Quo Vadis KAMMI di Pemilu 2014?*
Oleh: Zulfikhar*
Pembukaan
Kurang lebih satu tahun
lagi momentum pemilu hadir. Maka tidak heran tahun ini disebut-sebut sebagai
tahun pemilu. Partai politik nasional saat ini sedang sibuk melakukan
konsolidasi. Memperbaiki dapur mereka masing-masing. Menyiapkan kader-kader
terbaiknya untuk mengisi bursa calon legislatif (caleg). Bahkan jauh-jauh hari
beberapa partai sudah memulai mengkampanyekan calon presiden mereka.
Partai-partai itu kini
tidak hanya memperbaiki citra mereka di akar rumput. Manuver mereka kini lebih
massif dan progresif. Menembus struktur klas, profesi dan pendidikan di
masyarakat. Meraup sebanyak-banyaknya dukungan dan kepercayaan publik untuk
obsesi kemenangan tahun depan.
Ada beberapa cara
partai politik meraih suara saat ini. Pertama, dengan menggunakan cara lama:
politik uang. Partai hadir dengan modal besar untuk membeli suara rakyat.
Rakyat dengan kecenderungan paradigma politiknya sekarang yang menyebut pemilu
adalah analog dengan uang akan mudah dihegemoni. Pandangan bahwa pemilu adalah
uang sudah menjadi penyakit politik kronis. Hal ini disebabkan -meminjam
metafor dari Ludwig Wittgenstein- ada permainan bahasa (language game).
Bagi Wittgenstein language game bukanlah sebuah
definisi rigid, melainkan sebuah analogi. Language game adalah permainan
yang memberikan arti bagi sebuah tindakan tertentu. Artinya suatu tindakan
hanya bisa dimengerti dalam konteks suatu language game tertentu. Tanpa
language game tertentu, tindakan menjadi tidak berarti sama sekali. Tindakan
itu menjadi Chaotic.[1]
Analoginya seperti praktik
politik aliran dalam pemilu yang tidak laku di Amerika. Masyarakat disana lebih
percaya dengan politik program[2]
dibanding politik aliran. Sedangkan di Indonesia masyarakat masih percaya dengan
politik aliran, sebab masih dipengaruhi dengan kecenderungan kesamaan ideologi,
agama, suku dan materi. Inilah yang disebut akar presipitasi munculnya
permainan bahasa itu. Politik program dalam demokrasi kita masih menjadi
tidak ideal, meskipun ideal dalam demokrasi pada umumnya.
Permainan bahasa ini juga senada
dengan kausa esensial Plato.[3]
Politik uang (kausa formal) pada akhirnya dianggap baik (kausa material) karena
dapat memberikan masyarakat kontribusi material secara langsung –akibat
kemiskinan, pengangguran, dll (kausa esensial)- daripada janji-janji kosong.
Sehingga praktik yang sesungguhnya berdosa ini –menurut demokrasi dan Islam -
menjadi benar karena kausa esensial tadi.
Hal yang tidak jauh
berbeda juga pada domain akademik atau perguruan tinggi. Sudah jauh-jauh hari
domain ini menjadi mangsa partai. Sasaran yang empuk di dalamnya adalah jelas
mahasiswa itu sendiri. Dengan mengorganisir basis dukungan dari mahasiswa,
partai-partai tersebut berharap raihan suara mereka melonjak naik. Sebab mahasiswa
adalah salah satu klas sosial dalam masyarakat kita yang jarang menggunakan dan
terlibat langsung dalam kegiatan pemilu, tetapi memiliki political will yang meyakinkan jika digerakkan.
Momentum pemilu dengan
selusin tetek bengek materi di dalamnya menjadi bargaining kuat mengapa partai politik mengincar mahasiswa. Dengan
menggunakan rupiah sebagai alat sepertinya masih menjadi senjata yang ampuh. Sayangnya
mahasiswa juga tampaknya memiliki karakter yang tidak jauh dari tipikal
masyarakat umumnya. Mereka masih tertarik dengan iming-iming materi untuk
memilih atau menjadi tim sukses partai peserta pemilu.
Kedua, berbeda dengan
cara klasik dalam menjaring suara diatas. Beberapa partai tampaknya sudah
mempunyai cara yang lebih modern untuk menjaring suara. Mereka cenderung mulai
bergerak sentripetal ke tengah. Ideologi partai yang ekstrem kanan mulai
digeserkan oleh inisiatif partainya ke kiri (tengah). Begitu juga ideologi
partai yang kiri bergerak ke kanan (tengah). Maka munculah sejenis partai modern
yang oleh Otto Kircheimer disebut catch
all party.[4]
Catch all party adalah
partai yang ingin menghimpun semaksimal mungkin dukungan dari bermacam-macam
kelompok masyarakat dan dengan sendirinya menjadi lebih inklusif. [5]
Disini terjadi konvergensi ideologi kiri dan kanan. Seperti PDI, Demokrat dan
Golkar yang bergeser ke tengah dengan mendirikan lembaga pengajian Islam.
Berharap suara dari kelompok Islam (santri) bisa meningkat signifikan. Atau PKS
yang pada tahun 2010 memutuskan untuk menjadi terbuka dengan menerima anggota
(bukan kader) non Islam. Strategi partai catch all ini singkatnya hadir
pragmatis untuk meningkatkan volume suara partai.
Ketiga, partai
menggunakan kartus as mereka: organisasi underbow. Mulai dari lembaga sosial,
kesehatan, pendidikan, organisasi kepemudaan dan mahasiswa (baca: gerakan
mahasiswa). Umumnya yang terakhir ini (gerakan mahasiswa/organisasi eksternal
kampus) memiliki kemampuan yang lebih baik daripada yang lain. Terutama karena kematangan
pengalaman perpolitikan mereka yang sudah teruji di kampus.
Hampir semua partai
memiliki organisasi underbow pada gerakan-gerakan mahasiswa. Sebab masing-masing
gerakan mahasiswa itu mewakili domain kultural partai di kampus. Mereka umumnya
hadir membantu menopang raihan suara partai karena mempunyai kesamaan ideologis,
visi. Patronase politik seperti ini di level mahasiswa sudah menjadi fenomena
yang familiar terjadi. Seperti GMNI dan organisasi kiri yang analog dengan
PDIP, IMM dengan PAN dan PMB, PMII dengan PKB dan PKNU, HMI dengan Golkar dan
Demokrat dan KAMMI dengan PKS.
Relasi
KAMMI dan PKS
Sudah menjadi fenomena
yang jamak diketahui bahwa KAMMI adalah organisasi underbow PKS. Hampir semua
ormas Islam di Indonesia –terutama Muhammadiyah- tahu bahwa mahasiswa yang
aktif di KAMMI adalah mereka yang memiliki afiliasi politik dengan partai
dakwah tersebut.[6]
Begitu juga dengan masyarakat awam yang melek politik.
Kalau menarik akar
historis ke belakang, KAMMI faktanya lahir lebih dulu dari PKS -semula bernama
Partai Keadilan (PK)-. PK lahir tanggal 20 Juli 1998 sedang KAMMI empat bulan
sebelumnya. Sehingga kalau menanggapi opini awam yang mengasumsikan KAMMI
merupakan organisasi yang dilahirkan oleh PKS demikian runtuh seketika. Hipotesis
tentang keberadaan relasi struktural anatara organisasi dengan PKS yang nyaring
menghiasi opini-opini itu pun tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Meskipun hipotesis
relasi struktural organisasi dengan PKS tidak terbukti. Relasi itu cenderung
ada. Beda halnya dengan relasi cultural antara keduanya. Relasi ini barangkali
menjadi asumsi yang obyektif. Sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa KAMMI dan
PKS berangkat dari kultur dan gerakan yang sama: Jamaah Tarbiyah.
Jamaah Tarbiyah yang
praktis mulai menunjukkan keberadaanya pada medio dekade 70-an itu diakui
sebagai inang dan latar belakang kelahiran KAMMI. Jamaah yang eksis di
kampus-kampus besar mulai dekade 80-an itu bergerak dengan
organisasi-organisasi yang berorientasi dakwah Islam. Seperti Lembaga Dakwah Kampus
(LDK) pada level perguruan tinggi dan Kerohanian Islam (Rohis) di sekolah-sekolah.
Kegiatan lembaga-lembaga tersebut berfokus pada memberikan pemahaman
dasar-dasar Islam dengan penekanan pada penanaman semangat (ghirah) keislaman.[7]
Barangkali karena aspek penanaman ghirah
yang menonjol itulah sehingga lembaga-lembaga ini kemudian semakin dikenal dan besar. Fokus mereka yang semula berkutat
hanya pada domain dakwah Islam berangsur-angsur meluas ke domain politik.
Kini gerakan Tarbiyah
telah bermetamorfosis menjadi PK dan PKS. Gerakan yang semula hadir dengan misi
dakwah Islam –melalui lembaga pendidikan, social, ekonomi- an sich ini juga kemudian meluaskan sayapnya ke ranah politik
praktis –mirip dengan percobaan politik lembaga underbownya (LDK) di kampus.
Kelahiran PK tahun 2008 praktis merubah Jamaah Tarbiyah sebagai gerakan dakwah sekaligus
gerakan politik. Doktrin al–Hizb huwal
jamaah, al-Jamaah hiyal hizb membenarkan transformasi itu. Tarbiyah kemudian
adalah Partai Keadilan.
Posisi KAMMI selanjutnya
menjadi polisemi (makna ganda). Akibat transformasi sistemik tersebut. Terutama
dalam sudut penempatan posisi kader sebagai kader KAMMI dan PKS. Sebab
terkadang kader KAMMI gagal menempatkan dirinya. Saat dirinya saat menjadi
kader KAMMI, ia tidak kritis dan obyektif memandang kader PKS -yang saat ini
menjadi pejabat publik- ketika berbuat salah. Pada saat yang lain -di dalam
KAMMI, kader terbukti menggunakan simbol dan praktik-praktik yang diasosiasikan
secara tersurat partisan.
Das
sollen kader KAMMI cerdas menempatkan dirinya. Relasi
KAMMI secara konstitusional tidak diatur memiliki relasi struktural dengan PKS.
Meskipun banyak kader KAMMI yang barangkali punya relasi stuktural (individual)
dengan PKS. Sebab perlu
diafirmasikan, bahwa KAMMI bersifat terbuka dan independen.[8]
Memahami
hubungan PKS dengan KAMMI terletak pada kader PKS yang ada di organisasi KAMMI,
bukan pada hubungan antar lembaganya.[9]
Relasi KAMMI dan PKS harus di
dekonstruksi menjadi kultural individual. Bukan kultural organisasional,
apalagi struktural organisasional. Kaderisasi PKS yang saat ini menghegemoni
KAMMI sebagai representasi lembaga siyasi di kampus harus segera ditinjau
ulang. Sebab PKS tampaknya tidak memperhatikan posisi KAMMI sebagai lembaga
publik (wajihah amal ‘am). KAMMI
sebaliknya diminta untuk memperhatikan dan memahami posisi PKS yang merupakan Jamaah.
Sehingga nantinya terang bahwa perlakuan kepada KAMMI tidak tepat disamakan dengan
lembaga lain seperti LDK dan ROHIS.
KAMMI sebagai wajihah amal am meniscayakan dirinya adalah lembaga milik publik,
digunakan dari, oleh dan untuk publik. Sehingga pengelolaanya dan
pertanggungjawabannya dilakukan dengan standar professional yang diakui oleh
publik. Prinsipnya, Jamaah Tarbiyah mengelola kepentingannya
pada organisasi tersebut melalui kader-kader Jamaah yang ditempatkan pada
organisasi tersebut (KAMMI) dan bukannya melakukan pengaturan secara
strukturatif kepada organisasi tersebut.[10]
Sebab hanya kader KAMMI yang tahu apa yang sebenanarnya dibutuhkan dan tidak
dibutuhkan organisasi. Dengan jaminan keberlangsungan dan komitmen terhadap
nilai-nilai dakwah Jamaah tetap berlangsung.
KAMMI dan
Pemilu 2014
Pada pemilu tahun
depan, gerakan mahasiswa akan dihadapkan kepada dilema sebagai organisasi
independen (ekstraparlementer) dan dependen (organisasi underbow). Konstitusi
organisasi yang mengatur tentang keindependensian organisasi tentu akan diuji keampuhannya
dengan hadirnya momentum ini.
Begitu pun dengan KAMMI
sebagai representasi gerakan Tarbiyah di level kampus. Sebagai gerakan yang menempatkan
paradigma politiknya: gerakan politik ekstraparlementer, tentu saja seharusnya
tidak terkooptasi dengan arus kuasa. Kesadaran untuk mendukung PKS sebenarnya merupakan hak individual kader. Bukan hak
organisasional KAMMI. Sebab kewajiban untuk mengorganisir pemilih untuk PKS
adalah konsekuensi kader KAMMI yang merangkap menjadi kader partai.
Sedangkan untuk kader
KAMMI yang akan mencalonkan diri sebagai caleg berangkali menjadi tanggungjawab
individual kader untuk mendukungnya. Terutama jika yang bersangkutan memiliki
visi dan program strategis yang senada organisasi. Khususnya yang berdampak
langsung kepada sektor-sektor publik yang saat ini belum terkelola dengan baik.
Peran
KAMMI
KAMMI secara
organisasional harus menempatkan dirinya sebagai tim sukses pemilu dan bukan
peserta pemilu. Bagaimanapun peran organisasi tidak boleh disamakan dengan
lembaga negara seperti KPU dan sejenisnya yang saat ini lebih berperan
prosedural. Sebab sebenarnya fokus KAMMI terlibat dalam pemilu adalah untuk
memastikan proses pemilu berjalan susbtansial.
Kelancaran pemilu harus
dipastikan oleh organisasi berjalan optimal. Dengan berkontribusi menjadi eksekutor
penyadaran politik masyarakat dan pengawal perkembangan politik pemilu
barangkali bisa menjadi langkah strategis untuk mendukung peran organisasi.
Peran sebagai agen penyadaran
politik masyarakat berupa memasifkan agenda pendidikan politik perlu
diorganisir dengan baik dan sistematis. Sebuah langkah yang baik jika KAMMI bekerja
sama sebagai relawan dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) –tanpa menggangu peran
primer organisasi. Misalnya dalam
membantu mensosialisasikan program pendidikan politik seperti pemilih pemula.
Atau kalau tidak KAMMI mendirikan semacam lembaga ad hoc yang berperan sama, yaitu melakukan pendidikan politik
dengan training-training di Sekolah Menegah Atas (SMA) sederajat dan kampus serta
mengawal pemilu dengan membentuk tim pengawas independen dengan berkolaborasi bersama
panitia pemungutan suara (KPPS).
Intinya dengan
keterlibatan KAMMI dalam pemilu dapat mengakhiri atau setidaknya mengurangi
penyimpangan dan kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam pemilu. Karakter pemilu
yang masih prosedural diharapkan dengan kehadiran KAMMI berubah atau setidaknya
mendekati substansial.
Ekspektasinya dengan
kehadiran KAMMI dalam pemilu dapat menyadarkan masyarakat menjauhi paradigma politik
materialis (money politic) yang diklaim
sebagai rezeki pemilu. Kemudian beralih menuju paradigma politik berbasis program,
integritas, serta jejak rekam calon wakil dan pemimpin yang diusung. Wallahu alam bis shawab.
Referensi
Anggaran Dasar KAMMI
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:
Gramedia, 2009)
M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS,
(Yogyakarta: LKis, 2008)
Reza A. A Wattimena, Language Game dan Banalitas
Korupsi Indonesia, (online), (http://rumahfilsafat.com/2009/06/11/banalitas-korupsi-indonesia, diakses 14 Maret 2013)
Amin Fahrudin, Pemilu dan Gerakan Mahasiswa,
(online), (http://kammikultural.wordpress.com/2013/02/23/pemilu-dan-gerakan-mahasiswa,
diakses 24 Februari 2013)
Andriyana, Memahami Relasi KAMMI dan PKS, (online),
(http://eljundi.wordpress.com/2012/07/17/268/,
diakses 14 Maret 2013).
Usman Kurniawan, Sebab Musabab (Cognitio Per Causes)
Menurut Aristoteles, (online), (http://usmankurniawan.blogspot.com/2012/11/sebab-musabab-cognitio-per-causes.html,
diakses 14 Maret 2013)
Adhe
Nuansa Wibisono, Independensi KAMMI dalam Nalar Jamaah Tarbiyah, (online), (http://kammikultural.wordpress.com/2013/03/04/independensi-kammi-dalam-nalar-jamaah-tarbiyah/,
diakses 14 Maret 2013)
Salman
Akademi, Kuliah Rasionalitas Agama dan Filsafat, http://www.youtube.com/watch?v=ATwJE5-m184 2011, 10
menit.
* Makalah Sarasehan
Nasional Inteligensia KAMMI, Jakarta 15-17 Maret 2013
* Instruktur KAMMI DIY,
Pegiat Diskusi KAMMI Kultural
[1]
Reza A. A Wattimena, Language
Game dan Banalitas Korupsi Indonesia, (online), (http://rumahfilsafat.com/2009/06/11/banalitas-korupsi-indonesia,
diakses 14 Maret 2013)
[2]
Amin Fahrudin, Pemilu dan
Gerakan Mahasiswa, (online), (http://kammikultural.wordpress.com/2013/02/23/pemilu-dan-gerakan-mahasiswa,
diakses 24 Februari 2013)
[3]
Hukum sebab-akibat (kausalitas)
dari Logika Aristoteles yang menganalisis sebuah peristiwa terjadi karena
sebab-sebab tertentu. Misalnya; kertas dikenai dengan api maka akan terbakar.
Kertas dan api adalah kausa formal sebab mereka adalah unsur-unsur yang membuat
kertas terbakar. Kertas yang terbakar adalah kausa material sebab terjadi
perubahan bentuk, wujud, dan materi kertas setelah dibakar. Yaitu menjadi
arang, dll. tetapi kertas tidak akan terbakar begitu saja dengan mudah. Sebab
kalau kertas itu basah karena terkena air hujan atau tertiup angin kencang maka
ia tidak akan terbakar. Air hujan dan angin disebut kausa esensial sebab ia
yang mempengaruhi momentum pembakaran itu. Lihat Salman Akademi,
Kuliah Rasionalitas
Agama dan Filsafat, (http://www.youtube.com/watch?v=ATwJE5-m184 2011
), 10 menit. Lihat juga
Usman Kurniawan, Sebab Musabab (Cognitio Per Causes) Menurut Aristoteles,
(online), (http://usmankurniawan.blogspot.com/2012/11/sebab-musabab-cognitio-per-causes.html,
diakses 14 Maret 2013)
[4]
Barrie Axford et al, Politic: An Introduction, ed. Ke-2, (New York: Routledge,
2002), hlm. 361. Dalam Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta:
Gramedia, 2009), hlm. 400.
[5]
Ibid.
[6]
Lihat M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS, (Yogyakarta: LKis, 2008), hlm.
44
[7]
Ibid., hlm. 23
[8]
Anggaran Dasar KAMMI, Pasal 5
[9] Andriyana, Memahami Relasi KAMMI dan
PKS, (online), (http://eljundi.wordpress.com/2012/07/17/268/,
diakses 14 Maret 2013).
[10] Adhe Nuansa Wibisono, Independensi KAMMI dalam Nalar
Jamaah Tarbiyah, (online), (http://kammikultural.wordpress.com/2013/03/04/independensi-kammi-dalam-nalar-jamaah-tarbiyah/,
diakses 14 Maret 2013)
Komentar
Posting Komentar