Kurban
Suatu malam dalam
tidur Ibrahim bermimpi. Sebuah suara tiba-tiba
datang membisik dalam teliganya, hingga masuk ke dalam mimpinya.
“Kurbankanlah Ismail”, perintah suara itu.
Ibrahim bingung, ia
gelisah. Kenapa dalam mimpinya datang sebuah perintah yang aneh. Karena tidak
tahan , tidak lama kemudian ia terjaga bangun dari tidurnya.
Ibrahim penasaran siapa gerangan yang membisikkan perintah aneh tersebut.
“Kenapa suara itu
menuturkan sebuah kalimat yang tidak pantas? Bagaimana mungkin manusia bisa
dikurbankan? Bukankah hal itu hanya layak untuk hewan?"
“Kira-kira darimana
suara itu berasal? Apa makna seruan itu? Mungkinkah ia datang dari Tuhanku, Allah?
Ah, tampaknya tidak mungkin”, Ibrahim bertanya-tanya dalam hati.
“Menurutku itu pasti
suara syaitan yang sedang membisikkan tipu dayanya. Sebagaimana dulu Adam dan
Hawa dulu diperdaya olehnya di Surga. Tetapi ia salah menduga. Aku tidak akan
tergoda oleh bisikannya”, Ibrahim pun kembali tidur.
Siang datang menyingkap
malam dari Timur. Matahari muncul kemudian bergerak ke tengah. Lalu semakin ke
Barat dan akhirnya tenggelam dibawah selimut kegelapan. Hari berganti malam.
Malam itu, persis sehari
pasca mimpi aneh kemarin, Ibrahim kembali bermimpi. Ya, mimpi yang sama. Suara
yang persis membawa pesan yang sama.
“Wahai Ibrahim, kurbankanlah Ismail”, kata
suara dalam mimpi itu.
Laki-laki tua itu lantas kebingungan. Apa maksudnya
mimpi itu. Mengapa ia datang untuk kedua kalinya. Menyusup ke dalam alam bawah
sadar Ibrahim, mengintainya diam-diam dan membisikkan kalimat yang kurang lebih
sama.
“Kalau begini jadinya,
bisa jadi mimpi itu bukan dari syaitan”, pikir Ibrahim dalam hati.
“Apa benar mimpi ini datang dari syaitan?
Bukankah ia tahu kalau aku tidak akan menuruti kemauannya”.
“Ah, tapi benar juga,
tidak mungkin perintah itu datang dari Allah”, semakin lama Ibrahim mulai
menganalisa mimpi itu lebih dalam.
“Tidak mungkin Allah
memerintahkan sesuatu yang Ia sendiri larang. Bukankah membunuh adalah dosa
besar dalam agama?”
Hati Ibrahim kembali
lega dan tenang. Hasutan syaitan –menurutnya- tidak akan mempan. Ia yakin pasti
syaitan tidak akan mengulanginya lagi. Cukuplah keteguhan rasio dan imannya
menjadi tembok pemisah antara dirinya dengan kekufuran. Dinginnya suhu padang
pasir malam itu seketika mereda barang sejenak rasa cemas di dalam dirinya.
Di malam berikutnya,
mimpi yang sama kembali datang. Sama dengan mimpi-mimpi sebelumnya, ia membawa
pesan yang sama.
“Wahai Ibrahim, kurbankanlah Ismail”.
Suara itu semakin
nyaring terdengar. Tampaknya kali ini eksistensi psikis Ibrahim benar-benar terguncang.
Bahwa ini bukan sekedar mimpi biasa. Jangan-jangan mimpi ini bukan dari
syaitan, tetapi dari Allah yang selama
ini diam-diam menjadi kekhawatirannya. Mimpi ini sudah jelas bukan datang dari syaitan
yakinnya dalam hati. Ibrahim tahu pasti mimpi ini benar-benar adalah perintah
Allah padanya.
Alam pikiran Ibrahim seketika
mengusut kebingungan. Bagaimana mungkin seorang Ayah akan mengambil nyawa
puteranya. Apalagi putra semata wayang yang sudah lama ditunggu-tunggu
kehadirannya. Dimanapun tidak ada seorang Ayah yang akan tega membunuh darah
dagingnya.
Ibrahim takut dan
bingung. Keimanannya sedang dicoba dengan perintah yang sangat berat. Tetapi, perintah
itu datang dari Allah. Pasti ada hikmah, pasti ada maksud dari perintah itu.
Kecintaannya kepada Allah sejak lama memang harus dibuktikan. Ismail, putra
yang dinanti-nanti selama puluhan tahun itu harus dikurbankan. Disembelih lehernya.
Tidak lama datang hasutan
dari syaitan. Yang menjelma menjadi seorang laki-laki. Ia menghampiri Ibrahim
yang sudah teguh dengan pendiriannya. Syaitan mewanti-wanti dan membujuk agar
Ibrahim mengurungkan niatnya itu.
“Jangan kamu bunuh
Ismail wahai Ibrahim!”, kata syaitan.
“Tidakkah kamu sadar,
sudah berpuluh-puluh tahun kamu dan isterimu menunggu kehadirannya”.
“Lalu apa gunanya Ismail
kau rawat sejak dari buaian sampai sebesar ini, jika akhirnya, sekarang
hidupnya harus kamu akhiri? Tidakkah kamu menyanyanginya Ibrahim?”
Bujukan syaitan semakin
kuat. Ibrahim mulai muak dengan hasutan laki-laki itu. Ibrahim akhirnya
mengambil batu dan melemparinya.
Keputusan Ibrahim sudah
bulat. Perintah sang Khalik harus ditunaikan. Apalagi Ismail sudah diberitahu mimpi
itu dan ia yakin dan percaya. Ismail ridho dan ikhlas kepada amanah dari
Tuhannya. Begitupun Hajar, meskipun dalam hatinya masih sangat berat untuk
membiarkan Ismail pergi lebih cepat.
“Wahai ayahku,
laksanakanlah apa yang diperintah Tuhanku padamu”, kata Ismail.
“Aku percaya dan
menuruti perintah yang Ia amanahkan kepadamu. Maka, tunaikanlah perintah itu”.
Ibrahim dengan berat
hati akhirnya merebahkan tubuh Ismail diatas batu. Sebilah pedang diasah sampai
tajam. Lantas kedua tangan Ibrahim
ditarik ke atas siap memenggal. Ibrahim berdoa kepada Allah dan hunusan pedang
diayunkan ke leher Ismail.
Pancaran cairan
berwarna merah gelap tumpah diatas pasir. Itu darah anaknya, Ismail. Benar, benar
itu memang darah. Tetapi tunggu dulu, itu bukan darah manusia. Iya, darah itu
bukan mengalir dari manusia. Ia mengalir
seekor hewan. Dari seekor Kibas.
“Lalu dimana anakku,
Ismail?” tanya Ibrahim pada dirinya.
“Sudah matikah ia? Kenapa
ia tidak berada diatas batu yang sudah berada seekor Kibas itu. Menghilang
kemanakah ia?”, Ibrahim semakin bingung dengan peristiwa itu.
Gejolak tanya dalam batin Ibrahim seketika
menyeruak. Riak-riak kebingungan, kesedihan, kekhawatiran bercampur dalam
montase gejolak jiwa laki-laki tua itu. Bagaimana mungkin tubuh Ismail hilang
dan diganti dengan seekor Kibas. Lalu dari mana datangnya hewan tersebut? Tiba-tiba
muncul suara Ismail memanggil.
“Ayah aku disini! Aku
tidak mati Ayah!”
“Allah telah
menolongku. Ia membebaskanku Ayah”.
Ibrahim menoleh kearah
dimana Ismail berada. Keterperanajatan dan rasa syukur bercampur ketika melihat
putra tercintanya itu masih hidup tanpa kurang sesuatu apapun. Keyakinan Ibrahim
berbuah manis. Perintah dalam mimpi itu, persis seperti dugaannya, adalah ujian
dari Allah, Tuhan semesta alam. Perintah itu merupakan tanda cinta dari-Nya kepada
mahluk-makhluk-Nya yang beriman. Wallahu ‘alam
bis shawab.
Jadan, 18 Oktober 2013
Komentar
Posting Komentar