Seputar Peristiwa G-30-S
Oleh: Zulfikhar
On
s’engage et puis on voit. Seseorang menerjunkan diri lalu melihat apa yang
terjadi.
-Napoleon Bonaparte
Praktis setelah Partai Komunis Indonesia (PKI) mulai dekat dengan Soekarno
sekitar tahun 50-an. PKI semakin lama menjadi sorotan. Betapa tidak, jumlah anggotanya
yang bertambah berkali lipat setelah DN Aidit dan kawan-kawan mengambil alih pada tahun 1951, membuat partai ini menjadi
rival berbahaya bagi lawan-lawan politiknya, terutama bagi militer, Angkatan
Darat.
Ihwal kebencian militer kepada PKI memang sudah berlangsung
sejak kudeta di Madiun tahun 1948. Meskipun begitu, saat ini (1965), PKI sudah
terlanjur besar dan sebentar lagi akan menguasai pentas politik nasional. Sehingga
militer tidak mempunyai banyak peluang untuk menjegalnya.
Para sejarawan mengatakan jika pada tahun 1965
dilakukan pemilu, maka bisa dipastikan PKI akan menang. Bagaimana tidak, pada
tahun 1962 saja jumlah anggotanya sudah mencapai dua juta orang. Angka tersebut belum
ditambah dengan jumlah anggota dari organisasi yang berafiliasi dengan PKI –seperti
BTI, SOBSI, Pemuda Rakjat, Lekra, dan lain-lain- yang hampir mencapai dua belas
juta orang.
Ideologi komunis yang dibawa PKI, juga menjadi
alasan yang khas mengapa stereotip militer semakin mengkristal. Atheisme yang
sering diklaim sebagai iman orang PKI juga menakutkan militer dan menjadi alat
propaganda yang apik untuk merusak citra PKI. Apalagi kritik PKI terhadap gaya
hidup mewah para perwira militer dan praktik korupsi yang mengjangkiti
institusi itu membuat para perwira militer semakin fobia terhadap PKI.
Tetapi militer saat itu tidak mempunyai dalih yang
kuat untuk menghabisi PKI. Selain karena kedekatan ide-ide politik PKI dengan
Soekarno, juga persahabatan antara DN Aidit dan Soekarno. Paham anti neokolonialisme
dan kapitalisme membuat PKI oleh rakyat dianggap sebagai pendukung revolusi.
Apalagi saat itu sedang terjadi Perang Dingin antara Amerika dan sekutunya di
satu sisi, dengan Uni Sovyet dan sekutu komunisnya di sisi lain. Sehingga
semakin menajamkan kutub militer yang pro Amerika dan PKI yang pro dengan Uni
Sovyet. Oleh karena tidak adanya dalih yang kuat untuk menghabisi PKI, maka
dalih itu harus dibuat.
Menurut John Roosa, agresi militer Amerika Serikat (AS) di
Vietnam adalah lompatan pertama Amerika untuk menaklukkan Indonesia. Karena
kita tahu bahwa kondisi Vietnam dan Indonesia bisa disebut sama. Yaitu Negara
demokrasi yang sedang dibayang-bayangi hantu komunis. Sehingga, kepentingan
Amerika untuk memperluas pengaruhnya akan tinggal harapan jika komunisme
menang. Dengan mengagresi Vietnam justru memudahkan AS untuk mengamankan Indonesia dari pengaruh komunisme dengan bantuan yang bisa
datang kapan saja karena dekatnya jarak kedua negara.
Banyak analisa yang berseliweran bahwa pembantaian orang-orang PKI lewat peristiwa G-30-S adalah konspirasi Amerika –lewat organisasi
intelijennya CIA- untuk menggulingkan Soekarno. Amerika mengendalikan para
perwira militer, yang kemudian disebut Dewan Jenderal, untuk mengkudeta
Soekarno. Isu tersebut sebenarnya sudah sampai ke telinga Soekarno sejak lama,
tetapi belum tampak ada tindakan-tindakan pencegahan yang signifikan dari
Soekarno. Akhirnya, muncullah desas-desus tentang adanya upaya
penghancuran para Dewan Jenderal itu oleh sekelompok perwira militer yang tentu
saja secara tidak langsung akan meringankan tugas Soekarno.
Kita tahu, Soekarno adalah salah satu presiden di
Asia Tenggara yang sangat selektif dalam menerima arus modal dan investasi
asing. Selain itu, agenda nasionalisasi
aset-aset pemerintah kolonial Belanda cukup menjadi bukti bahwa Soekarno
serius dengan kampanye nekolimnya. Dengan keluarnya Indonesia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menunjukkan dirinya adalah presiden yang tidak kompromi
dengan intervensi neoimperialisme dan neokapitalisme.
Amerika oleh beberapa peneliti dan jurnalis asing, diduga
mengendarai Jenderal Soeharto sebagai pion politiknya di Indonesia –juga Jenderal AH Nasution
sebagai satu dari tujuh jenderal yang selamat. Jenderal berbintang dua itu
disebut-sebut ikut merencanakan peristiwa berdarah itu. Sehingga, rangkaian
peristiwa-peristiwa yang mengiringi G-30-S akan sangat jelas menunjukkan bahwa pendapat para sejarawan tidak bisa diabaikan begitu saja. Bahwa
dalang peristiwa G-30-S bukanlah PKI an sich seperti yang dituduhkan Angkatan Darat dan
pemerintah Orde Baru.
Isu
Kudeta Dewan Jenderal
Menjelang dini hari tanggal 1 Oktober 1965, tujuh
grup dari para tentara yang menamakan dirinya Gerakan 30 September (G-30-S)
bergerak ke rumah tujuh jenderal yang disebut-sebut sebagai Dewan Jenderal.
Tujuh grup pasukan G-30-S malam itu berhasil
menangkap enam orang Jenderal. Satu orang terbunuh, Ahmad Yani. Sedangkan, satu
orang yang lain lolos dalam penangkapan. Ia adalah Jenderal A.H. Nasution. Seorang jenderal
yang dikenal sangat anti PKI. Ia berhasil kabur tetapi puterinya kecilnya, Ade Irma, terbunuh. Pasukan G-30-S malam itu mengangkut ajudan Nasution, Pierre Tendean, ke pusat gerakan di Lubang Buaya. Tempat dimana
para perwira Angkatan Darat itu nantinya dikumpulkan untuk bawa menghadap Presiden Soekarno.
Satu jam berikutnya, pukul 4.00 pagi, G-30-S
menempatkan dua Batalyonnya (454 dan 530) di halaman Istana Negara. Penempatan tentara
disitu dimaksudkan untuk menemui Soekarno. Tetapi presiden waktu itu tidak ada di
Istana. Pagi hari kantor RRI yang tak jauh dari situ, masih di depan Lapangan Merdeka (sekarang
Monas), sudah diduduki pasukan G-30-S.
Dari tempat itu diumumkan sebuah pernyataan
singkat. Berisi tentang adanya upaya penggulingan terhadap
Presiden Soekarno oleh para sekelompok jenderal Angkatan Darat yang dinamakan Dewan Jenderal.
Tetapi upaya tersebut berhasil digagalkan oleh pasukan G-30-S yang akan membawa mereka menghadap Presiden Soekarno.
Pengumuman kedua lima jam berikutnya, G-30-S mengeluarkan dekrit untuk membentuk Dewan Revolusi Indonesia yang membubarkan kabinet Dwikora. Mereka menempatkan dirinya sebagai lembaga tertinggi. Dekrit itu ditandatangani Letnan Kolonel Untung yang
disebut sebagai komandan tertinggi G-30-S.
Jeda satu jam, muncul pengumuman ketiga berisi empat puluh lima nama Dewan Revolusi Indonesia. Pada pengumuman keempat, gerakan itu menghapus semua jabatan perwira militer diatas Letnan
Kolonel. Dengan maksud tidak ada lagi jabatan yang lebih tinggi dari pemimpin gerakan yaitu Letkol Untung. Loyalitas
para perwira yang mendukung gerakan akan diberikan pangkat Letkol
dan bagi para prajurit, pangkatnya dinaikkan satu tingkat dari pangkat semula.
hari itu para Jenderal yang dini hari dibawa ke Lubang Buaya
kemudian satu persatu dieksekusi di Lubang Buaya. Untuk memojokkan PKI, Angkatan Darat menghebuskan kabar burung bahwa para jenderal disiksa –alat vital dan tubuh
mereka disilet- dan dibunuh oleh para perempuan anggota Gerakan Wanita
Indonesia (Gerwani). Gerwani dipropagandakan oleh militer sebagai gerakan
perempuannya PKI. Mayat para Jenderal tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sebuah
sumur tua dan kemudian ditimbun sampai rata dengan tanah. Untuk menghilangkan
jejak, di atas timbunan ditanam sebuah pohon pisang.
Kudeta oleh Dewan Jenderal sebenarnya merupakan isu
yang belum terjadi. Isu tersebut dibangun diatas logika politik yang
sarat dengan prasangka yang berlebih-lebihan. Tidak logis menuduh Dewan
Jenderal merencakan kudeta, padahal belum ada bukti yang kuat yang bisa
memperkuat isu-isu tersebut. G-30-S memulai serangan pendahuluan sebelum terlambat. Memang saat itu keadaan politik dan keamanan sangat mencekam.
Sementara eksekusi para Jenderal dilakukan, pusat
G-30-S di Bandara Halim tidak menunjukkan adanya aktivitas yang menonjol.
Padahal disanalah otak revolusi bersemayam. Para pemimpin G-30-S duduk mengamati
perkembangan kudeta yang sedang berlangsung.
Pimpinan G-30-S sepenuhnya dipimpin oleh lima orang.
Letnan Kolonel Untung, Kolonel Abdul Latief dan Mayor Soejono dari pihak militer
serta Sjam Kamaruzaman dan Pono dari Biro Chusus PKI. Mereka adalah otak gerakan kendati hanya menunggu dibalik layar. Dalam struktur tersebut
tampaknya kedudukan Sjam lebih tinggi daripada yang lain sehingga perintahnya
hampir selalu ditaati.
Meskipun saat itu tidak ada alat komunikasi yang
bisa digunakan, para pemimpin revolusi menggunakan kurir untuk berhubungan satu sama lain dan pasukan di lapangan. Kelima pemimpin gerakan itu berkumpul di rumah salah satu sersan Angkatan Udara di dalam komplek Bandara Halim.
Aidit saat itu juga sedang berada di Bandara
Halim. Ia berkumpul dengan beberapa anggotanya –seperti Bono dan Iskandar
Subekti- di sebuah rumah milik salah satu sersan Angkatan Udara yang lain. Tidak
ada yang tahu apa tujuan Aidit berada memisahkan diri dari pimpinan gerakan. Mungkin hanya Sjam saja
yang tahu. Mungkin operasi G-30-S sepenuhnya hanya diketahui oleh Aidit dan
Sjam. Ada yang mengatakan keberadaan Aidit di Halim untuk mempermudah
komunikasi dengan pimpinan gerakan. Ada juga yang menyebutkan bahwa Aidit
dijebak datang ke tempat itu oleh Sjam. Seluruhnya masih simpang siur.
Sjam
dan Keganjilan
Peristiwa G-30-S banyak diduga para sejarawan
didalangi oleh Sjam. Bukan Untung sebagaimana kesaksian yang diungkap di sidang di Mahmilub. Sjam yang juga ketua Biro Chusus diduga memainkan perannya sebagai agen ganda. Tidak
ada yang tahu pasti, apakah ia agen PKI yang menyusup ke militer atau agen
militer yang menyusup ke PKI. Atau mungkin Sjam adalah agen CIA yang menyusup
ke dalam dua kubu. Atau bisa jadi bekerja untuk ketiga-tiganya.
Sjam sebenarnya adalah anak keturunan Arab yang
besar di Tuban. Ia sempat masuk Sekolah Pertanian di Surabaya tetapi tidak
tamat. Ia juga pernah sekolah dagang di Yogyakarta. Karena pecah perang, ia lagi-lagi
tidak tamat. Sejak meninggalkan Yogyakarta sampai bertemu Aidit
di Jakarta, tidak ada yang tahu pasti aktivitas sebagai apa.
Perkenalan Sjam dan Aidit dimulai ketika ia membantu
tokoh PKI itu keluar dari persembunyiannya di Jakarta. Saat itu Aidit dan
sahabatnya Lukman sedang bersembunyi dari kejaran militer sejak diduga terlibat
dalam pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Sjam saat itu membantu merekayasa kedatangan mereka dari Vietnam melalui pelabuhan laut.
Setelah pengejaran terhadap PKI mulai mereda tahun
1949, Sjam masuk PKI. Semula ia bekerja di Departemen
Organisasi sebagai anggota biasa. Karena jasa yang besar terhadap Aidit –dan
juga pertemanan dengan Aidit, pada akhir tahun 1964 diangkat untuk
memimpin Biro Chusus. Sebuah organisasi klandestin yang bertugas melakukan pengkaderan
di dalam tubuh militer. Sjam menggantikan ketua Biro Chusus sebelumnya,
Karto, yang meninggal dunia. Anehnya, tidak banyak pengurus teras
di Central Comite PKI mengenal Sjam.
Tugas Sjam sebagai ketua Biro Chusus selain bertanggungjawab
merekrut anggota dari militer, juga memperkuat hubungan kedua institusi yang
sudah terjalin erat sejak zaman Karto. Saat itu memang banyak perwira militer
berpihak dengan perjuangan PKI. Oleh karena itu, tidak heran –di beberapa
tempat- PKI diizinkan melakukan pendidikan politik kepada para prajurit.
Kebanyakan para perwira itu tersebar di Jawa Tengah. Karena provinsi ini
merupakan basis utama kekuatan PKI di Jawa.
Ketika Sjam disidang di Mahmilub pada 1967, ia
tampak dengan mudah menjawab semua pertanyaan dari Oditur (penutut umum
militer). Semua pertanyaan perihal keterlibatan PKI dalam G-30-S, peran Aidit,
peran militer dan Biro Chusus, dijawab dengan gamblang oleh Sjam seolah-olah ia
sedang melaporkan kegiatannya kepada partainya sendiri. Tanpa kompromi, Sjam
menjawab semua tuduhan –dengan jujur dan juga berbohong- yang akhirnya
memojokkan PKI. Dalam persidangan, diduga Sjam telah memulai permainannya
sebagai agen mata-mata di dalam tubuh PKI.
Sjam saat itu benar-benar tidak menempatkan dirinya
sebagai anggota PKI. Pernyataan dan jawaban yang keluar dari mulutnya menguntungkan militer. Oleh karena itu, banyak pemimpin PKI yang tertangkap
karena pernyataannya itu. Seperti Sekjen CC PKI, Sudisman. Tampaknya memang Sjam sudah tidak peduli lagi dengan PKI. Untuk
tidak dihukum mati, ia memilih untuk memberikan informasi yang menarik bagi
militer.
Pada akhir persidangan Sjam divonis hukuman mati.
Tetapi setelah itu ia masih beberapa lama mendekam di penjara. Perlakuan
terhadap Sjam oleh para sipir sangat baik dan tidak adanya narapidana di
penjara yang pernah melihat Sjam dihukum, apalagi disiksa oleh sipir, membuat
posisi Sjam semakin tidak jelas. Benarkah ia adalah anggota PKI atau seorang
agen yang dibicarakan oleh para sejarawan. Sjam pada akhirnya dihukum mati
meskipun membutuhkan waktu yang agak
lama, sembilan belas tahun.
Siapa
Sebenarnya Soeharto?
Ketika G-30-S
pecah, Soeharto menjabat sebagai Panglima Kostrad. Pangkatnya saat itu Mayor
Jendral. Soeharto dulunya adalah atasan dari Untung dan Abdul Latief ketika menjabat Panglima Kodam Diponegoro di Jawa Tengah. Karena isu
korupsi ia ditarik ke ibukota. Hubungannya dengan Untung dan Latief disebut-sebut dekat seperti saudara.
Pada subuh hari tanggal 1 Oktober, pasukan G-30-S
(Batalyon 454 dan 530) sudah menguasai istana. Sedangkan markas Kostrad,
pimpinan Soeharto, yang berada tak jauh dari Istana yang hanya terpisah oleh Lapangan
Merdeka tidak disentuh oleh pasukan G-30-S.
Aktivitas di markas Kostrad terlihat berjalan seperti biasa. Tidak ada
tanda-tanda kalau Kostrad tahu hari itu sedang berlangsung penculikan. Saat itu Soeharto
aman-aman saja. Ia tidak masuk dalam
daftar para jenderal yang diculik. Suatu hal yang patut dicurigakan. Padahal Soeharto
adalah komandan Kostrad yang membawahi banyak tentara dibawah
komandonya.
Menurut pengakuan Latief, di malam 30
September ia sempat menemui Soeharto di RSPAD di mana puteranya sedang dirawat. Latief memberitahu tentang adanya sekelompok orang yang
akan menculik para jenderal malam itu. Maksud Latif untuk mendengar pendapat Soeharto. Tetapi Soeharto diam
saja seperti sedang memikirkan sesuatu. Menurut Latif dalam pledoinya, tampaknya malam itu
Soeharto sudah tahu akan terjadi penculikan terhadap para jenderal atau membiarkannya. Sikapnya
yang diam itu seperti tanda restu.
G-30-S faktanya bukanlah operasi yang
teorganisir dengan baik. Tidak semua titik perlawanan militer dikendalikan pemimpin gerakan.
Markas Kostrad tidak diamankan. Jalur darat dari luar ibukota untuk mencegah bantuan juga tidak
diblokade. Padahal standar kudeta idealnya seharusnya seperti itu.
Komunikasi juga tidak berjalan baik antara pasukan di
lapangan dengan para pemimpin di Halim. Bahkan, menurut Brigadir Jendral
Soepardjo, komunikasi hanya dilakukan menggunakan jasa kurir yang lalu lalang dengan jip
antara Bandara Halim dan Lapangan Merdeka. Padahal dalam kudeta, komunikasi
adalah faktor vital yang menentukan keberhasilan.
Menurut John Roosa ada kemungkinan bahwa G-30-S
adalah konspirasi yang dilakukan Soeharto bersama Untung dan Latief untuk
menyingkirkan Soekarno. Dalam hal ini Untung dan Latief digunakan Soeharto
sebagai kambing hitam dengan memanfaatkan kedekatan mereka.
Dengan adanya isu Dewan Jenderal dan penculikan yang
dilakukan PKI, akan menjadi dalih untuk membenarkan manuver Soeharto untuk
melenyapkan partai itu selama-lamanya. Dengan media yang telah dikendalikan militer, secara perlahan akan membusukkan integritas Soekarno.
Dalam tempo dua belas jam G-30-S
berhasil dipatahkan. Soeharto dan pasukannya berhasil menguasai kantor RRI
menjelang malam. Dia mengumumkan lewat RRI bahwa G-30-S adalah gerakan
kontrarevolusioner dan harus dilenyapkan.
Pagi hari tanggal 1 Oktober, Soekarno
pergi bertemu dengan pimpinan G-30-S di bandara Halim. Ia sebelumnya disarankan Maulwi Saelan ajudannya untuk mengamankan diri di sana karena menyaksikan keberadaan pasukan tak dikenal dekat Istana Negara. Di sana ia ditemui Brigjen Soepardjo yang langsung melaporkan perihal operasi 30 September itu.
Maksud Soepardjo adalah agar Soekarno mendukung aksi G30s. Justru Soekarno menolak operasi itu dan mendesak untuk menghentikannya. Dengan cepat Soekarno ingin mengambil keputusan untuk rapat darurat untuk memadamkan bara konflik. Dia mengundang seluruh jenderal yang memiliki wewenang di ibu kota Kodam Jaya termasuk Pranoto Mangkusasmito dan Umar Wirahadikusumah.
Tetapi Umar dan Pranoto yang berada di markas Kostrad dilarang Soeharto ke Halim. Sementara muncul informasi bahwa Pranoto diangkat presiden menjadi pengganti Jenderal Ahmad Yani. Pranoto makin gamang padahal di radio Soeharto sudah diumumkan sebagai pengganti sementara Jenderal Yani.
Ia berpikir harus mengikuti perintah komandannya dan batal pergi ke Halim.
Sekarang sepenuhnya kekuatan Angkatan Darat berada dibawah
genggaman Soeharto. Sebelumnya pasukan G-30-S yang siaga di Lapangan Merdeka pecah kongsi karena diultimatum Soeharto. Karena
bingung kelaparan, Batalyon 530 memutuskan bergabung dengan Kostrad.
Sedangkan Batalyon 454, bergerak menuju Halim.
Akhir Operasi
Rencana Soekarno untuk mendamaikan militer tidak berhasil. Ia memutuskan mengamankan diri ke Istana Bogor.
Pihak militer di dalam tubuh G30S (Untung,
Latief, Soejono dan Soebardjo) akhirnya memutuskan untuk menghentikan revolusi.
Bagi mereka, tanpa dukungan Soekarno operasi demikian sudah selesai. Loyalitas mereka yang hendak melindungi
Soekarno dari ancaman kudeta Dewan Jenderal, tidak tercapai. Sejarah berkata lain, rencana mereka gagal sebelum selesai.
Tetapi Sjam sebagai pemimpin tertinggi revolusi
menolak pengunduran diri itu. Ia mengatakan mereka sudah terlanjur maju dan
tidak mungkin lagi mundur, operasi harus diteruskan. Perdebatan berlangsung alot dan tidak menghasilkan
keputusan apa pun selain harus tetap bertahan di Halim.
Angkatan Darat yang sepenuhnya sudah berada di bawah
kendali Soeharto bergerak menuju Halim. Soeharto mengultimatum untuk menyerah tetapi pertempuran kedua belah pihak tidak terhindarkan. Tidak adanya rantai kepemimpinan yang jelas dalam
gerakan akhirnya membuat G30S bergerak menuju ambang kekalahan.
Kelima pemimpin G-30-S tidak mempunyai rencana terukur mengenai operasi di lapangan. Sehingga, pasukan di
lapangan bergerak mandiri tanpa komando dari pusat. Hal inilah yang membuat Soepardjo makin kecewa. Ia selaku pemimpin operasi tidak tahu barus berbuat apa. Ia
menunggu keputusan dari kelima pimpinan
yang tidak jelas itu. Soepardjo lebih percaya pada kemampuan Sjam sebagai pusat
pengatur strategi.
Batalyon 454 yang sudah sampai di bandara Halim
ditolak masuk ke dalam bandara. Gesekan tak terhindarkan dengan pasukan dari
Batalyon 328, 454, RPKAD, Kostrad dibawah pimpinan Soeharto. Kondisi ibu kota yang masih asing di mata pasukan Batalyon 454 memojokkan mereka ke jurang kekalahan.
Sementara itu, para pimpinan revolusi tetap berbeda
pendapat untuk memutuskan apakah harus menyerang pasukan Soeharto atau tetap bertahan, yang berarti menunggu untuk diserang.
Sjam berpendapat untuk tidak menyerang. Sedangkan semua anggota pimpinan dari
pihak militer berpendapat untuk menyerang. Saat itu Soepardjo meminta diri
untuk menghadapi pasukan Soeharto dengan pasukan yang masih tersisa. Menurutnya,
lebih baik melawan dan kalah dari pada menjadi pengecut.
Berita revolusi di Jakarta sudah menyebar ke daerah-daerah. Jawa Tengah sebagai
basis PKI juga sudah menerima informasi memulai upaya-upaya serupa. Sedang di Halim, para pimpinan revolusi dari militer menyarankan
Penglima Angkatan Udara Omar Dani untuk membom markas Kostrad yang tidak pernah terlaksana. Omar Dani
dan Aidit kabur ke Jawa Tengah. Seluruh pemimpin gerakan pun membubarkan diri. Halim ditaklukkan.
Terhitung sejak hari itu persekusi dan perburuan terhadap pemimpin PKI dilakukan tentara. Dan pembantaian terhadap semua kader dan simpatisan PKI, anggota organisasi afiliasinya, dan semua orang yang berkaitan dengannya, dimulai hingga penghujung dekade 1960-an. Diperkirakan lebih dari lima ratus ribu orang terbunuh. Jutaan lainnya hilang atau menjadi pesakita di penjara-penjara seluruh negeri
Komentar
Posting Komentar