Kerusuhan di Pagi itu


Pagi itu langit biru cerah. Sinar matahari penuh menyinari pesisir Barat kota Biak yang beberapa saat lalu masih di telan kegelapan. Sinar matahari masuk ke sela-sela jendela dapur. Lalu menerobos masuk ke dalamnya, menimbulkan sinar keputihan dari taplak plastik meja makan. Segelas air putih juga memancarkan sinar silau tersebut. 

Pagi ini seperti biasanya, Mama membuat sarapan untuk kami. Menu kali ini bubur panas dan telur dadar. Sembari Mama sibuk memasak, aku membantunya membuat teh. Berkali-kali air teh kucicipi. Semoga tidak terlalu manis. Karena Mama selalu mengingatkan, jangan terbiasa dengan minuman manis. Kata Mama, nanti kena penyakit gula. 


Setelah selesai urusan dengan teh, kuteruskan membuat kopi. Karena pagi tadi, sebelum ke pasar, Papa sempat mengingatkanku untuk membuatkannya kopi.  Pun kalau tidak diingatkan, sebagai anak aku tahu apa kebiasaan Papa setiap pagi. Karena seorang anak adalah orang yang mampu membaca dan memahami kemauan orang tuanya. 

***

Bubur telah matang, Mama sudah menghidangkannya di atas meja. Sepiring telur yang sudah dipotong empat sudah tersaji. Cerek berisi teh sudah aku taruh di atas meja. 

“Ok. Joni, kita sarapannya sebentar dulu ya? Tunggu Papa pulang. 

“Baik Ma.” Jawabku lirih. 

“O ya, tolong adikmu di panggil kesini. Kayaknya dia masih tidur.”

“Bukannya tadi Dani sudah bangun Ma? Kenapa harus di bagunin lagi?” 

“Mama barusan lihat dia tidur lagi. Kayaknya masih kecapekan dengan Karnaval kemarin. Tolong ya Jon?” 

“Baik Ma.” 

Aku bergegas ke kamar Dani di ruang tengah. Pintu kamarnya aku buka dan benar saja, ia masih terlelap tidur. Dani sedang asyik memeluk bantal guling sembari tangan kanannya menggenggam erat robot mainan. Aku mendekatinya dan duduk di ranjang.

“Ayo Dani, bangun.

Ini sudah jam setengah tujuh. Nanti kamu terlambat ke sekolah loh?” Bahunya kudorong pelan-pelan.

Mulutnya mengunyah-ngunyah ketika kusentuh. Kedua kelopak matanya mulai membuka sembari  jari jemarinya mengusap-usap. 

“Ayo Dan, Mama minta kamu bangun sekarang. Itu sarapannya sudah siap.”
Dani beranjak bangun. Beberapa saat ia duduk terdiam. Tanpa menghiraukan keberadaanku, ia langsung melangkah ke dapur. Robot itu masih ia bawa. Ia lalu duduk di lantai samping meja makan, menghadap Mama yang sedang sibuk mencuci kuali. Ia kembali duduk terdiam, lalu memainkan robotnya kesana kemari

Aku hanya duduk memperhatikan tingkah lakunya. Tiba-tiba suara motor Papa terdengar di kejauhan. Rupanya Papa sudah tiba. Aku langsung bergegas menyambut di beranda. Barangkali ada yang bisa kubantu.

Papa turun dari motor tanpa membawa ikan atau sayur. Barangkali ia lupa membawa uang. Tetapinya gelagatnya tidak menyiratkan seperti orang kelupaan. Raut wajahnya lebih tegang, berbeda ketika sebelum pergi tadi.  Aneh, apa sedang yang terjadi? 

Papa turun agak terburu turun dari motor. Ia menghampiriku dan menepuk pundakku.
“Ayo Jon, ikut Papa ke dalam.”

“Kenapa Pa? Papa kok tidak bawa ikan dan sayur?” tanyaku penasaran. Ia merespon dingin dan terus melangkah bergegas ke dapur. 

 “Ayo Mama dan Dani sembunyi disitu!!” Papa berteriak ketika baru saja masuk dapur. Mama dan Dani kaget, begitu juga aku. 

“Ayo semuanya sembunyi di bawah meja.” Papa menunjuk ke kolong meja makan.

Rona  wajahnya semakin tegang penuh kekhawatiran. Tergambar ketakutan yang sebelumnya belum pernah aku lihat padanya. Ada gerangan apa yang membuatnya begitu aneh dan menakutkan?

“Kamu juga Jon!” 

Aku terdiam dan menatapnya beberapa saat. Aku mengernyit menatapnya lebih dalam. Tetapi aku gagal membaca apa yang di pikirkannya. Segera aku berjongkok mengikuti Mama ke kolong meja.

“Memang apa yang terjadi Pa? Kenapa kita harus sembunyi? Tanya Mama khawatir.
“Ada peluru nyasar Ma. Tadi polisi tembak-menembak dengan orang-orang di kampung sebelah. Kabarnya OPM  sudah mengibarkan bendera bintang kejora disana.”

Astaghfirullahaladzim. Kok bisa Pa? Bukannya mereka tidak ada di Biak?”

“Saya tidak mengerti juga Ma. Di  jalan depan saya hanya dengar suara berondongan senjata. Makanya cepat-cepat pulang. Khawatir terjadi apa-apa.”

 “Kejadiannya kapan terjadi Pa?” 

“Tadi waktu Papa  lewat di jalan depan Kampung Baru. Papa heran disana jalanan sepi sekali. Rupanya ada rumah orang Bugis di muka jalan terbakar. Dibakar  orang-orang yang berkerumun dekat bendera bintang kejora.”

***

Suasana rumah sunyi senyap. Kami semua tetap diam di kolong meja. Sedang Papa duduk bersandar dekat jendela. Matanya serius mengawasi pekarangan belakang rumah. Sebilah parang bertumpu pada dinding persis di depannya. Sebatang rokok menyala redup di ujung bibirnya.

Tidak lama Papa berdiri pelan-pelan sembari matanya awas memandangi sekitar. Ia melangkah menuju kulkas yang berada satu meter di belakangnya. Di atasnya tergeletak radio yang lalu ia nyalakan. 

Penyiar radio disana berbicara serius tentang kondisi Biak hari ini. Ia mengabarkan bendera bintang kejora terlihat berkibar di Kampung Baru. Disana ada orang-orang Papua berkumpul ramai di sepanjang jalan. Mereka meneriakkan yel-yel dan menyanyi lagu-lagu berbahasa Papua.

Penyiar radio mewartakan, “Hari ini pecah kerusuhan di Kota Biak. Sebuah rumah di Kampung Baru baru saja dibakar. Saksi mata mengatakan beberapa orang yang ikut mengibarkan bendera bintang kejora membakar rumah itu. Tidak ada yang tahu, siapa mereka, dari kelompok mana mereka. Dugaan sementara mereka adalah simpatisan atau tentara Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sekarang, kami masih menunggu laporan dari pihak kepolisian yang masih berjaga-jaga tiga puluh meter di luar lokasi kerusuhan.” 

Penyiar radio itu semakin mengeraskan suaranya. Sudah beberapa kali ia mengulang-ulang berita itu. Tampaknya kegentingan yang terjadi di Kampung Baru membuatnya tidak rela melewatkannya sedikitpun. Seluruh wartawan di kerahkan ke lokasi kejadian.

“Wah, gawat! Kenapa orang-orang itu di diamkan? Itu kan separatis namanya. Kok polisi diam saja?” Papa menggerutu menyimak pemberitaan itu. Raut kekecewaan tergambar pada wajahnya yang licin dibasahi keringat. Nyala rokok yang makin redup ia terangkan kembali dengan satu tarikan panjang. Lalu asap tebal mengepul dari mulut dan hidungnya. Sinar mentari yang lurus masuk jendela dapur berbentur dengan kepulan asap rokok sehingga membentuk bias garis vertikal sampai langit-langit rumah.

Papa menarik kursi duduknya tadi ke tempatnya sekarang berdiri. Pintu kulkas dibuka , sebotol air putih ia letakkan di atas meja. Segera bunyi gemericik air menyusul dentuman gelas. Papa meneguk banyak air. Lalu ia kembali duduk. 

***

Akhirnya peristiwa ini benar-benar terjadi. Kata sahabatku, Kaleb, rupanya bukan omong kosong belaka. Beberapa minggu yang lalu ia bilang padaku, bahwa tidak lama lagi OPM akan masuk ke Biak. Tapi waktu itu ia tidak menjelaskan tujuan kedatangan OPM. 

Isu tentang kerusuhan ini tidak dipungkiri memang sudah lama beredar.  Beberapa orang-orang di pulau ini sudah tahu bahwa OPM akan tiba disini. Meskipun milisi-milisi itu terlihat lebih banyak beraktivitas di pedalaman Papua. Tetapi tidak menutup kemungkinan mereka akan kesini. Karena banyak di antara anggota mereka berasal dari sini. Begitu juga dengan beberapa eksponennya. 

Pulau Biak mereka lihat sebagai daerah yang strategis untuk diduduki terlebih dahulu. Letaknya yang strategis di tengah jalur tranportasi antara ibukota Jayapura dengan luar Papua cukup memiliki daya tawar yang kuat untuk bernegosiasi dengan pemerintah, kalau saja pulau ini mereka kuasai. Itupun kalau mereka benar-benar melakukan pemberontakan.

Tetapi aparat TNI dan polisi disini lebih dari cukup untuk menghentikan aksi mereka. Didukung dengan jumlah personil yang lebih banyak, serta kekuatan alutsista yang mumpuni. Dalam sehari pemberontakan OPM dapat dipadamkan. 

***

“Kalian jangan keluar rumah ya?” Kata Papa memecah keheningan yang sudah dua  jam menyenyakkan kami. Ia berdiri dari kursi. Tangan kanannya meraih parang yang sejak tadi berdiri tak berguna. Sebungkus rokok dan korek gas ia raih dan selipkan di saku hamnya. Ia berjalan menuju beranda rumah. 

Mama dan aku hanya merespon dengan anggukan seadanya. Mata kami mengawasi Papa sampai menghilang di balik pintu. Aku melihat Mama sangat khawatir. Ia takut kalau terjadi apa-apa pada Papa. Aku kasihan pada Mama, mengapa kita harus ikut mengalami ini semua. Apa salah kita sehingga harus merasakan ketakutan seperti ini. Apakah karena kita adalah penduduk  pendatang? Padahal bukannya kita bersama hidup dalam satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air?

Tiba-tiba pintu depan di ketuk orang. Suaranya agak samar di telingaku. Tetapi aku yakin itu suara ketukan pintu. Anehnya, hanya ada suara ketukan, bukan suara orang yang biasanya memanggil atau memberi salam

Samar-samar aku dengar bunyi derik pintu terbuka. Papa mempersilahkan orang yang mengetuk masuk. Terdengar mereka berbicara serius. Sepertinya suara mereka sengaja agak di kecilkan. Mungkin supaya kami tidak mendengar. Aku paham, orang dewasa memang suka seperti itu. Aku penasaran, apa yang sedang mereka bicarakan?

Tidak lama muncul gelak tawa dari ruang tamu. Papa dan orang itu tertawa. Tawa orang itu terdengar lebih keras ketimbang Papa. Kemudian terdengar suara langkah kaki menuju dapur. Papa muncul dari ruang tengah. Ia tersenyum lebar. 

“Ayo semuanya keluar. Sudah selesai.”

“Memang sudah aman Pa? Tanyaku penasaran.

“Iya sudah aman. Ayo keluar.”

“Alhamdulillah, akhirnya sudah berakhir.” Kata Mama dengan nafas lega.

“Kita bisa keluar Ma?” Tanya Dani penasaran. Kedua matanya serius memperhatikan raut wajah Mama yang semringah.

“Iya Nak. Ayo kita keluar.”

“O ya Ma, tolong buatkan kopi buah Om Marthen ya?” pinta Papa.

“O, yang di depan itu Om Marthen toh?”

“Iya. Tadi kebetulan beliau lagi keliling kampung karena mendengar kejadian di Kampung Baru. Ya, sekedar jaga-jaga kalau-kalau OPM masuk kesini.”

“Syukurlah. Untung Om Marthen disini.” Mama mengelus dada.

“Terus bagaimana dengan keadaan di Kampung Baru Pa?”

 Kata Om Marthen disana sudah mulai aman. Tapi masih ada beberapa anggota OPM yang bersiaga disana. Sepertinya tuntutan mereka belum semuanya dipenuhi.”

Papa kembali ke ruang tamu. Aku dan Dani mengikutinya dari belakang. Aku berjalan lamban agak malu-malu. Sebenarnya aku tidak begitu kenal dengan Om Marthen meskipun beberapa kali ia sering berkunjung ke rumah. Aku lihat ia dan Papa berbicara santai. Seolah-olah tadi tidak terjadi apa-apa. Keduanya duduk saling berhadapan. Om Marthen terlihat santai menghisap kreteknya. Ia dan Papa samar-samar aku dengar membicarakan tanahnya di kampung.

Tiba-tiba di dalam hati muncul selusin pertanyaan. Tentang Om Marthen yang hari ini terlihat berani. Mengapa ia berani  keliling kampung di saat yang genting seperti ini? Aku heran, mengapa ia tidak diam saja di rumah seperti orang-orang kebanyakan? Tidakkah ia takut akan dijahati atau diculik OPM? Yang banyak orang tahu, juga menculik orang Papua.  Ah, tapi kupikir dia tahu cara menghadapinya.

Jadan, 28 Januari 2014







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*