Muhammadiyah, Pergolakan Pemikiran dan Islam Berkemajuan
Diakses dari http://cms.monitorday.com
Oleh
Zulfikhar
Mahasiswa
Ilmu Politik UMMU
Memasuki abad globalisasi
merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap pergerakan untuk bertemu dengan
berbagai hal yang mengglobal. Pertemuan itu menimbulkan sikap yang mesti
diambil apakah tetap bertahan dengan ideal-ideal ideologi yang lama atau
beradaptasi dengan yang baru. Sebab, sudah menjadi sebuah tuntutan untuk
menyikapinya. Sebagai organisasi yang hidup melintasi dua abad, Muhammadiyah
kini diperhadapkan dengan fenomena ini. Karakter dakwah salafiah dan tajdid
(pembaharu) selama ini menjadi identitas gerakannya sedang ditantang.
Globalisasi yang serba
mengondisikan masyarakat dunia untuk menerima ide-idenya tentang demokrasi,
liberalisme, HAM, gender dan kapitalisme tidak dapat dihindari Muhammadiyah.
Ada tuntutan bahwa pergerakan praksis yang dilakukan selama ini tidak cukup
jika belum menerima sejumlah tren yang dibawa globalisasi. Sebagai konsekuensi
menjadi warga dunia yang tidak pernah lepas dari kesalingterhubungan satu sama
lain (interconnection). Dalam
dinamika Muhammadiyah sekarang, ada tuntutan untuk menerima liberalisme.
Kiprah Muhammadiyah
Tahun 2015 ini Muhammadiyah
akan memasuki usia ke 103 tahun (Hijriyah). Sebuah usia yang tidak muda lagi
bagi organisasi pergerakan yang lahir di masa kebangkitan nasional. Sementara
Muhammadiyah tetap berkontribusi nyata membangun kualitas manusia Indonesia, di
saat yang sama, bermacam organisasi se zaman dengannya hampir tidak kelihatan
lagi kiprahnya. Hal ini menandakan Muhammadiyah merupakan gerakan yang mampu
membaca tanda-tanda zaman sembari beradaptasi dengan perubahan dan semangatnya
(zeitgeist).
Telah banyak kontribusi yang
diberikan Muhammadiyah selama hampir satu abad bagi pembangunan bangsa. Salah
satunya melalui amal usahanya yang tersebar hingga ke penjuru Nusantara. Hingga
saat ini belum ada organisasi non pemerintah yang mampu menandinginya.
Terhitung, hingga tahun ini, Muhammadiyah telah memiliki 2.604 Sekolah Dasar
(SD), 1.772 Sekolah Menengah Pertama (SMP), 1.143 Sekolah Menengah Atas (SMA)
dan 172 Perguruan Tinggi (PT). Selain itu Muhammadiyah juga memiliki 457 Rumah
Sakit dan 318 Panti Asuhan.[1]
Peranan sosial praksis itu
bukan hanya keunggulan yang dapat dilakukan Muhammadiyah. Sebab, dari rahim organisasi
ini juga muncul banyak tokoh yang pernah berperan penting dalam melahirkan dan
membangun negeri ini. Diantaranya adalah Presiden Sukarno, KH. Mas Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo. Juga mereka
yang sedang berkiprah pada beberapa dekade belakangan ini seperti Amien Rais,
Ahmad Syafii Maarif, Rizal Ramli, Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkhan, Sri Edi
Swasono, Jimly Asshiddiqie, Busyro Muqoddas, Anies Baswedan, dan lain-lain.
Kontribusi Muhammadiyah ini
merupakan modal sosial dan intelektual yang sangat besar. Di iringi dengan pergerakan
warganya di tengah-tengah masyarakat yang tidak lepas dari aktivitas berdakwah,
membuat posisi Muhammadiyah semakin berpengaruh bagi kehidupan berbangsa kita sehari-hari.
Kontribusi paling terkini
adalah gerakan Jihad Konstitusi yang sudah berjalan beberapa tahun belakangan
ini berhasil mendongkel beberapa undang-undang yang bertentangan dengan UUD
1945 dan hajat hidup masyarakat. Diantaranya, UU Nomor 24 tahun 1999 tentang Sistem Lalu Lintas Devisa dan
Sistem Nilai Tukar, UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU Nomor
30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.[2]
Pergolakan Pemikiran
Namun, gelombang pergerakan
dakwah dan kontribusi praksis Muhammadiyah selama ini rupanya belum memuaskan
sebagian kelompok yang bernaung di dalamnya. Ada semacam antitesa yang
ditawarkan untuk meluruskan alur gerakan yang dinilai telah berbelok. Terutama
ke arah kanan.
Hal ini menjadi keresahan
warga Muhammadiyah yang didominasi kaum muda. Mereka menilai jalan ke kanan, atau
yang mereka sebut konservatisme,[3] yang dianut sebagian besar
pengurus teras Muhammadiyah saat ini telah menjauh dari koridor pergerakan yang
diwariskan KH. Ahmad Dahlan.
Sukidi Mulyadi, salah seorang
diantara kaum muda itu misalnya, mengatakan sejak awal Muhammadiyah didirikan
KH Ahmad Dahlan untuk menjadi organisasi yang relativis, rasional, dan liberal. Bukan organisasi yang fanatik
dengan jalan memonopoli klaim-klaim kebenaran atas kelompok lain. Sehingga,
simpulnya, Muhammadiyah semestinya senantiasa memandang kebenaran sebagai
sesuatu yang dinamis, tidak final dan karenanya tiada henti-hentinya dicari.[4]
Tanggapan Mulyadi ini dapat disebut sebagai representasi dari
sikap kaum muda yang menyebut diri mereka kelompok liberal sekaligus merupakan
respon terhadap kaum konservatif yang selama ini mendominasi mainstream
pemikiran yang hidup di Muhamadiyah. Terutama pasca berakhirnya kepemimpinan
Ahmad Syafii Maarif dan naiknya Din Syamsudin. Konservatisme ini dicirikan
dengan mendominasinya aktivitas organisasi
pada tema-tema ibadah ritual (ibadah khusus) yang lebih berorientasi praksis
dan amalan sehari-hari,[5] ketimbang, kultur
diskursus intelektual yang mencerahkan dan progresif.
Padahal, menurut kelompok liberal ini, dengan menyitir pendapat Charles
Kurzman (2001) yang pernah mengatakan Muhammadiyah merupakan representasi
organisasi-organisasi Islam liberal di dunia Islam, selain Ittifaq al-Muslimin
di Rusia dan Aligarh di India. Muhammadiyah bagi mereka sejak jauh-jauh hari
merupakan sebuah organisasi yang cenderung mengambil jalur liberal.
Hal ini dapat dibuktikan dengan karakter dakwah KH Ahmad Dahlan
yang mengawinkan antara tradisi Islam dan Barat dalam pendirian sekolah. Lalu,
bagaimana cara beliau berpakaian dan bergaul bersama orang Belanda. Perlu dicatat,
beliau juga pernah masuk ke dalam organisasi Budi Utomo yang sangat liberal
sebagai prasyarat untuk mendirikan Muhammadiyah yang pada waktu itu belum
lahir.
Kendati begitu, rasanya pendapat tersebut agak paradoks menyaksikan
fakta Muhammadiyah selama ini memahami Islam dengan didasarkan pada Alquran dan
Hadis (ar ruju ila al-qur’an wa as-sunnah).[6] Dapat dibuktikan dengan adanya
perbedaan pandangan antara Muhammadiyah dengan Nahdatul Ulama (NU) dalam tata
cara pelaksanaan ibadah-ibadah wajib (mahdah)
dan muamalah (ghairu mahdah).
Perbedaan pandangan tersebut, dengan mendasarkan diri pada
pemurnian (puritanisasi) dalam aspek ibadah, tampak sesuai dengan pendapat
antropolog James L. Peacock di tahun 1970-an yang berkesimpulan bahwa
Muhammadiyah merupakan gerakan puritanisme Islam.[7] Sementara itu, Din
Syamsudin menyebut Muhammadiyah dalam aspek aqidah, ibadah dan ahlak menganut
salafi.[8] Disusul dengan pendapat
Azyumardi Azra yang mengatakan Muhammadiyah menganut salafisme moderat (salafiyyah wasatiyah).[9] Adanya kampanye Muhammadiyah melawan virus
Takhayul, Bid’ah dan Churafat (TBC) beberapa tahun belakangan ini, semakin memperkuat
pendapat ini dan menarik posisi diametral antara Muhammadiyah dan liberalisme.
Dalam dinamika pergolakan pemikiran ini, kelompok konservatif
secara umum diasosikan pada Majelis
Tarjih dan Tajdid (MTT) sedangkan kelompok liberal kebanyakan diwakili
oleh kaum muda yang berhimpun di dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
(JIMM).[10]
MTT disebut representasi kelompok konservatif karena lembaga ini
memegang otoritas penuh terhadap garis ideologi Muhammadiyah. Keputusan atau
fatwa yang dikeluarkan lembaga ini memiliki sifat mengikat dan mencakup semua
aspek di dalam organisasi. Sehingga, dengan otoritas yang dipegangnya itu, MTT
dituduh kelompok liberal sebagai reaksi konservatisme terhadap ide-ide baru
yang masuk ke dalam Muhammadiyah.
Bagi MTT, sikapnya itu
merupakan wujud tanggung jawab untuk mengamankan warga Muhammadiyah dari
penetrasi liberalisme. Bagi mereka apa
yang dilakukan tersebut adalah langkah antisipatif menjaga semangat puritanitas
dan tajdid yang sejak dulu menjadi identitas Muhammadiyah. Ada dugaan jika
langkah antisipatif itu tidak dilakukan, maka eksistensi kedua karakter pokok
Muhammadiyah tersebut akan terancam.
Sejumlah fatwa seperti hukum nikah beda agama, hukum menyekolahkan
anak di sekolah non muslim, dll, merupakan beberapa program yang diturunkan
dari agenda tersebut. Membuat kelompok liberal semakin kecolongan dan tersudut.
Salah satu contohnya adalah tersingkirnya Abdul Munir Mulkhan dan Amin Abdullah -yang notabene merupakan representasi kelompok
liberal- dari formatur 13 pada Muktamar ke 45 di Malang 2005 silam.[11] Tidak heran, saat ini relatif
kelompok liberal tidak memperoleh kedudukan strategis di dalam struktur Muhammadiyah.
Sementara MTT berusaha untuk mempertahankan tradisi lama, di sisi
lain, JIMM bertugas membalikkan situasi tersebut. Mereka ingin menegaskan bahwa
liberalisme tidak selalu negatif. Posisi JIMM yang berada di luar struktur
perserikatan –bukan organisasi otonom- memberi kesempatan seluas-luasnya untuk
melancarkan kritik. Demi untuk
memasukkan ide-ide liberal yang dibawanya sekaligus mengafirmasi bahwa sikapnya
itu adalah orisinal warisan dari generasi Muhammadiyah awal. Bahwa liberalisme
melalui jalan kultural adalah warisan yang telah dicontohkan oleh KH. Ahmad
Dahlan.
Jalan Menuju Islam Berkemajuan
Gelombang pergolakan tersebut tampaknya belum menunjukkan
tanda-tanda mereda menjelang digelarnya Muktamar Muhammadiyah ke 47 di Makassar
bulan depan. Masih belum kelihatan, siapa sosok paling dominan yang akan
menggantikan Din Syamsudin. Apakah dari kelompok konservatif, liberal atau
barangkali moderat. Kendati calon ketua umum sudah mengerucut pada beberapa
nama seperti Yunahar Ilyas, Dahlan Rais, Busyro Muqoddas, Abdul Mu’thi, Haedar
Nasir,[12] dan Syafiq A Mughni.[13]
Namun, menyaksikan realitas pergerakan Muhammadiyah hari ini yang mulai
kehilangan orientasi menjadi evaluasi penting. Ide yang dimunculkan kelompok
liberal bahwa pergerakan Muhammadiyah saat
ini terlalu fokus pada pergerakan dan melupakan landasan filosofi, intelektual
dan ideologinya patut diperhatikan. Apalagi sudah lama Muhammadiyah dianggap
mengalami stagnasi pada bidang pemikiran keislaman.
Fenomena ini bisa kita lihat, pertama,
dimana pembangunan amal usaha, sekolah misalnya, hanya menitikberatkan pada
kualitas dan daya saing. Bukan penanaman aspek akhlak dan ideologi gerakan
melalui penanaman pendidikan agama Islam dan kemuhammadiyahan. Imbasnya, dapat kita
saksikan mulai banyak pelajar Muhammadiyah sekarang tumbuh menjadi generasi
yang serba bebas dalam bertindak dan bergaul. Hal ini dapat dilihat pada
merebaknya kebiasaan merokok, pacaran dan tawuran pada kalangan pelajar SMP dan
SMA.
Kedua, ada pemahaman yang berseliweran mengenai
kontribusi dari amal usaha sebagai agenda sosial praksis yang penting, namun kehilangan
esensinya ketika tanpa disertai dengan konsep ideologi dan strategi jangka
panjang yang jelas. Sehingga, memungkinkannya mudah diombang-ambingkan oleh wacana-wacana
baru yang populis dan hegemonik.
Kritik ini muncul seiring dengan pengamatan yang mendalam beberapa
kader Muhammadiyah terhadap agenda praksis yang dijalani organisasi selama ini.
Misalnya, fokus terhadap pembangunan amal usaha baru –sekolah misalnya- yang
terus digenjot sering tanpa dibarengi oleh tujuan dan niat yang jelas. Intinya
asal membangun, tanpa tahu setelah sekolah itu berdiri apa yang mau diperbuat,
misi besar apa yang dibawa, apa strategi jangka panjang yang mau dilakukan dengan
keberadaan sekolah tersebut bagi masyarakat sekitarnya. Sebaliknya, justru
sekolah-sekolah Muhammadiyah terkadang tidak jauh berbeda dengan sekolah non
Muhammadiyah yang tidak segan-segan menindak pelajar tidak mampu. Orientasi
pendidikan dipahami kader-kader Muhammadiyah dipaham sebagai serba profit.
Padahal, bukan itu orientasi pendidikan yang dimaksud KH. Ahmad Dahlan.
Maka, sudah saatnya bagi Muhammadiyah untuk memikirkan konsepsi
filsafat dan ideologi pergerakannya. Para pemimpin dan intelektual Muhammadiyah
harus menangkap apa sebenarnya ideologi Muhammadiyah yang diwariskan KH Ahmad
Dahlan. Mengingat beliau tidak pernah meninggalkan karya tulis sama sekali
berbeda dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam waktu itu seperti Ahmad Hassan dan
Ahmad Surkati.
Dimulai dari proses intelektual menemukan teologi, filsafat dan
ideologi organisasi tanpa meninggalkan apa yang telah dibangun sekarang.
Muhammadiyah harus mendefinisikan Islam model apa yang sedang diperjuangkannya?
Apa bedanya dengan Islam versi NU, Persis, Jamaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin dan
Hizbut Tahrir. Misalnya, jika teologi Muhammadiyah merupakan Teologi Al-Ma’un,
lalu bagaimana mentransformasikannya menjadi konsepsi ideologi yang membawa
esensi teologi tersebut. Ideologi yang dapat melahirkan pengikutnya menjadi
–meminjam pendapat Gramsci- intelektual organik.[14] Yakni tipe intelektual
yang lahir dari realitas kondisi masyarakat dimana ia berada dan konsisten
memperjuang kepentingan mereka.
Mengapa ideologi sangat penting bagi Muhammadiyah? Sebab jika tanpa
melaluinya, Muhammadiyah berpotensi terbawa
oleh derasnya wacana-wacana global mutakhir yang belum tentu sejalan dengan tujuan
Muhammadiyah. Di samping itu, warga Muhammadiyah akan rentan menjadi sasaran
rekrutmen gerakan-gerakan Islam transnasional dengan kematangan ideologinya yang
belakangan ini masuk ke dalam Muhammadiyah. Bukan berarti kedatangan mereka
tidak dikehendaki, tetapi yang penting adalah bagaimana warga Muhammadiyah
mampu memposisikan diri berbeda dengan mereka. KH. Ahmad Dahlan pernah
mengingatkan, “hendaklah kamu jangan sekali-kali menduakan pandangan
Muhammadiyah dengan perkumpulan lain.”
Menjawab krisis ini, maka sedari sekarang Muhammadiyah perlu
memikirkan pijakan landasan filosofi-ideologisnya. Dengan ditemukannya pijakan filosofi-ideologis
yang tepat, maka pada gilirannya akan semakin dekat membawa Muhammadiyah pada
terwujudnya maksud dan tujuan pendiriannya. Yakni menegakkan dan menjunjung
tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Menjunjung tinggi masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, berarti
menempatkan Muhammadiyah sebagai organisasi yang menghimpun semangat
konservatif dan liberatif ke dalam ruang yang sama. Dengan menyaring
unsur-unsur yang bertentangan dengan Alquran dan Hadits. Sembari
mensintesakannya menjadi paradigma gerakan yang mempertahankan semangat para
ulama salaf dan kemodernan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang datang
dari Barat. Sehingga, dengan sendirinya membawa Muhammadiyah ke tengah
pergaulan global yang heterogen, yang meniscayakan
keadilan, persamaan, toleransi dan kemanusiaan, tanpa kehilangan sedikit pun identitas sebagai gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar
dan tajdid. Suatu paradigma yang
mana disebut KH. Ahmad Dahlan: Islam Berkemajuan.[15]
Penutup
Memasuki abad kedua, Muhammadiyah perlu dengan serius memikirkan
kembali esensi kiprahnya selama ini. Mengapa dengan adanya Muhammadiyah
permasalahan bangsa saat ini mulai dari aqidah hingga pengangguran dan
kemiskinan tidak kunjung usai? Apakah hal ini disebabkan karena ketidakberdayaan
negara menunaikan amanat dan tanggung jawabnya. Ataukah disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakatnya, dimana
Muhammadiyah berada di dalamnya, untuk mengurus dirinya sendiri?
Pergolakan pemikiran yang berlangsung di dalam tubuh Muhammadiyah
barangkali adalah ekses dari pada berbagai macam persoalan yang hidup di
masyarakat itu. Maka menjadi penting untuk dicari jalan keluarnya sesegera
mungkin dengan merangkul kedua belah pihak yang berseberangan tersebut. Sehingga
menjadi sintesa dimana pergerakan dakwah dan sosial yang diusung kelompok
konservatif dan intelektual yang digemakan kelompok liberal dapat berhimpun.
Bukan untuk mensinkretiskan atau mengasimilasikan keduanya, tetapi
mengakulturasikannya. Memilah mana yang baik dan berguna bagi gerakan dan
sebaliknya, menyingkirkan yang tidak baik. Sesuai dengan kaidah ushul fiqh; al-muhafadzatu ala al qadim al shalih wa al
akhzu bi al jadid al ashlah. Mempertahankan lama yang baik dan mengambil
yang baru yang lebih baik. Wallahu alam
bis shawab.
Referensi
Iwan Setiawan, Pluralitas Kader dan Pemikiran di
Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah Edisi 21-04.
Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Cetakan
IV, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
PP Muhammadiyah, Amal Usaha, www.muhammadiyah.or.id/content-152-cam-amal-usaha.html
(Diakses 4 Juli 2015)
DetikNews.com, Jihad
Konstitusi, Muhammadiyah Gugat 3 UU Pro Liberalisasi ke MK, http://news.detik.com/berita/2888347/jihad-konstitusi-muhammadiyah-gugat-3-uu-pro-liberalisasi-ke-mk
(Diakses 4 Juli 2015)
Sukidi Mulyadi, Muhammadiyah Liberal dan Anti-Liberal,
Majalah Tempo Edisi 20/XXXIV/11 - 17 Juli 2005. http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2009/11/muhammadiyah-liberal-dan-anti-liberal.html,
diakses pada 4 Juli 2015
Zuly Qodir, Bangkitnya “Second” Muhammadiyah, http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2009/11/bangkitnya-second-muhammadiyah.html,
diakses pada 4 Juli 2015
PP Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah, http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-175-det-matan-keyakinan-dan-citacita-hidup.html,
diakses pada 4 Juli 2014
Syamsul Hidayat, Komitmen
Dakwah Muhammadiyah, http://mahad-kibagus.blogspot.com/2009/08/manhaj-dakwah-muhammadiyah.html,
diakses pada 4 Juli 2015
PanjiMas.com, Jelang Muktamar
Ke-47, Muncul 3 Nama Sebagai Calon Ketum PP Muhammadiyah, http://panjimas.com/news/2015/01/11/jelang-muktamar-ke-47-muncul-3-nama-sebagai-calon-ketum-pp-muhammadiyah/,
diakses pada 5 Juli 2015
Sang Pencerah.com, Tanggapan Yunahar Ilyas Terhadap Hasil
Polling Calon Ketua Umum PP Muhammadiyah, http://www.sangpencerah.com/2015/04/yunahar-ilyas-hasil-polling-ketua-pp-muhammadiyah.html,
diakses pada 5 Juli 2015
Ahmad Najib Burhani, Islam Nusantara vs Islam Berkemajuan, http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2015/07/islam-nusantara-vs-islam-berkemajuan.html,
diakses pada 6 Juli 2015
[1]
Muhammadiyah.or.id, “Amal Usaha”, www.muhammadiyah.or.id/content-152-cam-amal-usaha.html
(Diakses 4 Juli 2015)
[2] DetikNews.com, “Jihad Konstitusi,
Muhammadiyah Gugat 3 UU Pro Liberalisasi ke MK”, http://news.detik.com/berita/2888347/jihad-konstitusi-muhammadiyah-gugat-3-uu-pro-liberalisasi-ke-mk,
diakses pada 4 Juli 2015
[3]
Kelompok konservatif atau formal merupakan satu dari tiga kelompok yang ada di
dalam Muhammadiyah. Pemikiran mereka berkisar pada pengutamaan peneguhan dan ketaatan yang ketat pada format
ajaran Islam yang termaktub dalam Al Qur'an dan Hadits. Ajaran kembali ke Alquran dan Hadits menjadi pegangan yang mantap dan
dengan penafsiran terhadap konteks kesejarahan yang cenderung kaku, sehingga
ekspresi formalisme Islam nampak dalam jargon-jargon yang mereka usung.
Berbeda dengan yang pertama, pada kelompok kedua yakni kelompok liberal, pemaknaan terhadap Alquran dan Hadits yang lebih substansif,
lebih penting dari pada pemaknaan yang hanya berupa simbol formal saja, tipologi
pemikiran kelompok ini didasarkan pada kontekstualitas ajaran dan
kondisi sosial yang ada dalam masyarakat Islam dengan analisa lewat pemikiran
Abid Al Jabiri, Hassan Hanafi, Farid Essac, Nurcholish Madjid dll.
Tokoh-tokohnya Amin Abdullah, Abdul
Munir Mulkan, Moeslim Abdurrahman, Zuly Qodir dan sebagian intelektual muda
dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Kemudian
yang ketiga adalah kelompok moderat. menurut mereka ajaran Islam yang termaktub di dalam Al-Qur’an dan Hadits
merupakan cita-cita yang ideal terhadap sebuah bangun kebangsaan. Pandangan
moderat ini menggunakan wahyu sebagai perumusan perilaku dan penggerak terhadap
etika hidup umat Islam di dunia dengan tentor utamanya adalah Fazlur Rahman, walaupun
mereka menolak ide formalisasi ajaran Islam dalam bentuk negara Islam. Ahmad Syafii Maarif, Din Syamsuddin, Malik Fadjar, M. Dawam Rahardjo, Haedar Nashir, M. Amin Aziz, Bachtiar Effendi, Abdul
Mu'thi, Yunahar llyas dll, merupakan tokoh-tokoh
dari kelompok ini. Lihat Iwan Setiawan, “Pluralitas Kader dan Pemikiran di
Muhammadiyah”, Suara Muhammadiyah Edisi 21-04.
[4]
Sukidi Mulyadi, “Muhammadiyah
Liberal dan Anti-Liberal”, Majalah Tempo Edisi 20/XXXIV/11
- 17 Juli 2005. http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2009/11/muhammadiyah-liberal-dan-anti-liberal.html,
diakses pada 4 Juli 2015
[5]
Zuly Qodir, “Bangkitnya
“Second” Muhammadiyah”, http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2009/11/bangkitnya-second-muhammadiyah.html,
diakses pada 4 Juli 2015
[6]
Lihat Muhammadiyah.or.id,
“Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah”, http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-175-det-matan-keyakinan-dan-citacita-hidup.html,
diakses pada 4 Juli 2014
[7]
Mulyadi, Op. Cit.
[8]
Syamsul Hidayat, “Komitmen Dakwah Muhammadiyah”, http://mahad-kibagus.blogspot.com/2009/08/manhaj-dakwah-muhammadiyah.html,
diakses pada 4 Juli 2015
[9]
Loc. Cit.
[10]
Lihat Setiawan, Op. Cit.
[11]
Loc. Cit
[12] Sang Pencerah.com, “Tanggapan Yunahar Ilyas
Terhadap Hasil Polling Calon Ketua Umum PP Muhammadiyah”,
http://www.sangpencerah.com/2015/04/yunahar-ilyas-hasil-polling-ketua-pp-muhammadiyah.html,
diakses pada 5 Juli 2015
[13]
PanjiMas.com, “Jelang Muktamar
Ke-47, Muncul 3 Nama Sebagai Calon Ketum PP Muhammadiyah”, http://panjimas.com/news/2015/01/11/jelang-muktamar-ke-47-muncul-3-nama-sebagai-calon-ketum-pp-muhammadiyah/,
diakses pada 5 Juli 2015
[14]
Menurut Antonio Gramsci (1891-1937), intelektual organik adalah antitesa dari
intelektual tradisional. Intelektual organik adalah intelektual dan organisator
politik, dan pada saat yang sama juga bos-bos perusahaan, petani-petani kaya
atau manajer perumaha, penguasa komersial dan industry, dan sebagainya. Mereka
menyadari indentitas dari yang diwakili dan yang mewakili, dan merupakan
barisan terdepan yang riil dan organik dari lapisan ekonomi papan atas yang di
situ mereka termasuk di dalamnya. Lihat Roger Simon, “Gagasan-Gagasan Politik
Gramsci,” hlm. 144.
[15]
Islam berkemajuan sering dimaknai sebagai “Islam kosmopolitan”, yakni kesadaran
bahwa umat Muhammadiyah adalah bagian dari warga dunia yang memiliki “rasa
solidaritas kemanusiaan universal dan rasa tanggung jawab universal kepada
sesama manusia tanpa memandang perbedaan dan pemisahan jarak yang bersifat
primordial dan konvensional” (Tanfidz
Muhammadiyah 2010, 18). Lihat Ahmad Najib Burhani, “Islam Nusantara vs
Islam Berkemajuan”, http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2015/07/islam-nusantara-vs-islam-berkemajuan.html,
diakses pada 6 Juli 2015
Komentar
Posting Komentar