Bias Kebijaksanaan: Antara Sophia atau Phronesis?
Dalam dunia filsafat, seseorang dapat dikatakan
filsuf, jika ia mampu menggunakan kemampuan rasionya untuk melakukan
refleksi-refleksi kritis, rasional dan radikal. Sehingga, ia mampu menganalisa
dengan lurus dan benar tentang persoalan-persoalan dalam hidup. Dengan demikian
hal itu membuatnya menjadi manusia yang bijaksana.
Bijaksana disini adalah cara memperlakukan dirinya
sendiri sesuai dengan kepatutan dan kepantasan. Dimana hal tersebut dilihat
oleh dirinya dan orang lain, sebagai
suatu hal yang pantas dan baik. Oleh karenanya hal tersebut disebut bijaksana.
Tetapi, dalam filsafat, ternyata dari sini justru
muncul perdebatan. Terutama Aristoteles yang mengkritik tentang apa sebenarnya
yang disebut dengan kebijaksanaan itu? Seperti misalnya pendapat gurunya,
Plato, yang mengedepankan idea Yang Baik adalah kebahagiaan tertinggi[1].
Yang berarti hal tersebut adalah tujuan dari kebijaksanaan. Sehingga, Plato mempostulatkan
idea Yang Baik itu di dalam negara. Dengan mengatakan bahwa negara yang baik adalah negara yang dipimpin oleh
para filsuf.
Kebijaksanaan menurut Aristoteles berbeda dengan
Plato. Ia berpendapat kebijaksanaan yang tepat adalah kebijaksanaan yang
berhasrat untuk mencapai kebahagiaan (eudaimonia).
Kenapa harus bertolak dari kebahagiaan? Sebab, bagi Aristoteles, dengan kebahagiaan,
maka tidak ada lagi hasrat yang manusia buru. Sebab, dengan kebahagiaanlah,
hidup manusia menjadi lebih otentik, berguna dan mencapai titik kulminasi yang
sempurna.
Kategori semacam inilah yang dipakai untuk mengukur
sejauh mana kehidupan manusia bermakna atau tidak. Nah, lantas bagaimana dengan
kebijaksanaan? Bukankah kebahagiaan mengandaikan segala sesuatu dirinya?
Tetapi, sebentar dulu, benarkah kebijaksanaan itu adalah Sophia seperti yang umumnya para filsuf kenal? Sebagaimana kata itu
difusikan bersama kata cinta (philos)
dengan nama filsafat (philosophia). Tetapi,
menurut Franz Magnis Suseno, hal tersebut tidak begitu adanya.
Kebijaksanaan rupanya tidak bisa disingularkan dalam
kategori sophia saja. Mengapa? Sebab,
sophia pada pada dasarnya bukanlah
kebijaksanaan yang ada pada dirinya sendiri (das ding an sich). Sebagai kebijaksanaan yang baik dan benar.
Maksudnya, kebijaksanaan yang ada pada dirinya –dalam bentuk kata kerja memang
baik, bisa jadi berasal dari efek fotografi –memantulkan apa adanya gambar yang
tervisualisasikan dengan mata yang bisa jadi menipu dan tentu saja palsu.
Maka, Franz Magnis Suseno[2]
meluaskan pemahaman mengenai kebijaksanaan. Baginya, kebijaksanaan dibedakan
menjadi dua. Sophia dan phronesis. Phronesis pada dasarnya berbeda dengan sophia. Maksim (prinsip) dari keduanya punya titik persinggungan
yang mendasar. Meskipun dalam bahasa Indonesia keduanya diartikan sama sebagai
kebijaksanaan. Namun, dalam bahasa Inggris keduanya diterjemahkan berbeda. Sophia diterjemahkan menjadi wisdom (kebijaksanaan atau kearifan)[3],
sedangkan phronesis dengan prudence (kebijaksanaan)[4].
Nah, perbedaan keduanya dapat dilihat dari dua
kategori. Yaitu pada ‘pertimbangan’ dan ‘tindakan’. Dengan mengukur sejauh mana
pertimbangan dan tindakan itu tepat atau tidak? Kalau kebijaksanaan yang mana selalu
menghasilkan keputusan yang tepat, maka ia dinamakan phronesis. Sedangkan tidak melulu bukan kebijaksanaan, jika keputusan
tersebut tidak tepat. Karena itu bukan berarti Sophia akan selalu salah. Sebab, menurut Plato, phronesis itu mengalir dari sophia.
Menurut Aristoteles, sophia disini hanya sebatas theoria. Yaitu sekedar perenungan
terhadap hal-hal dalam dalam hidup tanpa adanya tindakan yang nyata (actual). Yang berarti baru sebatas refleksi
dan kontemplasi. Sehingga, belum mendatangkan kebenaran. Karena kebenaran atau
kebijaksanaan yang benar dan tepat itu harus diaktualkan dengan dengan tindakan
praxis. Yang berarti harus menyentuh
sisi-sisi kemanusiaan formal. Dimana semua manusia mampu merasakan ekses dari
kebijaksanaan itu sendiri.
Jadi, kebijaksaan yang melahirkan kebahagiaan tidak
mungkin akan menjadi kebijaksanaan (phronesis)
tanpa diaktualisasikan dalam tindakan dan pertimbangan yang tepat. Sehingga, pada
akhirnya phronesis akan mendatangkan eudaimonia sebagai konsekuensi logisnya.
Wallahul
Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq
Jadan, 13 Oktober 2013
Komentar
Posting Komentar