BUANG
Diakses dari http://4.bp.blogspot.com
Oleh
Zulfikhar
Saya tidak persis tahu alasan
mengapa serdadu Angkatan Darat (AD) membawa saya ke sini. Rasanya aneh sekali.
Saya kerja baik-baik sebagai wartawan. Mendapat upah dengan cara yang
halal. Mendukung ide-ide Bung Karno sepenuhnya
dengan menuliskan berita-berita yang memperkuat pamornya sebagai pemimpin
revolusi. Tetapi mengapa saya malah di ringkus serdadunya sendiri?
Begitulah pergolakan
batin saya hingga saya bertemu Larso. Aktivis PNI Klaten. Katanya, saya sampai
di angkut ke sini karena koran di mana saya bekerja di tuding memiliki afiliasi
dengan PKI. Saya tidak percaya. Mana mungkin koran saya yang notabene adalah
corong propaganda PNI Cabang Purwodadi, bagian dari PKI? Apakah Bung Karno itu komunis?
“Gus, menurut saya,
kamu harus sadar betapa dekatnya Bung Karno dengan PKI beberapa tahun
belakangan ini. Kita juga sama-sama tahu bagaimana pandangan Bung Karno terhadap
PKI. NASAKOM itu kan sudah cukup jelas menerangkan, kalau beliau merangkul
PKI,” kata Larso dengan nada tegas.
“Iya. Itu pun semua
orang tahu. Tapi, beliau kan nasionalis. Nasionalis kiri persisnya, bukan
komunis,” bantah saya.
“Memang menurutmu
Angkatan Darat (AD) hanya menangkap komunis? Apa kamu enggak sadar kalau mereka
juga ingin menyingkirkan kelompok-kelompok yang sepihak dengan komunis? Ingat
Agus, dunia kini tengah perang dingin antara Blok Barat dan Timur.
Amerika
sebagai pemimpin Blok Barat, tidak merestui negara-negara yang tidak bergabung
ke dalam bloknya. Meski pun negara-negara tersebut menarik garis netral di
tengah-tengah kedua blok, termasuk negara kita. Bagi Amerika, negara-negara
yang berada di luar bloknya berarti musuh. Meski pun tidak masuk ke dalam Blok
Timur yang di pimpin Uni Soviet. Apa lagi belakangan ini kita menyaksikan Bung
Karno kerap bertemu dengan tokoh-tokoh komunis seperti Kruschev, Mao, Fidel dan
Che Guevara.”
Setelah mendengar
perkataan Larso, tiba-tiba alam pikiranku terbuka. Penjelasan Larso pelan-pelan
saya pikir ada benarnya. Pantas saja kemarin putra saudagar Tionghoa di pasar, Liem,
di angkut AD dari rumahnya. Padahal, ia hanya aktif di Badan Pekerja Indonesia
(BAPERKI).
Kini saya sadar
ormas-ormas yang mendukung ide-ide Bung Karno ikut di amankan Angkatan Darat.
Menurut Larso, keberadaan mereka yang selalu mendukung kebijakan-kebijakan Bung
Karno di nilai secara tidak langsung memelihara dan mendukung keberadaan PKI. Paling
tidak, dalam polemik politik akhir-akhir ini. Sementara PKI melalui organisasi
taninya, Barisan Tani Indonesia (BTI), beberapa tahun belakangan ini sudah jauh
terlibat dalam konflik agraria di daerah-daerah. Terutama areal-areal tanah
yang dikuasai para tuan tanah dan kiai-kiai kampung.
Selain itu, saya merasa
ada satu hal yang janggal. Sudah seminggu semenjak di bawa ke sini, saya dan puluhan
orang tahanan di sini tak kunjung dijebloskan ke penjara. Terhitung sudah dua
minggu kami ditempatkan di sebuah gudang di belakang kantor Koramil di Klaten. Di
beri makan satu kali sehari dan tidur beralaskan lantai.
Saya sendiri bingung,
mengapa kami tidak kunjung di sidang. Di
interogasi pun tidak. Beberapa kali muncul obrolan rahasia di antara para
tahanan. Menurut desas-desus yang beredar, kami akan di habisi, makanya sidang
tak lagi diperlukan.
Bagi kabar burung yang
satu ini, berhari-hari saya merenungkannya sendiri. Saya sangat khawatir, jujur
saya takut mati. Bagaimana nasib nenek saya nanti, jika saya benar-benar akan
di habisi? Siapa nanti yang akan mengurusnya?
Sering kali saya
bertanya-tanya dalam hati, apakah mungkin kami para tahanan di sini yang
rata-rata bukan anggota PKI atau pun organisasi underbouwnya layak di habisi?
Apa salah kami? Kami tidak pernah bermasalah dengan para tuan tanah. Kami juga
tidak pernah bermusuhan dengan para kiai, warga Nahdliyin ataupun
aktivis-aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia
(PII).
Berulang-ulang kali
Larso mengatakan pada saya, peristiwa malam 30 September di Jakarta terlalu
kabur untuk dinilai siapa sebenarnya yang menggerakkan Pasukan Cakrabirawa
menculik para jenderal. Dalang di balik peristiwa itu terlalu terburu-buru
disematkan pada PKI seperti yang disiarkan Harian Angkatan Bersenjata dan
Berita Yudha.
Bagi Larso, yang pernah
beberapa bulan bekerja di kantor PNI di ibu kota, kedekatan PKI dengan Bung
Karno ia perhatikan sudah terlampau dekat. Jika saja Bung Karno tidak di angkat
MPRS sebagai presiden seumur hidup, barang kali dalam pemilu yang akan datang,
PKI pasti akan unggul. Dengan jumlah kadernya yang lebih dari 1 juta orang di
tambah jutaan orang anggota organisasi underbouw plus simpatisan masyarakat
buruh dan tani, bukan pekerjaan yang sulit bagi PKI untuk memenangkan pemilu.
Bagi Larso, hal itu sudah terbukti ketika di gelar pemilu daerah pada akhir
1950an di mana beberapa daerah berhasil dimenangkan PKI.
Larso berkesimpulan,
dengan sederet keuntungan yang dimiliki PKI tersebut, bisa di simpulkan adalah
suatu tindakan yang bodoh jika PKI mengambil resiko mencabut nyawa para
jenderal AD dan mengumumkan kudeta yang mereka lakukan sendiri melalui RRI.
Pantas saja, lanjut Larso, dalam waktu sehari, kekuatan G30S berhasil dilumpuhkan
oleh Suharto tanpa perlawanan yang berarti.
***
Ketika matahari mulai
tenggelam di ufuk Barat, datang tiga truk masuk halaman gudang tempat kami di
tahan yang dikelilingi pagar seng. Belasan serdadu AD turun dari bak truk lalu
dengan cepat menggiring kami naik ke truk. Berjam-jam di tengah kegelapan
malam, truk kami menderu-deru menuju arah Barat. Saya tidak tahu kami akan
di bawa ke mana. Tak ada yang bisa kami lihat di luar. Lagipula, atap truk itu
di tutupi terpal gelap, untuk memenjarakan penglihatan kami.
Laju truk kami semakin
lama mulai melamban lalu berhenti bersamaan dengan kumandang adzan Subuh. Dari
jauh saya mendengar dengan sangat jelas deru suara ombak. Bau laut seketika
tercium, saya lihat hempasan angin semilir menerpa rambut Larso yang gondrong.
Sekonyong-konyong, para
serdadu menurunkan kami. Tangan kami lalu di ikat oleh seutas tali ke belakang yang
di hubungkan langsung ke leher. Melihat itu, tiba-tiba saya menangis sangat
keras. Simpul ikatan ini mengingatkan saya pada apa yang dilakukan serdadu Jepang
dulu pada bapak ibu saya sebelum mereka di eksekusi. Simpul ikatan tali semacam
ini saat itu khusus dilakukan para para tahanan yang akan di eksekusi mati. Tiba-tiba saja imaji kematian hadir dan membuat
bulu kuduk saya merinding. Lalu, tangisan saya tiba-tiba saja berhenti setelah
dua serdadu memukuli sekujur tubuh saya dengan pentungan.
Menjelang siang, kami
di bariskan berjejer menghadap pelabuhan.
Setelah melihat nama pelabuhan yang terpajang vertikal pada dinding
mercusuar, rupanya kami di bawa ke Cilacap.
Oleh beberapa serdadu kami
di giring duduk menghadap sebuah pulau besar yang di sebut Nusa Kambangan. Sekarang,
saya yakin sekali, kami pasti akan di bawa ke sana.
Perut saya terasa amat
lapar pagi ini. Tiga hari ini kami hanya diberi air, tak ada nasi seperti
biasanya. Rasa lapar tak kuasa saya
tahan. Kebetulan, saya duduk persis di samping rimbunan rumput matahari. Tanpa
basa basi, dengan cepat, kepala saya gerakkan untuk menerkam tanaman itu.
Daunnya saya kunyah dengan cepat dan saya sorong ke dalam perut. Meski pun pahit,
rasa lapar terbayar.
Lama kelamaan saya
menyaksikan ada yang aneh. Rombongan tahanan di barisan depan rupanya tidak
menaiki perahu motor penjara yang tertambat di Utara pelabuhan. Mereka di giring
memasuki sebuah kapal perang tua yang sudah mulai berkarat di sepanjang dinding
deknya turun ke lambung kapal. Hingga rombongan terakhir memasuki kapal, tidak
satu pun tahanan diarahkan menaiki perahu-perahu motor itu. Tiba-tiba saja, saya mendengar sayup-sayup suara
laporan salah seorang serdadu melalui radio saat berpapasan di ambang pintu
kapal. Kalau tidak salah, serdadu itu mengatakan; “Pak. Kapal telah siap menuju
Buru.”
Komentar
Posting Komentar