Menyoal transisi BUMN: antara Kemandirian dan Intervensi Pemerintah


Sebagai Negara yang menjadikan pancasila sebagai ideologi politik dan ekonomi. Menjadikan Indonesia sebagai sedikit dari sekian banyak Negar-Negara di dunia yang menganut sistem ideology comprehensive –teori Karl Manheim yang menganggap bahwasanya ideologi secara luas mengatur aspek politik, ekonomi, sosial dll- yang sedikit banyak mengatur masalah perekonomian bangsa ini. Meskipun pada aspek praksis Negara (sebagai pengejewantahan politik) banyak mengintervensi dan cenderung melakukan hegemoni terhadap aktivitas perekonomian. Sehingga setiap kebijakan perekonomian yang dilakukan oleh kementerian keuangan –dalam hal ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai perangkat teknis- selalu dikontrol gerak-geriknya oleh Negara, dengan dalih menjaga  trayek kinerja BUMN sesuai jalur yang benar.  Hal ini tentu menjadi permasalahan tersendiri bagi BUMN –atau badan usaha lain milik pemerintah- yang pada dasarnya memiliki obsesi meraih profit sebesar-besarnya untuk memperkuat kedaulatan ekonomi negara. 

Dalam UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN pasal 2 ayat 1 poin b dijelaskan bahwa, “maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah mengejar keuntungan”. Apa yang tergambar dari ayat tersebut jika diperhatikan secara tekstual maka akan menunjukkan orientasi perusahaan kepada praktik-praktik kapitalistik. Sehingga tujuan didirikan BUMN semata-mata hanya untuk mencari keuntungan. Tidak merangkul aspek lain yang dapat mensejahterakan masyarakat sehingga tidak berorientasi kepancasilaan yang notabene lekat dengan nilai-nilai kesejahteraan dan gotong-royong. Untuk lebih melengkapi isi dari  pasal tersebut maka dilanjutkan dengan poin c yang berbunyi, “ menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak”. Artinya aktivitas BUMN tidak beorientasi kapitalistik tetapi kepancasilaan.


Posisi BUMN Sekarang
Tanggal 30 maret yang lalu masyarakat Indonesia was-was dengan digelarnya sidang paripurna DPR-RI di senayan yang membahas UU Nomor 22 tahun 2011 tentang APBN 2012 yang akan mengalami perubahan. Khususnya pasal 7 ayat 6 yang menjelaskan Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak naik pada tahun 2012. Sidang tersebut dilaksanakan sesuai dengan keputusan Presiden SBY untuk menarik subsidi BBM dengan pertimbangan naiknya harga minyak mentah Index Crude Price (ICP) dunia barel per hari (bph). Akhir dari persidangan tersebut memutuskan BBM tetap naik tetapi pada waktu yang belum ditentukan. Keputusan ini dikeluarkan dengan merujuk pada amandemen pasal 7 ayat 6 dengan tambahan ayat 6a yang akan menaikkan harga BBM jika terjadi penaikan atau penurunan ICP 15% selama rata-rata enam bulan. Artinya rencana penaikan BBM pada tanggal 1 April tidak jadi dilakukan pemerintah.
Fenomena tersebut merupakan salah satu masalah yang berasal dari pengelolaan BUMN yang tidak tepat. BBM tersebut naik mengikuti harga pasar dunia karena kedaulatan energi Indonesia yang belum memadai. Kita  tidak mampu mengelola minyak mentah yang berasal dari perut negeri ini. Meskipun dengan melibatkan korporasi asing dalam pengelolaan sektor hulu dan hilir yang menjadi pencetus masalah. Menurut Deputi Pengendalian Operasi BP Migas Rudi Rubiandini, produksi minyak mentah (lifting) Indonesia sekitar 900.000 bph dengan bagian sekitar 600.000 bph untuk kita dan 300.000 bph untuk korporasi asing, padahal kebutuhan nasional 1,3 juta bph. Artinya Pertamina sebagai BUMN yang berwenang dalam masalah ini tidak mampu berbuat banyak. Hal ini dikarenakan Pertamina tidak mendapat keluasan untuk mengatur urusan dapurnya sendiri dan mengeluarkan kebijakan strategis untuk menangani masalah ini karena di intervensi oleh pemerintah. Meskipun sejak beberapa tahun belakangan, ide tentang pelaksanaan energi alternatif –seperti geothermal (panas bumi), biodiesel (sumber daya hayati-nabati), gas dan energi non fosil yang lain- sebagai peganti BBM sudah banyak dibicarakan tetapi tidak mengalami perkembangan signifikan karena keterbatasan biaya investasi yang terbilang besar. Sebaliknya Pertamina dikritik pemerintah tidak transparan dalam kinerja pengelolaan perusahaannya.
Dalam ranah kedaulatan pangan, BUMN juga mengalami masalah. Dalam sisi produksi pangan, PT. Pupuk Sriwijaya sebagai perusahaan induk dari seluruh BUMN pupuk –PT.Pupuk Kaltim, PT. Petrokimia Gresik, PT. Iskandar Muda, PT. Pupuk Kujang, dll- di Indonesia tidak mampu menyelesaikan persoalan musiman yakni kenaikan harga pupuk.  Lagi-lagi persoalan penarikan subsidi menjadi permasalahan yang terus terjadi. Sehingga menjadi salah satu factor pencetus kerugian petani, terutama petani kecil. Sehingga berdampak pada sektor riil/UKM (Usaha Kecil Menengah) sebagai pihak yang tergantung dengan petani.
Perusahaan menjual pupuk produk mereka kepada petani sesuai dengan harga pasaran –non subsidi- sehingga berdampak pada pengelolaan hasil panen selanjutnya. Pasca panen ketika beras didistribusikan, kebanyakan petani lebih memilih menjual kepada Bulog, sebagai salah satu BUMN pemerintah yang bergerak di bidang distribusi pertanian karena beras yang dibeli Bulog cenderung lebih tinggi daripada di pasar. Tetapi oleh Bulog beras dibeli dengan harga yang dianggap kecil oleh petani, karena tidak sesuai dengan modal produksi yang dikeluarkan.
Masalah yang menimpa Bulog sekarang tidak berbeda dengan BUMN yang lain, bahkan fakta di lapangan masalah yang menimpa Bulog jauh lebih kompleks. Perusahaan ini mengalami masalah terutama dalam aspek manajemen perusahaan. BULOG sejak tahun 2003 beralih ke Perum (Perusahaan Umum) yang merupakan Lembaga Pemerintah Non-Departemen. Konsekuensinya sebagai Perum adalah memiliki dua fungsi yaitu memupuk laba dan sebagai penyangga kebijakan. Multifungsi ini memungkinkan perusahaan beresiko terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaannya. Artinya manajemen perusahaan mengalami perebutan pengelolaan sehingga berdampak pada efektifitas distribusi pangan nasional. Selain itu yang ikut meningkatkan persaingan dalam perusahaan sendiri adalah jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) yang besar, sekitar 6000 karyawan serta fasilitas fisik yang besar seperti gudang dengan jumlah ribuan unit serta jumlah kantor puluhan unit. Bulog juga mengalami kelebihan pembiayaan, karena boros dalam mekanisme pengelolaan.

Privatisasi BUMN Sebagai Langkah Strategis
Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut mendeklarasikan keikutsertaan terhadap Konsensus Washington pada tahun 90’an bersama negara kapitalis lainnya pada awalnya menikmati pelayanan ekonomi dari International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (Bank Dunia) yang fantastis. Pinjaman mengalir ke khas negeri ini dengan mudah dan melalui prosedur yang tidak berbelit.
Negara-negara pengikut konsesus Washington tidak saja mendapatkan pinjaman dengan prosedur yang mudah, lebih daripada itu kebijakan internal ekonomi negara tersebut dikendalikan oleh IMF sebagai imbalan pelayanan yang diberikan IMF. Artinya, pelayanan yang baik tidak gratis, perlu tindakan balas budi untuk mengganti kemudahan yang diterima itu.
IMF menerapkan kebijakan kepada negara-negara mitra bisnisnya, khususnya Indonesia dengan mengeluarkan Letter of Intent (LoI) yang dideklarasikan pada tanggal 20 januari 2000. Inti dari kebijakan tersebut adalah dalam mengatasi krisis ekonomi, pemerintah Indonesia harus menjalankan Structural Adjustment Program (SAP) atau program penyesuaian pengelolaan struktural. Dalam ranah kebijakan public, SAP dilaksanakan melalui tiga program kebijakan yaitu; liberalisasi (kebijakan pasar bebas), deregulasi (pemisahan ekonomi-negara) dan privatisasi (swastanisasi).
Liberalisasi dan deregulasi belum sepenuhnya bisa diterapkan di Indonesia karena hadirnya pasal 33 UUD tahun 1945  sebagai konstitusi ekonomi bangsa mengharamkan pemisahan ekonomi dan negara. Sedangkan privatisasi menjadi pengecualian dan dilakukan sesuai dengan  kesepakatan tersebut.
Privatisasi sebagai perangkat kapitalisasi perekonomian Negara sebenarnya tidak sepenuhnya berdampak negatif, khususnya untuk perekonomian bangsa Indonesia. Privatisasi sebenarnya dilakukan untuk menutupi defisit fiskal dalam APBN. Selain itu untuk efisiensi pengelolaan BUMN yang kurang maksimal karena jumlahnya yang banyak. Sebagaimana yang juga banyak dilakukan oleh negara-negara di seluruh dunia.
Jumlah BUMN Indonesia pada tahun 2009 mencapai 141 perusahaan, belum termasuk anak perusahaannya. Jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Sehingga berdampak pada pengelolaannya yang sangat kompleks sebab ternyata mayoritas BUMN memiliki kinerja buruk dan cenderung membebani negara. Fenomena berbeda terjadi di Malaysia dibawah Khazanah Nasional Berhad, nama lain dari perusahaan induk (holding company) yang memiliki total 53 saham perusahaan yang tersebar di 13 sektor ekonomi dan tersebar merata pada hampir setiap sektor. Sedangkan Singapura dibawah Temasek Holdings hanya memiliki 28 BUMN.
Meskipun kondisi yang berbeda jauh tersebut, Indonesia juga tidak boleh secara sepihak langsung melakukan privatisasi besar-besaran karena harus mempertimbangkan landasan konstitusional keberadaan BUMN dalam struktur ekonomi –tercantum dalam pasal 33 UUD 1945-, landasan teoritis keberadaan BUMN dan landasan strategis –keberadaan BUMN yang harus disinergiskan dengan pembangunan ekonomi. Sehingga pengurangan jumlah BUMN tidak berasal dari tujuan untuk meningkatkan produktifitas BUMN saja, tetapi lebih mempertimbangkan aspek manfaatnya kepada masyarakat banyak dan landasan filosofi bernegara. Perusahaan yang berorientasi untuk kepentingan publik/Public Service Obligation (PSO) –seperti Bulog, Kimia Farma, Jamsostek, Pelni, Pertamina, Gas Negara, dll- harus dibedakan dengan yang berorientasi bisnis –seperti Garuda Indonesia, TVRI, BRI, Semen Gresik, dll- seharusnya  lebih diminimalisir untuk diswastakan.
Privatisasi BUMN di Indonesia sebagian besar dilakukan dengan strategi direct placement. Strategi  ini dilakukan dengan metode penjualan saham kepada satu atau beberapa investor strategis, dengan alasan perluasan pasar dan sebagainya (Fahri, 2012). Atau public offering yaitu pemerintah menjual kepada publik semua atau sebagian saham yang dimiliki atas BUMN tertentu kepada publik melalui pasar modal. Hal inilah  yang terjadi pada kasus penjualan BUMN seperti PT. Semen Gresik, PT. Indosat, PT. Timah, PT. Telkom, PT. Aneka Tambang, dan Bank BNI. Padahal ada banyak strategi lain yang cenderung tidak merugikan negara seperti contracting out, yang masih mempertahankan kewenangan atas aset BUMN dan pemerintah selaku agen negara untuk melakukan hubungan kontrak dengan pihak swasta dalam pengelolaan operasional BUMN.

Indonesia dengan jumlah BUMN yang mencapai 141 perusahaan memang harus dikurangi untuk menghindari terjadi pengelolaan perusahaan yang tidak maksimal. Perusahaan yang kecil yang cenderung merugikan sudah seharusnya untuk diprivatisasi atau dilakukan merger (penggabungan) dengan perusahaan lain berdasarkan kategori atau ranah kerja yang sama.  Sehingga pemerintah dapat berkosentrasi kepada pengembangan perusahaan yang sudah besar dan menghidupkan perusahaan yang berorientasi kepentingan publik. Sehingga sumberdaya hayati dan nabati yang dapat diproduksi di dalam negeri tidak lagi perlu diimpor karena bisa dikelola oleh BUMN yang bergerak pada ranah  tersebut.

BUMN: antara Independensi Pelaksanaan atau Hegemoni Pemerintah
Paham ekonomi noeklasik Adam Smith sebagai embrio kelahiran ekonomi kapitalis dewasa ini menjadi salah satu paham yang popular digunakan oleh banyak negara di dunia. Apalagi melihat keuntungan yang dapat diserap semaksimal mungkin, menjadikan paham ini mendapat sorotan yang cukup positif oleh masyarakat dunia. Meskipun juga banyak menuai kontroversi dari kelompok-kelompok lain seperti kaum Marxis dan Keynesian serta Islam yang menyebutnya sebagai sumber kehancuran kapital dunia.
Ekonomi neoklasik Smith mengajarkan tentang 3 unsur untuk menghidupkan kemajuan ekonomi yaitu; freedom (kebebasan) –hak untuk memproduksi, menukar (memperdagangkan produk), tenaga kerja dan modal-, self interest (kepentingan diri) –hak seseorang untuk melakukan usaha sendiri dan membantu kepentingan orang lain- dan competition (persaingan) –yaitu hak untuk bersaing dalam produksi dan perdagangan barang dan jasa. Sehingga menurut Smith dalam maha karyanya, An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations, menjelaskan bahwa ketiga unsur tersebut berguna untuk menghasilkan “harmoni ilmiah”. Dalam doktrin ini, posisi negara hanyalah sebagai penjaga malam dan aktivitas ekonomi di siang hari merupakan hak individu masyarakat yang tidak bisa ditawar-tawar. Artinya paham ekonomi kapitalis menolak intervensi negara dalam kegiatan ekonomi.
Indonesia sebagai negara yang mengusung Pancasila menjadi ideologi negara meletakkan aktivitas ekonomi sebagai bagian dari tanggung jawab pengelolaan negara (UUD 1945, pasal 33 ayat 2 dan 3). Semua sumber daya alam yang berpotensi untuk diperniagakan dan menguasai kebutuhan rakyat dikuasai oleh negara sehingga tidak dibenarkan dikelola oleh individu atau kelompok kepentingan. Sehingga hasil dari kekayaan alam yang berada diatas bumi Indonesia digunakan semuanya untuk kesejahteraan rakyat.  Hal ini sebagai manifestasi dari tujuan negara yaitu untuk mewujudkan keselamatan dan kesejahteraan para anggota dan penduduknya.
Dalam konteks keIndonesiaan pengelolaan ekonomi dalam hal ini BUMN sebagai pelaksana teknis diwujudkan untuk mengurangi dan menutup defisit anggaran APBN beserta tujuan lain yang ingin dicapai. Sehingga mayoritas keputusan dalam internal BUMN dikontrol oleh pemerintah (negara). Akibatnya, perusahaan hanya bertugas melaksanakan keputusan pengelolaan rumah tangga yang diputuskan oleh pemerintah apapun konsekuensinya seperti yang sudah penulis jelaskan dimuka.
Disini sebenarnya telah terjadi ketidakefisienan kinerja pemerintah. Semua keputusan yang diambil oleh BUMN harus mendapat legitimasi dahulu dari pemerintah sehingga dalam kinerja perusahaan, BUMN menjadi tidak mandiri dan tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk mengelola persoalan rumah tangganya sendiri. Sehingga muncul argumentasi besar, apakah pemerintah berhak untuk mengatur perekonomian atau tidak dan jika boleh sampai sejauh mana pemerintah bisa berperan? Padahal pada implementasi di lapangan oleh banyak negara di dunia belum berani untuk menyerahkan masalah perekonomiannya kepada pihak swasta.
Menurut penulis, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sudah benar dan memiliki legitimasi konstitusi yang mengikat. Artinya tidak seharusnya ada perdebatan dalam kebijakan pemerintah tersebut. Dan merupakan suatu kewajiban bagi pemerintah sebagai representasi dari kepentingan rakyat untuk menjalankan ketetapan konstitusi.
Tetapi pemerintah juga harus mempertimbangkan dengan baik. Atas dasar apa BUMN didirikan dan untuk kepentingan apa? Sedangkan semuanya sudah dijelaskan dalam UU No. 19 Tahun 2003 pasal 2 tentang maksud dan tujuan didirikan BUMN. Sehingga orientasi perusahaan salah satunya adalah mengejar keuntungan sebagai naluri dasar perusahaan tersebut diciptakan. Sehingga dengan keterlibatan pemerintah, cenderung meredusir tujuan dari BUMN itu sendiri yang berdampak pada ketidakefektifan perusahaan meraih keuntungan.
Pemerintah hendaknya tidak memandang BUMN sebagai representasi sempit dari kepentingan publik yang seluruhnya digunakan hanya untuk kepentingan publik. Pemerintah perlu melakukan diversifikasi terhadap BUMN. Jenis  mana yang tergolong berorientasi publik (PSO) dan yang berorientasi bisnis. Sehingga pengawasan dan intervensi pemerintah lebih diprioritaskan kepada BUMN yang berorientasi PSO. PSO mendapat perhatian penuh pemerintah karena langsung berhadapan dengan kepentingan rakyat. Pada kategori ini BUMN harus dintervensi oleh pemerintah untuk menyelesaikan kinerjanya dan karena hasilnya langsung ditujukan kepada rakyat, maka pemerintah bertanggungjawab untuk memastikan berjalan sesuai koridornya. Sedangkan bagi BUMN yang berorientasi bisnis diberikan keluasan untuk mensukseskan maksud dan tujuan kinerja perusahaannya. BUMN dengan kategori ini harus dikembalikan hak pengelolaannya kepada perusahaan dan peran pemerintah hanya memastikan kinerja BUMN tersebut sesuai dengan konstitusi.
Sebagai pengganti pengawasan pemerintah yang ketat, BUMN yang berorientasi bisnis dikenakan biaya pajak dan dilakukan audit berkala oleh lembaga audit independen untuk menunjang iklim produktifitas perusahaan. Sehingga terwujud BUMN yang akuntabel dan transparan untuk mencapai maksud dan tujuan pendiriannya oleh  konstitusi.

Referensi

§   Prof. Dr. Kaelan, M.S., Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta:Paradigma, 2010)

§  Jean Jacques Rosseau, Du Contract Social, (Yogyakarta:Visi Media, 2009)
§  Fahri Hamzah, Negara, BUMN dan Kesejahteraan Rakyat, (Jakarta: Faham Indonesia, 2010)
§  Opini Kompas, Selasa 27 Maret 2012

§  Dikutip oleh Syahrir Ika dan Agunan P. Samosir dari Artjan, M. Faisal, IPO Sebagai Alternatif Privatisasi BUMN, Majalah Usahawan No. 02 Th. XXIX, Februari 2000

§   Undang-Undang Dasar tahun 1945
§   www. bumn. go.id


Zulfikhar
Ngebel, RT.03, Tamantirto, Kasihan, Bantul, DIY
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) DIY
0821 3497 9107

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*