Catatan MK 2: Gerakan Islam dan Politik Islam



Oleh: Zulfikhar

Pada hari Kamis kemarin, KAMMI Daerah Bantul  berkesempatan untuk silaturahmi dengan Ibu Siti Muslikhati. Dosen Hubungan Internasional UMY sekaligus tokoh HTI Yogyakarta. Kedatangan KAMMI selain silarutahmi juga ingin mengenal HTI lebih dekat. Maka tepat jika langsung mendengar langsung dari sumber utamanya. Ibu Siti sebagai seorang tokoh HTI yang cukup dikenal  secara nasional, KAMMI harap bisa memberikan informasi sekaligus ilmu yang mendalam tentang HTI dan pemikirannya.

Tetapi silaturahmi kemarin tidak berjalan sesuai rencana. Yang seharusnya mengarah diskusi seputar HTI, sebaliknya harus mengarah pada diskusi yang lebih umum. Karena terjadi bias komunikasi antara KAMMI dengan Ibu Siti. Ibu Siti ketika memulai diskusi mempertanyakan alur diskusi yang KAMMI inginkan. Ia tidak setuju kalau diminta menyampaikan HTI. Karena  pada kesempatan itu ia tidak sedang dalam posisi sebagai kader HTI, malah lebih tepat sebagai dosen HI, khususnya dalam studi politik Islam. Ia khawatir apa yang ia bicarakan akan bertentangan dengan pendapat mainstream gerakannya. Ia menyarankan jika KAMMI ingin mendiskusikan HTI bisa silaturahmi langsung dengan kader-kader HTI di DPD terdekat.


 Ibu Siti menawarkan agar pada pertemuan tersebut mendiskusikan isu yang lebih umum sesuai dengan kepakarannya. KAMMI setuju dan memintanya untuk berbicara tentang gerakan Islam dan Politik Islam.

***
Menurut Ibu Siti, sebelum melangkah membahas gerakan Islam, terlebih dahulu  perlu dipahami tujuan dari gerakan itu sendiri.  Tujuan gerakan harus dimaknai sebagai proses menjadi. Karena lewat proses itulah gerakan pada akhirnya akan tahu cara terbaik untuk mencapai tujuannya.

Gerakan Islam tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai. Yaitu perubahan sosial. Ibu Siti menawarkan dua konsep mendasar yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Pertama, mengorientasikan  agenda gerakan pada tujuan untuk mengajak  kepada Islam (yaduuna ilal khoir). Hal ini dimaknai sebagai fondasi dasar agar gerakan selalu berada pada jalan yang lurus.
Gerakan Islam harus mendasarkan aktivitasnya pada teks dalil yang kuat. Yaitu Al-Quran dan Sunnah. Semua aktivitas gerakan harus ada tuntunannya dari Rasulullah kata Ibu Siti. Kalau tidak, maka metode gerakan itu lemah. Ia mencontohkan, misalnya dalam sebuah perdebatan ada seseorang yang pandai menguraikan argumentasinya dengan landasan syar’i. Lalu ada seorang lain yang mendebat hanya bersandar pada teori-teori dan logika-logika rasional. Sehingga orang yang kedua ini tetap bertahan dengan pendapatnya meskipun lemah. Menurut Ibu Siti, orang kedua seharusnya bersikap legowo dengan pendapatnya itu dan mengalah membenarkan dan mengikuti pendapat orang yang pertama.
Kedua, gerakan Islam bertugas menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf  nahi munkar). Sebagai sambungan dari yaduuna ilal khoir dalam Surat Ali-Imran tadi, maka konsep ini menjadi suatu keharusan. Karena itu seyogianya selalu dihadirkan menjadi ujung tombak perjuangan gerakan Islam. Karena,  kehadiran gerakan Islam secara umum bercita-cita untuk mewujudkan konsep ini. Tanpa amar makruf nahi munkar mustahil tujuan gerakan Islam tercapai.
Amar makruf nahi munkar yang membumi dalam aktivitas-ativitas politik tentunya akan berbicara tentang kepemimpinan. Betapa kita tahu dan lihat banyak pemimpin bangsa ini yang tidak islami. Padahal mereka muslim. Kita menyaksikan, lokalisasi pelacuran mereka biarkan, minuman keras beredar dimana-mana, perjudian legal. Hal ini membuktikan telah terjadi krisis kepemimpinan.
Melihat kondisi Indonesia yang serba carut marut ini, menurut Ibu Siti, disinilah gerakan Islam harus maju sebagai garda terdepan. Gerakan Islam harus melek dengan keadaan yang terjadi. Pemimpin yang tidak islami harus di kritik. Karena inilah sekuat-kuatnya iman muslim.
Kritik itu dapat bermacam-macam. Kalau gerakan Islam punya otoritas yang kuat, seperti menjabat pada posisi strategis di pemerintahan sebagai anggota DPR, menteri negara atau presiden, maka kritik itu bisa lebih mudah tercapai. Dengan posisi tersebut, kemungkaran yang terjadi dapat lebih mudah diakhiri. Karena menurut Ibu Siti, politik itu punya kekuatan memaksa (coercive). Yang akan meluruskan berbagai hal yang bertentangan dengan konstitusi atau nilai-nilai luhur yang dianut suatu negara. Sehingga, jika gerakan Islam dapat menguasai sektor politik ini, maka perubahan sosial yang dicita-citakan akan lebih mudah di wujudkan.

Terjun dalam Demokrasi
Berpaut dengan argumentasi di atas tentang kepemimpinan, menurut Ibu Siti, kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang berlandaskan Al-Quran dan Sunnah. Seorang pemimpin yang seharusnya di dukung gerakan Islam adalah pemimpin yang melaksanakan tugas-tugas kepemimpinannya dengan panduan kedua dalil di atas. Kecuali dari itu tidak boleh di dukung. Mengapa? Karena dengan begitu tujuan gerakan Islam dan umat Islam secara umum tidak akan terwujud. Karena mustahil tanpa kedua landasan itu tercapai tatanan masyarakat yang adil dan islami.
Menurut Ibu Siti, di dalam negara demokrasi, tidak dijamin pemimpin di dalamnya akan memperjuangkan Islam. Jangankan sampai sejauh itu, berlaku adil untuk masyarakat saja dihiraukan. Hal ini dikarenakan proses pemilihan pemimpin yang berjalan transaksional. Makanya ketika terpilih, kesibukan pemimpin adalah mencari cara untuk menutupi pengeluarannya pada pemilu. Yang selanjutnya, mengarahkan pemimpin tersebut untuk melahap uang rakyat yang di kelolanya. Maka muncullah korupsi yang sekarang merata dari Sabang sampai Merauke.
Sayangnya praktik korupsi banyak dilakukan oleh umat Islam. Banyak di antara mereka adalah alumni dari gerakan Islam.  Meskipun di masjid sholat berjamaah, tetapi ketika di luar masjid, korupsi dipraktikkan.  Korupsi yang makin menggurita dan menjadi kebiasaan akhirnya menjelma menjadi kebenaran. Seperti pernah dikatakan Machiavelli, “kebenaran adalah kebohongan yang dilakukan berulang-ulang.” Karenanya, solusi yang tepat adalah memilih pemimpin Islam yang berpegang dan menegakkan Al-Quran dan sunah sebagai dasar negara.

Komentar
Saya pikir Ibu Siti perlu memperhatikan, bahwa sunah secara umum harus diperhatikan dalam konteks dan tempat dimana ia akan digunakan. Apalagi saya melihat Ibu Siti cenderung mengatakan Sunnah itu wajib diikuti dan menyamakannya dengan sejarah Rasulullah (shirah). Padahal Yusuf Qaradhawi pernah mengatakan, jangan pernah menyamakan antara shirah dengan sunah.
Misalnya Ibu Siti mengatakan dakwah Rasulullah di Mekkah memposisikan Islam sebagai gerakan. Karena Islam tidak memegang tampuk kepemimpinan dikarenakan sistem masyarakat yang kufur. Maka posisi Rasulullah hanyalah sebagai rasul dan pemimpin gerakan. Hal ini berbeda halnya dengan di Madinah, setelah hijrah. Islam sebagai gerakan bertransformasi menjadi negara karena diterima oleh semua kelompok masyarakat di Madinah, termasuk suku-suku Yahudi disana. Sehingga dapat ditarik kesimpulan sebelum berdirinya negara Islam, gerakan Islam tidak boleh terlibat dalam sistem yang kufur seperti demokrasi. Hal tersebut adalah sunah yang wajib diikuti. Padahal tidak ada dalam ajaran Islam untuk mewajibkan mengikuti sunah. Karena sunah memang sunah, tidak harus diikuti, apalagi sunah itu cenderung seperti shirah.  
Seyogianya posisi sunnah apalagi sejarah Rasulullah dalam konteks gerakan Islam, tidak selalu menjadi sandaran yang otoritatif. Karena konteks gerakan Islam banyak berbenturan dengan wilayah ijtihad, dengan beroperasi pada konteks muamalah. Sehingga meniscayakan kehadiran ijtihad untuk membantunya. Misalkan, bagaimana gerakan Islam memandang metode pemilihan pemimpin. Hal ini dalam Al-Quran tidak akan mekanisme yang difirmankan oleh Allah secara eksplisit. Maka gerakan Islam melihatnya pada contoh proses pemilihan Khulafaur Rasyidin.  Meskipun disana terjadi variasi pemilihan pemimpin. Dimana Abu Bakar, Usman dan Ali dipilih melalui mekanisme musyawarah, sedangkan Umar, ditunjuk langsung oleh Abu Bakar.
Kita lihat lagi seperti pemilihan Khalifah pada zaman Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Disana tergambar jelas, proses pemilihan berlangsung dengan mekanisme berdasarkan keturunan (monarki). Sehingga banyak gerakan Islam menyebutnya tidak ideal karena berbeda dengan zaman Khulafaur Rasyidin. Tetapi, mayoritas ulama yang hidup di zaman itu tidak melarangnya apalagi mengharamkannya. Karena, dalam Islam mekanisme seperti itu bukan perkara yang pokok. Yang pokok dan menjadi perhatian para ulama, seperti Al-Mawardi, adalah kriteria pemimpin.
Topik ini pun senada jika nantinya gerakan Islam memandang sistem politik manakah yang paling sesuai dengan  Islam?  Maka yang timbul paling banyak adalah Khilafah atau negara Islam. Sebagaimana yang sering dikampanyekan oleh HTI. Padahal tidak ada sistem politik yang ideal definitif menurut Islam. Karena dalam Islam, tidak berlaku pemahaman yang tunggal terhadap konsep negara atau masyarakat.
Kita tahu, tidak ada alasan yang tepat dengan penggunaan kata Khilafah. Karena kata Khilafah sendiri tidak pernah muncul ketika Rasulullah hidup. Sehingga kepemimpinan Rasulullah di Madinah bukan kepemimpinan Khilafah. Lagipula apa ukuran sehingga masyarakat di Madinah disebut Khilafah dan apakah Rasulullah pernah mengatakan harus menganutnya? Padahal kita tahu, kepemimpinan Rasulullah adalah kepemimpinan yang berdasar kepada konsep keadilan (al-A’dalah), kebebasan (al-Hurriyah), musyawarah (syura) dan persamaan (al-Musawwah). Yang sebenarnya keempat konsep itu kalau mau ditarik ke zaman modern, akan menemukan padanannya pada demokrasi atau sistem-sistem politik lain yang menganut keempat konsep tersebut. Sehingga, jikalau sebuah negara monarki atau sosialis menganutnya, maka tidak ada larangan untuk menolaknya. Wallahu alam bis shawab.

Jadan, 24 Januari 2014






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*