Debat Pilpres I: Tarung Kedangkalan Narasi dan Kemiskinan Gagasan 

 https://news.detik.com/berita/4388605/menganalisis-permainan-isu-jokowi-vs-prabowo-siapa-lebih-efektif

Debat calon presiden dan calon wakil presiden pada kamis malam tidak saya bayangkan dapat berlangsung sepanas itu. Joko Widodo dan Prabowo Subianto, dua capres yang terlibat saling adu gagasan member kejutan yang barangkali tidak pernah terpikirkan oleh rakyat yang menyaksikan. Bagi saya, debat semalam barangkali adalah debat terpanas dan terheboh yang sepanjang reformasi, namun kurang mendidik kapasitas politik rakyat. 

Debat para politisi Inggris di House of Common terkenal paling seru di dunia. Malam itu  suasana serupa berpindah ke atas panggung yang mempertemukan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Saling tuduh dan tampik, menghiasi dinamika perdebatan dari awal hingga akhir.  Meski tidak lazim dalam tradisi politik kita, debat yang dinikmati dan dirayakan penonton dan tim sukses itu tidak bisa sama sekali selain ditiadakannya hingga selesai. 


Di balik keseruan di dalamnya,  tersembunyi rasa tidak puas.  Bagi saya debat itu memang seru dan menghibur. Tapi tidak substansial dan otentik.

Pangkal masalahnya adalah kisi-kisi yang dibagikan KPU kepada masing-masing kandidat. Buntutnya terlihat pada debat malam itu. Joko Widodo, sejak penyampaian visi-misi sampai sesi terakhir debat, sering sesuatu yang berada di atas meja podiumnya. Sandiaga Uno juga sempat melihat-lihat sesuatu yang berada di atas meja podium. Semua kandidat capres dan cawapres sudah mendapat  kisi-kisi pertanyaan debat yang diberikan KPU. Wajar saja pada saat debat mereka masih sibuk mempelajari kisi-kisi itu. 

Kemahiran retorika 

Di mana saja, kemahiran retorika diakui menentukan kualitas bahkan strata gagasan setiap kandidat. Sebagaimana sudah dikenal terbiasa dalam pidato tanpa teks, kemampuan itu ditunjukkan Prabowo Subianto. Sejak awal hingga akhir debat, ia konsisten menyampaikan buah pikirnya seperti biasa. Bedanya,  malam itu ia berbicara tidak selugas biasanya. Ia mungkin sadar bahwa momentum malam itu sangat penting, disaksikan seluruh rakyat Indonesia, dan lawan debatnya yang merupakan petahana. Malam itu pembawaan Prabowo kelihatan kalem dan mampu menguasai emosinya. 

Joko Widodo juga sama. Ia menampilkan retorikanya  yang khas seperti biasa. Bedanya, kali ini ia membawa diri tidak seperti biasanya. Apabila pidato-pidatonya tidak menyerang lawan secara langsung, kali ini sebaliknya. Secara langsung Jokowi berkali-kali menyerang pasangan nomor urut 2. Nada bicaranya dipasang lebih tinggi. Hampir setiap pendapat  Prabowo-Sandi menjadi bulan-bulanan kritiknya. 

Saat debat sesi pertama yang mengangkat topik hukum, ia langsung menyatakan punya jawaban yang berbeda ketika diminta moderator menanggapi jawaban Prabowo. Menurut Joko Widodo, tumpang tindih peraturan yang terjadi di Indonesia bisa diatasi jika dilakukan harmonisasi antar instansi pembuat aturan. Ia menawarkan konsep kelembagaan bernama Pusat Legislasi Nasional yang menggabungkan fungsi legislasi seluruh instansi pembuat aturan. Sehingga dapat dipimpin langsung oleh presiden. 

Tiba giliran untuk menanggapi, Prabowo mengatakan tidak merasa ada yang berbeda antara jawaban Joko Widodo dengan jawaban miliknya. Sebelumnya, ia mengatakan usaha untuk mengatasi tumpang tindih aturan harus dipimpin langsung oleh presiden. 

Kerja sama capres-cawapres

Di lihat dari segi kerja sama atau kekompakannya, kandidat nomor 2 tampak lebih unggul di awal debat. Cawapres kandidat nomor 1, Kiai Ma’ruf Amin, belum sama sekali bicara. Agaknya ia masih menunggu sampai saat yang tepat. Hal ini membuat gagasan kandidat nomor 1 praktis hanya diwakili Jokowi. 

Gagasan Ma’ruf  baru mulai dilihat di saat tiba sesi HAM.  Ia  menanggapi hak asasi kaum disabilitas. Pada sesi terorisme, ia juga banyak mengupas sebab dan solusinya. 

Berbeda dengan Ma’ruf, kerja sama Prabowo dan Sandiaga sudah terlihat kompak satu sama lain ketika mulai menjawab pertanyaan moderator. Hampir pada setiap ada waktu sisa, Sandiaga selalu diberi kesempatan untuk menegaskan pernyataan-pernyataan Prabowo. Beberapa kali, ia memberi tanggapan dan pertanyaan kepada pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. 

Kedangkalan Narasi

Kedua kandidat sama-sama punya narasi untuk diadu dalam debat malam itu. Semula, visi Prabowo Subianto-Sandiaga Uno punya kemiripan dengan visi Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Pada saat sosialialisasi visi-misi beberapa hari jelang debat, ia menegaskan telah mengganti tagline visinya dari ‘Indonesia Adil dan Makmur’ menjadi ‘Indonesia Menang.’ Sedangkan pasangan kandidat nomor urut 1 mengusung ‘Indonesia Maju.’

Dari awal debat gagasan masing-masing kandidat hampir selalu bertentangan. Tim sukses masing-masing sepertinya telah menyiapkan materi kandidatnya  dengan baik sehingga memungkinkan terjadinya pertarungan gagasan yang seru. 

Namun jika diperhatikan, gagasan yang mereka sampaikan tidak terelaborasi secara mendalam. Alih-alih publik dibawah ke substansi persoalan justru gagasan kedua kandidat mengarah ke persoalan teknis. Untuk mengatasi masalah tumpang tindih peraturan misalnya, Prabowo langsung menawarkan solusi kelembagaan yang diberi nama Badan Pembinaan Hukum Nasional. Sedangkan Joko Widodo menawarkan Pusat Legislasi Nasional. 

Agaknya, paradigma berpikir kedua kandidat ini melihat penanganan masalah harus diikuti oleh solusi konkrit. Masalah tumpang tindih peraturan harus ditertibkan dengan mendirikan lembaga penertiban tanpa menganalisa dan merumuskan apa sesungguhnya akar masalahnya? Mengapa ia muncul dan bagaimana prosesnya sehingga ia menjadi masalah? Di mana posisi dan peran falsafah negara dalam persoalan ini dan strategi negara untuk mengatasi masalah tidak diuraikan kedua kandidat. Wacana mereka hanya mampu berhenti sampai metode. 

Padahal, wacana dalam debat pilpres harusnya  mampu menggali hal ikhwal di balik akar persoalan bangsa. Para kandidat harus mampu mengelaborasi sampai bagaimana alam pikir manusia Indonesia dikontruksi secara filosofis, psikologis, sosial, dan historis. Watak institusi negara yang gemar dan rajin membuat aturan harusnya mampu diletakkan di atas meja perdebatan. Kalau nalar penyelesaian masalah calon presiden dan calon wakil presiden hanya sampai metode, lalu apa bedanya debat pilpres dengan debat pilkada? Apakah kualitas calon presiden memang sama dengan calon gubernur, calon bupati dan wali kota?

Jika dikaji dari sesi perdebatan tentang hukum, hak asasi manusia, sampai korupsi dan terorisme, praktis, tidak ada gagasan baru yang muncul dalam debat tersebut. Gagasan-gagasan yang muncul adalah gagasan lama yang sering di dengar pada wacana di ruang publik. 

Hal ini bisa dilihat dalam polemik yang sempat menyita perhatian publik pada beberapa sesi perdebatan. Misalnya, perdebatan tentang hubungan korupsi dan biaya jabatan publik yang tinggi. Joko Widodo menawarkan agar dilakukan sistem rekrutmen berbasis kompetensi, dan melalui proses yang transparan. Dalam kasus jabatan politik, menurutnya perlu dilakukan penyederhanaan sistem kepartaian dan memfungsikan peran relawan. Ia mencontohkan pada Pilkada DKI 2012 lalu ia tidak mengeluarkan uang sama sekali karena banyak dibantu relawan. Menurut Prabowo, tidak. Menaikkan gaji pejabat adalah solusinya. Sebab uang yang dikelola pejabat sangat besar karena itu menuntut pendapatan yang besar pula, agar pejabat tidak tergoda menyalahgunakan jabatannya.

Solusi semacam itu sudah sering didengar dan pernah dipraktekkan. Pejabat secara profesional banyak diangkat tapi tetap saja melakukan korupsi. Faktanya, beberapa pimpinan partai pendukung Joko Widodo dan menterinya sendiri tersangkut korupsi. Efek dinaikkannya gaji pejabat terhadap kesuksesan pencegahan praktek korupsi juga tidak. Selain menteri, anggota DPR juga digaji besar oleh negara, namun tidak berhenti terlibat kasus korupsi.

Contoh kedangkalan lain terjadi manakala Jokowi bertanya pada Prabowo perihal dominasi laki-laki dalam struktur kepemimpinan DPP Partai Gerindra. Padahal dalam visi misi itu disebutkan setiap kebijakan diambil berperspektif gender dan memprioritaskan pemberdayakan perempuan. Prabowo beralasan partainya masih baru dan kebetulan yang pertama kali bersedia bekerja untuk partai lebih banyak laki-laki. Tapi dia segera menyerang balik dengan menyebut wakilnya adalah putri Bung Karno: Rahmawati Soekarno Putri. Sedangkan hampir 40 persen caleg partai Gerindra adalah perempuan. Ia mengklaim Gerindra adalah partai yang punya caleg perempuan terbanyak. Akan tetapi, Jokowi menyerang balik dengan membandingkannya dengan kabinetnya yang memiliki 9 menteri perempuan terbanyak. Kabinetnya adalah yang pertama punya menteri luar negeri perempuan. Dengan bangga, ia memamerkan keberhasilannya membentuk tim seleksi calon pimpinan KPK yang kesembilannya adalah perempuan. 

Menjadi presiden yang berasal dari partai yang mayoritas pemimpinnya didominasi laki-laki tidak berarti menghasilkan kebijakan yang tidak pro perempuan. Sama halnya dengan kabinet yang memiliki banyak menteri perempuan tidak berarti selalu memproduksi kebijakan yang pro perempuan. Pro atau kontra bukan urusan gender tapi keberpihakan pada keadilan gender. 

Contoh lain yang menunjukkan kemiskinan gagasan kedua pasangan calon ini terlihat dalam perdebatan setelah Joko Widodo  menanyakan alasan Partai Gerindra mendaftar enam mantan koruptor menjadi calon legislatifnya. Ia mengutip rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang 46 caleg eks narapidana korupsi di mana enam orang caleg berasal dari Partai Gerindra. Prabowo bingung dan mengaku tidak tahu. Tapi jika kabar itu benar, ia berpendapat tetap membela keputusan partainya. Baginya, dalam negara demokrasi, orang yang sudah menjalani seluruh proses hukumnya tidak dilarang untuk menjadi caleg.
Pertanyaan Joko Widodo itu sebenarnya bumerang buat dirinya sendiri. Dalam rilis ICW itu juga memasukkan satu orang caleg PDIP. Joko Widodo rupanya tidak mempelajari rilis tersebut baik-baik. Ia terlalu percaya dan mengandalkan materi debat yang disiapkan tim debatnya. 

Prabowo juga tidak ada bedanya. Dalam pidato-pidatonya ia selalu menegaskan akan langsung pecat kader Gerindra yang terbukti korupsi. Kalau kadernya sendiri ia pecat, kenapa mantan koruptor justru ia izinkan bergabung dan menjadi caleg partainya?
Perdebatan antara kedua kandidat seharusnya mampu ditampilkan apa adanya dan lepas. Terjadinya kedangkalan gagasan membuat debat berikutnya harus dievaluasi oleh KPU. Durasi waktu untuk menjawab dan menanggapi yang diberikan KPU pada peserta debat berikutnya harus lebih diperpanjang. 

Masa depan bangsa ini ditentukan oleh kualitas pemimpin hari ini. Debat capres merupakan sarana bagi rakyat untuk mengenal siapa kandidat yang harusnya mereka pilih. Untuk mencapainya, sebagai penyelenggara, KPU harus terus melakukan evaluasi sehingga kualitas debat mendatang semakin baik dan sesuai dengan ekspektasi masyarakat. Terobosan KPU untuk menghadirkan debat yang makin berkualitas sangat dinanti. 

Kalumata, 19 Januari 2019


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*