PEMBALASAN CHARLIE HEBDO
http://time.com/5071192/charlie-hebdo-anniversary-history/
Tewasnya dua belas orang oleh serangan teroris di kantor Charlie Hebdo pada Rabu kemarin, tidak menyurutkan langkah majalah satire ini untuk kembali beroperasi. Hari ini (Selasa,13/01/2015) Charlie Hebdo kembali menerbitkan edisi mingguannya. Tidak tanggung-tanggung, 3 juta eksemplar akan dicetak dan rencananya siap dikirim ke 25 negara, Juga akan diterjemahkan ke dalam 16 bahasa (Kompas, 13/01/2015).
Sungguh sebuah manuver yang tidak di duga semua orang. Charlie Hebdo
rupanya tidak kapok menyusul penyerangan di kantor mereka siang itu. Dengan
gigih, mereka tetap konsisten meneriakkan sindiran tajamnya. Dukungan warga
Prancis dan warga dunia yang mengalir beberapa hari ini menjadi satu kekuatan
bagi mereka untuk terus melanjutkan penerbitan majalah kontroversial tersebut.
Kendati pimpinan redaksi Charlie Hebdo, Stephane
Charbonnier, telah tiada. Juga beberapa kartunis andalan mereka, karikatur-karikatur
satire tetap disuguhkan kepada warga dunia. Hari ini, sebuah karikatur yang
diduga adalah Nabi Muhammad, kembali dimuat pada cover majalah mingguan ini. Dengan mimik sedih, karikatur itu memegang
sebuah papan bertulis: “Je Suis Charlie”
(kami adalah Charlie). Pada sisi kolom atas karikatur terpampang kalimat “Tout Est Pardonne“, yang berarti, “semua telah dimaafkan”.
Secara implisit karikatur tersebut sebenarnya mengirim
pesan kepada para teroris, bahwa senjata tidak mampu membungkam mulut Charlie
Hebdo. Kebebasan yang selama ini dirawat dan diwariskan turun temurun di Prancis
tidak akan musnah hanya karena gugurnya beberapa orang.
Prancis, terutama Paris sebagai episentrumnya, sudah
lama dikenal sebagai kota paling liberal (baca: bebas) di dunia. Berbagai macam
ide dan gagasan sejak lama tumbuh berkembang di kota ini. Mulai dari ide-ide
ultra kanan, liberalisme (ide mengenai kebebasan universal), hingga ultra kiri.
Terhitung berbagai tokoh-tokoh yang dianggap kontroversial pernah hidup disini.
Seperti Marquies De Sade dan Karl Marx. Yang pertama dikenal sebagai pengajur seksisme,
yang kedua sebagai pendiri dari gerakan yang pernah dianut separuh umat
manusia: Komunisme (Deliar Noer, 1982).
Tradisi liberal di Prancis turut diwarnai oleh
berbagai pemikir-pemikir yang lahir dari rahim negeri ini. Mereka merupakan para
pemikir yang ide-idenya menjadi benih dari hal-ihwal lahirnya liberalisme di
Prancis. Mulai dari Rene Descartes dengan ide-ide rasionalismenya, Voltaire
dengan traktat toleransi, hingga pemikir-pemikir kontemporer seperti Albert
Camus dan Jean Paul Sartre.
Menjadi negara dimana tumbuh suburnya ajaran liberalisme
yang menjadi kiblat bagi peradaban
modern, Prancis rupanya tidak
selalu menampilkan wajah yang ramah. Wajah ganda pernah ditampilkan negeri ini beberapa
tahun lalu menyikapi pelarangan jilbab. Pemerintah Prancis kala itu melarang wanita berjilbab beraktivitas di ruang publik.
Termasuk di tempat kerja. Terutama bagi mereka yang menggunakan niqab (cadar). Semata-mata, karena
simbol-simbol tersebut dianggap merupakan pelecehan terhadap nilai-nilai
kehormatan dan kesetaraan yang dianut negara tersebut (BBC, 2010). Suatu sikap yang
paradoks di tengah negeri yang katanya berkompromi setinggi-tingginya terhadap
kebebasan bereskpresi.
Akar Masalah
Berbagai pandangan lantas datang bermunculan
menanggapi aksi penembakan yang dilakukan oleh kelompok Al-Qaida tersebut.
Banyak komentar dari publik di penjuru dunia,
terutama kaum muslim, bahwa akar
masalah dari peristiwa tersebut berasal dari Charlie Hebdo sendiri. Dengan berlindung
di balik kebebasan berekspresi, majalah tersebut menyulut emosi warga Prancis
penganut agama-agama mayoritas. Seperti Khatolik, Yahudi dan Islam.
Pembuatan karikatur Nabi Muhammad adalah salah satu
kontroversi yang mendapat kecaman dari umat muslim di seluruh dunia. Dimulai dari
peluncurannya pada sebuah majalah di
Swedia yang dibuat oleh kartunis Charlie Hebdo sendiri.
Tetapi, di lain pihak, orang Islam radikal dituduh
sebagai pihak yang salah. Mereka dianggap salah alamat mengekspresikan kekesalannya.
Pandangan ini umumnya dianut oleh sebagian warga Prancis. Bagi mereka, kampanye
yang dilakukan Charlie Hebdo sebagai hal yang lumrah dan merupakan perwujudan
dari kebebasan berekspresi di negara itu. Senada dengan itu, pemerintah Prancis
juga bersikukuh bahwa kebebasan berekspresi adalah hak yang tidak boleh
diganggu gugat.
Menurut Tariq Ramadhan (2004), akar konflik yang
terjadi di Prancis, juga umumnya di Barat, bermula dari pandangan bias
orang-orang di Barat terhadap muslim. Mereka menganggap Islam dan ajarannya
selamanya tidak dapat berdampingan dengan Barat. Mengingat sejarah kedua
peradaban ini sejak dulu kala terlibat konflik berkepanjangan.
Orang Barat umumnya sama memandang Islam sebagai ‘yang
lain’, liyan, (The Other) ujar Tariq. Bahwa Islam bukan bagian dari mereka. Akibatnya,
Islam dianggap asing dan patut dicurigai. Oleh karena Islam telah lebih dulu dilabeli
sebagai “yang lain” itulah, maka selamanya keberadaan Islam dianggap berpotensi
mengancam. Sikap seperti inilah yang dinamakan
‘Islamophobia.’ Sindrom ketakutan terhadap Islam.
Berbeda dengan Ramadhan, menurut Bobby Sayyid dan
Abdoolkarim Vakil (2009), Islamophobia yang terjadi di Barat tidak melulu
berangkat dari kebencian terhadap Islam dan ajarannya (Umar, 2015). Bagi
mereka, ada faktor-faktor lain yang turut memperkuat sikap ini. Sebab, citra
Islam di Barat dewasa ini sudah lebih dinamis dan mulai banyak diterima. Jumlah
mualaf di Barat yang semakin banyak tiap tahunnya membuktikannya.
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar (2015) meyakini bahwa
akar masalah yang paling mendasar adalah persoalan ekonomi politik. Hal ini
dimulai dari kesenjangan ekonomi yang melebar di Timur Tengah mendorong
meningkatnya arus imigrasi orang-orang Arab muslim ke Eropa. Fenomena ini
adalah ekses dari pada kesenjangan antara negara-negara Utara yang kapitalistik
dan Selatan yang miskin. Antara ‘Negara-negara Pusat’ (Core) yang memonopoli pasar internasional, menggenggam permainan
globalisasi, dan ‘Negara-negara Pinggiran’ (Satellite)
yang menjadi buruh dan anggotanya.
Kesenjangan inilah yang membuat negara-negara di
Selatan seperti Timur Tengah bergantung pada negara-negara di Utara. Karena
urusan penghidupan semakin sulit di negeri asal, mereka mau tidak mau harus
bemigrasi. Belum lagi gejolak konflik horizontal yang terjadi tiada henti-hentinya
disana. Harapan akan masa depan yang cerah di Eropa sebagai gantinya akhirnya mendorong mereka menjadi imigran.
Jalan Keluar
Selama
majalah Charlie Hebdo meneruskan aktivitas mereka, maka kemungkinan aksi
susulan sewaktu-waktu akan kembali terulang. Tetapi, harus dimengerti, bahwa di
Prancis dan Barat secara umum, sikap majalah ini bukan merupakan suatu
kesalahan. Kebebasan berekspresi adalah segala-galanya. Oleh karenanya tidak
boleh diganggu gugat. Sehingga, tindakan muslim radikal itulah yang mesti disalahkan.
Warga muslim disini mempunyai kewajiban untuk menahan diri dan mendorong
terhadap pemecahan-pemecahan masalah yang lebih persuasif.
Hal ini bukan berarti bermaksud menomorduakan Islam.
Kenyamanan dan keamanan muslim di
Prancis adalah lebih utama. Sebab, kita tidak ingin sikap seperti warga Amerika
terhadap muslim pasca peristiwa 11 September 2001 kembali terulang.
Apa yang dilakukan oleh para teroris Al-Qaida
kemarin sama sekali tidak mencerminkan akhlaq islami. Tidak menampilkan sisi
Islam yang humanis yang seharusnya ditonjolkan dalam etika pergaulan (Muamalah) sesama masyarakat yang berbeda
latar belakang agamanya.
Menurut penulis, satu-satunya cara terbaik untuk
mengakhiri masalah ini adalah dialog. Dalam proses ini yang paling diutamakan adalah
iktikad untuk saling percaya. Alasan mengapa Charlie Hebdo membenci Islam harus
ditelusuri. Apakah pada ajarannya ataukah pada orang-orangnya. Kaum muslim juga
harus pandai memecahkan salah kaprah yang dipahami majalah sayap kiri tersebut.
Mempertemukan persamaan harus lebih diutamakan ketimbang perbedaan. Dengan begitu, mudah-mudahan toleransi dan perdamaian
terus terpelihara di Prancis.
Kalumata, 13 Januari 2015
Komentar
Posting Komentar