Mencari Perlindungan Politik dan Penyebaran Dakwah di luar Jamaah Muslimin


Setelah posisi dan integritas dakwah di Makkah semakin kuat. Rasulullah saw memulai proses trasformasi strategi dakwah dengan berdakwah secara terbuka (Jahriyyatud dakwah). Periode dakwah pada tahap ini mulai dilakukan beberapa saat setelah Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab memeluk Islam pada tahun keenam bitsah.
Keputusan yang berani tersebut direspon oleh kaum Quraisy Mekkah dengan melancarkan selusin ancaman, fitnah dan kutukan-kutukan sinis. Seperti usaha Abu Jahal untuk membunuh Rasulullah dengan menukarnya kepada Abu Thalib dengan Imarah bin al-Walid, seorang pemuda yang tampan dan paling gagah di Quraisy. Dan peristiwa yang beresiko memicu peperangan diantara kaum muslimin dan Quraisy yaitu peristiwa penamparan Abu Jahal oleh Hamzah. Karena menghina dan memfitnah kemenakannya di depan umum.

Pada periode ini Rasulullah saw, memulai strategi dengan menghimpun komunitas muslim. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi perpecahan dan saling membantu di antara mereka. Seperti peristiwa pembunuhan orang tua Ammar bin Yasir dahulu. Klimaksnya Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk berhijrah ke Habasyah. Hijrah ini dilakukan untuk membangun basis perlindungan dan dukungan politik sekaligus kekuatan kaum muslimin. Strategi ini dilakukan dengan meminta perlindungan/suaka kepada Raja Najasyi, pengusa Habasyah pada saat itu.
Hijrah tersebut pada awalnya tidak berjalan mulus. Karena terjadi kebocoran informasi sehingga sampai ke telinga para pembesar Quraisy. Sehingga kaum Quraisy mengirim dua utusannya, yaitu Abdullah bin Rabiah dan Amru bin Ash untuk menggagalkan niat kaum muslimin itu. Pada akhirnya lobi kedua utusan kaum Quraisy tersebut tidak berhasil membujuk Najasyi untuk menyerahkan kaum muslimin kepada kaum Quraisy melalui kedua utusan tersebut.
Dengan keberhasilan hijrah ke Habasyah tidak membuat kaum muslimin untuk merasa cukup dengan basis kekuatan yang baru mereka peroleh. Apalagi kondisi dakwah di Makkah semakin sulit oleh karena tekanan dan boikot kaum Quraisy. Sehingga dibutuhkan tempat baru untuk meneruskan penyebaran dakwah. Karena di Mekkah tidak lagi memungkinkan dan Rasulullah pada saat itu diusir oleh kaum Quraisy.
Maka Rasulullah memutuskan untuk pergi berdakwah ke Bani Tsaqif di kota Thaif. Beliau pada saat itu berangkat bersama dengan Zaid bin Haritsah.
Di pemukiman Bani Tsaqif, Rasulullah bertemu dengan ketiga pemuka bani Thaif, yaitu: Abdu Yalil bin Amr, Mas’ud bin Amr dan Habib bin Amr. Dalam pertemuan tersebut Rasulullah menyampaikan maksud kedatangan beliau, yaitu untuk mencari perlindungan dari Bani Tsaqif sekaligus meminta legitimasi mereka untuk menyebarkan ajaran Islam. Tetapi upaya beliau mendapat penolakan keras dari ketiga tokoh tersebut. Bahkan, mereka memerintahkan kaumnya untuk menyerang Rasulullah sampai kedua alas kaki beliau berlumuran darah. Sedangkan Zaid mengalami perdarahan di bagian kepala karena berusaha melindungi tubuh Rasulullah.
Setelah upaya mencari pembelaan kepada Bani Tsaqif gagal. Rasulullah kemudian beralih untuk mencarinya di kota Mekkah. Sebelum memasuki Makkah pasca keluar dari Thaif, Rasulullah mengirim utusan kepada ketiga pemimpin suku Quraisy di Mekkah untuk mendapatkan jaminan keamanan dari mereka. Yaitu Akhnas bin Syuraiq, Suhail bin Amr dan Muth’am bin Adi. Tetapi yang memenuhi permintaan beliau hanya dari bani Naufal. Yaitu suku pimpinan Muth’am bin Adi. Alasan Muth’am memutuskan untuk mengamankan kedatangan Rasulullah hanya untuk mengindari terjadinya pertumpahan darah dan menjunjung perdamaian.
Pasca pengusiran dari Bani Thaif, Rasulullah tetap konsisten menyiarkan dakwah Islam meskipun suasana tegang belum mereda di kalangan kaum Quraisy. Rasulullah mendatangi beberapa tempat acara musiman dan pasar Arab untuk mengajak orang-orang disana masuk Islam.
Pada musim haji tahun kesepuluh bitsah, Rasulullah mendatangi kabilah-kabilah yang berkumpul sekitar kota Mekkah. Obsesi beliau tetap sama dengan sebelumnya, yakni meminta perlindungan kepada kabilah-kabilah tersebut dan meminta izin kepada mereka untuk menyampaikan dakwah Islam.
Kabilah-kabilah yang didatangi Rasulullah pada saat itu adalah Bani Amir, Bani Ghassan, Bani Fazarah, Bani Murrah, Bani Hanifah, Bani Sulaim, Bani Abbas, Bani Nasher, Bani Tsa’labah bin Ukabah, Bani Kindah, Bani Kalb, Bani al-Harits bin Ka’ab, Bani Udzarah, Bani Qais bin al-Khatim, dan Bani Abul Haisar Anas bin Abu Rafi’. Tetapi upaya beliau terus mendapat tekanan dari kaum Quraisy. Terutama dari paman beliau, Abu Lahab.
Dari sekitar enam belas kabilah yang didatangi Rasulullah tersebut, tidak ada yang bersedia menerima tawaran beliau. Hampir semua kabilah menolak mentah-mentah tawaran Rasulullah. Kecuali dua kabilah yang masih berkompromi. Yaitu Bani Amir bin Sha’sha’ah dan Bani Syaiban bin Tsa’labah.
Bani Amir menawarkan kepada Rasulullah akan memberikan perlindungan dengan syarat mereka akan diberikan kursi kepemimpinan jika suatu saat perjuangan Rasulullah berhasil. Tawaran ini ditolak Rasulullah karena bertentangan dengan prinsip dakwah Islam.
Sedangkan Bani Syaiban pada awalnya sepakat dengan maksud penyebaran dakwah. Tetapi  butuh waktu berpikir untuk masuk Islam.
Bani Syaiban sepakat melindungi Rasulullah dari gangguan musuh-musuhnya dengan syarat hanya musuh dari bangsa Arab saja, bukan Ajam. Hal itu mereka sampaikan karena mereka sudah terikat dengan perjanjian Yamamah dan Samamah, yaitu perjanjian dengan sesama kabilah Arab dan perjanjian dengan Kisra. Perjanjian dengan Arab menurut mereka mungkin bisa dimaafkan dan diterima alasannya tetapi tidak dengan Kisra.
Rasulullah menerima alasan Bani Syaiban dengan rasa puas. Beliau mengatakan jawaban tersebut tidak buruk karena disampaikan dengan terus terang. Tetapi menurut beliau membela agama Allah tidak dengan melihat dari satu aspek tetapi semua aspek. Sehingga dengan hanya memerangi kaum kafir Quraisy (baca: bangsa Arab) saja tidak cukup.
Setelah upaya pencarian perlindungan ke kabilah-kabilah di Mekkah tidak berhasil. Rasulullah kemudian melanjutkan penyebaraan Islam kepada kabilah-kabilah dari luar Mekkah yang lain. Terutama mereka yang menunaikan ibadah haji pada saat itu. Meskipun langkah ini tidak lagi hanya beorientasi kepada perlindungan politik an sich. Tetapi lebih merujuk kepada visi besar dakwah.
Di Aqabah Rasulullah bertemu dengan rombongan kabilah dari Yastrib pada musim haji tahun kesebelas bitsah, tepatnya pada bulan juli tahun 620 M. Mereka terdiri dari enam pemuda yang berasal dari berbagai suku di Yastrib. Mereka adalah As’ad bin Zurarah dan Auf bin al-Harits bin Rifa’ah bin Afra dari Bani Najjar, Rafi’ bin Malik bin Al-Ajlan dari Bani Zuraiq, Quthbah bin Amir bin Hadidah dari Bani Salamah, Uqbah bin Amir bin Nabi dari Bani Ubaid bin Ka’ab dan Jabir bin Abdullah bin Ri’ab dari Bani Ubaid bin Ghanm. Dialog Rasulullah dengan keenam pemuda ini berjalan dengan baik sampai berakhir dengan masuk Islamnya mereka.
Ajakan Rasulullah terhadap mereka begitu mudah karena sebelumnya mereka telah mendengar kedatangan Nabi terakhir dari cerita orang-orang Yahudi di Yastrib. Dan juga mereka berharap dengan kedatangan Islam dan Muhammad di Yastrib dapat menyatukan suku-suku sering dilanda peperangan. Mereka kemudian kembali kepada kaumnya untuk menyebarkan ajaran yang baru mereka terima itu.
Pada tahun berikutnya mereka kembali dengan jumlah yang lebih banyak. Sekitar dua belas orang. Mereka kemudian berbaiat dihadapan Rasulullah untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, tidak berbuat dusta dan tidak mendurhakai dalam urusan yang baik. Baiat ini dikenal dengan nama Baiat Aqabah pertama.
Setelah baiat Aqabah dan musim haji berakhir, rombongan ini kembali ke Yastrib. Ikut dalam rombongan tersebut Mushab bin Umair, sahabat Rasulullah yang diutus untuk menyebarkan Islam bersama kaum muslimin Yastrib. Dan selanjutnya pada musim haji berikutnya dilajutkan dengan baiat Aqabah kedua.
Akhirnya, Rasulullah berhasil membangun basis kekuatan Islam di luar Mekkah. Dengan melalui atau tidak melalui perlindungan politik. Hal itu dimaksudkan untuk lebih memudahkan penyebaran Islam. Sehingga lebih mempertegas daya tawar kaum muslimin yang tidak lagi memiliki integritas baik di kalangan kaum Quraisy di Mekkah.
Referensi:
Al-Ghadban, Syaikh Munir Muhammad, Manhaj Haraki: Strategi Pergerakan dan Perjuangan Politik dalam Shirah Nabi Saw, Jilid 1, Jakarta: Robbani Press. 2005
Al-Mubarakfuri, Syaikh Syafiyyurrahman, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*