RADIKALISME DALAM SEJARAH KITA 

Diakses dari https://merahputih.com/post/read/gaya-pemuda-nakal-pejuang-kemerdekaan-republik-indonesia

Hari-hari ini di Indonesia, pemerintah, partai politik dan organisasi masyarakat semuanya teriak mengutuk radikalisme. Sikap ini tidak hanya disampaikan dalam forum-forum resmi, tapi juga didiskusikan, diseminarkan, dibukukan bahkan menjadi gerakan. Anti-radikalisme seolah menjadi sebuah kebenaran yang mau tak mau harus diterima. Ia sekarang menjadi seperti konsensus bersama dalam ruang publik kita. 

Jika kilas balik ke belakang, setidaknya terminologi dan sikap semacam itu mulai populer setelah reformasi. Terutama setelah maraknya aksi-aksi terorisme mulai bom Bali  I dan II, bom Hotel Marriot, bom gereja di Surabaya, dll. Hal itu membuat pemerintah waspada terhadap segala potensi yang memungkinan terorisme berulang kembali. 


Setelah belajar dari pengalaman serta menempuh kajian dan riset yang panjang, pemerintah memutuskan bahwa akar dari terorisme adalah radikalisme. Mula-mula, individu dan kelompok-kelompok yang diduga radikal mulai diwaspadai. Lama kelamaan, karena alasan tertentu, keberadaan mereka dianggap mengancam ideologi negara. Lalu terjadilah pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh pemerintah -tanpa proses persidangan- yang menghebohkan itu. Baru-baru ini kelulusan pemuda bule, Enzo, dari seleksi Akademi Militer dipersoalkan. Semuanya dengan alasan sama: terkait radikalisme.


Apa itu Radikalisme?

Tampaknya makin lama, radikalisme makin disamakan dengan terorisme. Penyebutan  radikalisme dan terorisme kerap terlihat berdampingan. Sering sekali digunakan bergantian untuk menunjuk fenomena yang sama. Padahal keduanya tidak sama.

Dalam filsafat, proses berpikir yang mendalam sampai ke akar-akarnya (radix) disebut berpikir radikal. Artinya, berpikir radikal itu baik. Karena membantu memecahkan masalah yang kadung akut, rumit dan/atau membingungkan. Persoalannya adalah ketika kata radikal berkembang menjadi isme yang namanya radikalisme. 

Menurut kamus Merriam-Webster, radikalisme artinya pandangan atau sikap orang-orang yang mendukung perubahan ekstrim khususnya dalam pemerintahan. Perubahan ini bisa jadi perubahan rezim, sistem politik bahkan ideologi negara. 

Dalam prakteknya, radikalisme tidak bereaksi secara fisik sebagaimana terorisme. Radikalisme dalam perjuangannya tidak mensyaratkan pertumpahan darah. Hanya saja, ia dianggap meletakkan dasar-dasar teoritik bagi terciptanya terorisme. Karena ia menawarkan ideologi politik yang berbeda dengan ideologi negara. Tak sampai di situ, ideologi itu diposisikan berseberangan dengan ideologi negara dan penganutnya diikat oleh kewajiban moral untuk mewujudkannya. Dalam spektrum yang paling ekstrim, kaum radikal menganggap ideologi negara mesti diganti dengan ideologi mereka.


Nasionalis Radikal

Namun, radikalisme pernah mendapat posisi penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan kita. Sikap mereka sama dengan radikalisme hari ini: menentang negara lama. Bedanya, negara yang ditentang waktu itu adalah negara penjajah: Hindia Belanda. Para sejarawan menyebut kelompok yang memperjuangkannya: nasionalis radikal.

Cita-cita mereka sama saja dengan kaum nasionalis pada umumnya: Indonesia merdeka. Tapi strategi mereka berbeda.

Sebagian kaum nasionalis di masa itu memperjuangkan kemerdekaan dengan masuk ke dalam Volksraad (dewan rakyat). Atau dikenal dengan strategi kooperasi atau kerja sama. Mereka percaya, kerja sama dengan penjajah dari dalam sistem, dengan menempuh jalur moderat, pelan-pelan dapat mendorong Belanda untuk memberikan kemerdekaan. Mereka juga berusaha agar pergerakan kaum nasionalis yang berjuang di luar tidak dipersulit apalagi dilarang. 

Sayangnya, usaha kaum nasionalis  ini tidak mulus. Sebab, Volksraad bukanlah parlemen sebagaimana kita kenal sekarang. Sejak awal didirikan Volksraad merupakan parlemen jajahan. Dalam parlemen jajahan tidak ada fungsi legislasi dan pengawasan, apalagi penganggaran. Anggotanya hanya  memiliki hak bicara dan memberi usul. Apakah usul itu diterima atau ditolak merupakan hak prerogatif gubernur jenderal. Karena tidak dapat diandalkan untuk perjuangan kemerdekaan, Volksraad waktu itu diejek Semaun, pemimpin PKI, sebagai ‘komedi omong kosong.’ 

Kaum nasionalis radikal punya pandangan berbeda, mereka percaya bahwa perjuangan kemerdekaan hanya dan hanya bisa melalui perjuangan ekstraparlementer. Yang dikenal strategi non-kooperasi. Kerja sama dengan penjajah bagi mereka adalah usaha sia-sia karena pikir mereka bagaimana mungkin kekayaan alam yang selama berabad-abad membuat negeri Belanda kaya raya dilepaskan dengan gratis? Kemerdekaan bagi kaum nasionalis radikal tidak akan datang dari atas oleh niat baik penjajah, tapi oleh perjuangan rakyat dari bawah. 

Kaum nasionalis radikal tersebar ke dalam berbagai organisasi dan partai politik. Salah satu pelopor dari gerakan ini adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Bung Karno. Ketika baru berdiri, PNI langsung mengumumkan bahwa tujuan pendiriannya adalah kemerdekaan dengan usaha sendiri. Hal itu mengagetkan dan membuat tegang kaum pergerakan karena belum pernah ada pernyataan serupa sebelumnya. Untuk ukuran masa itu di mana hegemoni kolonial begitu kuat, hal itu dianggap sangat radikal dan berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda. 

Menurut Bung Karno, kemerdekaan hanya bisa digerakkan melalui pemusatan kekuatan (machtvorming) dan penggunaan kekuasaan (machtsaanwending) aksi massa. Strategi ini dikonsolidasikan melalui rapat-rapat umum (vergadering) di mana Sukarno  berpidato untuk mengajak rakyat bersatu memperjuangkan kemerdekaan. Persatuan menurut Sukarno adalah syarat pokok untuk merdeka. Seorang Indonesianis, Herbert Feith, menyebut Sukarno adalah pemimpin yang piawai menggalang solidaritas rakyatnya (solidarity maker) untuk berjuang.  

Berbeda dengan kasus radikalisme di negara-negara lain seperti di Irlandia, Kekaisaran Rusia, atau Korea, nasionalis radikal di Indonesia tidak menempuh metode kekerasan seperti terorisme. Metode yang dipakai adalah agitasi dan propaganda melalui rapat-rapat umum. Metode ini ampuh menambah massa pendukung namun lemah karena strategi pergerakan jadi mudah dilacak oleh polisi-polisi penjajah.


Pemuda Radikal di Balik Proklamasi

Pemerintah Hindia Belanda punya resep jitu untuk menumpas kaum nasionalis radikal yaitu tangkap dan buang. Strategi ini sudah sangat  tua, tapi efektif selama ratusan tahun meredam perlawanan rakyat. Maka, tokoh-tokoh nasionalis radikal satu per satu dibuang, termasuk Bung Karno yang dibuang ke Ende lalu Bengkulu. 

Tak lama perang di Pasifik pecah, Jepang datang dan Belanda lari mengungsi ke Australia. Jepang ingin keberadaanya diterima oleh rakyat dan cara paling ampuh adalah dengan membebaskan dan memulangkan kaum nasionalis berikut tokoh-tokohnya ke Jakarta. Termasuk Bung Karno danBung Hatta. 

Seperti jagung, umur Jepang di Indonesia tidak lama. Tanggal 15 Agustus 1945 Jepang resmi menyerah tanpa syarat pada Sekutu. Berita itu didengar oleh sekelompok pemuda yang bergerak di bawah tanah melalui radio. Mereka menemui Bung Karno, memberi tahu dan mendesaknya untuk memproklamasikan kemerdekaan esok hari tanggal 16 Agustus. Tapi Bung Karno tegas menolak. Para sejarawan seperti Asvi Warman Adam menyebut mereka: pemuda radikal. 

Sebenarnya, para pemuda radikal itu lahir dari kursus-kursus politik yang diberikan oleh Bung Karno, Hatta dan tokoh-tokoh nasionalis radikal selama pendudukan Jepang. Seperti kaum nasionalis radikal, para pemuda berjuang secara ekstraparlementer melawan Belanda dan Jepang. Kekejaman Jepang terhadap kaum pergerakan mendorong mereka lebih radikal dari para pendahulunya.  Hal ini dapat dilihat dari beberapa sikap mereka sebagai berikut;

Pertama, sejak awal, sebagian tokoh pergerakan nasional termasuk Bung Karno tidak terlalu memperhatikan bagaimana nanti proses kemerdekaan diperoleh. Apakah diberikan penjajah atau direbut dengan kekuatan sendiri, bagi mereka tidak penting. Tapi bagi pemuda itu adalah masalah. Bagi mereka kemerdekaan yang diberikan penjajah akan menimbulkan persoalan di kemudian hari.  Kemerdekaan bagi pemuda bukan hanya merdeka secara politik tapi juga ekonomi dan sosial. Pengalaman di negara-negara lain memberi mereka pelajaran bahwa kemerdekaan yang diberikan penjajah adalah kemerdekaan politik. Adapun urusan ekonomi tetap diatur oleh bangsa penjajah. Ini menunjukkan pandangan para pemuda tentang konsep kemerdekaan lebih radikal (berakar) dari pendahulu mereka.

Kedua, para pemuda berulang kali mendesak Bung Karno untuk memproklamasikan kemerdekaan secepatnya. Mereka tidak lagi kenal mengedepanka etika dalam bertemu Bung Karno. Wibawa Bung Karno sebagai pemimpin pergerakan, diabaikan demi memenuhi tuntutan mereka. Bung Karno menolak desakan mereka, karena terlanjur memegang janji Jepang untuk memberi kemerdekaan tidak lama lagi. Salah satu dari pemuda bahkan membawa pistol. Hal itu membuat Bung Karno marah dan menantang untuk menembak. 

Ketiga, pendirian Bung Karno yang sudah bulat, juga Bung Hatta, membuat pemuda radikal itu memutuskan melakukan misi penculikan.  Tujuannya adalah mengamankan Bung Karno dan Bung Hatta dari ibu kota untuk memproklamasikan kemerdekaan. Rupanya, tanggal 16 Agustus sudah disiapkan sebuah serangan umum kepada Jepang di Jakarta. Tapi serangan itu tak kunjung dilakukan bahkan ketika Bung Karno dan Bung Hatta berhasil di bawa pulang oleh Ahmad Subarjo dari tempat penculikan keesokan harinya.


Radikalisme Tidak Selamanya Buruk

Andai para pemuda radikal waktu itu mengikuti perintah Bung Karno semula, sejarah tidak akan berjalan seperti sekarang. Kita mungkin tetap merdeka, tapi bukan tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan mungkin bisa dicapai, tapi diberikan oleh penjajah. 

Ternyata radikalisme punya manfaat. Yaitu, mendorong rakyat terjajah untuk berani dan bersemangat memperjuangkan cita-cita kemerdekaannya. Radikalisme mengajarkan bahwa kemerdekaan tidak akan sepenuhnya dicapai jika bekerja sama dengan penjajah. Untuk negara-negara yang terjajah yang sedang berjuang merebut kemerdekaannya, radikalisme bisa jadi berguna. Tapi tidak untuk negara  merdeka –apalagi negara-negara demokrasi. Sebab dalam negara demokrasi, saluran perjuangan politik hanya satu dan sudah terlembaga berupa lembaga legislatif dan eksekutif yang diperebutkan melalui pemilihan umum secara berkala. Tak ada saluran lain. 

Jadi, radikalisme tidak selamanya buruk. Karena itu tidak perlu dimusuhi dengan reaksi yang berlebihan. Ada saatnya dalam waktu dan kondisi tertentu, radikalisme dibutuhkan dan keberadaannya amat menentukan masa depan suatu bangsa. Sebaliknya, ada saatnya pula, radikalisme sudah usang dan mesti ditinggalkan. Tugas kita adalah menempatkannya pada porsi yang tepat. Salam!


Weda, 17 Agustus 2019


Komentar

  1. izin share ya admin :)
    buruan gabung bersama kami,aman dan terpercaya
    ayuk... daftar, main dan menangkan
    Line : agen365
    WA : +855 87781483 :)
    Silakan di add ya contaknya dan Bergabung juga ya :)
    Ditunggu ya Bosku :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Prinsip Gerakan KAMMI*