Kerusuhan di Pagi itu
Pagi ini seperti
biasanya, Mama membuat sarapan untuk kami. Menu kali ini bubur panas dan telur
dadar. Sembari Mama sibuk memasak, aku membantunya membuat teh. Berkali-kali
air teh kucicipi. Semoga tidak terlalu manis. Karena Mama selalu mengingatkan, jangan
terbiasa dengan minuman manis. Kata Mama, nanti kena penyakit gula.
Setelah selesai urusan
dengan teh, kuteruskan
membuat kopi. Karena pagi
tadi, sebelum ke pasar, Papa sempat
mengingatkanku untuk membuatkannya kopi. Pun kalau tidak diingatkan, sebagai anak aku
tahu apa kebiasaan Papa setiap
pagi. Karena seorang anak adalah orang yang mampu
membaca dan memahami kemauan orang tuanya.
***
Bubur telah matang, Mama
sudah menghidangkannya di atas meja.
Sepiring telur yang sudah dipotong empat sudah tersaji. Cerek berisi teh sudah
aku taruh di atas meja.
“Ok. Joni, kita sarapannya
sebentar dulu ya? Tunggu
Papa pulang.
“Baik Ma.” Jawabku
lirih.
“O ya, tolong adikmu di
panggil kesini. Kayaknya dia masih tidur.”
“Bukannya tadi Dani
sudah bangun Ma? Kenapa harus
di
bagunin lagi?”
“Mama barusan lihat dia tidur lagi. Kayaknya masih
kecapekan dengan Karnaval kemarin. Tolong
ya Jon?”
“Baik Ma.”
Aku bergegas ke kamar
Dani di ruang tengah. Pintu kamarnya aku buka dan benar saja, ia masih terlelap
tidur. Dani sedang asyik memeluk bantal guling sembari tangan kanannya
menggenggam erat robot mainan. Aku mendekatinya dan duduk di ranjang.
“Ayo Dani, bangun.”
“ Ini sudah jam setengah tujuh. Nanti
kamu terlambat ke sekolah loh?” Bahunya kudorong pelan-pelan.
Mulutnya
mengunyah-ngunyah ketika kusentuh. Kedua kelopak matanya mulai membuka sembari jari jemarinya mengusap-usap.
“Ayo Dan, Mama minta
kamu bangun sekarang. Itu sarapannya sudah siap.”
Dani beranjak bangun. Beberapa saat ia duduk
terdiam. Tanpa menghiraukan keberadaanku, ia langsung melangkah ke dapur. Robot
itu masih ia bawa. Ia lalu duduk di lantai samping meja makan, menghadap Mama
yang sedang sibuk mencuci kuali. Ia kembali duduk terdiam, lalu memainkan robotnya kesana kemari.
Aku hanya duduk
memperhatikan tingkah lakunya. Tiba-tiba suara motor Papa terdengar di
kejauhan. Rupanya Papa sudah tiba. Aku langsung bergegas menyambut di beranda. Barangkali
ada yang bisa kubantu.
Papa turun dari motor
tanpa membawa ikan atau sayur. Barangkali ia lupa membawa uang. Tetapinya gelagatnya tidak menyiratkan seperti orang
kelupaan. Raut wajahnya lebih tegang, berbeda ketika sebelum pergi tadi. Aneh,
apa sedang yang terjadi?
Papa turun agak terburu turun dari motor. Ia menghampiriku
dan menepuk pundakku.
“Ayo Jon, ikut Papa ke
dalam.”
“Kenapa Pa?
Papa kok tidak bawa ikan dan
sayur?”
tanyaku penasaran. Ia merespon dingin dan
terus melangkah bergegas ke dapur.
“Ayo Mama dan Dani sembunyi disitu!!” Papa
berteriak ketika baru saja masuk dapur. Mama dan Dani kaget, begitu juga aku.
“Ayo semuanya sembunyi
di bawah meja.” Papa menunjuk ke kolong meja makan.
Rona wajahnya semakin tegang penuh kekhawatiran. Tergambar
ketakutan yang sebelumnya belum pernah aku lihat padanya. Ada gerangan apa yang
membuatnya begitu aneh dan menakutkan?
“Kamu juga Jon!”
Aku terdiam dan
menatapnya beberapa saat. Aku mengernyit menatapnya lebih dalam. Tetapi aku
gagal membaca apa yang di pikirkannya. Segera aku berjongkok mengikuti Mama ke kolong meja.
“Memang apa yang
terjadi Pa? Kenapa kita harus sembunyi? Tanya Mama khawatir.
“Ada peluru nyasar Ma. Tadi polisi
tembak-menembak dengan orang-orang di kampung sebelah. Kabarnya OPM sudah mengibarkan bendera bintang kejora
disana.”
“Astaghfirullahal’adzim.
Kok bisa Pa? Bukannya mereka tidak ada di Biak?”
“Saya tidak mengerti juga Ma. Di jalan depan saya hanya dengar suara berondongan
senjata. Makanya cepat-cepat pulang. Khawatir terjadi apa-apa.”
“Kejadiannya kapan terjadi Pa?”
“Tadi waktu Papa lewat di
jalan depan Kampung Baru. Papa heran disana jalanan sepi sekali. Rupanya ada
rumah orang Bugis di muka jalan terbakar. Dibakar orang-orang yang berkerumun dekat bendera bintang kejora.”
***
Suasana rumah sunyi
senyap. Kami semua tetap diam di kolong meja. Sedang Papa duduk bersandar dekat
jendela. Matanya serius mengawasi pekarangan belakang rumah. Sebilah parang
bertumpu pada dinding persis di depannya. Sebatang rokok menyala redup di ujung
bibirnya.
Tidak lama Papa berdiri
pelan-pelan sembari matanya awas memandangi sekitar. Ia melangkah menuju kulkas
yang berada satu meter di belakangnya. Di atasnya tergeletak radio yang lalu ia
nyalakan.
Penyiar radio disana berbicara
serius tentang kondisi Biak hari ini. Ia mengabarkan
bendera bintang kejora terlihat berkibar di Kampung Baru. Disana ada orang-orang
Papua berkumpul ramai di sepanjang jalan. Mereka meneriakkan yel-yel dan
menyanyi lagu-lagu berbahasa
Papua.
Penyiar radio
mewartakan, “Hari ini pecah kerusuhan di Kota Biak. Sebuah rumah di Kampung
Baru baru saja dibakar. Saksi mata mengatakan beberapa orang yang ikut
mengibarkan bendera bintang kejora membakar rumah itu. Tidak ada yang tahu,
siapa mereka, dari kelompok mana mereka. Dugaan sementara mereka adalah simpatisan
atau tentara Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sekarang, kami masih menunggu
laporan dari pihak kepolisian yang masih berjaga-jaga tiga puluh meter di luar
lokasi kerusuhan.”
Penyiar radio itu semakin
mengeraskan suaranya. Sudah beberapa kali ia mengulang-ulang berita itu. Tampaknya kegentingan yang terjadi di Kampung Baru membuatnya tidak rela
melewatkannya sedikitpun. Seluruh wartawan di kerahkan ke lokasi kejadian.
“Wah, gawat! Kenapa orang-orang
itu di diamkan? Itu kan
separatis namanya. Kok polisi diam saja?” Papa menggerutu menyimak pemberitaan
itu. Raut kekecewaan tergambar pada wajahnya yang licin dibasahi keringat.
Nyala rokok yang makin redup ia terangkan kembali dengan satu tarikan panjang. Lalu
asap tebal mengepul dari mulut dan hidungnya. Sinar mentari yang lurus masuk
jendela dapur berbentur dengan kepulan asap rokok sehingga
membentuk bias garis vertikal sampai langit-langit rumah.
Papa menarik kursi duduknya
tadi ke tempatnya sekarang berdiri. Pintu kulkas dibuka , sebotol air putih ia
letakkan di atas meja. Segera bunyi gemericik air menyusul dentuman gelas. Papa
meneguk banyak air. Lalu ia kembali duduk.
***
Akhirnya peristiwa ini
benar-benar terjadi. Kata
sahabatku, Kaleb, rupanya bukan omong kosong belaka. Beberapa
minggu yang lalu ia bilang padaku, bahwa tidak lama lagi OPM akan masuk ke
Biak. Tapi waktu itu ia tidak menjelaskan tujuan kedatangan OPM.
Isu tentang kerusuhan
ini tidak dipungkiri memang sudah lama beredar. Beberapa
orang-orang di pulau ini sudah
tahu bahwa OPM akan tiba disini. Meskipun milisi-milisi itu terlihat lebih banyak
beraktivitas di pedalaman Papua. Tetapi tidak menutup kemungkinan mereka akan kesini. Karena banyak
di antara anggota mereka
berasal
dari sini. Begitu juga dengan beberapa eksponennya.
Pulau Biak mereka lihat sebagai daerah yang strategis untuk diduduki
terlebih dahulu. Letaknya yang strategis di tengah jalur tranportasi antara
ibukota Jayapura dengan luar Papua cukup memiliki daya tawar yang kuat untuk
bernegosiasi dengan pemerintah, kalau saja pulau ini mereka kuasai. Itupun
kalau mereka benar-benar melakukan pemberontakan.
Tetapi aparat TNI dan polisi disini lebih dari cukup untuk menghentikan aksi mereka. Didukung dengan
jumlah personil yang lebih banyak, serta kekuatan alutsista yang mumpuni. Dalam
sehari pemberontakan OPM
dapat
dipadamkan.
***
“Kalian jangan keluar
rumah ya?” Kata Papa memecah keheningan yang sudah dua jam menyenyakkan kami. Ia berdiri dari kursi.
Tangan kanannya meraih parang yang sejak tadi berdiri tak berguna. Sebungkus rokok
dan korek gas ia raih dan selipkan di saku hamnya. Ia berjalan menuju
beranda rumah.
Mama dan aku hanya
merespon dengan anggukan seadanya. Mata kami mengawasi Papa sampai menghilang di balik pintu.
Aku melihat Mama sangat khawatir. Ia takut kalau terjadi apa-apa pada Papa. Aku
kasihan pada Mama, mengapa kita harus ikut mengalami ini semua. Apa salah kita sehingga
harus merasakan ketakutan seperti ini. Apakah karena kita adalah penduduk pendatang? Padahal bukannya kita bersama hidup
dalam satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air?
Tiba-tiba pintu depan
di ketuk orang. Suaranya agak samar di telingaku. Tetapi aku yakin itu suara
ketukan pintu. Anehnya, hanya ada suara ketukan, bukan suara orang yang biasanya memanggil atau memberi salam.
Samar-samar aku dengar
bunyi derik pintu terbuka. Papa mempersilahkan orang yang mengetuk masuk. Terdengar
mereka berbicara serius. Sepertinya suara mereka sengaja agak di kecilkan. Mungkin supaya kami tidak
mendengar. Aku paham, orang dewasa memang suka seperti itu. Aku penasaran, apa yang sedang mereka bicarakan?
Tidak lama muncul gelak
tawa dari ruang tamu. Papa dan orang itu tertawa. Tawa orang itu terdengar lebih
keras ketimbang Papa. Kemudian terdengar suara langkah kaki menuju dapur. Papa
muncul dari ruang tengah. Ia tersenyum lebar.
“Ayo semuanya keluar.
Sudah selesai.”
“Memang sudah aman Pa?
Tanyaku penasaran.
“Iya sudah aman. Ayo keluar.”
“Alhamdulillah, akhirnya
sudah berakhir.” Kata Mama dengan nafas lega.
“Kita bisa keluar Ma?”
Tanya Dani penasaran. Kedua matanya serius memperhatikan raut wajah Mama yang
semringah.
“Iya Nak. Ayo kita
keluar.”
“O ya Ma, tolong
buatkan kopi buah Om Marthen ya?” pinta
Papa.
“O, yang di depan itu
Om Marthen toh?”
“Iya. Tadi kebetulan
beliau lagi keliling kampung karena mendengar kejadian di Kampung Baru. Ya, sekedar
jaga-jaga kalau-kalau OPM masuk kesini.”
“Syukurlah. Untung Om
Marthen disini.”
Mama mengelus dada.
“Terus bagaimana dengan
keadaan di Kampung Baru Pa?”
“Kata Om Marthen disana sudah mulai aman. Tapi
masih ada beberapa anggota OPM yang bersiaga disana. Sepertinya tuntutan mereka
belum semuanya dipenuhi.”
Papa kembali ke ruang
tamu. Aku dan Dani mengikutinya dari belakang. Aku berjalan lamban agak
malu-malu. Sebenarnya aku tidak begitu kenal dengan Om Marthen meskipun beberapa kali ia sering
berkunjung ke rumah. Aku lihat ia dan Papa berbicara santai. Seolah-olah tadi
tidak terjadi apa-apa. Keduanya
duduk saling berhadapan. Om Marthen terlihat santai menghisap kreteknya. Ia dan
Papa samar-samar aku dengar membicarakan tanahnya di kampung.
Tiba-tiba di dalam hati
muncul selusin pertanyaan. Tentang Om Marthen yang hari ini terlihat berani. Mengapa
ia berani keliling kampung di saat yang
genting seperti ini? Aku heran, mengapa
ia
tidak diam saja di rumah seperti orang-orang kebanyakan? Tidakkah ia
takut akan dijahati atau diculik OPM? Yang banyak orang tahu, juga menculik
orang Papua. Ah, tapi kupikir dia tahu cara menghadapinya.
Jadan, 28 Januari 2014
Komentar
Posting Komentar