KAMMI Sebagai Ideologi[1]
KAMMI Sebagai Ideologi[1]
Diakses dari https://www.google.com/search?q=ideology+painting&client
“Ideologi KAMMI bukan
sesuatu yang final, dan tak boleh final”
(Imron Rosyadi)
Ideologi memang selalu
menjadi perbincangan menarik yang tiada henti-hentinya dalam diskursus
pergerakan mahasiswa. Mendefinisikan dan mengkategorikannya, merupakan
pekerjaan yang oleh banyak aktivis dianggap penting. Terutama bagi gerakan
dengan ideologi yang belum jelas. Atau yang belum sama sekali diketahui
menganut ideologi apa. KAMMI adalah salah satunya.
Ideologi dalam diskursus
ke-KAMMI-an dalam setiap waktu selalu menjadi pokok diskusi yang tiada
putus-putusnya. Setiap masa, dalam regenerasi KAMMI, mulai level komisariat
hingga pengurus pusat, tidak henti-henti membicarakannya. Khususnya, dalam Daurah Marhalah III dimana kader di didik
menjadi ideolog-ideolog KAMMI.
Pada jenjang tertinggi
pangkaderan KAMMI ini, kader dituntut sejauh mana mampu meredefinisi KAMMI.
Bahkan kalau bisa, mengkritik dan mendekonstruksikannya. Mulai karakter
gerakan, yang selalu menjadi perdebatan –antara cocok tidaknya KAMMI menjadi gerakan
mahasiswa atau partai politik. Hingga
seputar masalah ideologi, yang umumnya diorientasikan ke dalam Garis-Garis
Besar Haluan Organisasi (GBHO).
Dalam makalah ini, penulis
akan menguraikan apa sebenarnya ideologi yang dianut KAMMI. Apakah yang seperti
disangkakan oleh sebagian besar kader, yakni sebagai perpanjangan tangan
Ikhwanul Muslimin, Tarbiyah atau PKS? Ataukah dalam bentuk lain, yang baru-baru
ini menjadi diskursus yang ramai di bicarakan oleh komunitas KAMMI Kultural.
Definisi Ideologi
Ideologi (mabda’) pertama kali dikemukakan oleh filsuf
Prancis, Antoine Destutt De Tracy (1754-1836), pada abad 18.[2] Ia mendefinisikan ideologi sebagai sains
tentang ide. Sains ini digunakan untuk mendeskripsikan ide secara eksplisit.
Agar dapat diketahui dan dipelajari secara luas oleh masyarakat.
Penemuan De Tracy
berhasil mentransformasi ideologi yang dahulunya hanya berhenti sekedar
kesadaran praktis, menjadi kesadaran diskursif.[3] Dengan begitu, definisi
dan tujuan ideologi menjadi semakin jelas. Sehingga, pada tahap selanjutnya
mampu direkayasa menjadi semakin teruji sebagai solusi bagi permasalahan
masyarakat.
Menurut Franz Magnis
Suseno (1991), Guru Besar Filsafat di STF Driyarkara, ideologi merupakan
keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah
gerakan, kelompok sosial atau individu.[4] Ideologi pada konteks
definisi ini, baru berada pada tataran normatif. Sebatas ranah metafisik, belum
berpijak pada ranah praktis. Ideologi masih sebagai archia (baca: asal usul)[5] yang mendahului genealogi
praktisnya.
Martin Suryajaya (2015)
memandang ideologi sebagai gambaran yang disadari maupun tidak disadari tentang
kenyataan sosial-politik.[6] Gambaran itu diterima
begitu saja tanpa ditelusuri benar tidaknya. Hal ini senada dengan pendapat
Karl Marx (1818-1883) mengenai ideologi sebagai ‘kesadaran palsu’ atau
kesadaran yang keliru tentang kenyataan sosial-politik. Kesadaran tanpa daya
kritis ini mengalihkan manusia jauh dari kebenaran. Seperti, pandangan umumnya
manusia bahwa pasar bebas itu baik, padahal merugikan negara-negara berkembang
yang notabene kondisi perindustriannya belum sekokoh negara-negara maju (baca:
industrialis). Dalam kasus ini, ideologi sebagai tindakan ketaksadaran
merupakan hasil tindakan pseudo- aksiomatik produk negara-negara maju yang
disebut Antonio Gramsci: “hegemoni.”[7]
Berbeda dengan beberapa definisi
di atas, Antonio Gramsci memutarbalik definisi ideologi secara induktif.
Ideologi menurutnya mengatur manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak,
mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka, dan sebagainya.[8] Perbedaannya, ideologi
tidak berhenti pada ranah metafisik, melainkan mengendalikan manusia dalam
ranah praktis. Sebab, ideologi lahir dari tindakan-tindakan manusia, bukan dari
buah pikiran mengenai baik buruk. Kendati, berlangsung secara sadar atau tidak
sadar (hegemoni).
Lebih lanjut, pendapat
Gramsci diperkuat oleh gagasan Louis Althusser (1918-1990) mengenai penyebaran
ideologi. Filsuf Prancis ini mengungkapkan bahwa bekerjanya ideologi
dipengaruhi oleh sederet pranata yang disusun pemerintah untuk mengendalikan
rakyat tanpa menggunakan aparatus (alat) kekerasan. Pranata ini bekerja secara bottom-up mempengaruhi keyakinan
masyarakat melalui lembaga-lembaga semi-formal dengan kewenangan privat. Mulai
dari lingkungan keluarga, lembaga agama (masjid/gereja), sekolah, lembaga hukum,
partai politik, serikat buruh, media, lembaga kebudayaan, dan sebagainya.
Althusser menyebutnya aparatus ideologis negara.[9]
Aparatus ini dibedakan
dengan aparatus represif negara. Yang secara fungsional memiliki fungsi sama,
namun dengan metodologi berbeda. Aparatus represif negara bekerja dengan jalan
kekerasan untuk mengideologisasi warganya. Ia menggunakan lembaga formal yakni
aparatus negara (pemerintah, administrasi, angkatan bersenjata, kepolisian,
pengadilan, penjara dan sebagainya).[10]
Muhammad Ismail menyatakan bahwa
ideologi (mabda’) merupakan ‘aqidah ‘aqliyyah yanbatsiqu ‘anha an
nidzam, yang berarti: seperangkat kaidah berfikir yang melahirkan
aturan-aturan dalam kehidupan (nizham).[11]
Melalui definisi ini, Ismail menyatakan sesuatu dapat disebut ideologi apabila
memenuhi dua kondisi, yaitu memiliki ‘aqidah ‘aqliyyah sebagai fikrah
(epistemologi) dan memiliki sistem (aturan) sebagai thariqah (metodologi).
Makna ideologi sebagai epistemologi
berarti gagasan mengenai ideologi harus dapat dideskripsikan. Yang
menderivasikan ideologi sebagai sistem berfikir,
nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah. Sedangkan, metodologi adalah
pengandaiannya. Bahwa tidak mungkin ada ide tanpa basis material yang
mengondisikannya. Relasi ini mengaksentuasi ide bukan sesuatu yang terberi (given), muncul begitu saja. Maka, dengan
menggunakan konseptualisasi Ismail ini, kita bisa menempatkan kerangka definisi
ideologi dalam relasi filosofis: epistemologi-metodologi-praxis.[12]
Jadi, secara singkat
dapat digeneralisasikan, ideologi merupakan sistem ide, gagasan dan tata nilai
yang muncul dari praktik-praktik yang dilakukan manusia secara sadar maupun
tidak sadar sehingga mengondisikan ide dan gagasannya mengenai baik buruk. Sama
halnya dengan Pancasila, sebagai ideologi negara yang disampaikan Ir. Soekarno
dalam pidato bertanggal 1 Juni 1945: “Karena saja dalam hal Pantjasila itu
sekadar menjadi “perumus” dari perasaan-perasaan jang telah lama terkandung
bisu dalam kalbu rakjat Indonesia.”[13]
Perkembangan Perumusan
Ideologi KAMMI
Muktamar KAMMI I di
Bekasi akhir tahun 1998 menandai
permulaan penemuan ideologi KAMMI. Penemuan itu adalah perubahan bentuk
gerakan yang tadinya tidak lebih dari sebuah aliansi aksi mahasiswa menjadi
organisasi mahasiswa yang memiliki AD dan ART. Hal itu adalah keputusan yang tepat
dan visioner, mengingat keran reformasi yang baru saja dibuka beberapa bulan
tidak semestinya dibiarkan mengalir begitu saja tanpa pengawalan. Dan
organisasi kemahasiswaan adalah aktor yang tepat untuk menunaikan tugas itu.
Keputusan itu dirasa
penting sebab arus dukungan mahasiswa dan warga masyarakat kala itu demikian
besarnya. Bisa dibayangkan, ribuan massa KAMMI yang berkumpul pada aksi perdana
di depan Masjid Al-Azhar, untuk sebuah organisasi yang baru berdiri satu minggu
sebelumnya, apakah bukan sebuah gebrakan penting? Untuk tidak menyebutnya
sebagai prestasi gemilang.
Setelah berubah menjadi
organisasi pergerakan mahasiswa (harakatul
amal), gejolak dinamika dalam tubuh KAMMI makin sering terjadi. Pada
tahun-tahun berikutnya berkali-kali Muktamar Luar Biasa (MLB) harus dilakukan
untuk menjaga eksistensi gerakan. Ketua umum KAMMI harus berpindah ke lain
orang sebelum genap menyelesaikan periode kepemimpinan selama dua tahun. Bahkan,
pernah dalam satu tahun periode kepengurusan, terjadi dua kali pergantian ketua
KAMMI. Pada masa-masa itu juga, KAMMI pernah dipimpin dengan pola presidium,
kendati tetap saja mesti menyelenggarakan suksesi yang tidak direncanakan.[14]
Pada Muktamar ke IV di
Samarinda, rumusan ideologi KAMMI menjadi semakin matang. Menurut Imron
Rosyadi, Ketua SC Muktamar saat itu, sifat organisasi yang terbuka dan
berorientasi publik dicetuskan pada momentum akbar tersebut. Berikut beberapa
konsep yang dikenal sekarang seperti Paradigma Gerakan, Muqoddimah Anggaran Dasar, Kredo dan AD-ART yang baru. [15]
Yang menarik, konsep
pertama mengenai KAMMI sebagai institusi publik hingga saat ini belum banyak
diketahui kader. Informasi mengenainya barangkali baru beredar luas tiga tahun
belakangan ini. Setelah beberapa kali sarasehan diselenggarakan KAMMI Kultural.
Konsep KAMMI sebagai
institusi publik (wajihah ‘am) ini
muncul pasca Muktamar III di Lampung. Salah satu muktamar paling panas dalam
sejarah KAMMI. Berawal dari kedatangan pengurus terpilih ke salah satu kediaman
tokoh besar Tarbiyah. Seperti yang dituturkan Imron Rosyidi; “Waktu itu setelah Muktamar Lampung.
Beberapa pihak yang terpilih setelah konflik, datang ke seorang tokoh tarbiyah
top nasional untuk bersilaturrahmi dan meminta legitimasi soal konflik yang
terjadi di tubuh KAMMI pada masa itu. Namun, tokoh itu justru menyatakan bahwa KAMMI
sudah diwakafkan untuk publik dan oleh sebab itu selesaikanlah melalui logika
publik.” Menurut isu yang beredar tokoh tersebut adalah Ustaz Hilmi Aminudin.
Senada dengan hal tersebut, Rijalul
Imam menceritakan dalam Sarasehan Inteligensia II di Jakarta tahun 2013 silam,
pernah berpapasan dengan Ustaz Rahmat Abdullah di suatu tempat. Saat itu ia
meminta nasehatnya mengenai dinamika di
tubuh KAMMI yang berjalan mulai tidak baik. Namun, Ustaz Rahmat dengan singkat
mengatakan KAMMI sudah menjadi milik kader-kadernya, maka kader-kadernyalah
yang tahu dan bisa menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri, sembari berlalu
meninggalkan Rijal.
Kedua peristiwa ini menandakan KAMMI bukan milik
siapa-siapa. Bukan milik jamaah atau partai manapun. Tidak berbaiat kepada
Allah SWT melalui organisasi apapun. KAMMI adalah milik kader-kadernya yang
menggerakkannya dengan mandiri, independen dan profesional. Sebagaimana telah
dimanifestokan dalam Kredo Gerakan; “Kami adalah orang-orang yang berpikir dan
berkendak merdeka. Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak.
Kami hanya bertindak atas dasar pemahaman, bukan taklid, serta atas dasar keikhlasan, bukan mencari pujian atau
kedudukan.”[16] Atas dasar alasan itulah kader KAMMI pada
Muktamar Samarinda memutuskan menyepakati usulan mantan Ketua KAMMI DIY
2001-2002 itu. Kendati, pasca Muktamar resonansi konsep ini tidak lagi
terdengar.
Hadirnya Muqaddimah AD yang baru
disusun saat itu, sebagai amandemen dari AD-ART lama yang disusun angkatan
Fahri Hamzah, membawa napas baru bagi
KAMMI. Secara elementer, KAMMI tidak
lagi diposisikan sebagai organisasi dakwah an
sich. Logika yang mana beredar luas pada awal pendirian KAMMI. Dalam muqaddimah ini dimasukkan
napas intelektualitas.
Hal ini bisa dilihat pada alinea kedua yang berbunyi; “Bahwa sesungguhnya mahasiswa
adalah entitas intelektual yang menempati posisi strategis dalam perjalanan
sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mahasiswa adalah agen-agen pengubah,
pilar-pilar keadilan dan kebenaran, teladan perjuangan, dan aset masa depan
bangsa Indonesia.” [17]
Tidak berhenti
disitu, pada alinea ketiga terkandung nafas transformatif. “Kaum muslimin
adalah bagian terbesar bangsa Indonesia, sehingga masa depan bangsa Indonesia
akan ditentukan oleh peran-peran sejarah kaum muslimin. Sementara itu, sejarah
Indonesia adalah sejarah tirani, penindasan, dan kedzaliman atas rakyatnya yang
mustadh’afin, termiskinkan, dan terpinggirkan. Sejarah kelam tersebut
pada penghujung abad ke-20—pada tahun 1998—telah mencapai puncaknya. Oleh
karena itu, sebagai manifestasi dari jiwa perjuangan Islam dan semangat
perjuangan mahasiswa, maka pada tanggal 1 Dzulhijjah 1418 H bertepatan dengan
29 Maret 1998 M, Mahasiswa Muslim Indonesia sebagai Aktivis Da’wah Kampus di
seluruh Indonesia menghimpun diri dalam sebuah wadah perjuangan yang bernama
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Nah, pada istilah mustadh’afin[18]
inilah makna transformatif itu bersemayam. Dengan begitu, KAMMI tidak hanya
punya semangat transendensi, namun juga liberasi.
Lalu, Apa Ideologi
KAMMI?
Sebelum menjawab
hal tersebut, saya ingin kembali menggunakan pendapat Muhammad Ismail mengenai
ideologi. Sebagaimana telah diuraikan di atas, ideologi menurutnya harus
memiliki epistemologi (fikrah) dan
metodologi (thariqah). Berkaitan
dengan hal tersebut, muncul pertanyaan: (1) apa epistemologi KAMMI, dan (2) apa
metodologinya?
Pertama kali
yang harus dijawab adalah metodologi KAMMI. Berarti, apa saja selama 16 tahun
dilakukan KAMMI adalah jawabannya.
Saya rasa semua
kader umumnya tahu apa yang dilakukan gerakan ini selama kurang lebih 16 tahun
adalah mengawal demokrasi. Kurang lebih melalui tiga ranah: politik, sosial dan
intelektual.
Pada ranah
politik, audiensi, aksi, advokasi dan silaturahmi ke pemerintah umumnya menjadi
agenda utama KAMMI dari level pusat hingga komisariat. Tetapi, seiring
berjalannya waktu, amanat reformasi yang selama ini dikawal KAMMI dan elemen
gerakan mahasiswa lain hampir semua tuntutannya telah terpenuhi. Imbasnya,
KAMMI tidak punya agenda lain selain menjadi “gerakan penanggap.” Gerakan reaksioner
dan bertindak atas isu-isu yang berkembang. Maka terjadilah kekosongan agenda
gerakan.[19]
Kekosongan itu
sejak awal pendirian KAMMI telah dicoba diatasi dengan mengambil ranah kedua,
yakni gerakan sosial sebagai lahan perjuangan baru. Mengingat sejak akhir abad
ke 20, tren gerakan sosial di seluruh dunia bergeser ke arah gerakan sosial
baru. [20]
Pada ranah
sosial, KAMMI menyibukkan diri dengan bermacam agenda kemasyarakatan. Umumnya
yang dilakukan KAMMI adalah membangun
desa mitra, pemberdayaan anak jalanan, pemberdayaan orang miskin, wanita tuna
susila dan sebagainya. KAMMI juga mengutus kader-kadernya sebagai relawan ke
daerah-daerah dimana terjadi bencana alam. Dari agenda ini lahirlah KAMMI
Reaksi Cepat (KRC) sebagai motor penggerak aksi kemanusiaan KAMMI yang tersebar
di beberapa daerah di Indonesia.
Tidak hanya
sibuk mengabdikan diri pada masyarakat,
KAMMI juga melakukan agenda-agenda berbau pecinta alam. Seperti mendaki
gunung, berkemah, menjelajahi daerah-daerah terpencil dalam rangka tadabbur alam, mensyukuri karunia Allah
SWT. Dari berbagai macam agenda ini lahirlah KAMMI Pecinta Alam (KAMMIPALA)
yang didirikan Liyuda Saputra dan kawan-kawan. Di Makassar, ada Social Service Centre (SSC) yang didirikan
Arif Ardiansyah bersama kader KAMMI Makassar.
Pada ranah
intelektual sebenarnya sudah berjalan sejak awal pendirian KAMMI. Setidaknya
banyak kader KAMMI yang masuk menjadi tenaga pengajar di puluhan perguruan
tinggi. Sayangnya, kesempatan itu tidak banyak digunakan untuk
mengaktualisasikan ideologi KAMMI. Setidaknya mengaktualisasi kredo gerakan, menurut
Yusuf Maulana, mantan Ketua Humas KAMMI DIY 2001-2002, mendefinisikan ukuran mantan
kader KAMMI yang dikatakan masih idealis.
Kelangkaan ini
kemudian dijawab dengan program komisariat berbasis kompetensi sebagai
antitesanya. Isu ini sebelumnya mencuat pada Sarasehan Inteligensia di Jakarta
tahun 2013 melalui sesi materi dari Badaruddin, mantan Ketua PP KAMMI. Lalu
menjadi isu garapan pegiat KAMMI Kultural yang kemudian diadopsi oleh pengurus
PP KAMMI sekarang. Kendati, hingga hari ini belum terpantau sejauh mana
perkembangannya.
Melalui ranah
intelektual, KAMMI tidak hanya memikirkan masa depan persebaran ide-idenya, namun
juga sekaligus hendak menemukan identitas aslinya. Dimana selama ini geliat
gerakannya selalu disetir oleh Jamaah Tarbiyah. Diskursus dalam gerakan selalu
bersifat tunggal diasosiasikan dengan Ikhwanul Muslimin. Dan yang paling sering
mengundang polemik adalah hubungan KAMMI dan PKS.
Puncak
kegelisahan ini kemudian berujung dengan lahirnya komunitas KAMMI Kultural.
Komunitas yang terdiri dari kader KAMMI lintas generasi, lintas struktural dan
jenjang kaderisasi ini, mengusung reformasi intektualitas di tubuh KAMMI yang
selama ini berlangsung monolitik. Kejumudan dan ketaklidan –yang di definisikan
Kredo Gerakan sebagai musuh- adalah juga
musuh mereka. Salah satu agenda komunitas
ini -yang pernah memicu kontroversi- adalah ide mengenai Post-Tarbiyah.[21] Sebuah wacana
untuk mendudukkan KAMMI pada pijakan idealnya sebagai institusi publik (wajihah ‘am). Sikap yang seharusnya
diambil KAMMI sebagai konsekuensi dari Paradigma
Gerakan yang dianut selama ini.
Kondisi faktual
di atas, sedikit banyak telah merepresentasikan kondisi material KAMMI
sekarang. Maka dengan sendirinya menjawab epistemologi KAMMI.
Namun, disinilah
sumber masalahnya, apa yang mau diuraikan mengenai epistemologi KAMMI. Apa
teori pengetahuan berikut asal-usulnya yang harus dijabarkan? Hingga detik ini
belum ada konsep dalam konstitusi KAMMI yang berwenang menjawabnya. Setidaknya,
yang barangkali mampu menjawabnya adalah GBHO. Terutama Prinsip Gerakan,
Paradigma Gerakan dan Kredo Gerakan. Itulah mengapa banyak intelektual KAMMI
–seperti Amin Sudarsono dan Rijalul Imam- mengatakan GBHO sebagai ideologi
KAMMI.
Menurut
saya, GBHO masih sekedar wajah, belum
kesatuan tubuh yang dikehendaki sebagai ideologi KAMMI. GBHO baru sebatas
menguraikan landasan moral. Masih dalam tataran filosofis dan normatif yang
saya pikir belum sepenuhnya menyentuh
realitas persoalan rakyat. Kondisi masyarakat yang termarginalkan dan mengalami
proses pemiskinan secara struktural, tidak akan mampu diubah jika KAMMI tidak
mempunyai pisau analisis yang jitu. Pisau analisis itulah yang akan membimbing
GBHO menuju ideologi.
Bila menggunakan
pendapat Muhammad Ismail, GBHO baru sebatas menjadi metodologi. Sedangkan
epistemologi belum terumuskan.
Jika kita
berkaca pada khazanah pergerakan pada umumnya, epistemologi gerakan biasanya dijelaskan
melalui sebuah manifesto. Manifesto inilah –secara epistemologi- dengan
sendirinya menjawab ideologi yang dianut sebuah gerakan. HMI misalnya,
menjabarkan ideologinya dengan “Nilai-nilai Dasar Perjuangan” (NDP) yang
disusun oleh Nurcholish Madjid. Komunisme dijelaskan Karl Marx dan Friedrich
Engels ke dalam “Communist Manifesto.”
Sosialisme Arab dijelaskan oleh Buku Hijau yang dikarang Moammar Khadafi. Nazisme
oleh Hitler dijelaskan ke dalam “Mein
Kampf.” Sedangkan, Maoisme dijabarkan Mao Tse-Tung ke dalam “Quotation of Chairman Mao Tse-Tung.”
Lalu, bagaimana dengan KAMMI?
Hal ini tidak
dimaksudkan bahwa manifesto adalah satu-satunya jalan untuk menjelaskan
ideologi KAMMI berikut –meminjam idiom Fikri Aziz- “jenis kelamin” gerakan yang
menjadi objek perdebatan selama ini.
Keberadaan
ideologi diperlukan untuk menentukan arah gerakan yang selama ini belum jelas. Jikalau banyak kader menyebut ideologi KAMMI
adalah Islam. Entah Islam dengan tanda
petik atau tidak, lantas apa yang membedakannya dengan Islam versi HMI, IMM,
PMII atau Gema Pembebasan? Sebab, mereka juga mengaku mengatasnamakan Islam dan
kepentingan umat Islam. Yang menarik mengenai hal ini, ada satu dua orang tokoh
KAMMI di Yogyakarta tidak setuju Islam menjadi ideologi.
Manifesto KAMMI Untuk
Indonesia
Pada Sarasehan
Inteligensia di Jakarta tahun 2013 silam, para pegiat KAMMI Kultural menjawab
kegamangan ini dengan menyusun sebuah manifesto. Manifesto tersebut dinamakan “Manifesto
KAMMI Untuk Indonesia.” Bertepatan dengan ulang tahun KAMMI ke 15, manifesto
ini di deklarasikan di Malang. Semacam deklarasi pelengkap terhadap Deklarasi
Malang.
Manifesto KAMMI
Untuk Indonesia terbagi ke dalam lima bab. Secara umum terbagi ke dalam empat
pembahasan. Dimulai dari sejarah bangsa Indonesia yang tertindas (baca:
deliberalisasi), kondisi material Indonesia saat ini yang terjerumus ke dalam
jebakan kapitalisme domestik dan global (baca: dehumanisasi), kedudukan KAMMI
di dalamnya, dan langkah yang harus dilakukan.
Manifesto ini
jika digeneralisasikan, dengan sendirinya menjawab ideologi yang selama ini KAMMI
anut -hanya barangkali pijakan materialnya yang
perlu diperkuat. Pertama, tauhid sosial adalah konsekuensi dakwah
tauhid. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Maa’uun (107) dan Surah Al-Balad (90).
Kedua, intelektual
profetik tidak boleh berhenti hanya pada aras intelektual yang memusatkan aspek
spiritual dan syariat sebagai laku intelektual an sich. Namun, juga harus berwatak transformatif. Yakni memiliki
kontribusi untuk mengubah fenomena-fenomena sosial yang ada. Pengetahuan yang
dikembangkan oleh KAMMI harus berpijak di atas tiga pilar profetik:
transendensi, liberasi, dan humanisasi.[22]
Ketiga, sebagai gerakan sosial independen dan politik ekstraparlementer,
KAMMI harus terjun dan bergerak bersama rakyat. Sudah tidak relevan lagi bagi KAMMI menjadi gerakan
yang merepresentasikan kepentingan rakyat –melalui aksi sehari-hari- tanpa melibatkan
rakyat.[23] Sudah saatnya
KAMMI bertransformasi menjadi gerakan masyarakat sipil.[24] Sebab,
kekuatan KAMMI hanyalah bersama rakyat yang tertindas dan termarginalkan. Rencana
Strategis PP KAMMI 2013-2015 yang meletakkan Gerakan Sipil Keummatan sebagai
instrumen gerak KAMMI ke depan oleh karenanya patut diapresiasi sebagai permulaan
yang baik. [25]
Dengan menganalisa manifesto tersebut, kekaburan terhadap ideologi KAMMI
lambat laun dapat dijernihkan. Merujuk pada manifesto tersebut, ideologi yang
KAMMI anut setidaknya dapat dideskripsikan sebagai Islam yang berwatak
pembebasan atau transformatif. Atau Islam dengan napas Kiri, gagasan Kiri Islam-nya
Hasan Hanafi barangkali dapat menjadi diskursus yang relevan disini. Termasuk
gagasan Sosialisme Islam-nya Cokroaminoto, atau gagasan Islam Transfomatif yang
diwacanakan oleh Muslim Abdurrahman. Tetapi juga tidak menutup gagasan apapun
saja yang mengawinkan Islam dan semangat pembebasan umat dari cengkeraman
feodalisme, kapitalisme dan imperialisme.
Penggunaan istilah ini memang dilematis. Sebab, telah dipakai dan menjadi
identitas beberapa pemikir, kalau bukan sekelompok orang. Tetapi, untuk tujuan
pengetahuan, sebenarnya tidak ada salahnya untuk mengajukannya ke atas meja
diskursus keKAMMIan. Toh, Manifesto KAMMI Untuk Indonesia hingga saat ini belum
diratifikasi oleh PP KAMMI, maka, biarkanlah istilah ini menjadi wacana yang
berseliweran kemana-mana sembari menunggu kepastian nasibnya di kemudian hari.
Penutup
Menurut penulis,
keberadaan Manifesto KAMMI Untuk Indonesia sedikit banyak sudah menjawab
pertanyaan mengenai apa itu ideologi KAMMI. Hanya saja hal ini akan menjadi ajang
diskursus, polemik dan perdebatan panjang. Kendati manifesto ini nantinya
diterima, epistemologi atau bahkan identitas ideologi KAMMI akan bisa saja berbeda
dengan napas gramatikal yang tersirat di dalamnya. Dan tidak menutup
kemungkinan akan berkembang dinamis seiring dengan dinamika pergerakan KAMMI di
kemudian hari.
Untuk
menengahinya, sembari menunggu respon PP KAMMI, baiknya tafsiran atas manifesto
tadi ditunda dahulu. Bukankah tafsiran sekelompok kecil orang agaknya tampak tidak
etis untuk merepresentasikan gerakan yang dihuni ribuan orang? Apalagi belum mendapat
mandat dan legitimasi kader secara keseluruhan untuk menafsirkannya. Oleh
karena itu, menurut saya, tafsiran paling representatif mengenai apa itu
ideologi KAMMI adalah KAMMI itu sendiri. Pendek kata: ideologi KAMMI adalah
KAMMI.
KAMMI disebut
ideologi karena secara metodologi dan epistemologi, laku kader secara sadar dan
tidak sadar selama ini telah mengekspresikannya secara eksplisit. Landasan
mereka bergerak karena mereka adalah
kader KAMMI. Sebab, menjadikan KAMMI sebagai spirit adalah sebuah imperatif
kategoris. Yakni sebuah perintah yang tak perlu pemahaman muluk-muluk. Pakem
KAMMI sebagai pola pikir dan bertindak sudah cukup bagi kader untuk bekerja merealisasikan
visi kepemimpinan Indonesia yang Islami. Itulah ideologi KAMMI. Wallahu alam bis shawab.
Daftar Pustaka
Buku
Al-Quranul
Kariim
Al-Fayyadl,
Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta:
Lkis
Patria,
Nezar dan Andi Arief. 2009. Antonio Gramsci: Negara dan Revolusi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Simon,
Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik
Gramsci. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Althusser,
Louis. 2010. Tentang Ideologi: Marxisme
Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra
Suryanegara,
Ahmad Mansur. 2010. Api Sejarah 2.
Bandung: Salamadani
Amrullah,
Taufik. 2008. KAMMI Menuju Muslim
Negarawan. Bandung: Muda Cendekia
Artikel dan Makalah
Sudarsono, Amin. “Ideologi Gerakan KAMMI.” http://jelajahsemesta.blogspot.com/2007/07/ideologi-gerakan-kammi.html.
Diakses pada tanggal 27 Januari 2015
Surjayaja, Martin. “Pengantar Ideologi.” http://indoprogress.com/2014/12/pengantar-ideologi/.
Diakses pada tanggal 27 Januari 2015
Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. Post-Modernisme
Kammi: Risalah (De)Konstruksi Dan (Re)Konstruksi Dari Ideologi Ke Kaderisasi.
Makalah Prasayarat Training For
Instructur (TFI) KAMMI Wilayah Yogyakarta. Diakses pada tanggal 28
Januari 2015
Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. “Ideologi
Gerakan KAMMI Belum Selesai! – Catatan Sarasehan Nasional Intelegensia
KAMMI (2).” https://kammikomsatugm.wordpress.com/2012/12/25/ideologi-gerakan-kammi-belum-selesai-catatan-sarasehan-nasional-intelegensia-kammi-2/.
Diakses pada tanggal 27 Januari 2015
Nurjaman, Dadang. Pemikiran Ali
Syari’ati. Makalah untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat
Islam. www.infodiknas.com/pemikiran-ali-syariati-diajukan-untuk-memenuhi-salah-satu-tugas-mata-kuliah-filsafat-islam.html.
Diakses pada tanggal 28 Januari 2015
Umasangaji, Muhammad Sadli. KAMMI
Sebagai Gerakan Sipil Keummatan (Bagian 1). http://www.kammikultural.org/2014/11/kammi-sebagai-gerakan-sipil-keumatan.html.
Diakses pada tanggal 28 Januari 2015
Wikipedia. Ideologi. http://id.wikipedia.org/wiki/Ideologi.
Diakses pada tanggal 27 Januari 2015
Dokumen
Anggaran
Dasar KAMMI
Manifesto KAMMI Untuk Indonesia
Kredo Gerakan KAMMI
[1]
Disampaikan dalam diskusi dwi pekanan Kebijakan Publik KAMMI Daerah Kota
Ternate, Rabu 28 Januari 2015
[2]
Wikipedia. “Ideologi.” http://id.wikipedia.org/wiki/Ideologi.
Diakses pada tanggal 27 Januari 2015
[3]
Ideologi dulunya hanya mampu dihayati dan diaplikasikan manusia tanpa bisa
didefinisikan. Ia hanya bersifat praktis, tak terdefinisi. Tetapi, seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang melahirkan
bermacam-macam ideologi. Muncul kebutuhan untuk membedakan beragam ideologi
tersebut. Sehingga, lahirlah definisi dan sains yang mempelajarinya. Maka
sifatnya menjadi diskursif. Artinya, mampu diuraikan dalam kata-kata secara
eksplisit.
[4] Sudarsono, Amin. “Ideologi Gerakan KAMMI.” http://jelajahsemesta.blogspot.com/2007/07/ideologi-gerakan-kammi.html.
Diakses pada tanggal 27 Januari 2015
[5]
Lihat Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida.
Yogyakarta: LKis. Hlm. 26
[6] Surjayaja, Martin. “Pengantar Ideologi.” http://indoprogress.com/2014/12/pengantar-ideologi/.
Diakses pada tanggal 27 Januari 2015
[7]
Hegemoni dapat diartikan sebagai pengondisian struktur sosial sesuai keinginan
subyek (penguasa) tanpa penggunaan aparatus kekerasan dan biasanya disadari
atau tidak disadari oleh obyek (rakyat). Kuncinya ada pada kepemimpinan dan
konsensus. Lebih lanjut lihat Patria, Nezar
dan Andi Arief. 2009. Antonio
Gramsci: Negara dan Revolusi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 115-116
[8]
Lihat Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan
Politik Gramsci. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 83-84
[9]
Lebih lanjut lihat Althusser, Louis. 2010. Tentang
Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies.
Yogyakarta: Jalasutra. Hlm. 19-20
[10]
Ibid., Hlm. 19
[11]
Sudarsono, Op Cit.
[12] Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah.
“Post-Modernisme Kammi: Risalah
(De)Konstruksi Dan (Re)Konstruksi Dari Ideologi Ke Kaderisasi.” Makalah
Prasayarat Training For Instructor
(TFI) KAMMI Wilayah Yogyakarta.
[13]
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2010. Api
Sejarah 2. Bandung: Salamadani. Hlm. 130
[14]
Lebih lanjut lihat Amrullah, Taufik. 2008. KAMMI
Menuju Muslim Negarawan. Bandung: Muda Cendekia.
[15]
Lihat Umar, Ahmad Rizky
Mardhatillah. “Ideologi
Gerakan KAMMI Belum Selesai! – Catatan Sarasehan Nasional Intelegensia
KAMMI (2).” https://kammikomsatugm.wordpress.com/2012/12/25/ideologi-gerakan-kammi-belum-selesai-catatan-sarasehan-nasional-intelegensia-kammi-2/.
Diakses pada tanggal 27 Januari 2015
[16]
Kredo Gerakan KAMMI
[17]
Anggaran Dasar KAMMI
[18]
Mustadh’afin adalah idiom yang kerap
diasosiasikan dengan Ali Syari’ati. Kendati telah lebih dulu dipakai oleh Imam
Khomeini. Mustadh’afin bermakna
sebagai kelas bawah (tabaqeh e payin),
yang tercakup disana: orang-orang tertindas, yang dieksploitir, kaum yang
lemah, yang lapar, miskin, pengangguran, yang tak berpendidikan, tuna karya dan
tuna wisma. Lebih lanjut lihat Nurjaman, Dadang. “Pemikiran Ali Syari’ati.” Makalah untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat Islam. www.infodiknas.com/pemikiran-ali-syariati-diajukan-untuk-memenuhi-salah-satu-tugas-mata-kuliah-filsafat-islam.html.
Diakses pada tanggal 28 Januari 2015.
[19]
Kendati hal ini telah KAMMI jawab dengan
launching program jangka panjang
Jaminan Pendidikan Nasional (Jamdiknas) tahun 2014 silam.
[20]
Sebuah tren gerakan sosial yang tidak lagi hanya mengusung ranah ekonomi
politik menjadi sentra perjuangan. Namun, meluaskannya kepada isu-isu mengenai lingkungan, kemiskinan,
gender dan lain sebagainya.
[21]
Mengenai ide ini lebih lanjut, lihat artikel Fachry Aidulsyah, “Membicarakan Post-Tarbiyah” dan Ahmad
Rizky Mardhatillah Umar, “Memperjelas
Post-Tarbiyah.”
[22] Manifesto KAMMI Untuk
Indonesia, Bab IV
[23]
KAMMI sering kali tidak mampu membaca keinginan rakyat. Sebab, jarang
membicarakan kepentingan rakyat langsung bersama rakyat. Tidak seperti gerakan
kiri yang mampu membacanya dengan baik.
[24]
Ibid.
[25]
Gagasan utama masyarakat sipil adalah situasi
kehidupan yang mampu menghadirkan kesetaraan antara peran rakyat dengan
penguasa. Entitas masyarakat sipil sendiri berfungsi sebagai penyeimbang
kekuasaan yang berpotensi memaksakan kehendaknya di ruang publik politik.Konsep
masyarakat sipil juga merujuk pada kajian tentang kekuasaan politik yang
mengacu pada teori kontrak sosial. Masyarakat sipil merupakan ide normatif
mengenai kebebasan dan persamaan warga negara sebagai kesatuan politik, bukan
masyarakat yang menciptakan negara tetapi melalui kontrak sosial kehadiran
masyarakat disatukan di bawah kekuasaan negara. Kekuatan sipil juga menunjukkan
adanya kontrol sipil terhadap pemerintah. Lihat Umasangaji, Muhammad Sadli. “KAMMI Sebagai Gerakan Sipil Keummatan
(Bagian 1).” http://www.kammikultural.org/2014/11/kammi-sebagai-gerakan-sipil-keumatan.html.
Diakses pada tanggal 28 Januari 2015
jawabannya pada akhirnya dengan mengutip paradigma gerakan kammi, yang sebenarnya sudah lama dikenal dan mestinya mengenal. maka kekaburan ideologi itu adalah karena ketidakpekaan kader dalam membaca kammi, sehingga yang menjadi soal adalah ketika kesadaran ini muncul maka apa yang menjadi alasan memilih kammi ketika dahulu ? pada artinya saat lalu berjalan dengan kammi pada posisi ketidak pahaman arah dan tujuan
BalasHapussoal komisariat berbasis kompetensi sebenarnya adalah sinyal sejak awal yang digambarkan para pengurus kammi di awal pendirian hanya saja ketidak pekaan kader yang menilai konstruksi kepengurusan yang berbasis kompetensi, setidaknya ini menjadi gambaran kecil kader sekarang untuk paham
pada akhirnya saya mengapresiasi tulisan ini yang kemudian secara sadar dan menemukan cahaya dari kekaburan yang sebenarnya tidak ada..
Bismillahir Rahmanir Rahim
BalasHapusSalam dan selawat
Kepada:
Mahasiswa
Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Indonesia.
Pertanyaan mahasiswa: Adakah kalian bersetuju semua sahabat itu sesat kecuali 3 orang: Miqdad bin Aswad, Abu Dzar dan Salman al-Farisi menurut sumber Syiah?
Jawapan 1.
Al-Qur'an sebagai asas agama Islam
Sesat atau kafirnya seorang muslim termasuk sahabat, adalah terletak kepada sejauh mana mereka percaya dan menghayati ajaran al-Qur'an dalam kehidupan mereka.
Jawapan 2
Sunnah Nabi saw sebagai asas agama Islam selepas al- Qur'an.
2. Sejauh mana mereka percaya dan menghayati Sunnah Nabi saw dalam kehidupan mereka.
Jawapan 3
3.Justeru, ia bukan soal kalian bersetuju atau pun tidak dengan seorang itu sesat atau kafir kerana ia berkait rapat dengan sistem nilai yang diakui oleh Allah dan Rasul-Nya.
Jawapan 4
4. Sumber Sunni tentang kesesatan atau kekafiran majoriti para sahabat Nabi saw selepas kewafatan Nabi saw kerana mereka telah mengubah Sunnah Nabi saw, boleh didapati dalam Sahih al- Bukhari, Kitab al-Riqaq, bab al- Haudh, hadis no.584, 585,586, dan 587.
Hadis no. 587 menyatakan bahawa mereka (sahabat) telah murtad ke belakang. Justeru, aku tidak melihat mereka (sahabat) terselamat melainkan segelintir daripada mereka (bilangan yang sedikit) seperti unta yang tersesat atau terbiar daripada pengembalanya (mithlu humali nna'am).
Jawapan 5
5. Sahih Muslim, bab Ithbat Haudhi Nabiyyi-na menyatakan bahawa hanya sedikit sahaja sahabat yang selamat kerana mereka telah mengubah Sunnah Nabi saw. Lihat, hadis no. 26, (2290), (2291), no. 27 (2293), 28, (2294), 32 (2297), 40 (2304).
Hadis no. 29 (2295) " Sesungguhnya aku akan mendahului kamu di Haudh. Tidak ada seorang pun daripada kamu (para sahabatku) akan mendatangiku sehingga dia akan dihalau atau diusir daripadaku sebagaimana dihalau atau diusir unta yang sesat (bilangan yang sedikit).
Aku bersabda: Apa salahnya? Sesungguhnya anda tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka selepas anda meninggalkan mereka. Jauh! Dari rahamat Tuhan (suhqan).
Jawapan 6
Al-Qur'an
6. Hanya sedikit sahaja di kalangan orang Islam yang mengikut al-Qur'an 100% sebagaimana Firman-Nya Surah al-Saba' (34): 13 " dan sedikit sahaja di kalangan hamba-hamba-Ku yang berterima kasih". Ini bererti kebanyakan orang-orang Islam sama ada sahabat atau bukan sahabat sedikit sahaja yang berterima kasih. Justeru, mereka disiksa oleh Allah swt kerana tidak berterima kasih.
Jawapan 7
7. Sila baca teks Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim tentang kekafiran majoriti para sahabat kerana mereka telah mengubah Sunnah Nabi saw. Justeru, ia menyalahi akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah yang percaya semua sahabat adalah adil.
Jawapan 8
8. Kekafiran majoriti para sahabat selepas kewafatan Nabi saw sengaja disembunyikan oleh para ulama Ahli Sunnah Wal-Jamaah dan Wahabi di Nusantara. Mereka meninggalkan penerjemahan bab al- Haudh dari Sahih Bukhari dan Sahih Muslim ke dalam bahasa ibunda. Justeru, umat Islam di Nusantara tidak mengetahuinya, lalu mereka menuduh Syiah mengkafirkan para sahabat Nabi saw pula. Pada hakikatnya, Nabi saw sendiri yang telah mengkafirkan majoriti para sahabatnya kerana mereka telah menguban Sunnahnya menurut Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.
Jawapan 9
9. Sila lihat, renungan 92. "Pengubahan al-Qur'an (Tahrif al-Qur'an) dalam buku-buku Sunni, Pengubahan Sunnah Rasulullah saw, penghinaan terhadap Rasulullah saw oleh para sahabat dan kekafiran majoriti para sahabat oleh Rasulullah saw sendiri" sila layari: al-mawaddah. info