MASJID,
KAMPUS DAN KAMMI[1]
Oleh:
Zulfikhar
Diakses dari https://www.bukalapak.com/p/hobi-koleksi/buku/agama-kepercayaan/88zlgi-jual-gerakan-perlawanan-dari-masjid-kampus
Judul buku :
Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus
Penulis :
Andi Rahmat dan Muhammad Najib
Penerbit :
Pustaka Saga
Cetakan :
I, 2015
Halaman : x + 174 halaman
ISBN : 978-602-72384-5-9
Banyak pihak
bertanya-tanya ketika Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMMI) berhasil melakukan
demonstrasi damai yang dihadiri 20.000
massa di depan masjid Al-Azhar Jakarta
April 1998. Siapa itu KAMMI? Kapan mereka berdiri? Apa tujuan mereka?
Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran dan menjadi wacana di tengah publik.
Pertanyaan-pertanyaan
seperti itu wajar muncul. Pasalnya sampai bulan April, tidak banyak organisasi
mahasiswa mampu memobilisasi massa sebanyak itu. Intensitas demonstrasi memang
meningkat sejak awal tahun, bahkan sampai
Mei 1998 mencapai 850 kali (Lane, 2014). Namun, konsolidasi gerakan
dengan massa sebanyak itu butuh usaha yang tidak mudah.
Keberadaan
KAMMI semakin diperhitungkan ketika bersama Amien Rais, KAMMI mulai turun ke
jalan. Rencana menggelar aksi sejuta umat di Monas yang bertepatan dengan hari
kebangkitan nasional 20 Mei 1998 direspon aparat TNI dengan menerjunkan 150
ribu personil. Dengan alasan situasi keamanan yang makin memburuk dan adanya
intimidasi aparat –ancaman insiden Tiananmen, Amien Rais bersama pimpinan KAMMI
memutuskan untuk membatalkan aksi itu. Pamor KAMMI sebagai aliansi aksi baru seketika
naik dan mengisi ruang kosong yang disisakan oleh aliansi massa aksi besar
lainnya seperti Forkot dan FKSMJ.
Gara-gara hal
itu muncul tuduhan bahwa KAMMI adalah setingan kelompok kepentingan tertentu.
Banyak orang tidak tahu, usaha di balik itu membutuhkan perjuangan hampir dua
dasawarsa lamanya.
Masjid
Latar belakang
kemunculan KAMMI tidak bisa dilepaskan dari keberadaan masjid di kampus-kampus
terbaik di negeri ini. Ya, banyak orang mungkin berpikir bahwa masjid adalah
tempat ibadah an sich. Titik. Masjid
adalah tempat shalat, dzikir, mengaji, dan pengajian. Sehingga masjid sama sekali
tak relevan untuk menyusun siasat politik atau bahkan sekedar untuk
mendiskusikannya.
Andi Rahmat dan
Mukhamad Najib dalam buku Gerakan
Perlawanan dari Masjid Kampus ini punya pandangan lain. Bagi mereka, ibadah
maghdah seperti shalat beserta ibadah
wajib lainnya bersama-sama dengan ibadah ghairu
maghdah mungkin dilakukan di tempat yang sama (hlm. 18). Ibadah social seperti
membicarakan keadaan umat, baik kondisi social-ekonomi, budaya, termasuk
politik, adalah niscaya.
Hal itu bukan
tanpa alasan. Berabad-abad lampau Rasulullah saw sudah melakukannya. Saat
hijrah ke Madinah, ia dan para sahabat langsung mendirikan masjid. Bahkan itu
dilakukan sebelum Rasulullah dan para sahabat punya rumah sendiri. Maksud
Rasulullah adalah agar masjid mampu menumbuhkan komitmen umat terhadap aqidah,
dan tatanan Islam. Masjid menjadi tempat membicarakan masalah yang dihadapi
umat di samping sebagai pusat informasi dan musyawarah, mempelajari
persoalan-persoalan social, ekonomi dan politik yang sedang mereka hadapi serta
memikirkan dengan serius mengenai jalan keluar yang tepat atas
persoalan-persoalan itu (hlm. 18-19).
Jadi, jika
selama ini di Indonesia masjid, khususnya masjid kampus, hanya dipandang
sekedar tempat ibadah semata, KAMMI memandang masjid sesungguhnya punya fungsi
yang lebih luas dan universal. Masjid adalah tempat ibadah sekaligus diskusi.
Pandangan
“alternatif” ini sudah lama dimulai sejak awal 1980-an dengan munculnya kelompok-kelompok
diskusi Islam dan penerbitan Islam yang menerjemahkan karya-karya pemikir Islam
di Timur Tengah dan Asia yang modernis dan revivalis (hlm. 38).
Pergumulan itu
di kemudian hari melahirkan generasi baru aktivis Islam yang belum pernah ada
dalam sejarah Indonesia. Pandangan mereka terhadap Islam melampaui sekedar
agama dan memandang politik sebagai problem umat yang urgen. Semangat zaman (zeitgeist) itu ditangkap dan diadopsi KAMMI
yang memandang Islam bukan sekedar membicarakan agama an sich, tapi juga persoalan ekonomi, social, ilmu, budaya termasuk
politik. Dalam Daurah Marhalah I gagasan itu diperkenalkan lewat materi syumuliyatul Islam. Maka terjadilah
interaksi literasi yang kencang antara aktivis Islam dengan pemikir-pemikir
modernis dan revivalis itu seperti sebut saja; Fazlur Rahman, Hasan Albana,
Sayyid Quthb, Al-Maududi, dll, yang memperkaya khazanah keilmuan dan politik
mereka.
Bagi KAMMI yang
hidup di zaman Orde Baru yang represif, masjid adalah tempat paling aman untuk
berdiskusi dan menyusun strategi gerakan. Selama belasan tahun itu aktivis
Islam mengalami penguatan kualitas spiritual, intelektualitas dan kemampuan
politik. Dan penguatan itu diuji dengan kompetisi-kompetisi politik merebut
kepemimpinan lembaga kemahasiswaan. Karena relatif hanya bergerak di dalam
kampus, aktivitas semacam itu tidak terendus aparat rezim dan public secara
luas.
Kampus
Dinamika
politik kampus yang luput dari perhatian pemerintah memberikan keleluasaan
kepada mahasiswa untuk sebanyak mungkin belajar dan aktif berorganisasi. Hal
itu terjadi sejak diberlakukannya Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan
Koordinasi Kampus (NKK-BKK) oleh Mendikbud Daud Joesoef di akhir 1970-an,
mahasiswa dilarang berpolitik di luar kampus. Demonstrasi karenanya dilarang
dan menggelarnya akan memperoleh konsekuensi hukum yang berat.
Rezim Orde Baru
belajar dari pengalaman rezim terdahulu yang memberikan kebebasan politik
kepada mahasiswa sehingga menjadi bumerang politik yang menghapus rezim itu
dari sejarah. Menurut mereka, politik mahasiswa harus dikontrol. Dominasi itu
begitu kuatnya sehingga bahkan ketika NKK-BKK dicabut di awal 1990-an,
mahasiswa masih tetap dilarang pemerintah menggelar demonstrasi diluar kampus.
Jadilah kampus
menjadi kawah candradimuka yang mencetak intelektual-intelektual muda yang
kritis dan punya idealisme tinggi. Barangkali tanpa adanya dinamika kampus yang
bebas itu, KAMMI mungkin tak akan pernah berdiri.
Kampus
memberikan tidak hanya wawasan keilmuan bagi aktivis Islam, lebih dari pada itu
kampus memberikan senjata politik yang tidak disadari oleh rezim Orde Baru:
jaringan politik.
Sejak
pertengahan 1980-an, aktivis Islam di kampus-kampus negeri melakukan pertemuan
rutin setiap tahun yang dikenal dengan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus
Nasional (FLSDKN). Situasi ekonomi dan politik tanah air yang memburuk sejak 1997
menjadi keprihatinan tersendiri dan mendorong mereka memutuskan membangun wadah yang mengkoordinasikan seluruh
Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Pada penyelenggaraan FSLDKN ke X di Malang yang
ditutup pada 29 Maret 1998, sebagian peserta sepakat mendirikan KAMMI (hlm.47-
46).
Dalam pandangan
umumnya yang dibacakan sekjen KAMMI, Haryo Setyoko, KAMMI menegaskan perlu
adanya reformasi politik, ekonomi dan hukum untuk menjawab krisis yang belum
kelihatan akan berhenti. Kerusuhan dan keresahan public yang belakangan ini mengemuka
menurut KAMMI perlu dijawab dengan reformasi sosial (hlm. 49). Menurut Andi
Rahmat dan Mukhamad Najib bentuk empati KAMMI terhadap nasib bangsa Indonesia
itu terangkum dalam jargon politik yang kemudian terkenal: reformasi total
(hlm. 79).
Menumbangkan
Orde Baru
Andaikan tidak
ada KAMMI, hampir elemen gerakan mahasiswa yang menuntut reformasi diisi oleh
gerakan nasionalis dan kiri. Tak terlalu jelas, mengapa organisasi Islam
sebesar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tidak menempati posisi dominan di
dalamnya.
Menurut
pengamat politik Eep Saefullah Fatah, ada dua sebab. Pertama, gerakan mahasiswa membutuhkan ruang aman dari represi
pemerintah untuk menyalurkan tuntutan mereka. Sementara itu ruang aman adalah
kandang mereka sendiri. Kedua,
terjadi miskomunikasi yang sudah lama antara organisasi ekstrakampus untuk
mendapatkan akses ke basis kampus yang aman (hlm. 78-79).
Bagi saya, hal
itu mungkin saja terjadi. Sebab represi pemerintah terhadap aktivitas mahasiswa
ekstrakampus selama ini memang keras seperti yang dialami oleh Solidaritas
Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Tapi tak
menutup kemungkinan intervensi patron gerakan di dalam rezim terhadap klien
juniornya di bawah.
Pertanyaannya,
lalu bagaimana komite aksi baru seperti KAMMI bisa melewati itu semua? Menurut
Andi Rahmat dan Mukhamad Najib ada beberapa sebab.
Pertama, sejak memulai aksi, tuntutan KAMMI
adalah pesan kebaikan universal. KAMMI mengajak untuk melawan kerusakan moral
di sekitar mereka. Kepada masyarakat, KAMMI mengajak meninggalkan maksiat dan
memperbanyak doa, silaturahmi dan dzikir. Kepada pemerintah, KAMMI menyeru
untuk meminta maaf kepada rakyat, bertobat kepada Allah swt dan dalam waktu
singkat melakukan reformasi total (hlm. 83). Menurut KAMMI, reformasi total
tidak hanya mengganti presiden saja, tetapi beserta pembantu dan
kroni-kroninya.
Kedua, umumnya aksi KAMMI adalah bentuk solidaritas dengan gerakan
mahasiswa pada umumnya. Karena itu tuntutan KAMMI tidak jauh berbeda dari
kebanyakan elemen aksi (hlm. 83). Muncul tuduhan bahwa KAMMI mengekor tuntutan
gerakan lain dijawab ketua umum KAMMI, Fahri Hamzah, dengan mengatakan kebaikan
dari manapun sumbernya harus diikuti. Kepentingan pokok bukanlah eksistensi
gerakan tapi kepentingan bangsa dan negara.
Ketiga, selain ibu kota, aksi KAMMI menyebar ke beberapa daerah
seperti Surabaya, Malang, Bandung (hlm. 84). Aksi-aksi itu tidak segan-segan
dilakukan dalam waktu tak terbatas jika pemerintah tidak menanggapi tuntutan
mahasiswa.
Keempat, KAMMI meyakini bahwa aksi terbaik
adalah dengan menempuh jalan damai. Aksi yang dijalankan berusaha seminimal
mungkin berjalan tanpa bentrokan (hlm. 84). Jika dikatakan kekerasan dibutuhkan
agar tuntutan mahasiswa dituruti, justru KAMMI meyakini akan menimbulkan
kekerasan baru yang lebih buruk lagi. Keberhasilan melengserkan Orde Baru
dengan jalan damai menjadikan aksi damai menjadi etika aksi yang sampai
sekarang dianut oleh KAMMI.
Kelima, saya pikir sejarah reformasi tak mampu direbut KAMMI
tanpa sosok Amien Rais. Berjuang bersama Amien Rais menempatkan KAMMI sebagai
elemen yang berpengaruh dan diperhitungkan. Sayangnya, dalam buku ini tidak
diceritakan lengkap bagaimana “koalisi” KAMMI dan Amien Rais bermula. Untuk
sebuah komite aksi baru seperti KAMMI tidak mudah mendapat kepercayaan dari
tokoh seperti Amien Rais dan didapuknya Amien Rais menjadi Bapak Reformasi juga
menyeret popularitas KAMMI ikut di belakangnya.
Penutup
Masjid dan
kampus adalah kekuatan politik yang diabaikan Orde Baru terlalu lama sehingga
tanpa disadari menjadi kekuatan politik yang mengakhiri sejarah rezim otoriter
itu. Dan bagi KAMMI yang berhasil mensintesiskan dua kekuatan itu, tanpa
rencana dan rekayasa, mendapat tempat terbaik di atas panggung sejarah.
Bahan Bacaan
Andi Rahmat dan
Muhammad Najib, Gerakan Perlawanan dari
Masjid Kampus, Surabaya, Pustaka Saga, 2015
Lane, Max, Unfinished Nation, Yogyakarta, Penerbit
Djaman Baroe, 2014
[1]
Disampaikan dalam dikusi yang diselenggarakan Departemen Kebijakan Publik KAMMI
Kota Ternate, Benteng Oranje, 12 Oktober 2019.
BalasHapusizin share ya admin :)
buruan gabung bersama kami,aman dan terpercaya
ayuk... daftar, main dan menangkan
Line : agen365
WA : +855 87781483 :)
Silakan di add ya contaknya dan Bergabung juga ya :)
Ditunggu ya Bosku :)