Pluralitas dan Pluralisme

Oleh Zulfikhar* 



Ada yang berbeda pada Maiyah (17 Juli 2013/9 Ramadhan 1437 H) tadi malam. Maiyah di bulan Ramadhan. Tidak biasanya mas Toto Raharjo menyuruh jamaah membuat tulisan. Kami diminta menuliskan gagasan dan ide kami ke dalam secarik kertas yang dibagikan olehnya. Kami diminta menulis tentang apa saja yang berhubungan dengan Maiyah. Dengan gagasan-gagasan batu itu mungkin akan menjadi masukan lebih meramaikan pengajian bulanan tersebut.



Malam itu tidak biasanya mas EH Kartanegara hadir membersamai kami. Padahal rumah beliau jauh di Pekalongan. Dan kesibukannya sebagai wartawan saya pikir akan mengganggunya atau setidaknya memberikan alasan untuk dirinya supaya tidak datang. Tetapi rupanya tadi sore ada buka puasa bersama. Memperingati milad kedua majelis ilmu yang didirikan Maiyah, Nahdlatul Muhammadiyyin pimpinan Musthafa W Hasyim. Menurut saya, agenda tersebut merupakan alasan mas EH untuk menghadiri pengajian. Sambil menyelam sambil minum air.


Maiyah tadi malam kedatangan tamu spesial. Ini adalah tamu yang sebenarnya tidak diundang dan tidak diprediksi. Tetapi karena atas segala sesuatu yang terjadi, hal ini menjadi mungkin. Apalagi kita tahu Maiyah adalah majelis ilmu yang familiar dengan improvisasi.



Pengajian Mocopat Syafaat kedatangan rombongan mahasiswa dari CRCS UGM yang dipimpin ibu Syafaatun, dosen di lembaga itu. Rombongan tersebut mengajak serta tiga orang mahasiswa asal Amerika. Para mahasiswa itu kebetulan sedang melakukan summer course. Ketertarikan terhadap budaya Indonesia membuat anak-anak muda ini terlihat sangat gembira ketika diijinkan untuk berbicara lepas di panggung.



Sebenarnya -seperti pengakuan Ibu Syafaah, nama panggilan dari ibu Syafaatun- rombongan ini datang ke Mocopat Syafaat untuk ikut mengaji. Mereka semula duduk di barisan belakang mendengarkan pengajian berlangsung. Tetapi, ada panitia atau jamaah yang merasa bahwa mereka cocok untuk maju duduk di panggung. Sehingga barangkali bisa menjadi teman diskusi dan riset intelektual jamaah.



Mahasiswa Amerika itu datang ke Indonesia untuk mempelajari ilmu tentang hubungan antar umat beragama di Indonesia (inter faith/inter religion). Menurut ibu Syafaah, mahasiswa-mahasiswa ini sudah diajak ke beberapa kota di Indonesia untuk melihat fenomena-fenomena tersebut. Terutama yang kebetulan menjadi fokus mereka seputar konflik antar umat beragama. Menurut mereka, konflik antar umat beragama yang belakangan ini terjadi disebabkan oleh kemiskinan, ketidaksetaraan dan ketidakmerataan kesempatan. Menurut mereka, penistaan terhadap agama sebenarnya bukan pemicu konflik. Tetapi karena kondisi masyarakat yang tidak sejahtera.



Menurut Mark, salah satu dari mahasiswa Amerika tersebut, akar konflik terjadi karena ketidakjujuran media dalam menyiarkan isu-isu seputar kehidupan beragama. Media lebih cenderung mengabarkan warta-warta negatif dan memiliki potensi kontroversial lebih tinggi (heboh) daripada warta yang lebih positif dan mainstream. Sehingga dapat menyulut potensi kekerasan dari umat beragama yang merasa terancam keberadaannya. Misalnya peristiwa pengeboman gedung WTC dan Pentagon tanggal 9 September 2001 yang seketika membuat sebagian besar masyarakat Amerika membenci dan anti terhadap Islam (Islamophobia).



Tidak hanya itu kondisi masyarakat juga berpengaruh terhadap potensi kekerasan yang bermotif agama. Seperti di Amerika, menurut ibu Syafaah, potensi konflik semakin meninggi ketika kondisi masyarakat lebih homogen. Artinya kalau rata-rata masyarakat di daerah tersebut kebanyakan menganut agama Kristen (agama mayoritas di Amerika), maka potensi untuk fanatik dan phobia terhadap umat beragama yang lain semakin besar. Apalagi kejelekan agama tersebut mereka tahu dan rasakan. Hal ini sebaliknya terjadi di Miami, suatu kota yang cukup heterogen. Di kota ini potensi konflik antar umat beragama sangat rendah.



Dalam diskusi ini ada beberapa statemen dari salah satu jamaah yang menurut saya keliru. Ya, ada jamaah dari Solo yang bertanya, menyampaikan statemen pribadinya kepada mahasiswa-mahasiswa tersebut. Menurutnya semua agama-agama itu pada dasarnya memiliki tujuan yang satu. Yakni kepada Tuhan itu sendiri. Ia mengatakan dalam bahasa Inggris seadanya, “whatever your religion, God is goal” (apa saja agamanya, tujuannya adalah Tuhan). Seketika, statemennya itu direspon oleh gelak tawa dan tepuk-tangan dari jamaah, juga dari beberapa mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam rombongan tersebut. Aku kira dua mahasiswa itu sepakat dengan ide pluralisme yang disampaikan penanya dari Solo itu.



Penanya tersebut saya kira belum tahu atau paham terhadap sikap Cak Nun terhadap isu tersebut. Bahwa Cak Nun tidak sepakat dengan isu pluralisme. Bahkan Hak Asasi Manusia (HAM) yang belakangan banyak mengkebiri privasi orang tua sebagai pendidik anak dalam keluarga. Menurut Cak Nun, paham pluralisme tidak bisa menyatukan pandangan kebenaran atas agama-agama yang pada dasarnya berbeda. Ia mengilustrasikan paham ini dalam contoh kasus dua orang sahabat yang makan di sebuah warung. Si A karena suka bakso, maka ia memesannya dan si B karena menyukai gado-gado, maka ia juga memesannya. Nah, begitulah relasi agama dioperasikan. Bukan memaksa si B untuk menyukai bakso dan demikian sebaliknya. Apalagi mencampur kedua makanan itu menjadi satu. Tidak bisa dibayangkan akan seperti apa rasanya. Padahal di dalam Al-Qur'an relasi tersebut sudah jelas tertera. Lakum dii nukum wa liyadin (109:06).



Saya kira studi tentang perbandingan agama adalah suatu hal yang baik dan perlu. Tetapi, dengan berbagai konflik yang ditemukan di dalamnya, seharusnya tidak menjadikan para sarjana di dalamnua untuk memutuskan satu kesimpulan yang pokok : masalah kesejahteraan. Padahal, konflik yang terjadi di Indonesia -terutama yang banyak melibatkan umat Islam- juga disebabkan oleh prinsip-prinsip Islam yang dilanggar dan dikhianati. Islam dinodai, kesucian agamanya diposisikan sama dengan kesucian agama-agama yang berbeda, Al-Qur'an diperlakukan tidak berbeda dengan Bibel. Akibatnya, pecahlah konflik dengan Syiah di Madura, Ahmadiyah, Lia Eden, dan lain-lain.



Menyelesaikan masalah kesejahteraan masyarakat tidak berkorelasi positif dengan penyelesaian konflik beragama. Lihat saja di Arab Saudi yang kebanyakan masyarakatnya sudah lebih sejahtera daripada negara-negara Arab yang lain. Mereka bermusuhan dan menentang keberadaan orang-orang Syiah di negaranya. Oleh karena itu, para konglomerat disana ikut membantu orang-orang Sunni yang terlibat perang saudara di Suriah. Menurut mereka, Syiah adalah sekte yang telah keluar dari Islam dan keberadaannya selalu mendatangkan masalah bagi mainstream umat Islam (Sunni). Disini jelas pesan utama dari konflik tersebut. Bahwa penistaan terhadap agama merupakan kejahatan besar dan harus diselesaikan segera mungkin.



Dalam kasus di Indonesia misalnya. Yang pada satu dasawarsa lalu -dan sampai sekarang- berperang dengan terorisme. Para teroris ini kebanyakan adalah muslim. Mereka adalah kelompok muslim yang tidak puas dengan kondisi negaranya yang menganut tradisi liberalisme dan kebebasan berekspresi. Gaya hidup masyarakat Indonesia yang bergelimang maksiat membuat mereka sakit hati. Hal ini terbukti dengan padatnya turis internasional yang berwisata ke Indonesia, yang menurut mereka adalah setan-setan pembunuh orang-orang Islam di Arab.



Orang-orang yang sholeh dan taat beragama ini bukannya memilih jalan dakwah untuk mengubah kondisi masyarakat secara persuasif, malah terjebak dengan fatwa para syaikhnya yang menganjurkan jihad qital (jihad dengan perang). Padahal Indonesia bukan medan peperangan dan tidak ada tentara musuh (kafir) yang terbuka memerangi Indonesia. Apalagi kebanyakan korban para teroris itu adalah orang-orang sipil yang tidak bersalah. Orang-orang yang tidak sedang memerangi umat Islam. Bahkan, kebanyakan diantara mereka adalah wanita, orang tua dan anak-anak yang menurut Nabi haram menumpahkan darahnya.



Menurut saya, konflik antar umat beragama tidak bisa disimpulkan dari variabel masalah kesejahteraan saja. Hal ini akan cenderung mengeneralisasikan masalah yang sebenarnya kompleks dan perlu riset yang lebih obyektif. Apalagi, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang beragama. Sejarah menuliskan sejak zaman dahulu, sebelum agama datang, bangsa Indonesia sudah mempunyai sistem kepercayaan tertentu.



Saya kira penodaan terhadap agama menjadi faktor pemicu yang lebih besar daripada kesejahteraan. Karena, tidak mungkin umat beragama diam saja kalau dinding tempat ibadahnya dikotori. Apalagi salah satu warga mereka diserang tanpa alasan jelas dan Tuhannya dinista dan dihina oleh agama lain. Saya kira meskipun mereka kaya, mereka tidak akan mendiamkan penghinaan-penghinaan tersebut. Hanya orang-orang yang tidak peduli dengan agamanya yang akan membiarkan penistaan tersebut terjadi. Kebanyakan mereka adalah orang-orang individualis, yang lebih peduli mengurus pekerjaannya, obsesinya dan orientasi hidup yang harus diperoleh ketimbang masalah ideologi yang sepele. Orang-orang itu telah menghilangkan orientasi nilai yang seharusnya ia capai dan menggantinya dengan orientasi realitas, hasrat dan kepentingan pribadi. Saya kira orang-orang ini bukanlah manusia yang baik. Karena mereka telah dikuasai oleh materi (materialisme) yang selalu menjadi malapetaka dalam seharah hidup umat manusia.



Maka realita hidup manusia yang plural seharusnya dijaga dengan nilai-nilai yang menghargai pluralitas. Realita yang ditopang oleh fondas-fondasi moral masing-masing agama. Karena pada dasarnya tidak ada agama yang menganjurkan umatnya untuk menghina umat beragama yang lain. Masing-masing agama memiliki standar kebenaran yang mereka imani dan mereka percaya bahwa kebenaran tersebut mendatangkan kebaikan bagi mereka dan orang lain. Sehingga karena Tuhan yang berbeda itulah maka penghormatan dan toleransi lahir. Sehingga proyek untuk membenarkan agama yang lain (pluralisme) menjadi tidak ideal karena apa gunanya beragama kalau kita menganggap agama lain juga benar. Sembahan agama lain sebagai sembahan yang benar. Lalu kalau semua agama benar apalagi urgensi agama? Berarti umat Islam yang tidak sholat akan masuk ke Surga, karena umat Kristen - yang tidak mengenal sholat- juga masuk surga? Begitukah?



Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq



Kasihan, 18 juli 2013

*Jamaah Maiyah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*