KEKUASAAN MENURUT THOMAS HOBBES

https://www.thegreatcoursesplus.com/the-modern-political-tradition-hobbes-to-habermas/hobbes-natural-law-the-social-contract



Kekuasaan dalam pandangan Thomas Hobbes tidak bisa dilepaskan dari iktikad masyarakat untuk hidup bersama. Di dasari atas kepentingan diri mereka yang tidak dapat dibendung kecuali dengan hidup dalam kebersamaan. Memenuhi kodrat manusia –yang disebut Aristoteles- sebagai mahluk sosial (zoon politikon). Kehendak untuk hidup bersama ini lalu ditransformasikan ke dalam perjanjian sosial (contract social).
 
Perjanjian sosial lahir terutama didasari oleh rasa takut manusia yang begitu curiga terhadap sesamanya. Karena menganggap manusia selain dirinya seperti hewan yang berorientasi pada kepentingannya sendiri dan mengakui jalan kekerasan sebagai instrumen untuk mempertahankan hidup (survival of the fittest). Suatu gambaran yang sangat subyektif namun dipercaya oleh sang filsuf sebagai metode alternatif untuk keluar kebuntuan hidup. Tidak heran jika Hobbes mengatakan “homo homini lupus”. Manusia adalah serigala bagi sesamanya. 

Keberadaan perjanjian sosial mengandaikan sebuah kekuasaan atas masyarakat. Demi mencapai ketenteraman dan keteraturan kehidupan  sebagaimana yang dicita-citakan Hobbes, maka harus ada aktor yang memegang kekuasaan itu. Menurut Hobbes, kekuasaan itu dapat dipegang oleh satu orang atau majelis.[1] Dengan syarat, hak dan kekuasaan masyarakat diberikan kepada penguasa dan penguasa tersebut berkuasa atas semua tindakan-tindakannya.

Hobbes lebih suka kalau kekuasaan berada dalam genggaman seseorang.[2] Bukan majelis atau semacamnya. Sebab, varian kekuasaan tersebut memungkinkan kebijaksanaan dilaksanakan dalam satu pedoman atau pegangan. Mengingat, tidak dapat dihindari, kekuasaan melalui majelis acap kali menimbulkan ketidakstabilan dan pergantian kekuasaan dari peguasa satu kepada penguasa yang lain.

Dalam menjalankan kekuasaan, penguasa dapat mempergunakan segala cara untuk memenuhi tujuan-tujuan politiknya. Bila perlu dengan kekerasan agar ketentraman tercapai. Seperti rezim Orde Baru menstabilkan dinamika politik nasional dengan memberlakukan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kampus (BKK) untuk mematikan protes-protes dan unjuk rasa mahasiswa pasca Peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari). Juga pemberlakuan asas tunggal Pancasila pada tahun 1986 untuk mereduksi dinamika partai politik nasional yang berbeda ideologi dan orientasi politik.

Uniknya, menurut Hobbes, penguasa tidak terikat dengan perjanjian sosial tadi.[3] Ia bebas mengoperasikan aparatus kekuasaan yang dimiliknya tanpa batas (absolute). Kendati, keberadaannya sebagai penguasa adalah mandataris dari masyarakat. Ia tidak bisa dipengaruhi oleh lembaga-lembaga kekuasaan yang lain. Dan tidak boleh ada lembaga-lembaga yang menandingi kedudukannya. Seorang penguasa, menurut Hobbes, tidak boleh hanya memiliki kekuasaan eksekutif, ia juga memiliki fungsi kehakiman dan pembentuk undang-undang sekaligus. Singkatnya, penguasa yang dicita-citakan Hobbes adalah penguasa yang menguasai semua asas dari Trias Politika (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Maka, dengan demikian sistem monarki lah yang dicita-citakan Hobbes.[4] Sebagaimana juga didambakan oleh Thomas Aquinas. 

Kedudukan penguasa dalam sistem monarki yang dikehendaki Hobbes ini memiliki hak prerogatif serupa dengan negara-negara yang menganut demokrasi. Bedanya dengan penguasa pada sistem demokrasi, hak ini digunakan untuk mengangkat penguasa selanjutnya.  Termasuk diri penguasa itu sendiri. Juga keluarganya, kerabat dekat maupun orang-orang terdekatnya yang ia kehendaki.

Tetapi, ada satu catatan yang perlu diperhatikan. Kendati kekuasaan sang penguasa mutlak. Tidak menutup kemungkinan keberadaanya ditentang oleh rakyat . Jika penguasa memerintahkan aparat untuk menyakiti rakyatnya. Jika hukum kodrat yang menjadi undang-undang bertentangan dengan hukum Tuhan kata Aquinas. Jika hal ini terjadi, maka setiap warga tidak wajib mematuhi penguasa. 

Kekuasaan seorang penguasa juga meliputi bidang kerohanian atau agama. Negara tidak dibenarkan memisahkan urusan publik dengan agama. Terutama agama yang telah diakui oleh penguasa. Bahkan, penguasa, menurut Hobbes harus juga memimpin agama. 

Negara perlu mengendalikan agama sebab pada dasarnya agama muncul dari ekspresi rasa takut manusia pada kekuatan-kekuatan dari luar. Yang dapat di indera atau tidak. Sebab, menurut Hobbes, ketakutan-ketakutan semacam itu sama dengan takhayul.[5] Tetapi, karena ketakutan itu dipelihara dan menghadirkan kenyamanan kebenaran atas asumsi dan generalisasinya, maka masyarakat merasa nyaman. Hal ini dinamakan agama.  

Secara umum, segala bidang kehidupan, meliputi profan dan sakral dalam konsep kekuasaan yang di idamkan Hobbes di atur. Disini tidak terjadi sekularisasi, padahal waktu itu semangat Renaissance yang sekular sedang menjamur di Eropa. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan ketidakpercayaan masyarakat Eropa terhadap kelembagaan gereja yang represif di dalam negara. Guna mengondisikan agar manusia mencapai ketenteraman dan keteraturan dalam hidupnya. 

Kalumata, 15 Januari 2015




[1] Noer, Deliar. 1982. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Jakarta: Rajawali Press. Hlm. 79.
[2] Syam, Firdaus. 2010. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi dan Pengaruhnya Bagi Dunia Ke-3. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm. 123
[3] Noer, Deliar, Op. Cit,. Hlm 80
[4] Syam, Firdaus, Op. Cit,. Hlm. 124
[5] Noer, Deliar,Op. Cit,. Hlm. 82

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*