Muhammadiyah, Pergolakan Pemikiran dan Islam Berkemajuan



Diakses dari http://cms.monitorday.com

Oleh Zulfikhar
Mahasiswa Ilmu Politik UMMU

Memasuki abad globalisasi merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap pergerakan untuk bertemu dengan berbagai hal yang mengglobal. Pertemuan itu menimbulkan sikap yang mesti diambil apakah tetap bertahan dengan ideal-ideal ideologi yang lama atau beradaptasi dengan yang baru. Sebab, sudah menjadi sebuah tuntutan untuk menyikapinya. Sebagai organisasi yang hidup melintasi dua abad, Muhammadiyah kini diperhadapkan dengan fenomena ini. Karakter dakwah salafiah dan tajdid (pembaharu) selama ini menjadi identitas gerakannya sedang ditantang. 

Globalisasi yang serba mengondisikan masyarakat dunia untuk menerima ide-idenya tentang demokrasi, liberalisme, HAM, gender dan kapitalisme tidak dapat dihindari Muhammadiyah. Ada tuntutan bahwa pergerakan praksis yang dilakukan selama ini tidak cukup jika belum menerima sejumlah tren yang dibawa globalisasi. Sebagai konsekuensi menjadi warga dunia yang tidak pernah lepas dari kesalingterhubungan satu sama lain (interconnection). Dalam dinamika Muhammadiyah sekarang, ada tuntutan untuk menerima liberalisme. 


Kiprah Muhammadiyah

Tahun 2015 ini Muhammadiyah akan memasuki usia ke 103 tahun (Hijriyah). Sebuah usia yang tidak muda lagi bagi organisasi pergerakan yang lahir di masa kebangkitan nasional. Sementara Muhammadiyah tetap berkontribusi nyata membangun kualitas manusia Indonesia, di saat yang sama, bermacam organisasi se zaman dengannya hampir tidak kelihatan lagi kiprahnya. Hal ini menandakan Muhammadiyah merupakan gerakan yang mampu membaca tanda-tanda zaman sembari beradaptasi dengan perubahan dan semangatnya (zeitgeist). 

Telah banyak kontribusi yang diberikan Muhammadiyah selama hampir satu abad bagi pembangunan bangsa. Salah satunya melalui amal usahanya yang tersebar hingga ke penjuru Nusantara. Hingga saat ini belum ada organisasi non pemerintah yang mampu menandinginya. Terhitung, hingga tahun ini, Muhammadiyah telah memiliki 2.604 Sekolah Dasar (SD), 1.772 Sekolah Menengah Pertama (SMP), 1.143 Sekolah Menengah Atas (SMA) dan 172 Perguruan Tinggi (PT). Selain itu Muhammadiyah juga memiliki 457 Rumah Sakit dan 318 Panti Asuhan.[1]

Peranan sosial praksis itu bukan hanya keunggulan yang dapat dilakukan Muhammadiyah. Sebab, dari rahim organisasi ini juga muncul banyak tokoh yang pernah berperan penting dalam melahirkan dan membangun negeri ini. Diantaranya adalah Presiden Sukarno, KH. Mas  Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo. Juga mereka yang sedang berkiprah pada beberapa dekade belakangan ini seperti Amien Rais, Ahmad Syafii Maarif, Rizal Ramli, Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkhan, Sri Edi Swasono, Jimly Asshiddiqie, Busyro Muqoddas, Anies Baswedan, dan lain-lain. 

Kontribusi Muhammadiyah ini merupakan modal sosial dan intelektual yang sangat besar. Di iringi dengan pergerakan warganya di tengah-tengah masyarakat yang tidak lepas dari aktivitas berdakwah, membuat posisi Muhammadiyah semakin berpengaruh bagi kehidupan berbangsa kita sehari-hari. 

Kontribusi paling terkini adalah gerakan Jihad Konstitusi yang sudah berjalan beberapa tahun belakangan ini berhasil mendongkel beberapa undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 dan hajat hidup masyarakat. Diantaranya, UU Nomor 24 tahun 1999 tentang Sistem Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.[2]

Pergolakan Pemikiran

Namun, gelombang pergerakan dakwah dan kontribusi praksis Muhammadiyah selama ini rupanya belum memuaskan sebagian kelompok yang bernaung di dalamnya. Ada semacam antitesa yang ditawarkan untuk meluruskan alur gerakan yang dinilai telah berbelok. Terutama ke arah kanan. 

Hal ini menjadi keresahan warga Muhammadiyah yang didominasi kaum muda. Mereka menilai jalan ke kanan, atau yang mereka sebut konservatisme,[3] yang dianut sebagian besar pengurus teras Muhammadiyah saat ini telah menjauh dari koridor pergerakan yang diwariskan KH. Ahmad Dahlan. 

Sukidi Mulyadi, salah seorang diantara kaum muda itu misalnya, mengatakan sejak awal Muhammadiyah didirikan KH Ahmad Dahlan untuk menjadi organisasi yang relativis, rasional, dan liberal. Bukan organisasi yang fanatik dengan jalan memonopoli klaim-klaim kebenaran atas kelompok lain. Sehingga, simpulnya, Muhammadiyah semestinya senantiasa memandang kebenaran sebagai sesuatu yang dinamis, tidak final dan karenanya tiada henti-hentinya dicari.[4]

Tanggapan Mulyadi ini dapat disebut sebagai representasi dari sikap kaum muda yang menyebut diri mereka kelompok liberal sekaligus merupakan respon terhadap kaum konservatif yang selama ini mendominasi mainstream pemikiran yang hidup di Muhamadiyah. Terutama pasca berakhirnya kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif dan naiknya Din Syamsudin. Konservatisme ini dicirikan dengan mendominasinya  aktivitas organisasi pada tema-tema ibadah ritual (ibadah khusus) yang lebih berorientasi praksis dan amalan sehari-hari,[5] ketimbang, kultur diskursus intelektual yang mencerahkan dan progresif. 

Padahal, menurut kelompok liberal ini, dengan menyitir pendapat Charles Kurzman (2001) yang pernah mengatakan Muhammadiyah merupakan representasi organisasi-organisasi Islam liberal di dunia Islam, selain Ittifaq al-Muslimin di Rusia dan Aligarh di India. Muhammadiyah bagi mereka sejak jauh-jauh hari merupakan sebuah organisasi yang cenderung mengambil jalur liberal.

Hal ini dapat dibuktikan dengan karakter dakwah KH Ahmad Dahlan yang mengawinkan antara tradisi Islam dan Barat dalam pendirian sekolah. Lalu, bagaimana cara beliau berpakaian dan bergaul bersama orang Belanda. Perlu dicatat, beliau juga pernah masuk ke dalam organisasi Budi Utomo yang sangat liberal sebagai prasyarat untuk mendirikan Muhammadiyah yang pada waktu itu belum lahir. 

Kendati begitu, rasanya pendapat tersebut agak paradoks menyaksikan fakta Muhammadiyah selama ini memahami Islam dengan didasarkan pada Alquran dan Hadis (ar ruju ila al-qur’an wa as-sunnah).[6] Dapat dibuktikan dengan adanya perbedaan pandangan antara Muhammadiyah dengan Nahdatul Ulama (NU) dalam tata cara pelaksanaan ibadah-ibadah wajib (mahdah) dan muamalah (ghairu mahdah). 

Perbedaan pandangan tersebut, dengan mendasarkan diri pada pemurnian (puritanisasi) dalam aspek ibadah, tampak sesuai dengan pendapat antropolog James L. Peacock di tahun 1970-an yang berkesimpulan bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan puritanisme Islam.[7] Sementara itu, Din Syamsudin menyebut Muhammadiyah dalam aspek aqidah, ibadah dan ahlak menganut salafi.[8] Disusul dengan pendapat Azyumardi Azra yang mengatakan Muhammadiyah menganut salafisme moderat (salafiyyah wasatiyah).[9]  Adanya kampanye Muhammadiyah melawan virus Takhayul, Bid’ah dan Churafat (TBC) beberapa tahun belakangan ini, semakin memperkuat pendapat ini dan menarik posisi diametral antara Muhammadiyah dan liberalisme. 

Dalam dinamika pergolakan pemikiran ini, kelompok konservatif secara umum diasosikan pada Majelis  Tarjih dan Tajdid (MTT) sedangkan kelompok liberal kebanyakan diwakili oleh kaum muda yang berhimpun di dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).[10]

MTT disebut representasi kelompok konservatif karena lembaga ini memegang otoritas penuh terhadap garis ideologi Muhammadiyah. Keputusan atau fatwa yang dikeluarkan lembaga ini memiliki sifat mengikat dan mencakup semua aspek di dalam organisasi. Sehingga, dengan otoritas yang dipegangnya itu, MTT dituduh kelompok liberal sebagai reaksi konservatisme terhadap ide-ide baru yang masuk ke dalam Muhammadiyah.
Bagi MTT, sikapnya itu  merupakan wujud tanggung jawab untuk mengamankan warga Muhammadiyah dari  penetrasi liberalisme. Bagi mereka apa yang dilakukan tersebut adalah langkah antisipatif menjaga semangat puritanitas dan tajdid yang sejak dulu menjadi identitas Muhammadiyah. Ada dugaan jika langkah antisipatif itu tidak dilakukan, maka eksistensi kedua karakter pokok Muhammadiyah tersebut akan terancam.

Sejumlah fatwa seperti hukum nikah beda agama, hukum menyekolahkan anak di sekolah non muslim, dll, merupakan beberapa program yang diturunkan dari agenda tersebut. Membuat kelompok liberal semakin kecolongan dan tersudut. Salah satu contohnya adalah tersingkirnya Abdul Munir Mulkhan dan Amin Abdullah -yang notabene merupakan representasi kelompok liberal- dari formatur 13 pada Muktamar ke 45 di Malang 2005 silam.[11] Tidak heran, saat ini relatif kelompok liberal tidak memperoleh kedudukan strategis di dalam struktur Muhammadiyah.

Sementara MTT berusaha untuk mempertahankan tradisi lama, di sisi lain, JIMM bertugas membalikkan situasi tersebut. Mereka ingin menegaskan bahwa liberalisme tidak selalu negatif. Posisi JIMM yang berada di luar struktur perserikatan –bukan organisasi otonom- memberi kesempatan seluas-luasnya untuk melancarkan kritik.  Demi untuk memasukkan ide-ide liberal yang dibawanya sekaligus mengafirmasi bahwa sikapnya itu adalah orisinal warisan dari generasi Muhammadiyah awal. Bahwa liberalisme melalui jalan kultural adalah warisan yang telah dicontohkan oleh KH. Ahmad Dahlan.

Jalan Menuju Islam Berkemajuan

Gelombang pergolakan tersebut tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda mereda menjelang digelarnya Muktamar Muhammadiyah ke 47 di Makassar bulan depan. Masih belum kelihatan, siapa sosok paling dominan yang akan menggantikan Din Syamsudin. Apakah dari kelompok konservatif, liberal atau barangkali moderat. Kendati calon ketua umum sudah mengerucut pada beberapa nama seperti Yunahar Ilyas, Dahlan Rais, Busyro Muqoddas, Abdul Mu’thi, Haedar Nasir,[12] dan Syafiq A Mughni.[13]
 
Namun, menyaksikan realitas pergerakan Muhammadiyah hari ini yang mulai kehilangan orientasi menjadi evaluasi penting. Ide yang dimunculkan kelompok liberal bahwa pergerakan Muhammadiyah saat  ini terlalu fokus pada pergerakan dan melupakan landasan filosofi, intelektual dan ideologinya patut diperhatikan. Apalagi sudah lama Muhammadiyah dianggap mengalami stagnasi pada bidang pemikiran keislaman. 

Fenomena ini bisa kita lihat, pertama, dimana pembangunan amal usaha, sekolah misalnya, hanya menitikberatkan pada kualitas dan daya saing. Bukan penanaman aspek akhlak dan ideologi gerakan melalui penanaman pendidikan agama Islam dan kemuhammadiyahan. Imbasnya, dapat kita saksikan mulai banyak pelajar Muhammadiyah sekarang tumbuh menjadi generasi yang serba bebas dalam bertindak dan bergaul. Hal ini dapat dilihat pada merebaknya kebiasaan merokok, pacaran dan tawuran pada kalangan pelajar SMP dan SMA. 

Kedua, ada pemahaman yang berseliweran mengenai kontribusi dari amal usaha sebagai agenda sosial praksis yang penting, namun kehilangan esensinya ketika tanpa disertai dengan konsep ideologi dan strategi jangka panjang yang jelas. Sehingga, memungkinkannya mudah diombang-ambingkan oleh wacana-wacana baru yang populis dan hegemonik.
Kritik ini muncul seiring dengan pengamatan yang mendalam beberapa kader Muhammadiyah terhadap agenda praksis yang dijalani organisasi selama ini. Misalnya, fokus terhadap pembangunan amal usaha baru –sekolah misalnya- yang terus digenjot sering tanpa dibarengi oleh tujuan dan niat yang jelas. Intinya asal membangun, tanpa tahu setelah sekolah itu berdiri apa yang mau diperbuat, misi besar apa yang dibawa, apa strategi jangka panjang yang mau dilakukan dengan keberadaan sekolah tersebut bagi masyarakat sekitarnya. Sebaliknya, justru sekolah-sekolah Muhammadiyah terkadang tidak jauh berbeda dengan sekolah non Muhammadiyah yang tidak segan-segan menindak pelajar tidak mampu. Orientasi pendidikan dipahami kader-kader Muhammadiyah dipaham sebagai serba profit. Padahal, bukan itu orientasi pendidikan yang dimaksud KH. Ahmad Dahlan.
Maka, sudah saatnya bagi Muhammadiyah untuk memikirkan konsepsi filsafat dan ideologi pergerakannya. Para pemimpin dan intelektual Muhammadiyah harus menangkap apa sebenarnya ideologi Muhammadiyah yang diwariskan KH Ahmad Dahlan. Mengingat beliau tidak pernah meninggalkan karya tulis sama sekali berbeda dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam waktu itu seperti Ahmad Hassan dan Ahmad Surkati. 

Dimulai dari proses intelektual menemukan teologi, filsafat dan ideologi organisasi tanpa meninggalkan apa yang telah dibangun sekarang. Muhammadiyah harus mendefinisikan Islam model apa yang sedang diperjuangkannya? Apa bedanya dengan Islam versi NU, Persis, Jamaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Misalnya, jika teologi Muhammadiyah merupakan Teologi Al-Ma’un, lalu bagaimana mentransformasikannya menjadi konsepsi ideologi yang membawa esensi teologi tersebut. Ideologi yang dapat melahirkan pengikutnya menjadi –meminjam pendapat Gramsci- intelektual organik.[14] Yakni tipe intelektual yang lahir dari realitas kondisi masyarakat dimana ia berada dan konsisten memperjuang kepentingan mereka. 

Mengapa ideologi sangat penting bagi Muhammadiyah? Sebab jika tanpa melaluinya,  Muhammadiyah berpotensi terbawa oleh derasnya wacana-wacana global mutakhir yang belum tentu sejalan dengan tujuan Muhammadiyah. Di samping itu, warga Muhammadiyah akan rentan menjadi sasaran rekrutmen gerakan-gerakan Islam transnasional dengan kematangan ideologinya yang belakangan ini masuk ke dalam Muhammadiyah. Bukan berarti kedatangan mereka tidak dikehendaki, tetapi yang penting adalah bagaimana warga Muhammadiyah mampu memposisikan diri berbeda dengan mereka. KH. Ahmad Dahlan pernah mengingatkan, “hendaklah kamu jangan sekali-kali menduakan pandangan Muhammadiyah dengan perkumpulan lain.”

Menjawab krisis ini, maka sedari sekarang Muhammadiyah perlu memikirkan pijakan landasan filosofi-ideologisnya. Dengan ditemukannya pijakan filosofi-ideologis yang tepat, maka pada gilirannya akan semakin dekat membawa Muhammadiyah pada terwujudnya maksud dan tujuan pendiriannya. Yakni menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. 

Menjunjung tinggi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, berarti menempatkan Muhammadiyah sebagai organisasi yang menghimpun semangat konservatif dan liberatif ke dalam ruang yang sama. Dengan menyaring unsur-unsur yang bertentangan dengan Alquran dan Hadits. Sembari mensintesakannya menjadi paradigma gerakan yang mempertahankan semangat para ulama salaf dan kemodernan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang datang dari Barat. Sehingga, dengan sendirinya membawa Muhammadiyah ke tengah pergaulan global yang heterogen, yang  meniscayakan keadilan, persamaan, toleransi dan kemanusiaan, tanpa  kehilangan sedikit pun identitas sebagai gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid. Suatu paradigma yang mana disebut KH. Ahmad Dahlan: Islam Berkemajuan.[15]
 
Penutup

Memasuki abad kedua, Muhammadiyah perlu dengan serius memikirkan kembali esensi kiprahnya selama ini. Mengapa dengan adanya Muhammadiyah permasalahan bangsa saat ini mulai dari aqidah hingga pengangguran dan kemiskinan tidak kunjung usai? Apakah hal ini disebabkan karena ketidakberdayaan negara menunaikan amanat dan tanggung jawabnya. Ataukah disebabkan  oleh ketidakmampuan masyarakatnya, dimana Muhammadiyah berada di dalamnya, untuk mengurus dirinya sendiri?

Pergolakan pemikiran yang berlangsung di dalam tubuh Muhammadiyah barangkali adalah ekses dari pada berbagai macam persoalan yang hidup di masyarakat itu. Maka menjadi penting untuk dicari jalan keluarnya sesegera mungkin dengan merangkul kedua belah pihak yang berseberangan tersebut. Sehingga menjadi sintesa dimana pergerakan dakwah dan sosial yang diusung kelompok konservatif dan intelektual yang digemakan kelompok liberal dapat berhimpun. Bukan untuk mensinkretiskan atau mengasimilasikan keduanya, tetapi mengakulturasikannya. Memilah mana yang baik dan berguna bagi gerakan dan sebaliknya, menyingkirkan yang tidak baik. Sesuai dengan kaidah ushul fiqh; al-muhafadzatu ala al qadim al shalih wa al akhzu bi al jadid al ashlah. Mempertahankan lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik. Wallahu alam bis shawab.

Referensi

Iwan Setiawan, Pluralitas Kader dan Pemikiran di Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah Edisi 21-04.
Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Cetakan IV, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
PP Muhammadiyah, Amal Usaha, www.muhammadiyah.or.id/content-152-cam-amal-usaha.html (Diakses 4 Juli 2015)
DetikNews.com, Jihad Konstitusi, Muhammadiyah Gugat 3 UU Pro Liberalisasi ke MK,  http://news.detik.com/berita/2888347/jihad-konstitusi-muhammadiyah-gugat-3-uu-pro-liberalisasi-ke-mk (Diakses 4 Juli 2015)
Sukidi Mulyadi, Muhammadiyah Liberal dan Anti-Liberal, Majalah Tempo Edisi 20/XXXIV/11 - 17 Juli 2005. http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2009/11/muhammadiyah-liberal-dan-anti-liberal.html, diakses pada 4 Juli 2015
Zuly Qodir, Bangkitnya “Second” Muhammadiyah, http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2009/11/bangkitnya-second-muhammadiyah.html, diakses pada 4 Juli 2015
PP Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-175-det-matan-keyakinan-dan-citacita-hidup.html, diakses pada 4 Juli 2014
Syamsul Hidayat, Komitmen Dakwah Muhammadiyah, http://mahad-kibagus.blogspot.com/2009/08/manhaj-dakwah-muhammadiyah.html, diakses pada 4 Juli 2015
Sang Pencerah.com, Tanggapan Yunahar Ilyas Terhadap Hasil Polling Calon Ketua Umum PP Muhammadiyah, http://www.sangpencerah.com/2015/04/yunahar-ilyas-hasil-polling-ketua-pp-muhammadiyah.html, diakses pada 5 Juli 2015
Ahmad Najib Burhani, Islam Nusantara vs Islam Berkemajuan, http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2015/07/islam-nusantara-vs-islam-berkemajuan.html, diakses pada 6 Juli 2015





[1] Muhammadiyah.or.id, “Amal Usaha”, www.muhammadiyah.or.id/content-152-cam-amal-usaha.html (Diakses 4 Juli 2015)
[2] DetikNews.com, “Jihad Konstitusi, Muhammadiyah Gugat 3 UU Pro Liberalisasi ke MK”,  http://news.detik.com/berita/2888347/jihad-konstitusi-muhammadiyah-gugat-3-uu-pro-liberalisasi-ke-mk, diakses pada 4 Juli 2015
[3] Kelompok konservatif atau formal merupakan satu dari tiga kelompok yang ada di dalam Muhammadiyah. Pemikiran mereka berkisar pada pengutamaan peneguhan dan ketaatan yang ketat pada format ajaran Islam yang termaktub dalam Al Qur'an dan Hadits. Ajaran kembali ke Alquran dan Hadits menjadi pegangan yang mantap dan dengan penafsiran terhadap konteks kesejarahan yang cenderung kaku, sehingga ekspresi formalisme Islam nampak dalam jargon-jargon yang mereka usung. Berbeda dengan yang pertama, pada kelompok kedua yakni kelompok liberal, pemaknaan terhadap Alquran dan Hadits yang lebih substansif, lebih penting dari pada pemaknaan yang hanya berupa simbol formal saja, tipologi pemikiran kelompok ini didasarkan pada kontekstualitas ajaran dan kondisi sosial yang ada dalam masyarakat Islam dengan analisa lewat pemikiran Abid Al Jabiri, Hassan Hanafi, Farid Essac, Nurcholish Madjid dll. Tokoh-tokohnya Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkan, Moeslim Abdurrahman, Zuly Qodir dan sebagian intelektual muda dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Kemudian yang ketiga adalah kelompok moderat. menurut mereka ajaran Islam yang termaktub di dalam Al-Qur’an dan Hadits merupakan cita-cita yang ideal terhadap sebuah bangun kebangsaan. Pandangan moderat ini menggunakan wahyu sebagai perumusan perilaku dan penggerak terhadap etika hidup umat Islam di dunia dengan tentor utamanya adalah Fazlur Rahman, walaupun mereka menolak ide formalisasi ajaran Islam dalam bentuk negara Islam. Ahmad Syafii Maarif, Din Syamsuddin, Malik Fadjar, M. Dawam Rahardjo, Haedar Nashir, M. Amin Aziz, Bachtiar Effendi, Abdul Mu'thi, Yunahar llyas dll, merupakan tokoh-tokoh dari kelompok ini. Lihat Iwan Setiawan, “Pluralitas Kader dan Pemikiran di Muhammadiyah”, Suara Muhammadiyah Edisi 21-04.
[4] Sukidi Mulyadi, “Muhammadiyah Liberal dan Anti-Liberal”, Majalah Tempo Edisi 20/XXXIV/11 - 17 Juli 2005. http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2009/11/muhammadiyah-liberal-dan-anti-liberal.html, diakses pada 4 Juli 2015
[5] Zuly Qodir, “Bangkitnya “Second” Muhammadiyah”, http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2009/11/bangkitnya-second-muhammadiyah.html, diakses pada 4 Juli 2015
[6] Lihat Muhammadiyah.or.id, “Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah”, http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-175-det-matan-keyakinan-dan-citacita-hidup.html, diakses pada 4 Juli 2014
[7] Mulyadi, Op. Cit.
[8] Syamsul Hidayat, Komitmen Dakwah Muhammadiyah”, http://mahad-kibagus.blogspot.com/2009/08/manhaj-dakwah-muhammadiyah.html, diakses pada 4 Juli 2015
[9] Loc. Cit.
[10] Lihat Setiawan, Op. Cit.
[11] Loc. Cit
[12] Sang Pencerah.com, Tanggapan Yunahar Ilyas Terhadap Hasil Polling Calon Ketua Umum PP Muhammadiyah”,
[14] Menurut Antonio Gramsci (1891-1937), intelektual organik adalah antitesa dari intelektual tradisional. Intelektual organik adalah intelektual dan organisator politik, dan pada saat yang sama juga bos-bos perusahaan, petani-petani kaya atau manajer perumaha, penguasa komersial dan industry, dan sebagainya. Mereka menyadari indentitas dari yang diwakili dan yang mewakili, dan merupakan barisan terdepan yang riil dan organik dari lapisan ekonomi papan atas yang di situ mereka termasuk di dalamnya. Lihat Roger Simon, “Gagasan-Gagasan Politik Gramsci,” hlm. 144.
[15] Islam berkemajuan sering dimaknai sebagai “Islam kosmopolitan”, yakni kesadaran bahwa umat Muhammadiyah adalah bagian dari warga dunia yang memiliki “rasa solidaritas kemanusiaan universal dan rasa tanggung jawab universal kepada sesama manusia tanpa memandang perbedaan dan pemisahan jarak yang bersifat primordial dan konvensional” (Tanfidz Muhammadiyah 2010, 18). Lihat Ahmad Najib Burhani, “Islam Nusantara vs Islam Berkemajuan”, http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2015/07/islam-nusantara-vs-islam-berkemajuan.html, diakses pada 6 Juli 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*