Perlawanan Seorang Perempuan
Judul: Harem
Penulis: Qut al-Qulub
al-Damrdashea
Penerjemah: Andanusia
Penerbit: Navilla
Tebal: 252
Tahun: 2009
Peresensi: Zulfikhar*
Sekilas kalau
mendengar kata Harem, memori kita
pastinya akan digiring kepada suatu tradisi masa Kekhalifahan Turki Ustmani di
abad pertengahan sampai akhir abad 19. Suatu kata yang menunjukkan rumah para jariyat (budak-budak perempuan)
bersemayam. Rumah dimana mereka hidup
untuk menghibur dan melayani hasrat seksual tuannya. Kalau beruntung, mereka akan diangkat menjadi selir atau bahkan
menjadi isteri sang tuan. Tetapi, selebihnya mereka akan dijual atau mati di
tempat itu. Sedikitnya beberapa diantara mereka dimerdekakan.
Di Harem inilah kisah
dalam novel ini bermula. ‘Harem’ bercerita tentang kehidupan dua jariyat
yang bersahabat: Indasha dan Nirjis. Mereka dijual oleh
pedagang budak yang baik hati, Rustam,
kepada keluarga bangsawan Mesir, Fawzi Bek. Kemudian karena kecantikan
dan kemampuan seni yang dimiliki keduanya, terutama Indasha. Mereka akhirnya
dinikahi anak pemilik rumah, Farid Bek, yang saat itu baru pulang studi sastra
di Prancis.
Memang sulit hidup pada
masa yang terkungkung dalam tradisi yang memenjarakan keberadaan perempuan.
Apalagi saat itu perempuan diperlakukan hampir seperti benda mati yang bebas
diperlakukan oleh sang tuan. Termasuk para orang tua yang tidak mampu
membesarkan putrinya. Sehingga tidak jarang banyak ditemuka pasar budak. Mulai
dari Anatolia di Barat sampai Persia di Timur.
Masa dimana Harem berada adalah suatu periode
peradaban Islam ketika perlakuan terhadap perempuan kembali menjadi suatu kemunduran
dalam masyarakat Islam. Mirip dengan perlakuan terhadap perempuan sebelum
kedatangan Islam, 8 abad yang lalu. Dimana pemeliharaan jinayat menjadi gaya hidup dan tradisi para bangsawan, kaum feudal
dan orang kaya di dunia Arab, termasuk Mesir. Bagian dari dunia Arab saat novel
ini diceritakan sedang menuju
kemundurannya ketika ide-ide nasionalisme dan nation state mulai populis di dunia Islam. Di masa ini pemikiran
Syaikh Muhammad Abduh tentang kebebasan pendidikan bagi kaum perempuan mulai
disambut dimana-mana.
***
Indasha memiliki
seorang puteri bernama Ramza. Seorang anak perempuan yang cerdas, berani dan
idealis. Ramza adalah satu-satunya anak dari Farid Bek. Isteri pertamanya,
Julistan, mandul. Sedangkan Nirjis, isteri ketiganya, semua anaknya meninggal
saat masih kecil. Sehingga Ramza menjadi satu-satunya anak ada di keluarga itu.
Sehingga, ia sangat disayang dan diperhatikan. Terutama oleh Ibunya dan ibu
tirinya, yang ia panggil bibi, Nirjis.
Ramza tumbuh menjadi
anak yang kutu buku. Ia sangat suka membaca. Perpustakaan pribadi ayahnya menjadi tempatnya menghabiskan waktu
sehari-hari. Tidak hanya membaca, ia juga suka berdiskusi dengan ayahnya
mengenai segala hal, terutama sastra. Apalagi ayahnya juga seorang sarjana
sastra dan orang yang cerdas serta berpikiran maju. Ayahnya berteman dengan
Syaikh Muhammad Abduh. Maka ia terpengaruh untuk memfasilitasi Ramza untuk
sekolah setinggi-tingginya.
Buku-buku tentang
perempuan menjadi bacaan Ramza selain sastra. Ia menyukai pemikiran Aisha
Taymuriyyah tentang perempuan Timur, penulis Prancis, Moliere, juga pemikiran
Qassim Amin tentang perempuan. Mulai dari perkara pendidikan sampai hijab.
Pemikiran-pemikiran itu begitu menginspirasi Ramza, sehingga ia memutuskan
untuk menyambut pemikiran-pemikiran segar tersebut. Ia juga belajar tentang
etika perempuan dalam tradisi Arab dan Barat. Belakangan hal inilah yang
membentuknya menjadi perempuan yang berpandangan maju.
Di masa itu, Ramza
terseret di dalam tradisi masyarakat Arab Islam yang memaksanya harus
berkompromi. Dengan tradisi perjodohan tanpa pengetahuan putrinya, etika
seorang perempuan, tradisi pergaulan, sikap sebagai isteri sampai ketabuan
rumah Harem yang menjadi sisi lain kehidupan para laki-laki. Meskipun saat itu
undang-undang anti-perbudakan sudah dijalankan, toh perbudakan masih terjadi di
masyrakat.
Ketika Ramza sudah
dewasa, ayahnya menjodohkannya dengan seorang
laki-laki kaya, Midhat Shafwat. Seorang
ahli teknik lulusan Prancis. Bangsawan seperti dirinya. Ketika ia tahu bahwa akan dijodohkan, ia meragukannya. Ia tidak
kenal dengan laki-laki itu. Tetapi bibinya memastikan ia akan bahagia. Sebab
laki-laki itu kaya dan berdarah biru.
Ramza ragu dan tidak
setuju dengan keputusan ayahnya itu. Dalam prinsip hidupnya, ia tidak akan
menikahi pria yang tidak dicintainya. Idealisme yang sudah mengakar dalam dirinya
tidak akan ia korbankan bahkan untuk orang yang sangat ia hormati: ayahnya. Ia
tidak ingin menjadi seperti perempuan-perempuan Mesir saat itu. Yang dengan
taat menerima perjodohan dengan laki-laki asing, yang tidak mereka cintai.
Hanyalah waktu yang
bisa mengobati. Begitu juga gerak hati Ramza. Perlahan ia mulai paham dan
menerima Midhat. Terutama ketika Midhat diam-diam
menyuratinya, memperkenalkan dirinya meskipun tidak secara langsung. Sebab tradisi
saat itu tidak memungkinkan pria dan wanita yang bukan muhrim untuk bertemu,
bahkan saling melihat pun aib. Akhirnya, Ramza mulai banyak mengenal Midhat dan
perlahan mulai membuka pintu hatinya.
Menjelang pertunangan
berdatangan hadiah-hadiah dari keluarga Midhat. Suatu hari datang beberapa
kereta kuda membawa ikan segar. Kemudian, datang lagi beberapa kereta yang
membawa buah-buahan dari penjuru negeri. Tidak terasa pertunangan akan semakin
dekat. Keluarga Ramza sangat bahagia dan mulai mempersiapkan peristiwa besat
itu.
Tiba-tiba datang
berita yang membuat semuanya berubah. Musibah yang datang tidak pada saatnya. Midhat
meninggal dunia. Farid Bek kaget dan berduka. Meskipun berita ini dirahasiakan,
akhirnya Ramza pun tahu. Air mata
mengaliri pipi perempuan itu. Tidak disangka pertunangan batal lebih awal
karena maut memisahkan. Laki-laki yang mulai dicintainya itu pergi untuk
selamanya.
Di masa duka tersebut
muncullah Behija. Sahabat baik Ramza ketika masih sekolah di Mere de Dieu dulu.
Behija tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi karena
harus menikah dengan laki-laki pilihan ayahnya, seorang pedagang kaya. Ia
tampak menderita dengan laki-laki yang
bahkan tidak pernah ia lihat sebelumnya. Behija menetaskan air mata di
pelaminan meskipun belakangan ia bahagia hidup dengan suaminya.
Kemunculan Behija perlahan
mulai mengobati kedukaan Ramza. Ia mulai
merasa nyaman berada disamping sahabat lamanya itu. Apalagi ketika Behija
mengajakknya melihat parade perwira militer. Mengajak Ramza melihat kakaknya,
Maher, perwira yang juga peserta parade tersebut.
Saat melihat Maher, kenangan
lama Ramza tiba-tiba hadir. Kisah asmaranya bersemi kembali. Rupanya sewaktu
sekolah dulu diam-diam ia menyukai Maher yang saat itu masih sebagai taruna di
Akademi Militer. Ia mengenalnya saat berkunjung ke rumah Behija. Maher saat itu
benar-benar menjadi sosok laki-laki idamannya.
Pertemuan di Museum dengan
Maher -bersama Behija- meniup angin cinta Ramza yang lama. Cinta yang bersemi
itu menghijaukan ingatan Ramza yang seolah-olah gugur bersama cintanya pada
Midhat. Rupanya cinta Ramza disambut Maher. Tawaran untuk khitbah (melamar) pun dilayangkan. Lamaran ini sangat berbeda,
sebab datang dari dua orang yang saling kenal, jatuh cinta dan mengikat janji.
Tidak seperti tradisi pernikahan saat itu yang harus melalui perantara khatibah.
Keluarga Maher
meminta gubernur Kairo, Washif Pasha untuk mengkhitbah Ramza melalui ayahnya.
Sayangnya, khitbah itu ditolak oleh Farid Bek. Ia beralasan tidak pantas anak
seorang pedagang –meskipun keluarga Maher kaya- menikahi anggota keluarganya
yang bangsawan. Meskipun Farid Bek berpikir maju dan berpandangan liberal, ia
tidak kuasa melawan belenggu tradisi feodalisme yang sudah menggerogoti para
bangsawan Mesir saat itu.
Ramza sedih dengan
keputusan ayahnya. Meskipun begitu, ia tidak lantas berpangku tangan. Perlahan
ia mulai mencoba mempertanyakan ihwal penolakan orang yang begitu dihormatinya
itu. Sebenarnya sang ayah juga tidak sampai hati melakukan itu. Tetapi ada
suatu hal yang mengganggu dan membelenggunya. Belakangan, setelah Midhat
meninggal, ia terlanjur berjanji kepada keluarga Midhat. Bahwa Ramza akan
dinikahkan dengan saudara Midhat yang lain.
Janji Maher untuk
menikahi Ramza tidak berbuah manis. Keluarganya juga menarik dukungan padanya setelah
upaya khitbah gagal. Maher tidak mampu bersikap, sehingga ia memutuskan diam
dan tidak melakukan apa-apa. Sebaliknya, Ramza terus berusaha agar ayahnya menerima
khitbah Maher. Tetapi gagal. Semakin lama ayahnya semakin menjauh dan
berseberangan dengannya. Cintanya kepada Maher sudah bulat dan berakar.
Akhirnya, Ramza memutuskan untuk teguh pada pendiriaannya.
Ramza menunaikan
ikrarnya dengan Maher. Kabur dari rumah dan mencari Maher di markas militer
Kairo. Ditemani Mademoiselle Hortin, guru bahasa Prancis sekaligus sahabat
baiknya, ia mengajak Maher untuk menikah. Maher semula diam seribu bahasa,
tetapi akhirnya menyambut permintaan kekasihnya hatinya itu. Tanpa restu dari
kedua orang tua –yang berarti tidak sah
menurut syari’at, mereka pergi ke kantor perizinan dan meminta untuk dinikahi
hari itu juga.
Dua saksi dan satu
wali hakim didatangkan -setelah
sebelumnya uang pelicin diserahkan- dan pernikahan pun dimulai. Seketika mereka
pun resmi menjadi pasangan suami isteri. Surat akad nikah kemudian dibawa ke kantor
mahkamah untuk dilegalkan. Meskipun di tempat itu mereka sempat dinasehati
hakim untuk menarik keputusan tersebut, mereka tetap teguh. Keputusan keduanya sudah
bulat.
Mmaher dan Ramza
memutuskan untuk tinggal di rumah Maher. Tetapi mereka ditolak untuk tinggal
disana. Akhirnya mereka ke rumah guru lama Ramza, Syaikh Abdul Mu’thi. Saat itu
Maher tidak bisa melakukan apa-apa. Ia seolah-olah tidak berani hidup tanpa
restu orang tuanya. Ia akhirnya kembali ke rumah mencoba membujuk ayahnya.
Sementara Ramza tinggal di Harem rumah Syaikh.
Ayah Ramza sudah tahu
kabar pernikahan anaknya dan menuntut pembatalan pernikahan tersebut ke mahkamah.
Sementara, kabar itu sudah diketahui Ramza dan ia menyiapkan pengacara untuk mempertahankan
keluarga barunya. Pada akhirnya, Ramza kalah di mahkamah dan Maher otomatis
harus menceraikan isterinya itu untuk memenuhi tuntutan itu. Tetapi, Maher
tidak juga muncul sejak meninggalkan Ramza di rumah Syaikh.
Suatu hari datanglah
ayah Maher ke rumah Syaikh. Ia menyampaikan kepada Ramza bahwa Maher sudah
tidak lagi mencintainya dan memintanya untuk pulang ke rumah ayahnya. Maher,
katanya, sudah dipindahtugaskan ke luar Kairo.
Lelehan air mata
keluar membasahi wajah Ramza ketika mendengar berita tersebut. Air mata itu
tidak kuasa dibendungnya. Sosok Maher perlahan lemah dihatinya dan semakin jauh
dari bayangannya. Perlahan ia mulai meragukan Maher. Sekilas tersingkap dalam
hatinya Maher adalah lelaki pengecut. Tetapi, Ramza yakin mertuanya berdusta. Ia
tidak percaya keluarga yang baru dibangunnya beberapa hari yang lalu sudah
runtuh bersama ayunan palu hakim dan kepergian Maher.
Ramza yakin ia adalah
perempuan yang kuat. Perempuan yang tahan terhadap benturan apapun. Termasuk
benturan tradisi yang berdiri kokoh menghadang jalannya. Sudah diputuskan, ia
akan melawan kemapanan tradisi yang kolot itu. Ia tidak akan membiarkan begitu
saja cintanya dipisahkan oleh manusia. Dalam pikirannya, meskipun tanpa
hubungan pernikahan pun ia akan tetap bersama Maher.
Konflik dalam Harem
mulai memuncak. tanpa diprediksi, Ramza akan bertindak lebih jauh. Ia putuskan
untuk tidak percaya kepada siapapun, kecuali Maher. Bagi Ramza, teman hidup dan
manusia yang dipercaya hanya Maher seorang. Laki-laki yang akan hidup bersamanya
dalam susah dan senang. Suami yang akan bersamanya membesarkan anak-anak. Kekasih
yang akan menemani dalam sisa hidupnya.
Maka Ramza memutuskan
untuk mencari Maher. Menemukan cintanya yang hampir hilang ditelan gurun
Sahara. Untuk merajut kembali tali cinta mereka yang hampir putus. Tetapi, kini
Maher sudah pergi, bahkan tanpa bertemu dan bicara langsung dengannya. Lalu
apakah Maher benar-benar –seperti kata ayahnya- tidak lagi mencintainya? Apakah
keluar dari Kairo adalah keputusan Maher? Dan akankah Maher akan menolak dan
menceraikannya? Bacalah novel ini.
Komentar
Posting Komentar