Gagasan Revolusi Sosial Bung Karno

Diakses dari https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhxkBNjXPaq6fBRoM33pJjXg6SwulNVamNRYn3nPo-64PJfQG_A9vbq9h_qIyCKqDnJ4t7Os974yjjJf5uwNQPFWwjKmAtus88koq3_VbLoUKI7vO5znqmPwhr6rG7oWW1pNAMT2JN9bE/s1600/mao-zedong-12-1956-indonesian-president-sukarno-palm-reading.jpg


Ibarat tulang dan daging, revolusi tak dapat dipisahkan dari garis besar gagasan politik Bung Karno. Revolusi mendapat perhatian besar sebab merupakan alat perjuangan pokok untuk mencapai cita-cita negara yang diidealkannya. 

Mengapa revolusi menjadi demikian penting? Menurut Bung Karno, revolusi penting karena tanpanya negara Indonesia yang merdeka tanpa imperialisme dan kapitalisme tidak akan pernah terwujud. “Revolusi kita adalah justru untuk menyudahi kapitalisme dan imperialisme.” Kata Bung Karno.


Namun, setelah Indonesia merdeka, tugas revolusi bukan berarti telah berakhir. Lahirnya kemerdekaan tidak berarti berakhirnya kapitalisme dan imperialisme. Kemerdekaan atau Revolusi Agustus hanyalah sebatas membebaskan Indonesia secara politik. Kemerdekaan tidak mengandaikan hapusnya kapitalisme. Kemerdekaan juga hanya melenyapkan satu bagian dari pada imperialisme dan menyisakan sebagian yang lain. Apa maksudnya?

Dalam artikel Swadeshi dan Massa Aksi di Indonesia (1932) Bung Karno mengatakan bahwa imperialisme adalah; “suatu nafsu, suatu politik, suatu stelsel menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri bangsa lain, suatu stelsel overheersen atau beheersen ekonomi atau negeri bangsa lain. Ia adalah suatu verschijnsel, suatu “kejadian” di dalam pergaulan hidup, yang menurut paham kita timbulnya ialah karena keharusan-keharusan atau noodwendigheden di dalam geraknya ekonomi sesuatu negeri atau bangsa. Ia terutama sekali adalah wujudnya politik luar negeri dari pada negeri-negeri Barat di dalam abad kesembilanbelas dan keduapuluh.”



Maksud Bung Karno, imperialisme tidak lain merupakan ekses dari ekspansi kelimpahan modal ekonomi negara-negara Barat terhadap negeri-negeri luar, umumnya negeri-negeri Asia dan Afrika, yang digerakkan melalui ‘imperialisme yang menguasai’ (overheersen) dan ‘imperialisme yang memerintah’ (beheersen). Ketika Indonesia berhasil merdeka, baru ‘imperialisme  memerintah’ yang berhasil dilenyapkan ditandai terusirnya rezim dan birokrasi Hindia Belanda. Sedangkan keberadaan perusahaan-perusahaan dan beroperasinya bisnis milik Belanda menguatkan masih bercokolnya ‘imperialisme yang menguasai’ (hingga nanti disapu nasionalisasi mulai tahun 1957). Jadi, ada dua bentuk imperialisme.

Fase Revolusi Sosial

Bung Karno tidak setuju kalau revolusi mengusir imperialisme dilakukan dalam satu kali pukul. Ia menolak revolusi kemerdekaan dilakukan serentak dengan revolusi sosial. Meskipun tak dapat dipungkiri pasca proklamasi di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Sumatera Timur, revolusi sosial meledak dan menelan banyak korban. Baginya tujuan paling pokok adalah mencapai kemerdekaan nasional dan itu mustahil diwujudkan tanpa menggalang persatuan nasional di kalangan rakyat yang terbagi-bagi ke dalam kelompok marhaen, tuan tanah dan kapitalis. 

Menurut Bung Karno revolusi tidak berarti harus menciptakan perubahan dalam waktu cepat. Baginya revolusi adalah suatu perjuangan terus-menerus. Karena itu mesti terencana. Dalam Sarinah (1947), ia mengatakan revolusi terbagi dalam dua fase; “Apakah fase-fase revolusi kita? Kita mengalami fase-fase nasional, dan akan mengalami fase sosial.” 

Fase nasional merupakan fase revolusi untuk mendirikan sebuah negara nasional yang merdeka. Adalah masa dimana bangsa Indonesia merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang telah direbut dari kaum imperialis. Revolusi fase ini anti terhadap imperialisme dan feodalisme. Sedangkan fase sosial bertujuan untuk mencapai tujuan akhir dari pada revolusi, yaitu masyarakat adil dan makmur atau sosialisme.

Menurut Bung Karno, revolusi sosial hendak mengubah susunan masyarakat lama menjadi masyarakat baru. Sistem kapitalisme yang masih bercokol di dalam masyarakat merupakan objeknya. Caranya, dengan mengubah sistem exploitation de I’homme par l’homme (eksploitasi manusia atas manusia) menjadi sistem yang memanusiakan manusia. Dalam prakteknya, pendidikan terhadap kaum marhaen dan perjuangan lewat aksi massa diutamakan untuk mensukseskan misi ini. Namun, menurut Bung Karno, revolusi hanya dapat dipimpin oleh kaum marhaen. Hal ini ditegaskan dalam Mencapai Indonesia Merdeka: “pergerakan marhaen haruslah suatu masyarakat tanpa kapitalisme dan imperialisme dengan kekuasaan politik (politieke macht) dikuasai oleh kaum marhaen.” 

Ketika imperialisme Belanda berhasil diakhiri pada 1950, Bung Karno yakin bahwa peristiwa itu akan menandai berakhirnya fase revolusi nasional. Dalam pidato 17 Agustus 1959, Penemuan Kembali Revolusi Kita, ia menyatakan revolusi nasional selesai pada 1950 dan mulai tahun 1956 Indonesia akan memasuki fase revolusi sosial. Ia mengatakan; “1956. Mulai dengan tahun ini kita ingin memasuki satu periode baru. Kita ingin memasuki periodenya revolusi sosial-ekonomis, untuk mencapai tujuan terakhir dari pada revolusi kita, yaitu satu masyarakat adil dan makmur, “tata tentrem kerta raharja”.”

Setidaknya ada dua peristiwa penting yang membuat Bung Karno yakin tahun 1956 adalah momentum memulai revolusi sosial. Pertama, pada tahun 1957 Indonesia berhasil melakukan nasionalisasi besar-besaran terhadap perusahaan-perusahaan Belanda di seluruh negeri. Menurut catatan Al-Rahab (2014), terhitung 500 perusahaan perkebunan, 160 perusahaan industri ringan dan pelbagai perusahaan di sektor perbankan, listrik, perdagangan dalam negeri dan ekspor-impor berhasil dikuasai negara. Kedua, dimulainya agenda land reform dengan diratifikasinya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Terbitnya undang-undang ini membuat penguasaan tanah yang tadinya banyak dikuasai kaum imperialis dan tuan tanah dapat digeser merata kepada seluruh masyarakat. Tanah ditegaskan memiliki fungsi sosial dan tidak boleh dikelola oleh swasta untuk kepentingan monopoli ekonomi. Hal itu penting sebab menurut Bung Karno, land reform merupakan prasyarat untuk mencapai revolusi sosial.  “Revolusi Indonesia tanpa land reform sama saja dengan gedung tanpa alas, pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi,” kata Bung Karno dalam Jalannya Revolusi Kita (1960). 

Revolusi Berakhir

Hingga pertengahan tahun 1960-an revolusi sosial yang direncanakan akan dimulai pada 1956 tidak pernah terlaksana. Menurut Bung Karno, itu karena prasyarat berakhirnya revolusi nasional yaitu penghapusan imperialisme dan feodalisme belum berhasil dilakukan.

Agaknya pernyataan itu didasarkan pada eksekusi undang-undang land reform yang dalam prakteknya tidak berjalan mudah. Banyak tuan tanah menentang sehingga membuka konflik horizontal di tengah-tengah masyarakat. Agenda pembersihan imperialisme belum selesai setelah keberhasilan membebaskan Irian Barat, sebab Indonesia terlibat konflik kawasan dengan Federasi Malaysia. Bung Karno menuduh federasi baru itu sebagai boneka imperialisme karena mencaplok sepihak wilayah Sabah dan Serawak tanpa izin penduduk setempat.

Namun, pecahnya peristiwa G30S pada 1 Oktober 1965 membuat jalannya revolusi berhenti. Terutama setelah muncul Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Land reform sebagai agenda untuk menghapus feodalisme sementara pengganyangan Malaysia untuk melawan imperialisme akhirnya jalan di tempat. Itu karena penggerak land reform seperti Barisan Tani Indonesia (BTI) diamankan ABRI sementara jenderal-jenderal pemimpin operasi pengganyangan ditangkap dengan tuduhan sama: terlibat G30S. 

Sebagai pemegang mandat Supersemar, Suharto menggunakan “surat sakti” itu bukan untuk menertibkan situasi keamanan tetapi malah membubarkan PKI dan menangkap pendukung Bung Karno di kabinet.  Manuver politik untuk mendelegitimasi posisi Bung Karno dilancarkan lewat media, demonstrasi massa dan intervensi terhadap kabinet sehingga berhasil merusak reputasi Bung Karno. Puncaknya, Bung Karno diberhentikan oleh MPRS pada 1967.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*