Pemilu 2014 dan Independensi KAMMI

Oleh Zulfikhar

Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan” -Soe Hok Gie

Penghujung diskusi Sarasehan Inteligensia di Jakarta kemarin menghadirkan tiga narasumber menarik. Diskusi penutup ini menghadirkan orang-orang penting yang sedikit banyak berpengaruh pada alur kesejarahan KAMMI. Mereka adalah Haryo Setyoko (Sekjen KAMMI 1998-1999), Muhammad Badaruddin (Ketua PP KAMMI 2000-2001) dan Fikri Azis (Sekjen KAMMI 2008-2009). Dalam tulisan ini penulis akan mengulas kembali gagasan Fikri Azis yang segar dan kontroversial menyikapi peran KAMMI pada pemilu 2014. 

 
*****
Barangkali jamak kader KAMMI tahu bahwa Fikri Azis adalah mantan sekjen PP KAMMI yang lengser tidak pada waktunya. Didemisionerkan tanpa sepengetahuan dirinya dan juga ketua KAMMI saat itu, Rahman Toha, dan beberapa pengurus teras PP KAMMI. Muktamar Luar Biasa (MLB) di Kuningan tahun 2009 lantas mengakhiri periode kepemimpinan KAMMI dibawah Rahman Toha, hasil Muktamar Makassar tahun 2008 lalu.

Dalam sarasehan kemarin Fikri membuka ceramahnya dengan melontarkan pertanyaan yang tajam. “Saya tahu teman-teman KAMMI Kultural mengundang saya kesini untuk sama-sama mengkritik pengurus struktural. Saya tegaskan tidak ada lagi perasaan terhadap apa yang sudah terjadi. Meskipun kita juga harus sama-sama mengkritik teman-teman struktural yang kinerjanya bisa antum nilai sampai saat ini. Gaya kepemimpinan khas LDK ternyata tidak banyak efektif memimpin KAMMI.” 
 
Keberadaan KAMMI kultural bagi beliau merupakan sebuah inisiatif yang baik. Diskusi-diskusi seperti ini kini jarang menjadi tradisi kader. Sehingga menurutnya diskusi yang kultural ini harus distrukturalkan. Agar menjadi tradisi pengetahuan semua kader KAMMI di luar komunitas kultural.

KAMMI harus menegaskan posisinya sebagai gerakan mahasiswa. Bahwa keberadaan dan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat untuk membela kepentingan mereka. Untuk mewujudkan keadilan bagi semua. Untuk mengangkat harkat dan martabat serta memperjuangankan hak-hak mereka yang selama ini masih janji kosong.

KAMMI seharusnya memperjuangkan nilai-nilai kepercayaannya untuk menegur pemerintah ketika berbuat salah dan sebaliknya mendukung ketika benar. Inilah yang selama ini menjadi dilematis dalam tubuh KAMMI. Dilema karena posisinya sebagai organisasi publik yang independen tetapi disisi lain juga berasal dari Jamaah yang kini terlibat dalam politik praktis. Akhirnya mengalami dualisme kepentingan: moral dan partisan. Sayangnya yang kedua justeru lebih mencolok. Pandangan yang monolitik (dakwah itu politik dan politik itu PKS) menjadi mainstream dalam pemikiran politik kader-kader KAMMI.

Ketika pengurus teras PP KAMMI pimpinan Rahman Toha saat itu (menjelang pemilu 2009) bersilaturahmi dengan pasangan capres-cawapres Mega-Prabowo. Dan juga sempat memberikan orasi politik untuk bersama-sama memerangi neoliberalisme dalam silaturahmi itu. Goncangan dalam tubuh KAMMI perlahan mulai muncul. Resonansi itu semakin keras ketika KAMMI berdemo menolak calon pemimpin neolib (SBY-Budiono). Lantas KAMMI dituduh tidak loyal dengan keputusan Jamaah dan dituduh melakukan koalisi politik subtansial dengan capres lain. Padahal menurut Fikri Azis KAMMI hanya menawarkan gagasan dan proyek perjuangannya kepada para capres-cawapres yang seide dengan KAMMI. Jika memiliki kesamaan pandangan maka seharusnya saling mendukung. Mendukung atas dasar keadilan dan kebenaran bukan atas kepentingan pragmatisme materi ataupun politik.

Menurut Fikri, KAMMI memiliki dua pilihan untuk menghadapi pemilu 2014: diam atau melakukan dengan resiko. Diam kita tahun tidak mungkin menjadi opsi apalagi menjadi sikap gerakan mahasiswa terutama KAMMI. Oleh karena itu keputusan untuk bersilaturahmi kepada tokoh-tokoh calon presiden yang memiliki visi sama dengan KAMMI merupakan langkah strategis bagi pengurus saat itu.

Fikri mengatakan, “Saya sudah dua kali mendapat cobaan demisioner. Yang pertama, saat saya menjabat ketua Kammda Jakarta. Saya waktu itu mendukung calon walikota yang akhirnya menang (Fauzi Bowo) pada pemilu DKI tahun 2007. Dan kedua menjelang pemilu tahun 2009. Akhirnya yang upaya kedua berhasil.” 
 
Fenomena diatas terang menjelaskan kepada kita semua bahwa KAMMI saat ini belum independen. KAMMI sepenuhnya belum merdeka atas kuasa yang menghegemoninya. Masalah ini harus diselesaikan dan diperjelas. KAMMI seharusnya berdiri dimana: independen atau dependen?

Menghadapi pemilu 2014 KAMMI harus bersikap senetral mungkin. KAMMI tidak hadir untuk berkontestasi tetapi untuk mengawal. Pasangan capres-cawapres yang punya dosa dengan rakyat harus diturunkan. KAMMI tidak boleh membiarkan para hipokrit itu merebut kuasa. Sakit tiga kali –sejak Orde Lama, Orde Baru dan kini Reformasi- sudah cukup membuat kita sadar bahwa pemimpin bangsa ini harus seorang negarawan. Bukan politisi, pengusaha, bangsawan atau militer. 
 
Pada pemilu tahun depan KAMMI seyogyanya tidak hanya mengawal dengan melakukan agenda rutin seperti pendidikan politik, mengawal pemilihan di TPS, dll. KAMMI harus memastikan capres-cawapres itu adalah bukan pemimpin yang disebut Yudi Latif, liberal-undemocratic. ‘Liberal’ dalam kesadaran wacananya, namun ‘undemocratic’ alias otoritarian dalam kesadaran praktisnya. Pemimpin yang berjanji sebagai penyambung lidah rakyat tetapi menghianatinya dengan sikap elitis, anti kritik, suka berdalih, bahasa high-context, dll. 
 
Jika para pemimpin hipokrit itu tetap kokoh dengan pendirian mereka untuk maju. KAMMI tidak boleh diam, demonstrasi harus dilancarkan. Perang wacana dengan pressure itu harus di kapitalisasikan. Tidak hanya demonstrasi di jalan, demonstrasi dengan opini di media, demonstrasi di dunia virtual juga harus dimasifkan. Meskipun capres-cawapres itu di dukung oleh jamaah dengan logika partisannya.

Upaya yang lain barangkali silaturrahmi kepada semua capres dan cawapres –seperti dilakukan menjelang pemilu 2009 kemarin. Silaturahmi itu dilakukan bukan berangkat dari kesadaran politik tetapi kesadaran moral KAMMI sebagai gerakan politik ekstraparlementer. Tidak salah dan legitimate KAMMI secara organisasional mendukung mereka yang seide dengan organisasi. Bukan untuk mengarahkan kader secara organisasional untuk memilih, tetapi mendukung itikad baik capres-cawapres itu. Dalam kredo gerakan sudah tertera dengan jelas. Kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkendak merdeka. Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak. Kami hanya bertindak atas dasar pemahaman, bukan taklid, serta atas dasar keikhlasan, bukan mencari pujian atau kedudukan.

Atau barangkali jika silaturahmi semacam itu terlalu sensitif. KAMMI bisa mengundang mereka untuk berdiskusi dengan kader. Tidak hanya mendiskusikan program, karakter dan jejak rekam mereka juga harus dinilai oleh organisasi.


Antara Independensi Total atau Menjadi Underbow PKS

Independensi gerakan mahasiswa adalah komoditas politik” -Fikri Azis

Dalam diskusi siang itu Fikri kembali mengulas tentang posisi KAMMI. Posisi sebuah organisasi yang independen tetapi dalam praktiknya dependen. Sehingga dari tahun ke tahun selalu menjadi diskusi yang menarik dan terus bersambung. Keberadaan KAMMI, meminjam metafor Albert Camus, “yang absurd” itu selalu melahirkan riak-riak dinamika. Di suatu saat diterima sebagai hegemoni atas dasar kebaikan dakwah, tetapi disisi lain dikritik karena merupakan manifestasi hipokrit, delegitimasi konstitusi dan dekonstruksi eksistensi gerakan oleh kader sendiri.

Identitas KAMMI itu sumir,” kata Fikri. Disumir (ringkas) dengan definisi strukturatif sebagai organisasi dakwah yang menginduk kepada jamaah Tarbiyah. Singkatnya KAMMI itu mau menjadi gerakan mahasiswa, ormas, partai politik, atau LSM, ia tetap harus merepresentasikan dan berpihak kepada kepentingan Jamaah (PKS). Sehingga ideologi KAMMI pada akhirnya hanya artifisial belaka. Jangan lupa doktrin al-qiyadah wal jundiyah dan al hizb huwal jamaah, al jamaah hiyal hizb.

Padahal mereka –yang mengatasnamakan Jamaah- lupa bahwa sifat kami berbeda dengan wajihah jamaah yang lain. Tidak sesumir itu. KAMMI bersifat wajihah amal ‘am (lembaga publik) –kata Ustadz Hilmi- bukan wajihah tandzim (lembaga kelolaan jamaah). Resultannya seharusnya KAMMI hadir oleh publik, dari dan untuk publik.

Fikri bertutur, “hampir selama 15 tahun kita masih berbicara tentang jenis kelamin. Ada dua pilihan untuk KAMMI: jadi independen total atau underbow partai.” Kalimat itu sontak menyulut gelak tawa teman-teman KAMMI Kultural siang itu. Kami tidak menyangka bakal keluar pernyataan seperti itu.

Fikri melanjutkan dengan pertanyaan tajam, “saya ingin bertanya, apakah KAMMI sekarang bisa independen total? Apakah teman-teman yakin?” Forum siang itu pun bungkam. Kurang lebih tidak ada satu kalimat pun yang terdengar dari mulut peserta.“Berarti KAMMI jadi underbow saja kalau begitu,” lanjutnya.
Tidak ada tendensi untuk mengkritik Jamaah dalam pernyataannya itu. Tampak tidak ada muatan emosional meskipun beliau dulu telah didemisionerkan oleh Jamaah tanpa forum tabayyun (klarifikasi). Sebab pada akhirnya beliau bertindak atas dasar kesadarannya sendiri. Kesadaran untuk mundur dari organisasi. Meskipun pada Muktamar Aceh dua tahun lalu Fikri masuk bursa calon ketua umum terkuat.
Menurut Fikri identitas sebagai independen adalah komoditas politik. Untuk memenangkan partai di semua elemen kehidupan, terutama di universitas dengan adanya KAMMI. Sehingga banyak pendapat yang populis mengklaim bahwa tidak ada organisasi yang independen. Artinya menjadi independen adalah obsesi imajiner dan upaya yang sia-sia.

Memposisikan KAMMI sebagai organisasi yang independen total dilihat banyak kader KAMMI sebagai suatu absurditas (tidak masuk akal). Menurut mereka bagaimana mungkin KAMMI yang besar ini bisa hidup sendiri. KAMMI bisa eksis hampir selama 15 tahun ini karena support dari Jamaah. Terutama support finansial. Kata mereka, bagaimana mungkin organisasi bisa eksis seperti tahun-tahun sebelumnya, apalagi melepaskan intervensi rabbani dari Jamaah yang selama ini membesarkan KAMMI. 
 
Pertanyaan yang menguat adalah apakah ada jaminan KAMMI bisa mempertahankan intensitas keberimanan dan keda’ian kader? Tidakkah KAMMI belajar dari HMI pasca bubarnya –atau berpisah- Masyumi. Akibatnya saat itu kader HMI banyak terbawa dalam arus politik praktis dan tidak sedikit terbawa pragmatisme dan keserakahan kuasa.

Pertanyaan-pertanyaannya itu kini menjadi misteri yang harus dijawab. KAMMI harus mempertimbangkan dengan matang untuk melakukan pemisahan struktural dari Jamaah. KAMMI harus memikirkan dampak perubahan radikal ini terhadap pengurus-pengurus di daerah yang hampir tidak bisa dibedakan identitasnya dengan partai.

Menurut penulis, tidak mustahil kami bisa berpisah dengan Jamaah. Bahkan ini merupakan tabiat zaman postmodernisme yang meniscayakan desentralisasi kekuatan. Kekuatan partisan (partai) dengan moral (mahasiswa) harus disekularisasikan untuk saat ini. Sebab jika disatukan, partisan akan menghegemoni moral. Sebab partisan memiliki kuasa sedang moral tidak.

Logika partisan yang pragmatis, meniscayakan kepentingan kelompok, dan obsesi untuk meraup suara dengan menggunakan organ underbow harus direduksi. Jika tidak bagaimana mungkin mewujudkan kehidupan berbangsa yang demokratis di zaman yang apolitis ini. Praktik politik yang buruk saat ini harus menjadi bahan evaluasi dan dikritisi oleh masyarakat. Makanya lahir demokrasi deliberatifnya Habermas untuk merespon fenomena ini. 
 
Politik amoral dalam transisi demokrasi yang melanda negeri ini saat ini tidak boleh dibiarkan menembus semua aspek kekuatan. Political Society (Masyarakat politik) (baca: parpol, legislative, eksekutif) tidak boleh mendominasi Civil Society (masyarakat sipil) -seperti ormas, LSM- dan public sphere (ruang publik) -seperti komunitas diskusi dan media massa. Kepentingan ‘di luar negara’ masyarakat sipil harus dijaga berada diluar kepentingan dan intervensi politik praktis. Dan kenetralan ruang public juga tidak boleh menjadi dominasi civil dan political society. Biarkanlah ia bebas menjadi forum evaluasi dan tawaran solusi bagi kelangkaan solusi perbaikan akhir-akhir ini.

KAMMI tidak ideal lagi untuk berdiri diatas kaki orang lain. Meskipun masih banyak hal yang dibutuhkan oleh organisasi yang belum bisa dipenuhi sendiri. Oleh karena itu perlu ada solusi untuk menambal kelemahan organisasi itu. Khususnya kelemahan materi yang sampai sekarang menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai.

Karena itu ada beberapa tawaran yang barangkali bisa dieksekusi oleh KAMMI. Sebagai upaya agar organisasi ini suatu saat bisa berdiri diatas kakinya sendiri.

Pertama, berkaiatan dengan support finansial. Dharma Setyawan dalam makalah diskusi sabtuan KAMMI Kultural dengan judul, KAMMI dan Gerakan Koperasi, barangkali sudah memulai upaya untuk memandirikan organisasi –dan juga dikembangkan dalam Manifesto Badan Wakaf ALUMNI KAMMI. Sebuah makalah untuk mengkampanyekan gagasan “KAMMINOMICS” untuk memandirikan organisasi secara ekonomi. Dalam makalah itu dijelaskan bahwa dengan jumlah kader yang misalnya 10.000 orang jika dapat digerakkan untuk menginfakkan uang Rp. 50.000 per kader. Maka dalam beberapa kali pengumpulan hasilnya dapat membeli bangunan untuk sekretariat PP KAMMI misalnya. Juga dengan uang tersebut dapat digunakan untuk mendirikan lembaga amal usaha KAMMI seperti BMT. Sehingga kegiatan-kegiatan KAMMI tidak lagi datang dari luar organisasi. Membiayai Muktamar tidak mustahil berasal dari amal usaha sendiri. 
 

Kedua, pendirian forum alumni. Suatu kebutuhan yang mendesak untuk mendirikan forum seperti ini. Sebab, KAMMI bukan mencetak kader-kadernya untuk kepemimpinan politik an sich. Tetapi untuk kepemimpinan ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, media, dll. Singkatnya kepemimpinan peradaban. Dan saat ini KAMMI dibenturkan dengan para alumni yang sudah tersebar di berbagai sektor peradaban. Maka mustahil alumni KAMMI hanya diakui yang berasal dari PKS. Apalagi mengatakan forum alumni KAMMI adalah PKS. Maka benar tutur Pak Badaruddin, KAMMI itu harus begerak beyond politic. (melampaui politik). “Ada banyak ranah yang belum dimasuki oleh KAMMI: bisnis, ekonomi, industri, pendidikan, budaya, dsb. Di banyak kampus, gerakan-gerakan yang mengambil tema populer seperti Young-On-Top atau AIESEC justru lebih diminati dibanding KAMMI,” kata beliau.

Urgensi keberadaan forum alumni ini adalah untuk memasifkan proyek kepemimpinan KAMMI. Dengan jejaring alumni yang tersebar dapat dimanfaatkan oleh kader untuk turut serta mengisi peran kepemimpinan dalam sektor-sektor tersebut. Hal ini juga untuk mendukung narasi enam mihwar gerakan- bermula dari ideologisasi, resistensi, reformulasi, rekonstruksi, leaderisasi dan internasionalisasi- dari Rijalul Imam. Yang menuturkan bahwa ketiga mihwar pertama bisa dilakukan oleh KAMMI sebagai institusi, tetapi untuk sisanya –mulai dari rekonstruksi- adalah tugas para alumni. 
 
Ala kulli hal, sudah seharusnya KAMMI bergerak dengan kakinya sendiri. Sebab visi untuk menjadi kawah candradimuka yang berperan untuk mencetak pemimpin-pemimpin masa depan hanya bisa dilakukan oleh kader KAMMI –kader aktif maupun alumni. Masa depan KAMMI hanya ada di tangan kader bukan non kader. Wallahu alam bis shawab.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*