Mengapa
Penguasa Selalu “Berselingkuh” dengan Pengusaha?
Oleh
Zulfikhar
Mahasiswa
Ilmu Politik UMMU
Baru-baru ini masyarakat
Maluku Utara dihebohkan oleh sebuah skandal yang terjadi di kawasan tambang
pulau Obi, Halmahera Selatan. Kedaulatan negara kita, serasa terinjak-injak menyusul
dikibarkannya bendera Tiongkok dalam acara peresmian smelter milik PT Wanatiara
Persada.
Menurut pengakuan general manager perusahaan itu, Thy Thy
Chang, sebelumnya telah ada rapat bersama Gubernur Maluku Utara dan Bupati
Halmahera Selatan guna kesuksesan acara tersebut (Malut Post, 8/12/16). Itu berarti,
skandal pengibaran bendera sebagai bagian dari acara peresmian tersebut, telah diketahui
oleh pemerintah daerah maupun pemerintah Indonesia -mengingat gubernur adalah
wakil pemerintah pusat di daerah. Apabila pengakuan pimpinan perusahaan yang dimiliki
Tiongkok itu terbukti benar, kedua kepala daerah berarti telah melanggar UU
Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan
Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Dan hal itu adalah preseden buruk
bagi provinsi yang tata kelola pemerintahaannya ranking dua dari bawah ini.
Skandal tersebut menambah
daftar panjang keberpihakan penguasa terhadap pengusaha yang berujung merugikan
negara. Alih-alih kerja sama kedua pihak dilakukan untuk sebesar-besar kesejahteraan
masyarakat, justru demi keuntungan segelintir penguasa dan penguasa an sich. Satu fenomena yang disebut Joe
Studwell (2009) sebagai ‘perselingkuhan penguasa dan pengusaha.’
Hal yang sama sebelumnya
telah terjadi di pulau Gebe, Gane, Halmahera Utara dan Halmahera Tengah. Menyusul
skandal tersebut, perselingkuhan yang tidak hanya mengancam kelestarian alam
Maluku Utara dan menginjak-injak
kedaulatan Indonesia itu seyogianya dapat diakhiri segera. Meskipun ekspektasi
tersebut agaknya terasa mustahil mengingat perselingkuhan kedua pihak telah berlangsung
lama dan telah memberikan keuntungan yang tidak sedikit bagi penguasa di Maluku
Utara.
Melalui tulisan ini,
penulis hendak menguraikan bagaimana perselingkuhan tersebut bermula dan mengapa
masih terus berlangsung, berhubung telah jelas kerugian yang ditimbulkannya.
Hal Ihwal Keberpihakan
Penguasa
Skandal mengenai
perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha bukanlah hal baru dalam sejarah
Maluku Utara. Jauh sebelum provinsi ini berdiri, sumber daya alam yang berada di
dalamnya sudah menjadi ‘sapi perah’ perusahaan-perusahaan pengejar rente melalui
konsesi dan kemudahan yang diberikan rezim otoriter di masa lalu. Satu relasi
negara dan pemodal yang disebut Yoshihara Kunio sebagai ‘kapitalisme
perkoncoan.’
Mengapa dan bagaimana perselingkuhan
itu dapat terjadi? Ada beberapa teori yang relevan untuk menjawabnya. Teori pertama mengemukakan bahwa perselingkuhan
itu dimungkinkan terjadi bukan karena pada dasarnya negara sejak awal tidak
adil. Ralph Miliband, pemikir sosial Inggris yang mengemukakan pendapat ini,
mengatakan negara sebenarnya telah berbuat adil atas warganya, baik yang kaya
maupun yang miskin (Budiman, 1996). Masalah bermula ketika intensitas interaksi
negara dan warganya yang kaya, atau kaum pengusaha, lebih sering dari pada
warganya yang miskin. Pada gilirannya, kaum pengusaha berhasil meyakinkan negara
bahwa kepentingan mereka sebenarnya merupakan kepentingan seluruh warga secara keseluruhan.
Termasuk mereka yang miskin. Negara pun terbujuk, lalu memberikan kuasa kepada
kaum pengusaha untuk mengelola sumber daya alam yang dimiliki negara.
Berbeda dengan pendapat
Miliband, teori kedua yang diwakili Nicos Poulantzas, pemikir sosial asal
Prancis, justru mengemukakan bahwa perselingkuhan di antara kedua pihak bukan disebabkan
intensitas interaksi antara negara dan kaum pengusaha. Tetapi lebih disebabkan
persoalan struktural (Budiman, 1996). Negara, lanjut Poulantzas, hakikatnya memelihara
kesejahteraan warganya yang termanifestasi dari kinerja pemerintahan
sehari-hari. Namun, untuk menunaikannya, negara butuh pemasukan (income) yang cukup dari pajak dan laba –untuk
membiayai dirinya. Di mana hal itu hanya dapat disediakan dalam jumlah besar
oleh investasi kaum pengusaha.
Karena roda
pemerintahan negara bergantung dari pemasukan para pemilik modal, maka usaha negara
pada gilirannya adalah menjamin bagaimana caranya aliran pemasukan tersebut berjalan
lancar. Fred Block, pemikir sosial lainnya, mengemukakan bahwa untuk itu negara bertugas menciptakan iklim usaha
yang baik (business confidence). Caranya
dengan menjaga stabilitas politik dalam negeri berlangsung stabil. Segala upaya
yang menjurus pada protes dan pembangkangan terhadap usaha ini, karenanya
diredam melalui tindakan preventif dan bila perlu represi negara via anasir
aparat-aparat keamanannya.
Dari sini awal
perselingkuhan negara dan pengusaha bermula. Tidak hanya mampu memelihara
kerugian (baca: menjajah) masyarakat di dalamnya, perselingkuhan itu kini
bahkan maju selangkah menguasai kesadaran penguasa betapa kedaulatannya tidak lagi
penting di hadapan ingar bingar kekuasaan modal kaum pengusaha yang menipu.
Kini tinggallah
masyarakat Maluku Utara terjebak dalam jurang hegemoni modal yang entah sampai dimana
ujungnya.
Komentar
Posting Komentar