadi dilematis jika hanya seperti ini kemampuan BEM
dalam mengurusi urusan rumah tangganya. Tidak
ubahnya kinerja organisasi mahasiswa intrakampus yang lain –seperti BEM
Fakultas, UKM, HMJ, IMM-, BEM bahkan lebih memprihatinkan jika melihat
intensitas eksistensinya dibandingkan dengan lembaga-lembaga kemahasiswaan
tersebut. Artinya BEM sebagai pemimpin dan pengayom lembaga mahasiswa
intrakampus belum mampu untuk memenuhi kewajibannya itu. Karena alih-alih
hendak mengakomodasi dan melakukan supervisi terhadap kinerja lembaga
dibawahnya, BEM nyaris tidak bisa berdikari dengan sinyalemen ketidakoptimalan
dan ketidakproduktifan kultur kinerja kabinetnya. Hanya dua kementerian yang
baru mengemuka dimata mahasiswa dari enam kementerian yang berada dalam kabinet
–meliputi Kemensesneg (Kementerian sekretaris negara), Kemenkeu (Kementerian
keuangan), Kemenlu (Kementerian luar negeri), Kemendagri (Kementerian dalam
negeri), Kemenkrema (Kementerian budaya dan kreatifitas mahasiswa), dan Kemendiknas
(Kementerian pendidikan nasional)- mungkin beberapa kementerian tidak terlibat
langsung dengan kepentingan mahasiswa –seperti Kemensesneg dan Kemenkeu- tetapi
seharusnya mereka mempunyai agenda khusus yang melibatkan mahasiswa . Pun
demikian proker dari dua kementerian yang sudah terlaksana tetapi –seperti
Kemenkrema- belum menargetkan mahasiswa sebagai objek primer agendanya. Padahal
di dalam Pedoman
Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi yang dikeluarkan melalui
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) nomor 155 tahun 1998 pasal 1
menjelaskan “organisasi kemahasiswaan
intra perguruan tinggi adalah wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke
arah perluasan wawasan dan peningkatan kecendekiawanan serta integritas
kepribadian untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi.” Jadi objek vital dan
prioritas dari aktivitas organisasi intra kampus –BEM, dll- adalah mahasiswa
bukan kelompok masyarakat. Dijelaskan lebih lanjut oleh keputusan tersebut pada
pasal 2 berbunyi, “Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan
berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan
dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa”. Ditambah pasal 5 ayat 4 tentang
fungsi organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi seperti BEM sebagai
pengembangan potensi jatidiri mahasiswa sebagai insan akademis, calon ilmuwan
dan intelektual yang berguna di masa depan. Jelas sudah bahwa prioritas objek
untuk BEM yang dibangun dan dirawat adalah mahasiswa bukan yang lain.
Anggaran belanja BEM dari
rektorat yang digelontorkan setiap tahun sebesar kurang lebih 40 juta rupiah
seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik. Kalaupun anggaran tersebut terlambat
dicairkan maka bukan menjadi alasan bagi BEM untuk tidak menyelesaikan amanahnya.
Padahal tugas BEM adalah mengembangkan potensi mahasiswa, atau dalam istilah
ruang lingkup sektor publik adalah rakyatnya. Sedangkan BEM mengalami
keterbatasan dana sehingga akhirnya rakyat –mahasiswa- tidak terurusi dan kemudian
terlantar. BEM akhirnya bukan saja tidak amanah, tetapi tidak merasa sebagai institusi
yang berintegritas dengan mengabaikan tugasnya sebagai pelindung mahasiswa dan
penjamin kesejahteraan mereka. Selanjutnya, apakah BEM harus bertanggung jawab?
Ataukah kampus sebagai sumber kapital BEM yang harus bertanggungjawab?
BEM sebagai institusi
tertinggi lembaga kemahasiswaan intra kampus diamanahkan oleh konstitusi
–peraturan Kemendikbud No. 155 tahun 1998, pasal 5 ayat 3- sebagai sarana dan
wadah komunikasi antar mahasiswa. Tetapi dalam praktiknya belum ada forum
semacam itu dan secara strategis BEM bahkan tidak banyak mempublikasikan
gebrakan strategisnya melalui jejaring sosial milik sendiri. Artinya BEM saat
ini belum transparan kepada mahasiswa dan sebaliknya cenderung tertutup atau
tidak nyaman dengan penginformasian kinerjanya itu kepada mahasiswa.
Selanjutnya BEM juga belum terlihat batang
hidungnya dalam isu-isu yang mengcounter
rektorat atau kontra birokrasi kampus. Sebagai contoh kasus pemukulan mahasiswa
oleh otorita kampus pada awal tahun ini yang mengakibatkan beberapa mahasiswa
menjadi korban. Menurut penulis setidaknya BEM menaruh perhatian khusus
terhadap peristiwa tersebut dan mendialogkannya dengan mahasiswa dengan tidak
memposisikan diri kepada salah satu kelompok
dari kedua pendulum tersebut. Sehingga mahasiswa dapat mengakses informasi terkait
peristiwa tersebut secara obyektif dari BEM dan perwakilan kedua pihak yang
terlibat, bukan hanya kesaksian dari salah satu pihak yang cenderung emosionil
dan subyektif. Sehingga akhirnya BEM menjadi penyambung lidah mahasiswa untuk
bereskperimen menciptakan kampus UMY yang sarat dengan nilai-nilai
intelektualitas, sosialitas dan religiusitas sebagai reinkarnasi dari tujuan umum UMY yakni terwujudnya
sarjana muslim yang berakhlak mulia, cakap, percaya diri, mampu mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta berguna bagi umat, bangsa dan kemanusiaan.
Wallahu alam bis shawab.
Komentar
Posting Komentar