BUKAN PASAR MALAM: REVOLUSI MEMAKAN ANAKNYA SENDIRI



Judul                             : Bukan Pasar Malam
Penulis                          : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit                        : Lentera Dipantara
Tahun Terbit                : 2018
Halaman                       : 104 hlm
Nomor Edisi Terbit    : ISBN 978-979-3820-03-3

Zaman revolusi tidak selalu meninggalkan kisah-kisah kepahlawanan yang biasa kita saksikan dalam catatan-catatan para sejarawan. Kisah tokoh-tokoh penting seperti Jenderal Sudirman, Nasution, Tan Malaka dan lain-lain terlalu sedikit untuk mewakili kompleksitas kemelut periode masa itu dalam sejarah nasional kita. 

Di balik kisah-kisah mereka, berserakan ribuan kisah anak-anak revolusi yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya. Mereka bukan orang-orang penting yang namanya pernah ditulis oleh wartawan dan sejarawan. Bukan pula  pernah menduduki jabatan mentereng di pemerintahan. Mereka hanyalah orang-orang biasa yang bersedia mengorbankan harta, nyawa, dan keluarganya untuk revolusi.


Melalui  Bukan Pasar Malam, Pramoedya Ananta Toer ingin mengatakan kepada sidang pembaca bahwa revolusi juga menyisakan kesedihan  bahkan terlampau banyak untuk dikisahkan.

Roman ini berpusat pada tokoh ‘Aku’ berhadapan dengan lika liku permasalahan keluarga di kampung, ayahnya yang sakit, dan isterinya yang cerewet. Bagaimana cara ia menghadapi masalah tersebut, dan apa sikap yang diambilnya, mengisi seluruh jalan cerita dalam roman ini hingga selesai.


Keluarga Gerilya

Kisah ini dimulai dengan kedatangan tokoh Aku dan isterinya ke kampung kelahirannya: Blora. Tokoh Aku adalah seorang veteran gerilyawan dan bekas tawanan penjajah yang sekarang bekerja pada penerbit terkenal ibu kota: Balai Pustaka.  Ia pulang setelah menerima surat dari pamannya perihal kabar sakit sang ayah.

Di rumah itu, tinggal enam orang adiknya. Ibunya telah lama tiada. Sebenarnya semuanya delapan, namun yang bungsu keburu meninggal tak lama menyusul sang ibu karena malaria. Peristiwa itu membuat tokoh Aku marah.  Melalui  sepucuk surat, ia menyalahkan ayahnya yang abai sebagai orang tua. Tuduhan itu meregangkan hubungan mereka. Tapi sang ayah sendiri punya alasan. Adik kedelapan bersembunyi terlalu lama di daerah rawa ketika serbuan pasukan merah katanya menyusul dalam surat balasan (hlm. 27). 

Di rumah itu, dua anggota keluarga ikut gerilya. Yaitu adik kedua dan suami adik ketiga. Di masa itu tampaknya tidak ada pilihan untuk selamanya menjadi manusia pragmatis ketika teror bertebaran di mana-mana. Sebagai salah satu anak tertua sudah sepatutnya adik kedua punya tanggung jawab terhadap semua adik-adiknya.  Tapi itu wajar jika di masa damai. Sedangkan adik ketiga yang tengah terbaring sakit di kamar harusnya didampingi suaminya, tapi sang suami justru memilih ikut latihan militer di Semarang (hlm. 29). 

Tokoh Aku sama sekali tidak mengeluhkan keadaan itu. Dia paham itulah pilihan sejarah yang harus ditunaikan setiap anak-anak revolusi. Apalagi ia dulu seorang gerilyawan. Darah dan nyawa manusia melayang sudah menjadi pemandangan harian di masa tugas waktu itu. Salah satu yang membuatnya selalu terkenang adalah pembantaian di Lemah Abang. “Dulu-empat tahun  yang lalu! Dengan tiada tersangka-sangka Belanda menghujani pertahanan kita dari tiga penjuru dengan delapan atau sepuluh pucuk howitzer. Jumlah itu bias dihitung dari bekas serdadu artileri KNIL sebelum perang. Rakyat jadi panik. Mereka melarikan diri ke sawah. Aku masih ingat waktu itu, aku berteriak dengan bercorong kedua tanganku: Jangan lari! Rebahkan badan! Tapi mereka itu terlampau banyak, terlampau bingung, terlampau ketakutan-dan suaraku tak terdengar oleh mereka. Dan di kala aku bertiarap di bawah pohon besar itu kulihat sebuah -dua buah, tiga, empat, lima- peluru meriam jatuh meledak di sekitar bondongan manusia yang melarikan diri. Darah. Kurban. Bangkai. Dan ingatanku melalui darah, kurban, bangkai, ke surat, ke paman dan kepada ayah” (hlm. 15).
 

Berjuang Melawan Penyakit

Di kamar nomor tiga belas, sang ayah terbaring lemas. Tubuhnya kurus. Perawakannya lebih tua dari usianya. Virus tuberculosis sudah menguasai tubuhnya yang sudah dimakan zaman. Sang ayah senang dengan kedatangan tokoh Aku dan isterinya. Sebaik mungkin pasangan muda itu berusaha merawat dan melayani segala kebutuhannya. Melihat keadaan ayahnya yang makin memburuk itu, tokoh Aku tak mampu menahan rasa sedih dan luapan air mata. Di sini amarahnya yang lama karena meninggalnya si bungsu pudar berganti kasih sayang. 

Dari cerita dan obrolan panjang dengan adik keempatnya, tokoh Aku semakin memahami apa pasal keadaan ayahnya menjadi seburuk itu. Itu bermula dari penangkapan oleh tentara Belanda yang masuk Blora. Waktu itu ayahnya adalah gerilyawan yang bertugas mencegah invasi itu. Adik keempatnya mengaku, sejak keluar penjara, ayahnya kelihatan lebih tua. Sejak itu kondisi tubuhnya tidak pernah baik lagi. 

Kesibukan membela tanah air membuat ayahnya tak punya waktu mengurus keluarga. Dan karena itu jarang pulang. Di zaman Jepang yang serba sulit, keenam saudara itu menjual perabotan rumah untuk bisa bertahan hidup. Mesin jahit peninggalan mendiang ibu yang amat dikenangnya ikut di jual. Setelah semuanya habis terjual, mereka berdagang apa saja yang mampu dilakukan di tengah pendudukan yang menyengsarakan itu.

Kata dokter, kecil kesempatan untuk sembuh. Bersama sang paman, tokoh Aku mencari pengobatan alternatif salah satunya ke dukun. Belakangan si dukun tidak menyanggupinya. Tak tahan lama-lama di rumah sakit, sang ayah minta dibawa pulang. Satu bulan sejak kedatangan tokoh Aku dan isterinya, ia menjemput ajal. 

Kawan-kawan mendiang yang selama sakit dilarang menjenguk, semuanya berkumpul. mereka iba kawannya itu mati sendirian.  Salah seorang  yang menyelesali kematian itu menggerutu. “Ya, mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Dan kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu pun mencintai kita,... Seperti mendiang kawan kita itu misalnya –mengapa kemudian  kita harus bercerai berai dalam maut. Seorang. Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti Pasarmalam.” (Hlm. 95).


Revolusi Memakan Anaknya Sendiri

Roman ini dipadati dialog tokoh Aku dengan adik keempatnya. Boleh dikatakan,  ialah yang paling menguasai seluk beluk masalah keluarga. Selama ini ia mengurusi seluruh anggota keluarga terutama adik-adiknya. 

Adik keempat menerangkan seluruh peristiwa yang terjadi di rumah selama tokoh Aku di perantauan. Sejak ayahnya bekerja untuk pasukan Republik, ditangkap Belanda, berjudi dan jatuh sakit beberapa bulan setelah Republik merdeka. Ia juga menceritakan seorang Tionghoa yang baik hati mau menolong mereka di masa sulit itu (hlm. 64).

Namun, jasa sang ayah tidak dilupakan pihak Republik. Ia ditawari meninggalkan pekerjaannya sebagai guru dan menjadi anggota perwakilan daerah.  Ayahnya menolak meski ia tahu itulah kesempatan emas untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Ia berkata; “Perwakilan rakyat? Perwakilan rakyat hanya panggung sandiwara. Dan aku tidak suka menjadi badut-sekalipun badut besar.” (Hlm. 65). 

Tapi tawaran tidak berhenti di situ. Sang ayah sekali lagi mendapat tawaran menjadi koordinator pengajaran untuk mengatur seluruh urusan pengajaran di seluruh daerah Pati. Sekali lagi, ia menolak dengan bilang begini; “Tempatku bukan di kantor. Tempatku ada di sekolahan.” Atas sikapnya itu ia juga menolak menjadi pengawas sekolah. “Kita guru-guru di tanah air kita ini jangan sampai kurang seorangpun juga,” katanya. 

Agaknya sang ayah punya pendirian yang anti-mainstream bahwa di masa kebangunan itu peran guru adalah vital. Tentu kita tahu di masa itu angka buta huruf sangat tinggi. Jadi tak heran mengapa Bung Karno waktu itu mencanangkan gerakan pemberantasan buta huruf. Menjadi guru adalah tugas yang mulia. “Seorang guru adalah kurban –kurban untuk selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat –membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa,” kata tokoh Aku satu saat. (Hlm. 55).

Pendirian itu sebenarnya juga adalah sikap sang ayah membangun blok politik untuk dirinya sendiri. Ia kecewa dengan keadaan setelah kemerdekaan berhasil dicapai namun para jenderal yang dulu ia bela kepentingannya sekarang berebut jabatan dan kedudukan (hlm. 102). Ribuan mayat gerilyawan yang gugur dalam revolusi sekarang menjadi alat tukar untuk kepentingan sempit. Hal itulah yang barangkali membuatnya jatuh sakit. Ia sakit dan mati karena kecewa.


Diangkat dari Kisah Nyata

Tokoh Aku dalam Bukan Pasar Malam sebenarnya tak lain adalah pengarang sendiri. Kisah ini terjadi sekitar awal 1950-an setelah Pram menikah dengan isteri pertamanya dan belum lama memulai karir kepenulisannya. 

Kisah itu sempat disinggung Pram sedikit dalam memoarnya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1988). Dalam biografi yang ditulis dua adiknya Koesalah Soebagyo Toer dan Susilo Toer: Bersama Mas Pram (2008), kisah itu diuraikan lebih lengkap sehingga tersingkap siapa yang dimaksud adik keempat dan adik ketiga. Siapa adik kedua dan adik ketujuh. 

Roman ini merupakan satu dari sekian otobiografi keluarga Pram seperti Gadis Pantai (1987) dan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1988). Sepeninggal ayahnya, Pram kembali ke Jakarta memboyong adik-adiknya, salah duanya Koesalah dan Susilo yang di kemudian hari mengikuti jejak kepenulisannya.

Weda, 14 Agustus 2019

Komentar


  1. izin share ya admin :)
    buruan gabung bersama kami,aman dan terpercaya
    ayuk... daftar, main dan menangkan
    Line : agen365
    WA : +855 87781483 :)
    Silakan di add ya contaknya dan Bergabung juga ya :)
    Ditunggu ya Bosku :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*