Pemilu Mahasiswa: Sebuah Harapan atau Ilusi tentang Demokrasi?
Diambil dari http://www.rumahpemilu.com
Telah
lebih dari dua dekade demokrasi berlaku sebagai metode berpolitik negeri ini.
Kepercayaan rakyat terhadap keadilan, musyawarah dan kebebasan yang dijamin
olehnya, telah membawa demokrasi menjadi panduan tidak saja pada ranah politik
praktis, namun telah membumi ke ranah politik rakyat. Salah satunya pada ranah pemilihan umum
(pemilu) mahasiswa.
Demokrasi
dapat menjadi satu-satunya prototipe sistem politik terbaik dewasa ini
mengingat kiprah yang ditorehkannya selama berabad-abad. Pada saat harkat
kemanusiaan tidak lebih berharga dari pada binatang peliharaan, demokrasi hadir
membentur struktur yang menindas dengan mengusung kebebasan, keadilan dan
persaudaraan.
Ketika
perbudakan terhadap orang kulit hitam tengah berlangsung di Amerika, demokrasi
datang menawarkan emansipasi ras. Perbudakan atas nama kemanusiaan menjadi
ilegal ketika Abraham Lincoln memimpin negeri multiras tersebut. Bahkan, ketika
iktikad baik itu dibendung dengan perlawanan, perang atas nama demokrasi (baca:
perang sipil Amerika) pun pecah dan menuai kemenangan.
Di
Inggris, ketika Raja Charles I menginjak-injak Magna Charta, undang-undang
kesetaraan pertama di bumi Eropa, Oliver Cromwell, seorang perwira militer
kerajaan, membelot dan bersama rakyat melawan. Charles akhirnya kalah dan
digantung. Monarki Konstitusioanal akhirnya dapat bertahan di Inggris hingga
hari ini.
Kala
Pemilu Mahasiswa Digugat
Dewasa
ini, setiap kali pemilu digelar, kerap diikuti sejumlah konflik horizontal.
Intrik, tipu daya, dan fitnah, selalu menghiasi taktik partai-partai yang berkompetisi
di dalamnya. Sehingga, tidak heran jika beberapa waktu lalu sempat mencuat
wacana di Senayan: pemilihan umum secara langsung harus dihentikan. Dengan
dalih, untuk menghentikan konflik, merebaknya politik uang dan
kecurangan-kecurangan di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Kini,
dengan kondisi pemilu yang di asumsikan banyak orang sama buruknya, mahasiswa
lalu dilarang menggelar pemilunya sendiri. Di Universitas Muhammadiyah Maluku
Utara (UMMU), mahasiswa tidak di perkenankan pihak rektorat menggelar pemilu
untuk memilih ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) disaat hak-hak mereka banyak
disalahgunakan oleh segelintir oknum birokrasi universitas untuk mencari
keuntungan.
Kasman
Hi Ahmad sebagai rektor UMMU meyakini, penyelenggaraan pemilu mahasiswa di UMMU
untuk saat ini tidak relevan. Sebab, mental ketidakdewasaan dalam diri
mahasiswa akan kembali memicu terjadinya kericuhan (chaos) sebagaimana pernah terjadi sembilan tahun silam.
Menurut
penulis, sikap rektor tersebut ibarat membakar lumbung padi demi membunuh
tikus. Padahal, untuk menciptakan kondisi universitas yang stabil, aman dan
tenteram, bukan berarti harus meniadakan keberadaan BEM sebagai pemerintahan
mahasiswa (student government) yang sebenarnya
lebih banyak membantu. Peran BEM sebagai lembaga yang mewadahi aspirasi
mahasiswa, menjembatani komunikasi antara universitas dan mahasiswa serta mewakili
universitas pada forum-forum tingkat nasional dan internasional tentu saja tidak
dapat disepelekan.
Kendati
di satu sisi, fakta terkadang berkata lain. Masih banyak organisasi mahasiswa belum
dewasa mengendalikan dirinya. Reaksi dan anarki hampir selalu dikedepankan
ketimbang kreativitas dan persatuan dalam setiap agenda gerakan mereka. Apalagi
ketika berkompetisi dalam pemilu mahasiswa yang banyak dianggap bergengsi dan
prestisius tersebut? Maka, apa yang dikuatirkan Rektor UMMU tersebut bisa jadi
benar.
Kelemahan
ini adalah tugas besar sekaligus tantangan bagi mahasiswa UMMU untuk
membuktikan apakah dirinya mampu atau tidak? Sehingga, BEM yang kelak didirikan
juga akan mendatangkan kebaikan dan
berguna bagi kemajuan universitas ke depan. Jika tidak, maka apa yang
dikuatirkan Alfian Darmawan, bahwa pemilu mahasiswa jangan-jangan merupakan
sebuah ilusi tentang demokrasi menjadi kenyataan.
Zulfikhar
Mahasiswa
Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Maluku Utara
Dimuat di Malut Post, 11 Mei 2015
Komentar
Posting Komentar