Muhammad



Hari ini kita kembali merayakan kelahiran seorang manusia adiluhung. Figur penyulut revolusi Islam di seantero jagad raya. Sosok manusia asketik yang kata-kata dari mulutnya (hadis) dicatat, dibukukan, dan dibaca umat manusia hingga sekarang. Dialah Muhamammad. Seorang yatim dan ummi (tidak bisa membaca), tetapi dengan keserbakekurangannya itu, ia memelopori lahirnya sebuah peradaban besar bernama Islam.

Lima belas abad yang lalu, di sebuah kota perdagangan di Jazirah Arab, Mekkah, ia dilahirkan. Sayangnya, ia sudah yatim ketika melihat dunia. Ayahnya, Abdullah, sudah lebih dulu meninggalkan dunia. Hanya Aminah, ibundanya, yang menemani dan menyapihnya.


Kota Mekkah saat itu setiap tahunnya di datangi orang-orang dari berbagai penjuru Arab. Banyak dari mereka datang untuk berhaji dan berdagang. Sedikitnya, ada juga yang datang dari desa menawarkan jasa ibu susuan. Karena di Mekkah waktu itu banyak ibu menyusui yang menitipkan anaknya pada orang-orang dari desa. Hal ini dilakukan untuk menjauhkan anak mereka dari penyakit yang biasa muncul pada daerah yang sudah lebih maju seperti Mekkah. Termasuk Aminah, ia menitipkan Muhammad kepada Halimah bin Abu Dzu’aib dari Bani Sa’d.

Kedatangan Muhammad di perkampungan Bani Sa’d mendatangkan berkah yang mengalir layaknya sungai pada keluarga Halimah. Hewan-hewan ternak Halimah yang  kurus di masa paceklik tiba-tiba gemuk. Air susu betina penuh sehingga kekurangan keluarga miskin itu teratasi. Di perkampungan Bani Sa’d, Muhammad tumbuh dengan cepat. Usia kurang satu tahun, ia sudah bisa berjalan. Genap satu tahun, Muhammad sudah berlari-larian bersama anak-anak kampong yang lebih tua usianya.  

Muhammad kembali kepada Aminah ketika menginjak usia enam tahun. Pada tahun yang sama, Aminah mengajaknya menziarahi makam ayahnya di Yastrib. Perjelanan mereka ditemani pembantu yang setia, Ummu Aiman. Setelah beberapa hari berziarah, mereka kembali pulang. Tetapi di tengah perjalanan Aminah jatuh sakit. Tidak lama kemudian ia meninggal di Abwa, suatu daerah yang terletak antara Mekkah dan Yastrib. 

Sepulangnya ke Mekkah, Abdul Muthallib, kakek dari ayah Muhammad, merawatnya. Abdul Muthallib sangat sayang kepada cucunya itu. Betapa dalam usia sekecil itu, ia sudah yatim piatu. Abdul Muthallib tidak rela cucunya hidup sebatang kara. Karen itu, segala kebutuhan Muhammad lebih di utamakan daripada keluarganya yang lain, termasuk anak-anaknya. Tetapi tidak lama sejak Muhmmad tinggal bersama Abdul Muthallib. Kakeknya tercinta itu meninggal. Peristiwa ini terjadi pada saat Muhammad berusia delapan tahun.  

Sesuai wasiat Abdul Muthallib, Abu Thalib, saudara Abdullah, ditugaskan  merawat Muhammad. Abu Thalib sangat sayang kepada keponakannya itu. Seperti ayahnya, ia lebih mengutamakan Muhammad daripada anak-anaknya yang lain. Kebersamaan dengan Abu Thalib menjadikan Muhammad tumbuh menjadi anak yang mandiri. Usia dua belas tahun ia diajak pamannya berdagang ke Syam. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang pendeta Nasrani bernama Bahira di sebuah daerah bernama Bushra. 

Bahira mengundang mereka ke kediamannya sebagai tamu istimewa. Wajah Bahira merona ketika tahu seorang anak yang berada di depannya menunjukkan gelagat tanda-tanda kenabian. Ia sudah merasakan tanda-tanda itu sejak sejak rombongan itu berada di Aqabah. Disana pepohonan dan bebatuan bersujur dan berzikir tidak seperti biasanya. Sebuah awan selalu mengikuti kemana rombongan itu bergerak, sehingga terik panas padang pasir terasa sejuk.

Bahira menyarankan Abu Thalib supaya mengurungkan niatnya membawa Muhammad ke Syam. Pendeta itu khawatir Muhammad akan di ganggu oleh orang-orang Yahudi disana. Tentu saja karena orang-orang Yahudi akan tahu dan mengenal Muhammad ketika mereka melihatnya. Sebagaimana persis di firmankan Allah dalam Al-Quran. “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah kami berikan kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” Abu Thalib sangat yakin dengan perkataan Bahira. Ia  memutuskan mengirim Muhammad kembali ke Mekkah demi keselamatannya.

Menjadi Saudagar
Sejak pertemuan dengan Bahira, Abu Thalib semakin yakin ada sesuatu yang istimewa pada diri keponakannya itu. Muhammad baginya adalah anak yang sangat istimewa. Ia sangat berbeda dengan anak-anak seusianya.

Muhammad sangat patuh pada perintah Abu Thalib. Muhammad juga seorang anak yang mandiri. Setiap hari ia memilih mengembalakan kambing ketimbang bermain seperti anak-anak yang lain. Akhirnya ia tumbuh menjadi pemuda yang mandiri dan amanah. Hal ini terbukti ketika usia dua puluh lima tahun, ia dipercayakan memimipin kafilah dagang ke Syam mengatasnamakan seorang saudagar perempuan kaya raya bernama Khadijah binti Khuwailid.

Di Syam, Muhammad dikenal sebagai seorang pedagang yang jujur. Ia menjual suatu komoditas sesuai dengan nilainya. Dengan tidak mematok keuntungan yang berlebihan. Sehingga keuntungan yang ia peroleh sesuai dengan taksiran sebelumnya. Padahal, pada saat itu sangat sedikit pedagang yang berdagang sepertinya. Mereka lebih mementingkan keuntungan pribadi, daripada kepuasan konsumen. Karakter kejujuran yang dimiliki Muhammad akhirnya dengan cepat terdengar orang-orang di Syam. Sehingga mereka sepakat menjulukinya Al-Amin, manusia yang dapat dipercaya.

Kisah kesuksesan Muhammad di Syam akhirnya sampai ke telinga Khadijah. Ia bahagia, kafilah dagangnya yang dipimpin Muhammad sukses menyelesaikan tugasnya.  Diam-diam ia kagum kepada Muhammad.  Sehingga semakin hari kekagumannya itu tumbuh menjadi cinta. Setelah menimbang dalam-dalam perasaannya itu, ia pun memutuskan melamar Muhammad kepada melalui Abu Thalib. Keduanya pun akhirnya menikah, kendati jarak usia mereka yang cukup jauh: lima belas tahun.

Menerima Wahyu
Bertahun-tahun setelah pernikahan dengan Khadijah, Muhammad mulai merasakan rasa tidak nyaman yang melanda dirinya. Makannya tidak enak, tidurnya tidak nyenyak. Ia memutuskan untuk menyendiri dalam Gua Hira yang tersembunyi di balik bukit di belakang Mekkah.

Berhari-hari Muhammad berdiam di tempat itu. Hanya refleksi dan doa yang ia lakukan. Memohon kepada Allah untuk menjawab kegelisahan yang menerpa dirinya selama ini. Dalam waktu yang lama ia berada disitu. Meskipun begitu, tidak ada suatu peristiwa pun yang terjadi. Sehingga tidak ada alasan bagi Muhammad untuk meninggalkan tempat itu. Ia mencoba lebih lama lagi berdiam sampai kegundahan dirinya terjawab.

Suatu malam terjadi peristiwa yang aneh. Saat itu Muhammad sedang berdoa ketika sebuah suara asing menyapa dirinya. Suara itu adalah Jibril yang menampakkan diri . Ia memerintah kepada Muhammad, suatu hal yang semula tidak di mengertinya. “Bacalah”. Kata suara itu. Namun, Muhammad bingung apa yang harus dibaca? Kalaupun ada apa yang dibaca, ia toh seorang yang ummi.  Ia pun menjawab, “aku tidak bisa membaca”. 

Jibril kemudian mendekap Muhammad erat. Lantas ia kembali mengulang kalimat yang sama. Tetapi Muhammad sekali lagi mengatakan, “aku tidak bisa membaca”. Jibril kembali lagi merangkulnya sampai Muhammad merasa sesak dan kembali mengulang perintahnya, “bacalah”. Muhammad lantas membaca kalimat itu dengan sendirinya, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak di ketahuinya”.

Pertemuan itu membuat Muhammad sangat takut. Dengan cepat ia segera meninggalkan gua dan bergegas pulang. Sesampainya di rumah, ia menyuruh Khadijah menyelimutinya. Ia menggigil kedinginan seperti sedang demam. Khadijah menanyakan apa yang terjadi padanya. Muhammad  menjawab dengan bercerita hal ihwal peristiwa yang terjadi dalam gua.

Memulai Dakwah
Setelah pertemuan dengan Jibril di Gua Hira, Muhammad berangsur-angsur mulai menerima wahyu-wahyu berikutnya -meskipun ada jeda yang cukup lama- dan perlahan-lahan ia mulai menyadari keberadaan dirinya. Yaitu sebagai utusan Allah untuk menyelamatkan umat manusia. Kendati Muhammad masih merasa bingung dan coba ditenangkan oleh Waraqah bin Naufal, seorang Nasrani sepupu Khadijah yang mengenal tanda-tanda kenabiannya karena interaksinya yang kuat dengan Bibel dan Taurat serta manuskrip-manuskrip Ibrani.

Turunnya surat Al-Muddatsir akhirnya menjadi penegas kenabian Muhammad. Setelah sekian lama tidak ada wahyu yang turun sejak peristiwa di Gua Hira. Mulai dari sinilah Muhammad kemudian mengajak keluarga dan orang terdekatnya memeluk Islam. Khadijah menyambutnya dengan bersyahadat. Ia menjadi perempuan pertama yang memeluk Islam. Kemudian sepupunya Ali bin Abi Thalib dan pembantunya Zaid bin Haritsah juga mengucapkan kalimat syahadat.  Abu Bakar Ash-Shiddiq, sahabat dekatnya menyusul. Abu Bakar juga mengajak para sahabatnya seperti; Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Thalhah bin Ubaidilah. Orang-orang yang pertama memeluk Islam ini kemudian dikenal dengan nama As-Sabiqunal Awwalun (yang terdahulu dan pertama-tama masuk Islam). Mereka termasuk ke dalam orang-orang yang di jamin oleh Allah masuk surga.

Dakwah yang dimulai Muhammad -yang kemudian dipanggil para sahabatnya dengan nama ‘Rasulullah’ (utusan Allah)- pertama-tama dilakukan secara rahasia. Dari lingkungan keluarga menyebar ke para sahabat, kemudian masuk ke keluarga sahabat tersebut. Hal ini ia lakukan agar agama yang masih berumur jagung ini tumbuh dengan aman. Karena memang secara eksplisit ajaran Islam bertentangan dengan agama orang Quraisy yang menyembah Latta, Uzza dan Manna sebagai dewa mereka. Sehingga mereka tentu saja akan membredel segala bentuk kepercayaan yang mengganggu ajaran nenek moyang yang sangat mereka junjung itu.

Dengan metode yang tersembunyi seperti ini, keamanan keberadaan dakwah  terjamin. Persebarannya juga mulai masif. Perlahan-lahan satu persatu penduduk Mekkah mulai memeluk Islam.  Tidak hanya penduduk Mekkah, para budak juga banyak yang masuk Islam. Seperti Bilal bin Ra’bah dan Sumayyah, Ibu Ammar bin Yasir.

Masuknya Islamnya para budak ini kemudian menjadi salah satu sumber informasi tentang keberadaan Islam ke para pemuka Quraisy.  Mereka mulai membicarakan agama baru itu dari mulut ke mulut. Tentang para pengikutnya yang mulai bertambah. Juga anak-anak dan budak-budak mereka yang diam-diam tertarik dengannya. Akhirnya kerahasiaan Islam kemudian menjadi rahasia umum di kalangan orang-orang Quraisy. Sampai kemudian mengganggu kehidupan mereka karena orang-orang yang mereka kenal masuk Islam perlahan mulai berubah. Mereka tidak lagi menyentuh arak, bermain judi, bergulat dan bermain perempuan. Mereka juga tidak lagi terlihat menyembah berhala di serambi Ka’bah. Malah melakukan ritual aneh berdiri berbanjar menghadap ke Yerusalem.

Kegelisahan orang-orang Quraisy akhirnya mencapai puncaknya. Hal itu kemudian  dibawa ke dalam pembahasan musyawarah para pemuka suku. Para pemuka suku semula menganggap Islam adalah ajaran yang tidak berbahaya kalau tidak mengganggu peribadatan suku. Mereka merasa dengan sedikit bujukan dan tawaran, Rasulullah akan jinak di hadapan mereka. Dalam musyawarah itu mereka sepakat untuk memanggil Rasulullah.

Rasulullah memenuhi panggilan itu. Ia diminta untuk menghentikan menyebarkan ajarannya yang mengganggu itu. Tetapi Rasulullah tidak bergeming sedikitpun. Ia sudah teguh tidak akan berubah meskipun matahari di berikan di tangan kanan dan rembulan di tangan kirinya. Para pemuka suku menawarkannya harta benda dan perempuan. Tentu saja ia menolak. Saking kesalnya, mereka nekat menawarkannya agar mau diangkat menjadi pemimpin seluruh suku di Mekkah dengan syarat dakwah harus dihentikan. Kendati begitu Rasulullah tetap ngotot menolak. Mereka menaikkan penawaran dengan mengganti obyek penyembahan. Sehari menyembah Allah dan sehari setelahnya menyembah berhala. Tetapi Rasulullah tidak kompromi sedikitpun.  Para pemuka itu akhirnya kesal dan musyawarah berakhir tanpa hasil yang memuaskan.

Penindasan
Setelah gagal membujuk Muhammad untuk meninggalkan agamanya, orang-orang Quraisy mulai melakukan intimidasi kepada kaum muslimin. Mereka mengancam akan menindak tegas siapapun yang meninggalkan Latta, Manna, Uzza, ajaran nenek moyang mereka. Tidak terkecuali anggota keluarga mereka sendiri.

Hal ini mereka lakukan karena tidak hanya Islam sebagai agama tandingan sudah menganggu iman mereka, tetapi tentu saja pertentangan  teologis ini akan mengakumulasi dan melanda aspek-aspek yang lain. Termasuk struktur sosial masyarakat Mekkah akan berubah. Karena masyarakat Mekkah yang notabene dikuasai para oligarki dari keluarga-keluarga besar Quraisy akan terancam dengan keberadaan Islam yang mengandaikan keadilan sosial. Hal  ini juga akan berdampak kepada struktur ekonomi yang dikuasai oleh kaum feodal Quraisy. Sistem riba yang menjamur akan berubah tidak popular ketika konsep zakat hadir dikenal oleh masyarakat. Dan puncaknya sistem perbudakan yang berlaku internasional saat itu terancam hilang.

Maka aksi-aksi kekerasan dilancarkan oleh orang Quraisy. Anggota keluarga mereka yang ketahuan masuk Islam atau setidaknya berhubungan dengan Rasulullah dikurung di rumah atau ke penjara. Lebih buruk lagi nasib para budak. Mereka dipaksa dengan segala cara untuk meninggalkan Islam. Siksaan dan pembunuhan akhirnya menjadi konsekuensi yang harus mereka hadapi. Bilal akhirnya harus ditindih batu besar atas perintah tuannya di tengah padang pasir. Hal yang lebih tragis terjadi pada Ammar bin Yasir yang harus bersabar menerima kepergian orang tuanya yang mati terbunuh.

Rasulullah juga mengalami hal yang sama. Suatu waktu ketika sedang bersujud shalat, seorang Quraisy meletakkan kotoran  binatang di atas  punggungnya. Rasulullah juga pernah bergulat dengan seorang Quraisy yang mencegatnya di jalan.

Penindasan yang paling keras adalah ketika seluruh suku-suku Quraisy sepakat mengucilkan Rasulullah dari pergaulan sosial di Mekkah (embargo). Pemuka-pemuka Quraisy itu mengikrarkan pemutusan hubungan mereka dengan kedua klan (Bani Hasyim dan Muthallib) yang membela Rasulullah. Ikrar ini tertulis dalam sebuah piagam yang di gantung di atas Ka’bah. Pada piagam itu  tertulis tidak ada lagi hubungan perdagangan di antara mereka, perkawinan dan perdamaian untuk selama-lamanya. Hal ini mereka lakukan karena permintaan mereka agar Rasulullah di serahkan pada mereka ditolak kedua klan tersebut.

Akibat dari pengucilan ini, Rasulullah, sahabat dan sanak keluarganya kelaparan berbulan-bulan. Karena semua pasokan makanan dikuasai orang-orang Quraisy. Siang malam anak-anak mereka menangis kelaparan. Sampai mereka harus memakan dedaunan dan kulit binatang. 

Pengucilan ini berlangsung tiga tahun lamanya dan berakhir ketika terjadi perpecahan dalam pihak Quraisy. Kemunculan ide penghapusan piagam pengucilan itu datang dari orang Quraisy yang memiliki hubungan baik dengan kaum muslimin seperti Hisyam bin Amer, Muth’am bin Adi, Zam’ah bin Al-Aswad, dan Al Bukhturi bin Hisyam. Juga mereka yang secara nasab dekat dengan Bani Hasyim dan Muthallib seperti Zuhair bin Umayyah. Tentu saja Abu Jahal bin Hisyam dan Abu Sufyan bin Harb tidak termasuk di antara mereka.
Masih dalam keadaan pengucilan yang berat itu, Rasulullah mengutus beberapa sahabatnya untuk berhijrah ke Abisinia. Hal ini dilakukan untuk merintis dukungan bagi dakwahnya dari luar Mekkah. Rasulullah berkeyakinan, Raja Najasyi di Abisinia bisa menerima rombongan tersebut dan mendukung mereka. Rombongan itu dipimpin saudara Ali, Jafar bin Abi Thalib.
Dalam keadaan pengucilan itu, Rasulullah sekali lagi mendapat cobaan dari Allah. Abu Thalib, paman yang sangat ia sayangi meninggal dunia. Kepergiannya semakin menambah duka Rasulullah karena saudara ayahnya itu meninggal dalam keadaan belum memeluk Islam. Tidak lama sepeninggal Abu Thalib, Khadijah, isteri yang senantiasa mendampingi dan menguatkannya selama ini juga pergi untuk selamanya. 

Hijrah dan Momentum Besar
Masuk Islamnya Umar bin Khattab bisa dikatakan sebagai penanda bagi peralihan metode dakwah yang dilakukan Rasulullah. Ia mengumumkan keislamannya secara terbuka di depan Ka’bah. Tetapi tidak ada seorangpun yang menghajar atau setidaknya menghardiknya. Hal ini berbeda dengan peristiwa masuk Islamnya Abudzar Al-Ghifari yang harus terluka parah karena mengumumkannya di tempat yang sama. 

Metode yang sebelumnya berlangsung rahasia –dengan masuknya Umar- akhirnya mencapai tahap untuk disampaikan dengan terbuka dan terang-terangan. Kaum muslimin pada saat itu mempunyai posisi tawar yang tinggi berdakwah di Mekkah. Karena dengan masuknya Umar, praktis kekuatan orang Quraisy berkurang. 

Kelemahan ini kemudian membuat para pemuka Quraisy memutar otak. Mereka tidak ingin situasi ini berbalik menimpa mereka. Apalagi upaya untuk menghadang rombongan sahabat yang hijrah ke Abisinia juga gagal. Maka disusunlah rencana  untuk menangkap Rasulullah. Rencana ini bocor dan para sahabat di perintahkan Rasulullah hijrah ke Yastrib. Dimana saat itu penduduk Yastrib sudah banyak yang memeluk Islam. Sedangkan Rasulullah berencana menyusul kemudian.

Suatu malam dimana Rasulullah berencana hijrah. Ratusan orang Quraisy sudah mengepung dan menunggunya di luar rumah. Rasulullah malam itu sedang bersama Ali di dalam rumah. Ia meminta sepupunya itu tidur di ranjangnya. Tidak dinyana malam yang dingin itu membuat orang-orang diluar diserang rasa kantuk yang luar biasa. Mereka tidak dapat menahan serangan kantuk dan akhirnya berjejalan tertidur di tempat itu. Rasulullah yang merasa keadaan sudah  aman, keluar dan bergegas pergi menemui Abu Bakar. Mereka sempat bersembunyi dalam sebuah gua ketika kaum Quraisy datang mengejar. Setelah keadaan dirasa aman, keduanya berangkat ke Yastrib melalui pantai.

Peristiwa hijrahnya Rasulullah ke Yastrib menjadi batu loncatan besar yang akan mengubah peta sejarah dan politik di Jazirah Arab. Bagaimana tidak, kondisi Yastrib yang memadai untuk pertumbuhan dakwah membuat kaum muslimin semakin terpacu untuk membela agama Allah. Kebebasan yang mereka peroleh secara langsung ini kemudian menjadi pemicu semangat  untuk berdakwah dan melatih diri.

Disini, di Yastrib, Rasulullah mulai merintis pembangunan sebuah tatanan masyarakat Islam. Pembangunan ini dimulai dengan mendirikan Masjid Nabawi ketika ia baru saja menginjakkan kaki di tanah Yastrib. Dengan kedatangan Rasulullah, nama Yastrib kemudian diganti menjadi Madinah (kota nabi).

Model masyarakat di Madinah ini ada yang menyebutnya seperti negara. Hal ini diuraikan oleh mantan Menteri Agama kita, Munawir Syadzali. ia mengatakan kaum muslimin memulai hidup bernegara setelah Rasulullah hijrah ke Madinah. Tetapi keberadaan model negara modern yang lebih kompleks di zaman sekarang, menimbulkan banyak pendapat yang beredar bahwa komunitas itu adalah seperti masyarakat sipil biasa. Tetapi dengan adanya Rasulullah sebagai pemimpin, wilayah yang jelas, adanya masyarakat dan  keberadaan Piagam Madinah yang disebut-sebut sebagai konstitusi layaknya negara modern, maka sulit sekali untuk mengatakan Madinah bukanlah sebuah negara. Lagipula dengan adanya dukungan dari Raja Najasyi di Abisinia terhadap keberadaan umat Islam dan komunitasnya, terasa sudah tidak ada lagi layak perdebatan seperti ini. Kendati perlu di garis bawahi, bahwa pendapat ini adalah hasil ijtihad semata.

Madinah kita tahu bukanlah kota yang dihuni kaum muslimin seratus persen. Ada sedikitnya penduduk Madinah tidak beragama Islam. Sewaktu Islam baru tiba di Madinah ketika dibawa Mush’ab bin Umair, di Madinah berdiam tiga suku Yahudi. Kedatangan Islam, tentu saja mendapat pertentangan dari mereka. Tetapi keputusan untuk membangun sebuah masyarakat bersama tidak mereka tolak. Akhirnya, tiga tahun kemudian Rasululullah menawarkan sebuah hukum yang dirasa akan mempermudah membangun tatanan masyarakat Madinah yang lebih baik dan adil. Aturan yang kemudian dikenal Piagam Madinah ini adalah konstitusi yang berisi empat puluh tujuh pasal yang mengatur konstelasi antropologis dan sosiologis masyarakat Madinah. Seperti interaksi antar muslim dengan non muslim, serta kewajiban dan hak mereka terhadap negara dan lain-lain. Usulan ini diterima oleh  masyarakat Madinah. Kaum Ansar sebagai penduduk asli Madinah benar-benar bersyukur dengan adanya sistem yang mengatur seperti itu. Mereka merasa kehidupan mereka yang dulu tenggelam dalam peperangan antar suku bisa diakhiri. Islam bagi mereka seperti alat perdamaian yang ampuh. Menyelesaikan masalah tanpa menciptakan masalah baru.

Keberadaan Rasulullah di Madinah tidak akan di diami begitu saja oleh orang Quraisy. Semakin lama kegusaran dalam jiwa mereka semakin besar. Interaksi mereka dengan Madinah tidak lagi berjalan seperti sebelum kehadiran Islam disana. Mereka pun memutuskan untuk menginvasi kota itu. 

Tetapi peperangan yang datang gelombang demi gelombang tidak sedikitpun membuat mereka bisa menyentuh Madinah. Melihatnya saja membutuhkan perjuangan yang sulit bagi mereka. sejak perang Badar dan Uhud beratus-ratus orang Quraisy meregang nyawa. Barangkali hanya pada Perang Khandaq dimana kaum Quraisy dapat melihat Madinah dari dekat. Tetapi mereka tidak berhasil memasukinya. Parit besar yang mengelilingi separuh kota Madinah, membuat mereka kewalahan dan kembali lagi harus kalah. 

Corak perang kemudian berubah ketika perisitiwa genjatan senjata  yang dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah terjadi. Babak baru model peperangan dimulai. Pada tahap ini kaum muslimin tidak pernah lagi diserang, malah balik menyerang.

Kendati Perjanjian Hudaibiyah yang tidak adil ini diterima Rasulullah, perang tetap saja terjadi. Masa sepuluh tahun sebagai masa damai dilanggar kaum Quraisy dengan terjadinya Perang Ghabah. Perang ini dipicu oleh unta-unta Rasulullah yang dirampok oleh kaum Quraisy dari Bani Fazarah sedangkan penggembalanya dibunuh. Perang ini terjadi tiga hari sebelum kaum muslimin mengepung benteng orang-orang Yahudi di Khaibar.

Penaklukkan Mekkah dan Kemenangan
Pada bulan Ramadhan tahun 8 hijriyah, Rasulullah bergerak bersama sepuluh ribu sahabat menuju Mekkah. Impian untuk berjumpa dengan tanah kelahiran segera akan terwujud. Di tengah perjalanan di Abwa datanglah Abu Sufyan bersama dengan Abbas bin Abdul Muthallib, paman Rasulullah yang telah memeluk Islam. Abu Sufyan datang untuk meminta maaf dan mengakhirinya dengan menyatakan diri masuk Islam. 

Rasulullah gembira dengan perubahan pemuka Quraisy itu. Ia kemudian menyuruh Abu Sufyan kembali ke Mekkah dan mengabari penduduk disana, bahwa mereka akan aman apabila tetap berada di rumah masing-masing, atau berlindung di dalam Ka’bah, dan di rumah Abu Sufyan.

Esok harinya sepuluh ribu tentara muslimin sudah tiba di dekat Mekkah. Kota itu dikepung dari segala penjuru. Mengetahui itu, semua penduduk lari bersembunyi. Mereka takut melihat jumlah tentara sebesar itu. Kota suci itu jatuh ke tangan kaum muslimin dengan mudah. Tidak ada perlawanan dari orang-orang Quraisy. Kendati begitu, konon terjadi pertumpahan darah pada barisan pasukan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Khalid yang baru saja masuk Islam membunuh orang-orang Quraisy yang ditemuinya di jalan. Ia tidak terlalu paham dengan tradisi perang yang di ajarkan oleh Rasulullah. Ketidaktahuannya itu dimaklumi oleh Rasulullah kendati konsekuensi atas peristiwa itu tetap berlaku. 

Segera setelah Rasulullah memasuki Mekkah, ia bergegas bergerak menuju Ka’bah. Puluhan patung dewa-dewi Quraisy yang menghiasi bagian dalam dan serambinya dihancurkan dan dibersihkan olehnya.

Penutup
Perjuangan yang Rasulullah lakukan merupakan contoh besar bahwa kebenaran tidak akan dapat dibendung dengan cara apapun. Kendati kejahatan sudah menggerogoti akal sehat manusia, keniscayaan akan lahirnya kebenaran tidak bisa dan muskil untuk dicegah. 

Kejahatan di masa Rasulullah hidup kalau kita pikirkan sejenak tidak ada bedanya dengan di masa sekarang kita hidup. Penindasan masih saja terjadi, kendati  perempuan bukan lagi obyek tunggalnya. Lebih banyak kita menjumpai orang-orang yang lemah dalam hal materi menjadi korban. Padahal, kita hari ini tidak hidup dalam masyarakat tribal (suku) tanpa payung hukum dan sistem yang kuat seperti zaman itu. Negara ini mempunyai konstitusi yang menjamin kesejahteraan rakyatnya, tetapi mengapa penindasan masih saja terjadi?
Kendati agama Islam sudah diakui dan dipeluk oleh lebih dari 80 persen rakyat Indonesia, praktik kesyirikan dan khurafat masih saja terjadi. Hal ini tentu saja mirip dengan kondisi masyarakat Arab saat itu. Mereka tahu bahwa Allah itu ada, mereka tidak jarang bersumpah menggunakan namanya, tetapi mereka juga mendirikan patung-patung yang oleh Karen Armstrong disebut sebagai media perantara mereka dengan Allah. Patung dewa-dewi itu kemudian mengganti Allah sebagai tuhan. Hal ini tidak ada bedanya dengan kaum muslimin hari ini yang di satu sisi menunaikan sholat, mendirikan rukun-rukun Islam, tetapi di sisi lain masih memohon harap kepada benda-benda mati.  Pada tahap ini, aktivitas semacam itu akan berkembang menjadi pemujaan seperti yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy. Apalagi sudah menjadi rahasia umum, para dukun pada bulan-bulan menjelang Pemilu ini, mengaku kedatangan banyak tamu yang kebanyakan adalah peserta kompetisi politik itu. 

Jadi, kepercayaan orang Quraisy pada waktu itu adalah akumulasi dari inovasi mereka dalam menuhankan Allah yang menyeleweng dari ajaran Nabi Ibrahim dan Ismail.  Ajaran kebudayaan yang mereka anut sama dengan kepercayaan yang kini banyak kaum muslimin di Indonesia  anut. Pada waktunya kepercayaan ini, jika tidak dibendung, akan berkembang menjadi agama baru. 

Hal ini sudah terjadi dalam perdebatan di  tvOne beberapa waktu yang lalu. Seputar perdebatan mengenai pro kontra pencantuman kolom agama dalam KTP.  Para penganut kepercayaan budaya –seperti Kejawen, Sunda Wiwitan dan Kaharingan- merasa risih dan terdiskriminasi akan ketidakmauan pemerintah untuk mencantumkan nama aliran kepercayaan mereka dalam kolom agama tersebut. Karena aliran kepercayaan itu tidak termasuk dalam lima agama yang diakui di negeri ini.

Nah, peristiwa di zaman Rasulullah rupanya secara tidak sadar kembali terjadi di zaman yang maju seperti ini. Kondisi ini barangkali lebih parah, karena bukan hanya orang kafir saja yang setuju, kaum muslimin juga banyak yang bernada sama. Amat disayangkan, kebanyakan orang muslim itu adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi. Apalagi sebagian kaum muslimin yang lain banyak hanya mengamatinya tanpa berbuat apa-apa. Disinilah seyogianya kita sebagai kaum muslimin bersikap. Momentum kelahiran Rasulullah hari ini akan lebih baik jika kita tidak hanya semata-mata mampu merefleksikan dan ambil hikmahnya. Tetapi sudah saatnya, kita sebagai umatnya, mentransformasikan semangat itu ke dalam tindakan nyata melalui agenda-agenda perubahan sosial. Wallahu alam bis shawab.

Daftar Rujukan

Al-Quran

Syaikh Syafiyyurahman Al-Mubarakfuri. 2010. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Syaikh Munir Muhammad al-Ghadban. 2005. Manhaj Haraki: Strategi  Pergerakan dan Perjuangan Politik dalam Sirah Nabi Saw, Jilid 1. Jakarta: Robbani Press.

Fazlur Rahman. 2010. Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.

Karen Armstrong. 2004. Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen dan Islam. Bandung: Penerbit Mizan.

H. Munawir Sjadzali, M.A. 2011. Islam dan Tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran. Jakarta: UI-Press

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*